Cerpen Pemenang Utama III – Kategori B Lomba Menulis Cerpen Sastra Pariwisata
Kulitnya putih bersih bagai pualam. Wajahnya mempesona bagai rembulan tersenyum. Matanya bagai cahaya bintang, terasa damai. Ia seorang putri yang anggun, bersikap penuh kesantunan. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di depan dada, jemarinya menunjuk ke atas, lalu menyapaku. Bibir mungil merah mudanya melantunkan suara lembut dan merdu, menenangkan hati sanubari.
“Om Swastiastu. Datanglah ke Trunyan, tempat yang begitu indah. Aku menunggumu,” suara lembut itu membuatku terduduk di tempat tidur. Aku terperangah. Sesosok perempuan menawan berdiri di hadapanku. Ia tampak bagai bidadari di dalam dongeng. Membuar aroma wangi memenuhi ruang tidurku.
“Siapakah Anda?” tanyaku gugup. Aku bagai tersihir aura kecantikan serta tatapan matanya yang teduh. Kucoba berulang kali menggosok mata, meyakinkan diriku sendiri, apakah penglihatanku masih baik? Tubuh bercahaya itu tetap di hadapanku, tak kunjung pergi. Kumencoba berkomunikasi dengannya, namun ia hanya melambaikan tangan, lalu perlahan meninggalkanku. Detak jantungku berdegup kencang. Hanya bunyi detak jam dinding menemaniku dalam keheningan. Kakak, ibu, dan ayahku masih tertidur pulas di sampingku. Kulihat jam, tepat menunjukkan pukul dua belas malam.
“Siapakah dia? Apakah ia penunggu Kuta Central Park Hotel Bali ini? Ah, bukan! Di kamar ini aman. Aku sudah permisi saat pertama baru masuk tadi,” gumamku dalam hati, bulu kudukku berdiri. Dengan pikiran kacau, kubaringkan kembali tubuhku, menarik selimut, dan menutupi wajahku yang gelisah tak menentu.
*
“Bangun Vir, wis awan 1*), ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Kamu masih capek yo dari keliling Jawa?” suara ibuku agak keras.
Mendengar suara yang tak asing di telinga, aku segera meluncur ke kamar mandi. Ternyata keluargaku sudah mandi semua. Mereka duduk dengan santainya sambil menonton televise, sambil menikmati krupuk klejat, khas Denpasar, yang dibuat dari siput atau kerang laut. Rupanya mereka sudah menghabiskan beberapa bungkus krupuk yang memang enak sekali rasanya.
Kami turun ke restoran di lantai satu untuk sarapan. Di sela-sela makan, ayah menanyakan tujuan wisata mana saja yang ingin kami kunjungi nanti.
“Trunyan!” jawabku spontan sambil menunjukkan kedua gigi kelinciku. Aku masih saja teringat kejadian semalam. Di saat menunggu respon dari keluarga, aku menikmati kacang disco dan pie susu khas Bali yang terkenal lezatnya.
“Trunyan? Aku memang pernah mendengarnya, namun tak pernah tertarik ke sana. Untuk apa membuang waktu hanya untuk melihat jenazah?” ayahku menjawab. Sorot matanya penuh tanda tanya tertuju padaku. Aku pun bingung, bagaimana harus menjawab dan menjelaskan alasanku ingin ke sana? Tidak mungkin aku menjawab hanya karena sebuah ‘panggilan’. Aku sendiri, tak tahu mengenai tempat itu.
“Hah, Trunyan? Aku ndak mau, Ayah! Hii, takut! Itu kuburan, mayatnya hanya ditaruh begitu saja di tanah, pasti banyak hantunya. Bagaimana kalau tiba-tiba matanya terbuka atau bergerak sendiri? Wah, kamu ojo aneh-aneh deh, jangan macam-macam, Vir!” tolak kakakku yang berbadan gemuk dan penakut itu. Matanya yang bulat membelalakiku, dan mulutnya tetap mengunyah telur rebus dengan lahapnya.
“Hah, kuburan?” aku terkejut.
“Pokoknya mampir Trunyan! Ayolah, Ayah, kita ke Trunyan. Aku ingin sekali ke sana,” rengekku yang makin penasaran. Ayah terdiam sambil menikmati secangkir kopi pahit. Kakakku dan aku beradu mulut tak kunjung henti.
“Wis lah, sudah ah, ndak usah berdebat. Kita pergi ke tempat yang menyenangkan saja. Kintamani pilihan yang tepat. Masmu ingin melihat anjing Kintamani, anjing pemberani, bertubuh mungil, dan berbulu lebat. Masmu juga ingin melihat pemandangan Gunung Batur yang indah, apalagi di saat senja dan Danau Batur di Desa Penelokan. Kita bisa berfoto cantik di sana. Kita juga bisa ke pemandian air panas alami di Desa Toya Bangkah untuk merilekskan tubuh dan pikiran sejenak,” Ibu menengahi perdebatan kami yang tak berujung itu.
“Ah, Ibu!” aku masih berkeras.
“Tidak perlu ke Trunyan. Masmu ini weden 2*), ke kamar mandi saja, minta kau temani, kan?” cetus ibuku yang cantik dan berhidung mancung. Aku hanya duduk terdiam, ada ketidakpuasan di wajahku. Walau hati berontak, aku tak kuasa melawan mereka. Tidak ada seorang pun setuju dengan ideku. Jika aku memberitahu pengalamanku semalam pun, mereka pasti tak akan percaya.
Beberapa jam setelah makan pagi, ayah memutuskan check-out dari hotel, agar kami bisa berkuliner dan menuju Kintamani. Ibu segera berkemas, wajah masku berseri-seri. Aku hanya bisa cemberut. Pukul sebelas, kami meninggalkan Kuta Central Park Hotel. Ayah menuju tempat parkir yang luas itu untuk mengambil mobil, sedangkan kami menunggu di lobi hotel.
Mobil kami meluncur dengan cepat. Kami melihat rumah-rumah di pedesaan, suasana yang tenang. Itu jauh berbeda dengan kampung halamanku, Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan hingar bingar kota besar. Panorama alam yang begitu mempesona sungguh sulit ditemukan di Jakarta. Di samping itu, kumelihat di kiri kanan jalan, masih banyak pohon besar, rindang yang menyejukkan. Sambil menikmati pemandangan, kakakku berceloteh tentang indahnya pemandian air panas alami di Desa Toya Bangkah. Aku berusaha terus membujuk mereka agar singgah di Trunyan. Beradu mulut pun terjadi lagi. Ibuku hanya diam. Pasti ia bosan melihat tingkah kami berdua seperti anjing dan kucing.
Di tengah perjalanan, perut mulai keroncongan meminta untuk diisi makanan. Berhentilah kami untuk bersantap siang di Rumah Makan Ayam Betutu khas Gilimanuk. Kami menikmati ayam betutu pedas dengan rempah-rampahnya yang khas. Bumbu rempahnya meresap masuk ke dalam setiap lapisan daging ayamnya dan terasa unik di lidah. Tak lupa kami juga menikmati sate lilit khas Bali. Semuanya terasa nikmat. Mungkin kami harus merasakan semua kuliner khas Bali selagi berlibur seperti sekarang ini.
Kami melanjutkan perjalanan ke Kintamani, daerah pegunungan. Hamparan hijau sungguh menyegarkan mata. Ayah menggunakan dua petunjuk arah, waze dan google map. Ke mana pun waze dan google map mengarahkan, ke sanalah arah mobil melaju, sampai kami melihat papan petunjuk jalan untuk dua arah, yang satu berjalan lurus, satu lagi belok ke kanan. Google map mengatakan, jalan lurus merupakan jalan terdekat ke Kintamani, sedang papan petunjuk jalan menunjukkan arah ke kananlah yang ke Kintamani. Mulailah ayah kebingungan. Ia berpikir sejenak, lalu memutuskan mengambil jalan lurus agar cepat tiba di Kintamani.
Perjalanan selanjutnya jadi membingungkan, seperti sebuah petualangan. Kami melewati jalan beraspal cukup lebar, namun, semakin lama jalanan itu semakin menyempit. Kami seperti masuk gang yang hanya cukup untuk satu mobil. Semakin jarang terlihat adanya rumah penduduk. hanya tampak pepohonan. Mobil terus melaju, jalan kian menanjak seperti pergi ke Puncak Jawa Barat, jalanannya menanjak, mirip spiral yang mengelilingi bukit. Tapi di perjalanan kami di Bali sangat berbeda. Jalannya terus menanjak menuju perbukitan, semakin tidak nyaman dan mengkhawatirkan. Tahu-tahu kami berada di tengah hutan, yang sunyi dan gelap. Udaranya dingin, sinyal telepon mati. Panik, terjebak tanpa penunjuk arah. Google map tak bisa menemani lagi.
Bagai menggenggam buah simalakama. Berbalik arah sudah tidak mungkin. Ayah memutuskan untuk terus mengikuti jalan beraspal, berharap menemukan sebuah desa. Akhirnya, kami sampailah ke sebuah pedesaan, lalu bertanya kepada lelaki tua, salah seorang penduduk desa yang kami jumpai.
“Rahajeng Sande 3*), jalan mana yang harus diikuti agar sampai ke Kintamani?” tanya kakakku sambil meletakkan kedua telapak tangan di dada sebagai sikap hormat. Lelaki tua itu menunjukkan arah kepada masku. Secepat kilat, Mas Wijaya masuk ke dalam mobil, menjelaskan kepada ayah arah yang tepat. Hati kami pun sangat gembira. Akhirnya, ada titik terang dari kesesatan kami ini.
Mobil melaju terus, menanjak, lalu menurun tajam, berkelok-kelok, bukan jalan yang mudah untuk dilalui. Di ujung tikungan ada jurang, begitu pula di sebelah kiri kanannya. Tiba-tiba mobil agak merosot di tikungan. Jantung kami berdetak kencang bagai suara pacuan kuda. Terlintas di benak, apa jadinya jika mobil kami masuk jurang. Kami terus berdoa. Untung saja ayah cukup andal mengendalikan mobil. Kami tetap melaju, lebih waspada. Sampailah kami di suatu tempat, anjing-anjing Kintamani mulai terlihat. Perasaan lega pun muncul, senyum ceria mulai terpancar. Karena sudah gelap, ayah memutuskan mencari hotel di Kintamani untuk menginap. Namun kami merasakan kejanggalan. Jalan kami seperti berputar-putar saja. Lurus, belok kiri, lurus, belok kiri, lurus dan belok kiri lagi. Begitu terus sebanyak tiga kali.
Hal yang sama terjadi lagi, kami seperti dibuat kembali ke jalan yang sama, maka kami bertanya pada salah seorang warga. Kakakku mengaktifkan google map, ternyata sinyal muncul kembali ketika sampai di Kintamani. Kami melewati sebuah desa yang tak berpenghuni. Gejolak batin kembali muncul. Tadi sudah menemukan kota, lalu menemukan desa tak berpenghuni lagi. Mengapa jarang ada rumah, semakin jauh, semakin jarang rumah yang terlihat, hingga terlihat sebuah desa, namun lagi-lagi tak berpenghuni. Hari semakin gelap. Desa seperti mati. Akhirnya, kami menemukan sebuah pura. Aroma dupa tercium hingga beberapa kilometer, lalu terlihat papan petunjuk jalan, “Selamat datang di Trunyan, lima ratus meter.”
*
Trunyan! Entah kenapa hatiku terasa begitu gembira. Di ujung jalan sana, kulihat putri cantik yang mendatangiku malam itu, melambaikan tangannya padaku. Aku menemuinya, kurangkapkan kedua tanganku di depan dada, kusapa putri jelita itu.
“Om Swastiastu,” salam kuucapkan kepadanya sambil menganggukkan kepala.
“Om Swastiastu. Berjumpa lagi, kawanku. Mari berkunjung ke tempatku. Lama sekali aku menunggumu.”
Aku mengikuti langkahnya. Dibawanya aku menuju sebuah danau.
“Wah, indah nian danaunya. Airnya berwarna hijau. Amat menawan. Pemandangannya begitu indah.” Seruku terkagum-kagum melihat panorama menuju Trunyan. Banyak pengunjung yang mengendarai perahu menuju Trunyan sambil menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
“Selamat datang di tempatku,” kata sang Putri.
Aku dibuat terkesima lagi. Kami menyeberangi danau, mendapatkan sebuah pemakaman unik.
“Permisi, mohon diizinkan berkunjung,” kataku saat mulai masuk area peristirahatan yang tak biasa. Di kiri kanan pintu gerbang makam, terdapat tengkorak kepala manusia. Kulangkahkan kakiku setapak demi setapak. Tampak dua patung berkostum adat Bali, berdiri di pinggir jalan dekat pintu masuk, sebagai simbol upacara ngaben.
Sang Putri mengajakku masuk ke hutan lebih dalam lagi. Kulihat sebuah pohon besar yang usianya ribuan tahun. Di bawah pohon itu, terdapat sebelas tubuh manusia yang tidak dikubur, namun tidak menimbulkan bau. Rupanya pohon besar inilah yang menyerap bau busuk yang dikeluarkan oleh mayat tersebut. Pohon Taru Menyan namanya, berarti pohon yang sangat wangi. Sungguh menakjubkan. Mayat yang diletakkan di bawah pohon tidak boleh melebihi sebelas mayat. Jika ada penduduk yang meninggal dan sudah berkeluarga, mayat yang paling lama akan dipindahkan tempatnya. Jenazah yang baru meninggal dimakamkan di salah satu ancak, sebuah makam berupa pagar anyaman bambu yang ditancapkan ke tanah. Jenazah itu ditutupi seluruh badannya dengan kain Bali. Kepalanya dibiarkan terlihat, dan dibekali barang-barang kesukaannya sewaktu masih hidup.
“Putri, mengapa jenazah ini tidak dikubur?” tanyaku penasaran.
“Ya, mereka hanya diletakkan saja di bawah pohon besar itu. Ada kisahnya mengapa harus ada jenazah di situ,” jawab putri. Aku semakin penasaran, ingin sekali mendengar penjelasannya.
“Lihatlah, di sana ada sebuah kerajaan, bukan? Ada raja dan permaisurinya. Merekalah sesembahanku. Putri sesembahan kami adalah penunggu pohon Taru Menyan itu. Pohon beraroma sangat wangi. Harumnya tercium hingga ke Tanah Jawa. Pangeran dari Jawa itulah yang mempersunting sesembahan kami. Beliau berdua menetap hidup bahagia di sini. Agar tempat ini tidak diketahui oleh orang lain karena keharumannya yang menyebar, raja memerintahkan untuk meletakkan sebelas mayat di tempat ini. Keharuman yang dikeluarkan akan menjadi netral. Kamu sekarang sudah paham, sahabatku?” jelas putri cantik yang sekarang menjadi sahabatku itu.
“Oh, begitu. Sekarang aku paham. Hmm, lalu mengapa kamu menggiringku ke sini?” tanyaku penasaran.
“Maafkan aku, Viriya, karena kamu seorang anak yang baik hati, tingkahmu lucu dan menyenangkan. Aku ingin sekali berteman denganmu, bolehkah aku ikut ke rumahmu? pintanya kepadaku. Aku sangat kaget bercampur senang.
“Hmm, boleh saja asalkan kamu diizinkan oleh Ibu Ratu,” jawabku dengan senyum.
Putri yang cantik itu segera memohon izin kepada sesembahannya. Dewi penunggu Trunyan pun mengizinkan putri bermain bersamaku dalam beberapa waktu. Aku tersenyum bahagia dan pamit kepada penguasa Trunyan.
*
“Hai Vir, ngapain kowe 4*) senyum-senyum sendiri? Dari tadi diam saja, sekarang mesem-mesem dewe 5*),” suara ibuku sayup-sayup terdengar, dan terasa ibu menggoncang-goncangkan tubuhku.
“Hehe, aku jalan jalan ke Trunyan, Bu. Aku punya sahabat baru yang sangat cantik,” jawabku tersenyum manja pada ibuku.
“Oalah tole, ya ampun, Nak, keinginanmu itu ndak bisa ditahan yo. Pikiran dan tingkah laku anak indigo sepertimu memang tidak bisa ditebak,” celoteh ibu sambil mencubit pipiku dengan gemas.
“Trunyan merupakan tempat wisata paling indah yang pernah kukunjungi. Luar biasa!” jelasku kepada Ibu.
“Jadi, tidak menakutkan seperti bayanganku ya, Vir?” tanya kakakku penasaran.
“Tidak Mas, auranya positif sekali,” jawabku meyakinkan,” Sungguh suatu tempat yang mempesona.”
“Kita sudah sampai mana, Bu? Dari tadi tak sampai tujuan?” tanyaku sambil menggerakkan punggungku yang pegal. Entah berapa lama aku tertidur di mobil.
“Sejak dari Trunyan tadi, ayahmu langsung mengalihkan kemudinya menuju Kintamani untuk cari penginapan. Sekitar lima belas menitlah kita akan sampai di penginapan. Di Kintamani sudah penuh, sekarang menuju Ubud,” ibu menjelaskan, tampak agak lelah.
“Tenang, yang penting kita cari tempat bermalam. Besok kita mengelilingi Bali lagi,” jawab Ayah menenangkan hati kami semua.
Perjalananku hari ini sungguh menyenangkan. Aku punya sahabat baru yang menemaniku menikmati indahnya Trunyan. Kami akan bermalam di Ubud dengan nyaman, juga membawa kenangan akan Trunyan. Aku akan menghabiskan liburanku bersama keluarga dengan hati puas dan bahagia. *
Catatan kaki:
Wis awan 1*) = sudah siang (Bahasa Jawa)
Weden 2*) = penakut (Bahasa Jawa)
Rahajeng Sande 3*) = selamat sore (Bahasa Bali)
Kowe 4*) = kamu (Bahasa Jawa)
Mesem-mesem dewe 5*) = senyum-senyum sendiri (Bahasa Jawa)