Cerpen Ki Pawon Karya Heri Nurdiansyah
Ki Pawon
oleh Heri Nurdiansyah
Bila kalian berkenan, sempatkanlah datang ke desaku. Desa kecil yang tak begitu masyhur di pinggiran kota. Tak banyak orang yang mengenal desaku. Aku tak memaksa kalian untuk datang ke desaku. Akan tetapi, bila sekali saja kalian datang ke sini, kalian pasti akan merindukannya kembali. Lihatlah penyair itu! Fasih benar ia mengungkapkan kekagumannya pada desaku ini. Tak ayal lagi jika para pujangga pun menyebutnya bahwa tanah kelahiranku ini merupakan kreasi Tuhan yang tercipta tatkala Iatersenyum.
Aku yakin kalian pasti mulai membayangkan tentang alam desaku yang segar, asri, dan damai. Nuansa khas pedesaan nan elok dan memesona. Sawah menguning dan ladang hijau terbentang sejauh mata memandang. Butiran embun menetes di pucuk-pucuk pohon bak butiran mutiara bidadari terurai. Aliran air sungai memotong hamparan lembah di kaki bukit. Jika kalian tengah tepat berada di bawah teduhnya pohon rindang, maka diamlah sejenak. Fokuskanlah pendengaran kalian, maka lamat-lamat akan terdengarkicauan burung-burung kecil di atas pepohonan. Pun saat malam menjelang, maka desaku akan segera menyuguhkan lantunan suara serangga dan hewan-hewan nokturnal lainnya bersahut-sahutan meninabobokan tidur kalian. Seperti itukah imajinasimu membayangkan desa tanah kelahiranku ini? Si penyair itu pun begitu terpesona dibuatnya. Apa kalian ingat dengan bait-bait syairPriangan Si Jelitayang ditulis penyair itu? Itulah buktinya.
Bila kalian berkenan, sempatkanlah datang ke desaku. Desa kecil yang tak begitu masyhur di pinggiran kota. Tak banyak orang yang mengenal desaku. Aku tak memaksa kalian untuk datang ke desaku. Sekarang! Akan tetapi, bila sekali saja kalian datang ke sini, kalian pasti akan merindukannya kembali. Jika suatu saat kalian datang ke desaku, jangan lupa temuilah Ki Pawon, sesepuh desaku.
Tak ada yang pernah tahu persiskapan Ki Pawon dilahirkan, termasuk dirinya sendiri. Oleh sebab itu, aku dan semua warga desaku tak pernah tahu pasti berapa usianya kini. Ia memang tak pernah ingat dengan usianya, namun tanyalah ia seputar cerita-cerita desaku. Ia pasti akan sangat gamblang mengingatnya. Jika sudah seperti itu, niscaya kalian pasti akan berdecak kagum dibuatnya.
Pada suatu hari,iapernah bercerita tentangSang Kuriang kepadaku. Sebuah cerita lisan turun-temurun yang sangat melegenda di desaku. Saat itu, tentu saja aku begitu antusias mendengarkan ceritanya sampai khatam. Hampir tanpa celah ia menuturkan ceritanya. Garis-garis ketuaannya seolah berubah menjadi begitu tegasdan berwibawa, tatkala cerita tengah menuju pada klimaknya. Ia mengucapkan jampi-jampi Dayang Sumbi begitu lantang. Entah kekuatan apa yang sedang merasuki tubuhnya saat itu.
“Jampi saya, si urung gunung, kayu lametang urung dibuat perahu, Ci Punagara urung dibendung, bukan kehendak Sang Kuriang tapi kehendak Dayang Sumbi. Jadi, TIDAK! Jadi, TIDAK! Sang Kuriang TIDAK JADI kepada saya!”
Aku terkesima mendengarnya. Tubuhnya yang sudah rapuh dan lamban itu, tiba-tiba seakan menjadi begitu kekar dan kuat. Terlebih ketika lilitan urat-urat di lengan dan tangannya seolah hendak menyembul dari dalam kulitnya yang telah keriput itu. Ia terus saja bercerita dengan suara yang tak sedikit pun menunjukkan bahwa ia sesungguhnya telah uzur. Aku pikir, khatamnya cerita lisan itu setelah peristiwa Sang Kuriang menendang perahu sampai jauh hingga perahu itu jatuh tertelungkup, lalu terbentuklah Gunung Tangkuban Perahu. Tapi ternyata tidak! Ia terus saja bercerita dengan lanjutan cerita Sang Kuriang yang tak pernah aku dengar sebelumnya.
Kali ini, ia mulai memetakan setiap tempat di desaku yang berhubungan dengan cerita lisannya itu. Ia menuturkan bahwa puncak amarah Sang Kuriang itu sesungguhnya tidak sekadar sampai menendang perahunya saja. Akan tetapi, setelah itu, Sang Kuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang berlari menuju ke arah pegunungan di sekitar Bogor sekarang. Di pegunungan itulah kemudian Dayang Sumbi menghilang.
“Gunung Putri!” ungkapnya.
“Aku berharap, leluri sesepuh desaku ini kelak dapat lebih dikenal masyarakat,” anganku.
Sang Kuriang semakin kalap.Segala perangkat persiapan pesta pernikahannya dengan Dayang Sumbi diobrak-abrik. Semua barang yang ada ia lempar dan tendang sekenanya. Mulai dari perhiasan, alat tetabuhan, tempat beras, lumbung padi, hingga tungku untuk memasak. Bahkan hidangan yang sudah tersaji pun tak luput dari sasaran amarah Sang Kuriang.
Jika kalian bertanya, apakah cerita versinya itu memiliki bukti toponimi seperti halnya Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Putri? Aku pasti akan menjawabnya dengan tegas: Ada! Ya, lihatlah dengan saksama toponimi yang ada di sekitar desaku. Kalian pasti akan menyadarinya. Sebut saja namaPasir Manik yang berarti bukit perhiasan, Pasir Bende yang berarti bukit alat tetabuhan berupa gong kecil, Pasir Pabeasan yang berarti bukit tempat beras, Pasir Leuit yang berarti bukit lumbung padi, dan Pasir Hawu yang berarti bukit tungku. Sementara itu, hidangan yang terpencar kemudian diyakininyamembentuk Lembah Cibukur. Kata bukur itu sendiri berarti sisa-sisa makanan. Selain dari semua itu, tak kalah ketinggalan yaitu adanya Pasir Pawonyang berarti bukit dapur, salah satu tempat yang dikeramatkan di desaku.
“Karuhun urang Sunda teh di dieu,” kata Ki Pawon.
***
Malam itu, Ki Pawon berjalan sendirian menaiki bukit. Bongkahan-bongkahan batu gamping tampak berserakan di sana. Teksturnya sangat tak beraturan dan berelief kasar. Iaterus saja berjalan seolah tak merasakan lelah ataupun kesulitan melangkah. Tangannya memegang sebatang bambu seukuran dua kali ruas lengannya. Ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang telah lama bungkuk. Entah sejak kapan. Kebungkukan tubuhnya itu hampir sembilan puluh lima derajat. Warga desaku menduga bahwa itu pasti disebabkan karena kebiasaannya tidur yang selaludalam posisi ngaringkuk. Entahlah!
Tepat di salah satu sudut bukit, ia berbelok menuju ke arah bongkahan-bongkahan batu besar seukuran minibus. Bongkahan-bongkahan batu itu berdiri tegak sangat kokoh membentuk sebuah jalur gang. Sementara itu, di ujung “gang” itutampak dua bongkah batu besar yang saling berhadapan. Jika dianalogikan, struktur kedua bongkahan batu besar itu lebih mirip pintu gerbang. Aku sendiri tak pernah tahu apa nama tempat itu. Entahlah! Ia terus saja melangkah perlahan melewati “pintu gerbang” itu sambil melantunkan kidung berbahasa Sunda buhun—begitu liris.Apakah kalian berniat untuk datang ke desaku dan menemuinya sekarang? Jika iya, maaf kalian takkan menemukannya. Ia menghilang tadi malam!
Pagi ini semua warga desa mencarinya, termasuk aku.Pekerjaanmenambang batu kapur di salah satu bukit di desakulangsung kutinggalkandemi turut serta mencari sesepuh desaku. Hampir setiap sudut tempat yang ada di desaku dan sekitarnya telah kutelusuri. Pasir Manik, Pasir Bende, Pasir Pabeasan, Pasir Leuit, Pasir Hawu, Lembah Cibukur, dan Pasir Pawon. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Ia tidak ditemukan!
Tiga hari sudah ia menghilang dan tak satu pun dari kami yang mengetahui tanda-tanda keberadaannya. Langit desaku saat ini tampak membiru. Secara perlahan terseret lembayung senja di ufuk barat. Beberapa ekor kelelawar mulai tampak bermunculan di angkasa.Sesekali bergerombol kemudian berpendar, menghilang di Pasir Pawon. Langkah kakiku seketika menuntunku kembali menuju ke arah Pasir Pawon. Padahal siang tadi, aku dan warga desa telah pergi ke sana mencarinya. Detak jantungku berdegup keras. Jalanku pun menjadi cepat. Banyak sekali pohon kopi di sepanjang tebing yang kulalui. Tebing itu menjulang sangat tinggi berbalut warna emas kecoklatan. Jika kalian berada di sini, pasti akan terpesona menikmatinya!
Lembayung senja masih bergelayut di langit desaku. Sekawanan kelelawar beterbangan sehilir menghasilkan suara cericit yang tak berkesudahan. Kususuri sisi tebing hingga arah bawah sedikit. Pandanganku kini disuguhi ornamen purba. Sebuah celah di pinggir tebing, seumpama jendela besar pada ornamen rumah modern. Tibalah aku di mulut gua yang tampaknya sudah menunggu kedatanganku. Beberapa ekor kelelawar mulai menyambutku. Mereka keluar masuk mulut gua saling bergantian. Puluhan kelelawar—mungkin ribuan, menggantung tak bergeming menghiasi langit-langit dalam gua. Seketika saja, saraf sensoris indera penciumanku menangkap bau yang tak sedap menyeruak dari dalam gua. Guano!.
Aku masih tak berani masuklebih dalam ketengah gua, walaupun kini rincik hujan mulai turun. Belum sempat kupalingkan muka dan badanku untuk berbalik arah pulang, samar-samar kulihat sosok manusia di tengah gua.
“Mungkinkah itu Ki Pawon?” pikirku.
Kuamati dengan sangat cermat.Sosok manusia itu masih terlihat samar-samar, tapi aku merasa perwujudannya tampak asing bagiku atau mungkin perwujudannya itu menampakkan sosok manusia yang tak pernah kulihat sama sekali. Gerak-geriknya memperlihatkan bahwa ia tengah melumuri sesuatu dan suasana di sana pun terasa sangatkhusuk bak ritual keagamaan.
“Apa yang sedang ia lumuri?” tanyaku dalam hati.
Sesekali ia meracau. Entahlah. Bahasanya tak kumengerti atau bahkan tak pernah kudengar sama sekali. Hanya saja kurasakan ada aura kesedihan terpancar dari sosok manusia itu.
“Ia kelihatan seperti laki-laki. Ya ampun! Aku melihat empat objek lain yang diposisikan sama seperti objek yang sedang dilumuri lelaki itu, tapi yang lainnya itu sedikit lebih kecil,” ungkapku.
Aku semakin penasaran untuk mengetahui apa yang tengah kusaksikan di dalam gua ini. Kucoba memberanikan diri untuk lebih masuk ke mulut gua. Akan tetapi, kakiku tiba-tiba saja terasa amat sulit melangkah dan mulutku pun menjadi sukar berkata. Aku terpaku dan membisu.
Malam semakin larut dan rincik hujan pun telah reda. Hanya menyisakan tanah dan bebatuan yang basah. Entah sudah berapa lama aku berdiri di mulut guamenyaksikan “ritual pelumuran” itu. Sungguh, akutak pernah tahu. Hingga akhirnya, pundakku terasa ada yang menyentuh dari belakang. Ternyata itu adalah sentuhan tangan sesepuh desaku yang kucari, Ki Pawon. Aku sangat lega, ternyata ia baik-baik saja. Ia tadi tampaknya datang dari arah samping gua ini. Aku pun teringat kalau di sana itu sebenarnya masih ada satu gua lagi. Gua tersebut memang sampai sekarang jarang dikunjungi dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh kerapatan semak.
“Karuhun urang Sunda teh di dieu,” tutur Ki Pawon perlahan.
Ia terdiam sejenak. Aku pun juga.
“Guha Pawon, Guha Tanjung, Guha Peteng, Guha Ketuk, jeung guha-guha sejenna tong diruksak. Pasir Pawon, Pasir Tanjung, Pasir Manik, Pasir Bende, Pasir Ketuk, Pasir Leuit, Pasir Pabeasaan, jeung pasir-pasir sejenna tong diruksak,” lanjutnya.
Aku jadi ingat kejadian seminggu yang lalu. Separuh Pasir Tanjungtelah dirusak dan dihancurkan, termasuk salah satu gua yang ada di puncaknya. Ini dilakukan olehku dan para penambang batu kapur lainnya. Secara sporadis bongkahan-bongkahan batu gamping di dalam guaitu kuhancurkan dengan dinamit, tanpa melihat adanya nilai sejarah dan budaya purba yang dikandungnya. Oh, aku menyesal. Sungguh, aku memang tak tahu-menahu akan hal itu.
Bersamaan dengan bongkahan-bongkahan batu gamping yang kuhancurkan tadi, aku melihat tulang-belulang dan benda-benda seperti pecahan keramik dan bebatuan kecil berbentuk pipih. Iya, aku menyesal. Sungguh, aku benar-benar tak tahu-menahu akan hal itu. Hingga akhirnya kutahu kini, itu semua adalah benda-benda artefak prasejarah.
Tentang tulang-belulang itu, lagi-lagi aku tak tahu-menahu. Jika kutahu itu adalah tulang-belulang bernilai sejarah dan budaya purba yang sangat tinggi, mungkin saat itu aku takkan berani bermain lempar-lemparanseenaknya dan membuangtulang-belulang itu begitu saja. Aku sangat menyesal. Aku malu pada leluhurku karena seharusnya, aku dan warga desakulah yang pertama kali menghormati, menjaga, dan memelihara warisan budaya leluhurku, bukan paraarkeologitu. Lihat, inilah akibat dari segala ketidaktahuanku!
Apakah kalian masih ada niat untuk datang ke desaku? Setelah kalian tahu apa yang telah kuperbuat pada warisan peradaban leluhurku, atau mungkin juga warisan peradaban leluhur kalian?
Datanglah ke desaku sekarang! Bersiaplah melupakan bayangan kalian tentang desaku yang elok dan memesona itu. Relakanlah bayangan kalian tertiup hembusan angin yang bercampur dengan pekatnya debu-debu batu kapur atau bahkan tercabik-cabik oleh pongahnya tangan bercakar buldozer backhoe, seperti tercabik-cabiknya bongkahan-bongkahan batu kapur di bukit-bukit karstitu. Lihatlah pemandangan yang ada dan cermatilah adanya. Sesekali kalian akan memperoleh sensasi ketegangan luar biasa, ketika melihat para penambang batu kapur tradisional serta-merta tiada ragu memanjat dan bergelantungan di sisi tebing terjal dan rapuh itu. Demi upah tiga puluh ribu rupiah. Tak ada yang menjamin keselamatannya. Mereka hanya bergantung pada tali tambang yang dililitkan ke badan sekadarnya. Tangannya memegang linggis yang mereka fungsikan untuk mencongkel kepingan-kepingan batu kapur. Mereka seakan tak mau kalah berpacu dengan buldozer backhoe tadi. Itulah pekerjaan sebagian warga desaku, yang belum tahu-menahu itu, seperti keadaanku dulu. Ingat, janganlah kalian mencariku di sana, karena kini pekerjaan “merusak” itutelah benar-benar kutinggalkan. Maaf, seperti itulah suasana desakusekarang menyambut tamunya.
Janganlah kalian berbalik arah untuk pulang. Tapi sebaiknya kalian lanjutkan saja perjalanan. Hiraukan suasana sambutan desaku tadi, jika memang tak berkenan. Redamlah dulu gumaman kalian, karena di balik bukit inikalian akanmelihat pesona Lembah Cibukur.Di tempat itulah posisi yang paling tepat untuk mengekspresikan decak kagum kalian. Keindahan lembah itu benar-benartak akan kalah dibandingkan dengan bentang alam yang menjadi lokasi pembuatan iklan rokok yang sering muncul di televisi, Patanogia. Melihat pesonanya,pasti akan terasa cukup untuk membayar kekecewaan kalian pada suasana sambutan desaku tadi. Kembalilah kalian pada bayangan-bayangan tentang pesona Priangan Si Jelita yang diciptakan Tuhan ketika tersenyum itu. Di sinilah akan sangat begitu nyata adanya. Akan tetapi, aku sendiri tak pernah tahu sampai kapan pesona ini dapat bertahan, sedangkan di sudut lain bukit ini, sejarah dan budaya manusia masa silam tengah berjuang keras melawan gemerus keserakahan manusia modern. Ironis!
Mataku terbuka tatkala kumandang azan Subuh terdengar dari kejauhan. Kulihat sekelilingku. Kupandangi sekitarku. Kusadari ternyata aku tengah dalam posisi meringkuk di mulut gua. Posisi tubuhku meringkuk layaknya janin dalam kandungan seorang ibu. Aku pun beranjak. Pikiranku kemudian tertuju pada laki-laki yang semalam tampak melumuri lima buah objek di dalam gua. Entahlah. Aku pun juga teringat pada sesepuh desaku yang secara tiba-tiba muncul dari arah belakangku.
Kesadaranku kini perlahan pulih. Sedikit pun tak kulihat adanyatanda-tanda yang ditinggalkan sesepuh desaku dan laki-laki di dalam gua itu semalam. Walaupun hanya sekadarjejak telapak kaki atau apalah itu. Kucari mereka ke setiap sudut dalam gua. Tidak ada! Kucari mereka di antara semak belukar di sekitar gua. Tetap tidak ada! Aku pun menyerah.
Subuh ini, aku berjalan sendirian menaiki bukit. Bongkahan-bongkahan batu gamping tampak berserakan di sana. Teksturnya sangat tak beraturan dan berelief kasar. Aku terus saja berjalan tanpa rasa lelah atau kesulitan melangkah.Di salah satu sudut bukit, langkahku berbelok menuju bongkahan-bongkahan batu besar seukuran minibus. Di depanku tampak dua bongkah batu besar yang saling berhadapan. Jika dianalogikan, struktur kedua bongkahan batu besar itu lebih mirip pintu gerbang. Secara perlahan, aku melangkah melewati “pintu gerbang”itu. Tiba-tiba saja aku jadi sangat merindukan sesepuh desaku. Kehilangannya membuatku jadimiris. Di manakah ia sekarang?
Denyut jantungku berdebar hebat dan tarikan nafasku menjadi sangat cepat. Peluhku kini mulai membasahi setiap inci tubuhku. Garis-garis wajah Ki Pawontiba-tiba saja menjadi begitu nyata di dalam pandangan. Aku terus saja melangkah menyusuri “jalur gang” bebatuan itu. Tanpa kusadari, mulutku refleks melantunkan kidung berbahasa Sunda buhun—begitu liris. Aku sendiri merasa heran. Mengapa aku begitu fasih melantunkan syair kidung itu. Padahal aku sama sekali tak pernah mendengar ataupun menghafalkannya.Garis-gariswajah sesepuh desakukembali mengisi setiap pandangan. Tampak begitu nyata. Selang dari itu, hatiku tiba-tiba saja jadi merasa sangat tenang dan kekhawatiranku pada Ki Pawon pun jadi berkurang. Itu semua kurasakan karena kuyakin ia tengah tenang tertidur di dalam gua sambil menunggu kedatanganku nanti. Namun, ia tahu jika aku memang takkan datang menemuinya sekarang. Ya, ia tahu pasti bahwa aku akan datang menemuinya empat puluh hari lagi dengan membawa butiran tanah merah.
Aku berjalanperlahan. Baru kusadari, ternyata dari tadi tanganku ini dituntun sebatang bambu seukuran dua kali ruas lenganku.Kurasakan pandanganku kinimenjadi begitu dekat dengan tanah, hampir sembilan puluh lima derajat. Langkahku menjadi sangat lamban. Namun, aku terus saja melangkah dan tak peduli dengan keadaan tubuhku kini. Akan tetapi, aku justru lebih memikirkan kalian. Apa sekarang kaliantelah sampai di desaku? Jika ya, maaf sebaiknya kalian pulang saja dan janganlah kembali ke desaku lagi. Jangan usik desaku! Biarlah desaku tetap terlelap didekap selimut hangat warisan peradaban purbanya.Seperti dahulu ia begitu setia mendekap hangat tubuh leluhurkami di desa tanah kelahiranku ini. Sendirian!
(8 Juni 2013)