ArticleKultura & Sastra

Buta Bahasa

Oleh Sides Sudyarto DS

Setelah lima tahun keliling kota-kota besar dan kecil, saya menjumpai banyak pengalaman yang pahit, memalukan, menyedihkan tetapi kadang menggembirakan. Bahkan juga ada yang membahagiakan. Pengalaman di Jawa Barat, sungguh unik. Dari atasan sudah ada izin untuk memberikan ceramah dan pelatihan bahasa. Tetapi ketika sampai di sekolah, kepada sekolah menolak keras kegiatan itu. Pemimpin kelompok apresiasi sastra dan bahasa mengadu kepada saya.

Alasan penolakan kepala sekolah sungguh aneh. “Kami tidak memerlukan bahasa. Kami hanya mementingkan pelajaran matematika,” ujar kepala sekolah seperti ditirukan oleh kawan saya itu. Maka saya pun terpaksa turun tangan. Begitu jumpa, Pak Kepala Sekolah itu memeluk saya sembari memohon maaf. Ternyata ia masih mengenal saya dan di mejanya ada beberapa buku tulisan saya.

Lain lagi pengalaman di Surabaya. Kali ini penolakan disampaikan oleh ketua yayasan sebuah universitas swasta. “Kami tidak perlu bahasa, kami hanya perlu teknologi.”  Karena yang kami berikan saat itu adalah apresiasi film, kegiatan ceramah dan pelatihan bisa diterima. Sebab dalam film peran teknologi sangat kuat. Dalam pelatihan itu saya pentingkan untuk bertanya kepada publik: Apakah bisa membuat film tanpa bahasa? Membuat sinopsis cerita film perlu bahasa. Dialog dalam setiap adegan film perlu bahasa. Mana mungkin dialog tanpa bahasa? Bahkan proposal pembuatan film itu juga memerlukan bahasa.

Bahkan sempat juga saya melontar kritik, dengan mengatakan bahwa banyak drama jelek, film jelek, musik jelek karena kreatornya mengabaikan fungsi bahasa, tidak kenal sastra, dan sebagainya. Banyak tenaga kerja yang lamarannya ditolak, karena surat lamarannya menggunakan bahasa yang tidak bermutu.

Kepada kaum ibu di kota Malang saya ingatkan bahwa bahasa itu sangat kaya. Karena itu bahasa bisa membuat orang sedih, gembira. Duka atau bahagia. Karena bahasa seseorang bisa menangis, karena bahasa bisa juga orang tertawa.

Kepada kaum ibu di Kota Malang saya ingatkan bahwa bahasa itu sangat kaya. Karena itu bahasa bisa membuat orang sedih, gembira. Duka atau bahagia. Karena bahasa seseorang bisa menangis, karena bahasa bisa juga orang tertawa. Kepada kaum mahasiswa Universitas PGRI Semarang, saya bertanya apakah ada yang belum pernah mimpi. Semua sudah pernah mimpi. Lalu saya bertanya, “Dalam mimpi Anda itu ada bahasa atau tidak?” Ya, dalam mimpi pun masih diperlukan bahasa.

Kepada kaum mahasiswa dan sarjana sering saya katakan bahwa bahasa adalah “tetangga terdekat” kita. Bagun tidur, sebelum bicara dengan orang lain, kita sudah berbicara, berdialog dengan bahasa. Saya pun sering mengutip ucapan seorang filsuf tenar, yang mengatakan bahwa “bahasa adalah bunga di mulut kita”. Karena itu, sampaikan segalanya dengan bahasa bunga, dan kedamaian hidup akan kita dapatkan.

Tetapi tidak sedikit pengalaman yang membahagiakan. Di Padang, Medan, Solo, Yogyakarta, Palembang, ceramah bahasa bukan hanya diterima, tetapi crew kami disambut hangat luar biasa. Di Yogyakarta,  Universitas Muhammadiyah mengerahkan mahasiswa pecinta bahasa dan suguhan makan lebih dari sekadar pesta.

Di Palembang, sekolah swasta Xaverius tidak hanya mengerahkan mjuridnya, tetapi juga semua guru termasuk yang bukan guru bahasa untuk mengikuti lokakarya tentang bahasa Indonesia. Kami lebih sering mengalami penolakan dari sekolah negeri. Dari sekolah swasta berbagai level, SD, SLTP, SLTA, universitas, kami tidak pernah mengalami penolakan, paling hanya penyesuaian jadwal atau waktu saja.

Sebuah Sekolah Muhammadiyah jadi langganan tahunan kami, untuk kegiatan apresiasi sastra dan bahasa. Selain mengadakan lokalarya bahasa dan menulis kreatif (creative writing) kami juga mengadakan lomba nasional untuk menulis cerita. Jika ada muridnya yang keluar sebagai pemenang, ia akan mendapatkan hadiah ganda. Pertama hadiah pengargaan dari Panitia Lomba. Kedua, hadiah dari pimpinan sekolahnya.

Hingga tahun kelima lomba menulis, setiap tahunnya masuk 5.000 naskah peserta. Hadiah total untuk semua pemenang mencapai Rp 80 juta. Kami tidak perlu meminta anggaran kepada pemerintah atau lembaga asing. Semua hadiah dan biaya operasional hingga selesai, disumbangkan oleh PT Rohto Laboratories Indonesia. Tanpa itu niat kami mengabdi di bidang kebahasaan sulit terlaksana.

Kembali kepada masalah penolakan dan pelecehan terhadap bahasa. Sulit membayangkan seorang kepala SLTA atau perguruan tinggi (universitas) tidak tertarik bahasa, dan tidak mengijinkan  para peserta didik mengenal lebih dekat apa itu bahasa. Karena itu dalam setiap kesempatan, saya selalu mengingatkan, bahwa manusia tidak bisa hidup di luar bahasa. Tidak akan ada masyarakat tanpa ada bahasa. Bahkan dengan bahasa popular, juga saya utarakan bahwa abad kini adalah Abad Bahasa sehubungan dengan apa yang disebut linguistic turn itu.

Di Malang (Jawa Timur) dengan jasa baik dari PT Unilever kami mengadakan lokakarya penulisan dengan para guru. Setelah jumpa barulah kami tahu mereka itu bukan guru bahasa, melainkan guru olah raga.  Tidak heran kjika mereka terus terang mengeluh dan merasa minder. Tetapi kami menegaskan, bahwa kami berbicara soal bahasa kepada siapa saja, tidak terbatas oleh apa latar belakang dan profesinya. Saat berpisah mereka semua menangis haru sambil berucap bahwa bahasa itu masalah yang penting, indah, menarik tetapi juga menyenangkan.

Tags

Related Articles

3 Comments

  1. Sungguh sangat memprihatinkan sekaligus memalukan jika seorang yang terdidik menganggap rendah terhadap bahasa. Lebih memalukan lagi “penghinaan” itu dilakukan oleh kepala instansi pendidikan. Para penolak itu tidak sadar bahwa mereka bisa menjadi seperti sekarang karena peran bahasa. Mereka tidak sadar bahwa segala aspek kehidupannya, kehidupan kita semua dilingkupi oleh bahasa. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi bahkan saat kita bermimpi, kita tidak pernah lepas dari bahasa. Pendidikan kita dari tingkat bawah sampai tingkat teratas diantar oleh bahasa. Saya tidak yakin para penolak itu benar-benar akademisi, mungkin mereka hanyalah orang-orang yang menumpang di dalam dunia pendidikan, hanya sekedar mencari penghasilan.
    Maju terus bahasa dan sastra Indonesia.

  2. Andai saja pelatihan bahasa itu tidak hanya diberikan kepada kaum2 yang sudah terdidik saja, kepada anak2 jalanan juga misalnya. Pasti mereka juga mempunyai cerita2 indah dari versinya sendiri, yang mungkin bisa membuat mata kita lebih terbelalak lagi. Semoga harapan saya ini bisa terealisasi….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku