Tiap kali membaca cerpen-cerpen yang masuk nominasi Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) Rohto-Mentholatum Golden Award, kerjasama antara Rayakultura dan PT Rohto Laboratories Indonesia, saya selalu menemukan cerpen-cerpen yang unik dan menarik. Bukan hanya persoalan yang diangkat dan struktur ceritanya, tapi juga inovasi gaya berceritanya yang mengisyaratkan bahwa cerpenisnya adalah seorang yang kreatif.
Begitulah, ketika saya membaca 12 cerpen nomine LMCR 2013, beberapa cerpen sempat menyedot perhatian saya. Karena, sangat menarik dan memperlihatkan inovasi dalam bercerita. Antara lain Lelaki Pohon, Orang Gila dan Sajak-sajaknya, Jerit Sunyi Kumbolo, Pertarungan dan Narator, Perempuan dan Lelaki di Sampingnya.
Cerpen Lelaki Pohon menarik karena naratornya adalah pohon-pohon sawit, tentang seorang lelaki yang dijuluki sebagai Lelaki Pohon yang tanpa pamrih merawat mereka selama bertahun-tahun dengan gaji yang sangat kecil. Demi kesetiannya pada pohon-pohon sawit itu, Lelaki Pohon menolak ketika ditawari pekerjaan yang lebih besar. Tragisnya, ia malah dipecat oleh pemilik kebun sawit, yang sama sekali tidak pernah menghargai pengabdiannya.
Daya tarik cerpen Orang Gila dan Sajak-sajaknya adalah keberanian cerpenisnya untuk menyindir “penyair” yang terlalu asyik bermain dalam dunia imajinasinya sendiri dan menuangkannya dengan kata-kata yang sulit dimengerti orang lain. Sang “penyair” akhirnya terjerumus ke dunia gelap orang gila dan “berbahagia” di dalamnya. Gaya bertutur cerpen ini sangat puitis sekaligus membuat pembaca bergidik karena imajinasi-imajinasi gilanya.
Hampir sama dengan Lelaki Pohon, narator cerpen Jerit Sunyi Kumbolo bukan tokoh manusia tapi alam, yakni Danau Kumbolo. Dengan majas personifikasi, Si Danau Kumbolo menceritakan seorang aktivis lingkungan yang berusaha menyelamatkannya dari pencemaran dan perusakan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Majas personifikasi dimanfaatkan dengan efektif dalam cerpen ini.
Di antara cerpen-cerpen nomine lainnya, cerpen Pertarungan memiliki plot dan efek dramatik yang paling kuat. Cerpen ini mengisahkan pertarungan habis-habisan antara seorang nelayan dengan seekor ikan layar besar yang terkena pancingnya, dengan latar romantika kehidupan masyarakat nelayan. Sayangnya, cerpen ini dengan gampang mengingatkan kita pada novel Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea) karya Ernest Hemingway, yang juga mengisahkan pertarungan habis-habisan antara seorang nelayan dengan ikan marlin raksasa yang terkena pancingnya.
Plot cerpen Narator, Perempuan, dan Lelaki di Sampingnya terasa datar. Namun, ada yang menarik pada cerpen ini, yakni perpindahan narator dan sudut pandang dari tokoh yang satu ke tokoh lainnya. Cerpen dibuka dengan memunculkan narator yang menuturkan situasi di sebuah stasiun, dan membuka kisah dengan sudut pandang orang ketiga tunggal (ia). Pada bagian berikutnya muncul tokoh perempuan sebagai narator dengan sudut pandang orang pertama tunggal (aku), dan pada bagian akhir pengarang memunculkan tokoh lelaki sebagai narator dengan sudut pandang yang sama (orang pertama tunggal — aku).
*
Beruntung sekali saya 7 (tujuh) kali berturut-turut dipercaya menjadi anggota dewan juri LMCR. Pada kesempatan ini, saya selalu bertemu dengan cerpen-cerpen karya anak-anak muda Indonesia yang bagus dengan teknik bercerita yang sering mengejutkan. Dari tradisi lomba ini saya menjadi tahu, bahwa banyak anak muda Indonesia yang memiliki bakat menulis dan potensi yang besar untuk menjadi cerpenis maupun novelis yang sukses.
Cerpenis-cerpenis unggul memang sering lahir dari lomba menulis cerpen, termasuk LMCR. Banyak cerpen yang bagus, unik, dan imajinatif, muncul sebagai nominenya tiap tahun. Karena itu, saya yakin LMCR akan banyak melahirkan cerpenis-cerpenis baru yang unggul. Tiap tahun, tiap lomba ini diadakan (dan kini sudah memasuki tahun ke-7), selalu saja ada cerpen-cerpen yang sangat mengesankan, dengan ide-de baru, dan gaya bercerita yang inovatif.
Cerpen-cerpen dari tahun sebelumnya yang masih saya ingat, antara lain adalah yang masuk nomine LMCR 2011. Misalnya, cerpen Attar yang mengisahkan dedikasi tinggi seorang relawan bencana Merapi. Uniknya, kisah dramatis ini dituturkan oleh sebatang pohon trembesi. Juga cerpen Topeng Bahgie di Tepi Keloyang dan Kutilang Mencium Bulan yang sangat puitis dan fantastis, layaknya dongeng kontemporer; atau cerpen Pada Petak Garam yang juga sangat puitis dan aneh tapi mempunyai pesan positif tentang keikhlasan berkorban untuk sang ayah.
Begitu juga pada LMCR tahun-tahun lainnya, selalu muncul cerpen-cerpen yang bagus, unik dan menarik, dengan tetap memiliki pesan yang positif. Tak heran kalau cerpen-cerpen karya para anak muda yang memenangkan lomba tersebut kemudian dapat dimuat di koran-koran nasional, seperti Kompas dan Republika. Semua itu makin meyakinkan saya bahwa dari tradisi LMCR Rohto-Mentholatum Golden Award yang dilaksanakan oleh Rayakultura, akan berlahiran cerpenis-cerpenis Indonesia yang unggul. Kiranya tepat jika tradisi kreatif ini perlu terus dipertahankan, serta perlu didukung oleh semua pihak.*
- Ahmadun Yosi Herfanda, sastrawan dan dosen creative writing Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong Tangerang, Jawa Barat