AROMA KERINGAT- AYU UTAMI
(Kreativitas dalam menciptakan Tokoh dan Karakternya Untuk Cerpen dan Novel)
Saya sering mendapat pertanyaan dari pada penulis pemula, demikian:
“Mbak, bagaimana sih caranya menciptakan tokoh dan karakternya untuk cerpen atau novel?” – pertanyaan ini melalui e-mail, surat maupun secara lisan ketika saya dan sponsor menggelar pelatihan Creative Writing.

Pada bulan Februari tahun lalu (2004), Majalah MATABACA menyelenggarakan Pelatihan Creative Writing. Kebetulan, saya yang diundang sebagai tutor dan novelis Ayu Utami sebagai ‘bintang tamu’ pembicara. Pesertanya pada waktu itu sekitar 100 orang yang terdiri dari anak muda yang penuh semangat ingin menjadi penulis, dosenr , pencinta sastra dan sebagainya. Kami menggelar pelatihan dengan sistem inrteraktif, sehingga peserta mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya apa saja yang mereka inginkan. Antara lain, pertanyaan mereka seputar penciptaan tokoh dan karakter yang dihadirkan dalam cerpen maupun novel. Berikut ini saya paparkan sekilas mengenal hal tersebut, sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang disampaikan melalui e-mail dan surat kepada saya.
1. Masing-masing pengarang punya cara sendiri untuk menciptakan tokoh dan karakternya. Ayu Utami mengaku, untuk memperoleh hal itu paling enak dari pergaulan yang dihadapi sehari-hari (jadi tidak terlalu mengarang-ngarang). Saya juga demikian. Untuk memperoleh tokoh dan karakter melihat orang-orang yang ada di sekitar saya ditambah membaca buku-buku seputar ‘ilmu manusia’ (buku-buku psikologi), buku kebudayaan, sejarah dan sebagainya. Banyak bergaul alias mingle menurut saya sangat diperlukan bagi siapa pun yang ingin menjadi pengarang — sehingga banyak menyelami jiwa dan berbagai karaker orang-orang sekitar kita. Ketika saya belajar di luar negeri, senang sekali bergaul dengan berbagai bangsa, sehingga tahu siapa dan dunia mereka. Sungguh menarik, karena tidak ada yang sama.
2. Untuk menciptakan karakter tokoh, tentu saja ita tidak bisa lepas dari jalan cerita yang akan kita buat. Maka dari itu, sebelum menciptakan karakter perlu mempunyai gambaran phisik dari tokoh yang akan kita tampilkan dalam cerita. Misalnya, secara phisik bagaimana? Gemuk, kurus, langsing, rambut ikal. hidung pesek atau yang lainnya. Ayu Utami lebih jeli dalam menggambarkan tokoh lelaki. “Saya akan mengamati, bagaimana aroma keringat lelaki itu, jadi tidak hanya melukiskan postur tubuhnya saja,” demikian papar Ayu Utami ketika ia menjawab pertanyaan para peserta Pelatihan Creative Writing bulan Februari tahun lalu. Lebih lanjut ia menjelaskan, “Makanya, kalau kita mengalami, dekat dengan obyek yang kita jadikan bahan tulisan, maka cerita yang kita tulis akan lebih hidup.” — Saya sependapat dengannya. Memang, untuk menciptakan karakter kita harus tahu benar karakter yang kita berikan pada tokoh yang kita tampilkan. “Maka saya perlu model tertentu untuk dijadikan tokoh karya-karya yang saya tulis. Model itu, atau tokoh nyata itu saya transformasikan ke tokoh fiktif, sehingga tidak bersifat otobiografis!” demikian papar Korrie Layun Rampan, yang dikenal sebagai pengarang yang amat produktif.
3. Penciptaan tkohtidak lepas dari konteks cerita yang akan kita tulis. Yaitu, dari berbagai aspek: sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan akar budaya. Bila kita tampilkan tokoh orang Batak tentu saja, namanya harus memakai nama orang Batak atau paling tidak ‘berbau’ Batak. Demikian pula gaya bahasanya (dialeknya) — kecuali Batak yang sudah jadi ‘nasional’. Faktor pendidikan tokoh juga mempengaruhi karakternya. Misalnya, tokoh itu seorang buta-aksara tentu tidak mungkin kalau diceritakan punya hobi membaca atau kirim SMS. Ini masalah logika. Walaupun fiktif logika harus jalan. Atau misalnya, tokoh yang ditampilkan seorang guru desa tentunya kendaraannya bukan motor apalagi mobil mewah (kecuali ia orang desa yang kaya lalu menjadi guru, ceritanya menjadi lain).
4. Apakah sulit mencari tokoh yang ditampilkan? Jawabannya tidak. Karena kita sudah memiliki alur cerita yang akan disajikan, sehingga tahu tokoh apa saja yang akan kita tampilkan. Yang penting diperhatikan adalah, bagaimana cara kita memberi karakter tokoh itu agar bisa tampil hidup, logik dan menjadi media cerita. Bagi saya, tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen saya (silakan baca: SEBILAH PISAU DARI TOKYO) 90% adalah ada, karena digali dari kisah nyata yang saya lihat atau saya mendengar cerita dari seseorang dan sebagian lagi saya dapatkan dari berita (media cetak maupun elektronik). Ketika tokoh nyata itu dijadikan fiksi, maka disamarkan dengan daya imajinasi kita. Bila Anda membaca karya Ratna Indraswari Ibrahim (LEMAH TANJUNG), akan merasakan bahwa yang ditulis Ratna adalah kisah nyata. Kenyataannya memang demikian, tetapi lalu disamarkan. Karya-karya Pramudya Ananta Toer yang luar biasa itu juga ‘dilhami’ sejarah yang mana tokoh-tokoh memang ada, kemudian disamarkan. Apalagi jika kita membaca novel FRIDA KAHLO – Pelukis Meksiko itu, hampir semua karakternya adalah nyata. Anda juga bisa mendapati hal ini dalam novel karya Tonni Morisson yang berjudul BELOVED dan masih banyak lagi.
Terima kasih, sampai jumpa di lain topik