Article

Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

Desember adalah bulan perempuan. 22 Desember adalah hari ibu setelah sebelumnya diresmikan pada Kongres Perempuan yang diadakan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

Martabat seorang perempuan sejajar dengan laki-laki dan patut dihormati. Tapi hingga kini masih ada perempuan yang hidup dalam dunia patriarki. Sehingga eksistensinya menjadi minoritas. Lebih lagi bahwa perempuan itu adalah keturunan Tionghoa. Maka ia berminoritas ganda.

Kita perlu kembali pada sejarah perempuan itu sendiri terutama pada karya-karya sastra. Melihat bagaimana ia terdiksriminasi dan tersiksa. Bukan maksud untuk menakut-nakuti. Tapi dari pelajaran sejarah kita bisa mempelajari kesalahan masa lalu supaya tidak terulang di masa depan.

Naning Pranoto, seorang Novelis dan Penggerak Literasi menceritakan banyak kisah perempuan Tionghoa yang bisa diambil saripatinya. Hal ini tertuang dalam buku-bukunya yang berjudul Mei Merah 1998, Miss Lu, Musim Semi di Shizi, dan Naga Hongkong.

Semua novelnya berpijak dari kisah nyata. Supaya ada pelajaran yang dapat diambil pada tiap ceritanya. “Semua novel saya berpijak dari kisah nyata. Saya senang menulis bersifat naratif. Saya ingin membagikan cerita yang ada rasa air mata. Saya ingin menulis untuk pencerahan,” kata Naning di acara Serial Webinar Nggosipin Tionghoa Yuk!.

Bukunya, Mei Merah 1988 mengisahkan tragedi kelam pemerkosaan pemerempuan Tionghoa pada masa akhir kepemimpinan Soeharto. Inspirasinya dia dapat dari seorang anak gadis Tionghoa korban pemerkosaan.

Naning saat itu sedang menerapkan terapi pada perempuan yang kadung linglung itu. Dengan menulis puisi atau dalam istilah terapinya “menangis di atas kertas”.

“Dari situ saya tersentuh pengen nangis juga. Saya mengumpulkan kliping ingin menulis novel,” tutur Naning.

Selengkapnya

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku