Article

CATATAN KALAU GURU BESAR – REKTOR – DEKAN – DOSEN MENULIS DAN BACA PUISI

Barusan Jumat sore ini saya mengikuti acara baca puisi Kelompok Poetry Society yang digagas Prof Riri Fitri Sari, sehubungan Dies Natalis 71 Tahun UI lewat Zoom.

Terkesan dengan tampilan puisi dan pembacaan puisinya, tanpa diminta, izinkan saya memberikan komentar dan sedikit ulasan, yang datang bukan dari seorang pakar kesusastraan, hanya saya peroleh dari kesukaan dan apa yang saya petik dari membaca serta tangkap selama saya menulis puisi sejak SMA. Tujuannya barangkali mudah-mudahan ada manfaatnya bila diterima sebagai masukan. Tidak lain tentu hanya ingin berbagi.

Kesan saya secara umum, bahwa minat dan semangat berpuisi puluhan guru besar, dan dosen sebagaimana sejak awal saya diundang untuk mengikuti pembahasan puisi Sabtuan di Zoom, sungguh sesuatu yang luar biasa. Hemat saya ini gejala yang menyehatkan. Ada sesuatu yang terberikan ketika kita menyukai berpuisi, bahkan yang kita dapat hanya dari sekadar berapresiasi terhadap puisi saja pun. Namun kelompok Poetry Society, saya kira lebih dari hanya menyukai, semua sudah menulis puisi.

Minat dan semangat itu sebetulnya sudah modal dalam menulis puisi. Selebihnya exercises. Menulis dan menulis, sambil menimba dari membaca dan membaca. Rujukannya khazanah sastra dunia. Di luar ihwal terinpirasi, puisi berisi pikir dan rasa yang meracik lahirnya sebuah makna. Makna tentang apa saja dalam hidup dan kehidupan.

Kalau ditanya apa kesan menyimak pembacaan puisi dan puisinya, saya membayangkan dulu di awal-awal, dan semua yang mulai menulis puisi sama mengalaminya. Mencoba dan mencoba.

Terus terang saya kurang sepakat untuk menulis puisi yang tematis, karena cenderung akan dicari-cari, lebih dari sekadar mereka-reka, barangkali juga mungkin dipaksakan. Barangkali itu sebab tadi Prof Prijono sahabat saya menulis puisi sejak tahun 1970, tidak ikut menulis puisinya.

Bahwa puisi ditulis lebih karena spontanitas, suatu respons terhadap apa yang ditangkap oleh semua indera, kemudian diolah oleh pikir dan rasa, sehingga menemukan esensi suatu makna, yang lalu disampaikan dengan kata yang indah. Puisi sejatinya ungkapan makna yang indah dengan kata yang indah. Dan di situ saya kira peliknya menulis puisi.

Barangkali itu mengapa menulis puisi yang betul puisi memang agak rumit. Itu sebab di dunia tidak banyak orang yang menyukai puisi melebihi kesukaan pada cerita pendek atau novel, pada prosa umumnya. Bahwa penggubah puisi, tergolong pujangga, penasihat raja, yang pikiran dan perasaannya jeli, mendahului apa yang orang awam tangkap.

Maaf dari apa yang selama ini saya tangkap dari apa yang saya baca, apa-apa yang saya peroleh dari pergaulan dengan penyair yang lebih senior, bahwa puisi juga bukanlah sebuah definisi. Bahwa puisi berpikir konvergensi, bukan divergensi. Puisi tidak cerewet seperti prosa, maka memetik dahan membuang ranting. Kalau puisi menjadi terasa cerewet itu karena pada satu angle, satu fokus, pilihan ingin menguraikan apa yang esensi untuk yang menjadi makna.

Jadi kalau mau menulis tentang almamater saya kira, bukan sosoknya, melainkan di balik sosok ada esensi apa, ada ruh apa, dan bukan sejarah universitas, misalnya. Puisi Ajat Rochaedi 1965 berjudul Almamater, yang tadi dibacakan oleh sahabat Tjut Rifameutia, kalau tidak salah, itulah sebuah rujukan bahwa puisi kampus itu selayaknya ditulis seperti itu. Tidak menyebut universitas, tidak menyebut jurusan, tidak menyebut kata-kata terkait dunia universitas, namun pembaca tahu maksudnya universitas. Hanya meminjam kata gerbang, dan yang lainnya kata kias, metafora, personifikasi. Maka kekuatan puisi itu pada gaya bahasa. Tanpa menyebut kata merah namun berhasil ditangkap oleh pembacanya kalau maksudnya merah. Itulah puisi.

Nah saya kira kekayaan menemukan diksi yang tepat, yang dalam hal tema almamater, disesuaikan dengan nuansa kampus, universitas, fakultas, dan lalu menemukan esensinya, itulah yang perlu digali, dan untuk itu perlu melatih diri.

Kosa kata perlu diperkaya, kreativitas perlu tambah mekar, dan rasa bahasa harus tajam. Bedanya puisi dengan prosa, puisi memanfaatkan gaya bahasa, kias atau simbol, metafora, hiperbola, selain irama, dan keterampilan memilih diksi. Itu sebab puisi sejatinya bukan bahasa tersurat, terlebih tersirat, dan itu yang menyebabkan puisi bisa dan boleh multitafsir.

Pemilihan kata untuk puisi tentu bukanlah idiom-idiom seperti ibu pertiwi, anak negeri, visi misi, alam semesta, misalnya, termasuk juga bukan harus memilih kata-kata serapan, bukan pula klise, melainkan kata yang lebih alami. Untuk membangun irama tidak lagi perlu mengejar bunyi akhir. Puisi bebas sekarang ini lebih mengejar makna, dan pilihan kata yang menyandang nuansa esensi makna yang diusung. Misal dengan memanfaatkan personifikasi agar lebih menghidupkan.

Di awal menulis puisi kita sering terjebak menjadi seperti menulis prosa, atau terjebak menuliskan kalimat yang dipenggal-penggal menjadi bait. Lain dari itu bahwa puisi bukan juga pidato, bukan pula seperti bertutur.

Saya mencatat puisi sahabat Sunu Wasono, sahabat Hari Untoro, sahabat Leila Mona, Arie Soesilo, dan Corina Riantoputra terasa sudah puisi. Demikian pula puisi sahabat Amelita Lusia, setidaknya itu ungkapan puisi.

Penyair-penyair profesional, dalam memilih dan menetapkan diksi saja perlu berdiskusi agar di antara beberapa yang bersinonim ada yang lebih bersesuaian dengan nuansanya, atau ada rasa bahasa yang tidak sama. Pertimbangan huruf vokal u, misalnya untuk nuansa sendu, sedang vokal a untuk nuansa suka cita.

Itu saja saya kira. Maafkan kalau terasa menggurui, ini hanya komentar, Bahwa semua penulis puisi di atas sudah sampai tahap sedemikian, sungguh sangat menggembirakan,mengingat saya di awal-awal dulu belum mampu seperti itu. Sudah puluhan tahun menulis puisi, sampai sekarang masih tetap merasa sebagai murid, sepertinya belum selesai puas bisa bagus menulis puisi.

Di bawah ini saya petikkan kliping tulisan saya di Kompas 2004 ihwal peran puisi dan kehidupan politik.

PUISI DAN POLITIK

TERASA ada yang berbunyi dalam pidato pengukuhan Guru Besar Alois Agus Nugroho. Bahwa kekuasaan dan kepemimpinan membutuhkan aspek puitis (Kompas, 4/06/04). Bunyi itu relevan dan menggelitik batin kita yang lagi bingung mencari pemimpin bangsa yang eligible.

Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran bahwa tanpa sentuhan “puisi” betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi “puisi-puisi” kehidupan. “Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari bahwa kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis.”

Pidato itu ditutup dengan pesan, “Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tidak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi, sudah semestinya keluar dari lingkaran elite”.
Menarik. Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?

Tidak ada catatan kita pernah punya presiden yang penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun beberapa presiden Amerika tercatat menyukai puisi, dan mantan presiden Abraham Lincoln sendiri penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman.Sentuhan puitis memberinya persona antiperbudakan,dan semangat demokrasi.

Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu kalau Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan presiden Ronald Reagan semasa hidupnya dulu kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematik.

Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi lantaran dibanding orang biasa kelebihan penyair memiliki kepekaan sosial, visioner, lebih dahulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.

Pablo Neruda, penyair Chili yang beradab dalam berpolitik, dan pernah menjadi kandidat presiden Chili sebelum mendapat Hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat dan memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jackues Chirac pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, “Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend”.

BUAT kita sendiri, sastra dan kesenian nyatanya semakin terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah kita lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.

Sekolah kita tidak mewajibkan sastra menjadi bagian dari kehidupan anak didik. Barangkali di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin itu pula sebab banyak produk pejabat yang tidak peka, kurang berempati, boleh jadi sebab pendidikan kurang memberikan ruang batin untuk membangun keelokan itu. Kalau ada juga pejabat berdeklamasi dan membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.

Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois di atas, bahwa dalam berpolitik, kita memerlukan lebih banyak sentuhan “puisi” agar bangsa tidak sampai tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi itu sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.

Puisi adalah petuah, mantera, dan kehidupan itu sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat sikap hidup insani menjadi halus dan lunak, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.
Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).

Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, melainkan bisa mencegah penyakit jantung, dan gangguan pernapasan juga. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/09/02). Dengan puisi temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.

BERPUISI, bersastra, dan berkesenian, harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidemensi kita diperburuk dan diperpelik oleh timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, namun mengabaikan pembangunan “inner beauty” bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat
berpolitik. ***

HANDRAWAN NADESUL, dokter, penulis kolom, dan buku.
(Kliping Harian Kompas 2004)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku