Cerpen Kita

DAUN TEBU KEEMASAN

Cerpen Pemenang I - Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi – ICLaw Green Pen Award 2019

Oleh Pipiek Isfianti

“Gus, tolong cari bapakmu. Sudah hampir adzan maghrib. Sejak tadi siang belum makan,” kata ibu sendu. Matanya yang sudah menua itu tampak semakin lelah.
Aku yang saat itu sedang merevisi skripsiku seketika menghentikan tanganku yang sedang menari di atas tuts laptop,

“Baik Bu,” jawabku singkat. Tanpa perlu bertanya harus mencari bapak kemana dan di mana. Semua orang di rumah ini, ibu, aku, kedua adikku Mae dan Naja, tahu ke mana harus mencari bapak.
Pelan kustater motor bututku. Selesai ke luar dari kampungku, aku harus memutari tembok perumahan yang membatasi perumahan dan kampungku hingga bisa sampai di pintu gerbang. Sesampai di pintu gerbang perumahan, seperti biasa dua satpam yang berjaga di sana langsung mengangguk melihatku. Mereka tahu persis untuk apa aku hampir tiap hari memasuki gerbang perumahan, padahal tak punya rumah atau pun kenalan di situ.

Setelah melintasi blok A, B, C dan D, akhirnya sampailah aku di blok E, yang sebenarnya hanya berbatasan tembok dengan kampungku. Jadi kampungku dan perumahan itu hanya dibatasi oleh sebuah tembok yang mengelilingi perumahan.

Sampai di Blok E yang paling ujung, aku lagi-lagi terpekur. Dadaku kembali terasa sesak, padahal sudah berkali-kali bahkan puluhan atau bahkan ratusan kali aku melihat pemandangan seperti itu. Melihat punggung bapak yang membelakangiku. Melihat sepedanya yang bersandar di batang tebu dengan begitu saja, juga menyaksikan asap rokok mengepul dari balik wajahnya. Tubuhku bergetar, melihat punggung tua itu semakin kurus dan mengecil saja. Punggung yang sebelum ini selama puluhan tahun menjadi tulang punggung keluarga kami. Punggung yang selama ini membungkuk untuk menanam tebu atau mengangkut batang-batang tebu yang menjadi sumber kehidupan kami.

Aku mendekati lelaki lima puluh delapan tahun, pengukir jiwa ragaku itu. Angin sore berdesir, langkahku terdengar bapak. Ia pun menatapku sekilas, tersenyum lamat, tapi kembali berpaling, menatap kembali daun-daun tebu yang berwarna keemasan ditimpa cahaya matahari yang mulai bergerak ke arah barat,
“Bapak, diminta ibu pulang, hampir maghrib. Bapak juga sedari siang belum makan kan Pak?” kataku hati-hati.
Bapak mengangguk, kembali tersenyum lamat. Tapi ia kembali menyalakan rokoknya yang tadi sepertinya sempat mati karena angin.

“Lihatlah Gus, batang-batang tebu ini sudah mulai membesar dan tinggi,” kata bapak tiba-tiba, sembari mengelus sebuah batang tebu di depannya. Dengan begitu hati-hati, bapak mengelus lapisan lilin di batang tebu yang berwarna putih keabu-abuan itu. Tangan tua dan hitam bapak, agak berhenti saat jarinya menyentuh ruas-ruas batang yang dibatasi oleh buku-buku yang merupakan tempat duduk daun. Lalu tangan bapak berhenti mendadak saat tiba pada ketiak daun tempat terdapat sebuah kuncup. Tiba-tiba bapak mencium kuncup itu lembut.

“Hem..baunya mulai mengharum. Biarkan aku sejenak di sini dulu ya.” kata bapak tenang.
Tubuhku bergetar. Lalu kuhela napas panjang, mataku mulai memanas. Ya, sejak tiga tahun lalu, aku harus rajin meminta bapak pulang dari kebnn tebu yang luasnya hanya tujuh kali empat belas meter ini. Itu satu-satunya kebun tebu yang masih ada di kampungku, bahkan mungkin di desaku. Kebun tebu itu bukan milik bapak, tapi milik bulik (ibu cilik alias bibi) Ainun, adik bapak. Kebun itu pun sama sekali tak terurus, karena ditinggal bulik Ainun dan keluarganya entah ke mana setelah peristiwa yang membuat luka hati bapak, hati kami sekeluarga.
Sungguh, tiba-tiba peristiwa itu berkelebat di kepala, menorehkan rasa nyeri. Walaupun mati-matian selama ini kami coba untuk menghapusnya, tapi nyatanya masih saja terasa. Sore itu bulik Ainun datang ke rumah kami. Bapak disodorinya brosur-brosur tentang umroh. Mata bapak seketika bersinar-sinar, apalagi bulik Ainun menceritakan bahwa biro perjalanan milik suami barunya yang ia kenal saat menjadi TKW itu memberi diskon yang besar jika berangkat umroh tahun saat brosur tersebut ditunjukkan pada bapak.
“Tapi aku uang darimana Nun, untuk bisa berangkat umroh?” tanya bapak. Ada rasa kecewa di nada suara bapak.

Suami bulik Ainun yang baru menikahinya tiga bulan lalu itu, Om Hasim langsung membujuk bapak agar menjual kebun tebunya. “Dijual saja kebun tebunya Kang,” kata Om Hasim.
Mendengar jawaban adik iparnya itu, mata bapak langsung terbelalak, kepalanya menggeleng kuat-kuat, “Tidak bisa, lalu aku kerja apa? Kebun tebu itu yang telah menghidupi keluargaku selama puluhan tahun. Sejak sebelum aku menikah, sampai anak-anakku lahir,” tegas bapak.

“Bagus kuliahnya kan dapat beasiswa.Gratis, Kang. Mae dan Naja juga habis lulus SMK akan bekerja,” jawab bulik Ainun. “Ayolah Kang, ini kesempatan luar biasa. Kapan lagi Kang Bahar mau berangkat umroh. Masak hidup sekali kita nggak bisa menginjakkan kaki ke TanahSuci. Sia-sia sekali hidup kita Kang.”

Ibu yang tadi terdiam, ikut membujuk bapak. “Pak, kalau bapak ingin berangkat, jual saja kebun tebu kita. Tak apa-apa Pak. Asal bapak bisa berangkat umroh. Ibu kan masih bisa jualan sayuran di pasar.”
Bapak terdiam. Lalu menghela napas. Terasa begitu berat. Aku sebagai anak sulungnya, anak lelaki satu-satunya, yang tahu persis bagaimana bapak begitu mencintai kebun tebunya itu menjadi begitu paham apa yang dirasakan bapak. Aku bisa menangkap keresahan bapak. Bayangkan aku yang sejak kecil selalu menemani bapak bekerja, menghabiskan waktunya di kebun tebu kami. Dengan mata kecilku, aku melihat bagaimana menyatunya bapak dengan kebun tebunya. Aku melihat bagaimana bapak sejak mulai memilih bibit tebu sampai memanennya.

“Gus, lihat kemari, bibit tebu itu ada empat macam. Bibit pucuk, batang muda, rayungan dan siwilan,” kata bapak seperti dosenku jika sedang menerangkan mata kuliah. Ia sangat paham akan pekerjaannya sebagai petani tebu yang dituruninya dari kakekku. Lalu bapak menerangkan dengan penuh semangat, bahwa pada bibit pertama atau bibit pucuk, kita dapat mengambilnya dari tanaman tebu yang telah memasuki umur satu tahun.
“Nah kita ambil sebanyak dua sampai tiga buah tunas muda yang panjangnya antara 20 centimeter,” lanjut bapak menggebu.

Aku manggut-manggut. Bapak memang sudah menyatu dengan tanaman bernama tebu itu. Ia juga menyatu dengan tanah yang diolahnya, sepenuh jiwa. “Nenek moyangku itu, ya kakek nenek buyutmu itu adalah petani, Gus. Mereka hidup dari tanah, air, dan udara yang diciptakan Tuhan. Makanya kita harus menjaga bumi ini dengan sepenuh jiwa kita. Jangan sampai kita melukai bumi, sesuatu yang telah menghidupi kita selama ini,” nasihat bapak padaku dengan sungguh-sungguh.

Bapak adalah salah seorang yang aku tahu betul selalu menjaga bumi, yang kata bapak jangan sampai terluka. Ia mengolah tanahnya dengan segenap jiwa raganya, menanam tebu. Ia mempelakukan bumi ini dengan penuh cinta, karena sadar bahwa dari bumilah kami sekeluarga hidup. Maka ia terus menikmati semua proses tanam tebu itu. Selama itu segala harapan dan doa tercurah, agar panen tebu berhasil. Kala musim tanam tebu, bapak menyambutnya dengan riang gembira. Karena di daerahku merupakan daerah kering, maka musim tanam tiba pada bulan Oktober hingga Desember.
Bapak juga pernah bilang, jika menanam tebu harus dengan hati yang riang gembira. Tebu juga harus ditanam saat cuaca dan langit cerah. “Karena tebu itu penghasil gula, bagaimana mungkin tebunya akan manis, kalau kita menanamnya dengan marah? Nanti gulanya jadi pahit!” kata bapak sembari terkekeh.

Mungkin bapak sedang bercanda dan menggodaku, karena aku yang saat itu harus membantunya menanam tebu sedang dalam keadaan marah.

Aku juga ingat bagaimana bapak menyiapkan sendiri lahan yang hendak ditanami tebu. Ia membajak lahan, agar menjadi gembur. Kemudian ia membuat alur-alur untuk memulai menanam bibit tebunya.

Bapak dan tebu memang tak bisa dipisahkan. Aku sejak kecil, menikmati dan menyaksikan hal itu. Apalagi jika musim panen tiba. Alangkah ramai dan riuhnya desa kami. Truk-truk pengangkut tebu akan hilir mudik datang ke desaku. Mengangkut batang-batang tebu yang akan disetor ke Pabrik Gula yang letaknya tak begitu jauh dari desaku, untuk proses giling menjadi gula.

Aku ingat betul, jika truk-truk itu mulai lewat melintas, aku dan teman-temanku akan berebut menarikki tebu yang menjuntai ke bawah. Kami akan bersorak girang, jika salah satu di antara kami berhasil mendapatkan sebatang tebu.
Jika melihat hal itu, bapak pasti marah, “Jangan ikut-ikutan menariki tebu yang diangkut truk yang sedang berjalan. Itu bahaya!” kata bapak keras. Aku mengiyakannya. Tapi bapak tak tahu, setelah itu aku bersama teman-temanku bergantian menariki batang-batang tebu yang diangkut oleh lori-lori kereta pengangkut tebu milik Pabrik Gula di kotaku. Karena letak pabrik yang tidak seberapa jauh dari desaku, membuat aku dan teman-temanku akan sering ke sana.

Kemudian kami berdiri di sepanjang rel, menunggu lori-lori yang mengangkuti tebu. Sama seperti saat kami menariki batang-batang tebu dari truk yang melintas, menarik batang tebu dari lori lori kereta pengangkut tebu justru lebih seru. Padahal, bisa saja kami dengan mudah mengambil dari kebun, tapi entahlah ada perasaan yang meluap jika berhasil menarik tebu dari truk ataupun dari lori kereta. Saat lori akan melintas, kami siap-siap di pinggiran rel. Lalu begitu lori-lori itu berada tepat di depan kami, secepat kilat kami berebutan menarik batang-batang tebu yang sudah disusun di lori- lori kereta. Kami pun terbahak jika berhasil.

Aksi kami berhenti serta lari tunggang langgang, jika suara mandor pabrik gula sudah meneriaki dan memarahi kami. Ia mengacung ngacungi kami dengan batang tebu yang panjang. Sungguh, itulah masa-masa yang paling membahagiakan bagiku. Walaupun aku baru tahu sekarang, bahwa musim panen sebenarnya juga belum musim yang sepenuhnya menggembirakan bagi bapak dan petani tebu yang lain. Setiap tahun mereka akan selalu was was dengan hasil panennya. Sering, angka rendemen atau kandungan gula dalam tebu tidak menggembirakan. Hanya mencapai 6,5 persen yang artinya hasil yang diperoleh bapak hanya menutup ongkos produksi. Tapi entahlah, bapak sepertinya menjalani semuanya dengan lapang dada. Tak pernah ia memperlihatkan rasa kuatirnya kepada kami. Ia terus menanam tebu, terus menanam dan menanam dengan sepenuh hati.

Datanglah musim giling tebu yang begitu kami tunggu-tunggu. Yakni mantenan tebu. Menikahkan dua batang tebu sebelum masuk ke penggilingan. Tradisi yang digelar tiap tahun ini persis pernikahan dua sejoli yang begitu meriah. Dua batang tebu yang telah diberi nama pria dan wanita dinikahkan di masjid desa dengan proses ijab kabul.\

“Supaya memberi keturunan tebu yang banyak dan bagus,” terang bapak.”Supaya bumi menerima ikhtiar kita untuk melalui proses tanam selanjutnya. Karena bumi itu hidup, Nang. Bumi punya perasaan, sehingga ia harus kita hormati dan kita jaga dengan segenap jiwa,” sambung bapak begitu sungguh-sungguh. Aku sendiri hanya melongo mendengar kalimat-kalimatnya yang ia ucapkan dengan suara bergetar itu. Aku tak paham maksud bapak saat itu. Aku baru paham saat menjelang akil baligh.

Setelah proses ijab kabul, dengan dipimpin tokoh adat desa, manten tebu diarak dengan membawa tandu oleh beberapa pengiring dengan pakaian Jawa lengkap. Kirab berjalan menuju Pabrik Gula. Selanjutnya memasukkan pasangan penganten tebu itu ke tempat penggilingan tebu. Pasangan penganten akan disambut meriah dengan gending-gending Jawa dan sorak riuh penonton yang mengelu-elukannya. Aku selalu bergidik jika sampai pada proses itu. Sebab pengantin tebu itu di mataku bagaikan dua orang yang betul-betul hidup. Auranya memancar seperti manusia, padahal hanya dua batang tebu yang didandani seperti pengantin manusia.

Sampai di mesin penggilingan, manten tebu akan diterima oleh Kepala Pabrik Gula. Ia menerima seserahan yang dibawa oleh sesepuh desa kami. Selanjutnya, tibalah saat yang membuat warga yang menyaksikan akan berdebar. Yaitu saat manten tebu dibawa beramai-ramai menuju tempat penggilingan tebu. Di belakang tandu penganten, ada beberapa batang tebu sebagai simbol rendemen kali ini. Ada juga kembang mayang dan janur kuning yang menyertai seserahan pengantin itu.

Di dalam pabrik, ramai ratusan orang sudah menunggu untuk menyaksikan puncak dari proses mantenan tebu. Suara sorak sorai manusia berbaur dengan riuhnya suara mesin penggilingan yang telah menyala hidup dan memekakkan telinga.
Lalu, dimasukkanlah sepasang penganten tebu itu ke dalam mesin penggilingan. Kres kres kres…suaranya terasa menggilas di hatiku. Selanjutnya, menyusul beberapa batang tebu yang mengiringi kembang mayang dan janur kuning. Semua hancur lebur, digilas habis oleh mesin penggilingan yang menderu.

Orang-orang akan saling berebut untuk mendapat sisa dari penggilingan sang pengantin tebu. Begitu pula bapak. Kata bapak, sisa penggilingan pengantin tebu itu adalah berkah supaya hasil panen ke depan bagus dan tidak mengecewakan.

“Ini juga bentuk rasa syukur bahwa Allah sudah memberikan bumi dan seluruh isinya untuk kita ambil manfaatnya,” kata bapak sembari matanya berkaca-kaca tiap kali usai menyaksikan acara manten tebu.

Malam harinya, akan diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di halaman Pabrik Gula. Bersamaan dengan digelarnya pasar malam yang menjual berbagai jenis makanan dan dolanan anak-anak. Bapak akan membebaskan kami membeli jajanan dan dolanan yang hanya bisa kami beli jika ada pasar malam seusai panen. Ibu juga boleh memilih baju dan kerudung baru, yang hanya bisa dia beli saat musim panen tiba. Seusai berbelanja, bapak juga akan mengajak kami makan sate kerbau, makanan khas daerah kami. Sate Kebo Kudus, memang lain rasanya dibandingkan dengan sate ayam maupun sate kelinci.

Sate Kerbau Kudus dihidangkan dengan nasi dan sambal bumbu kacang. Ditambah sambal dari cabai merah dan hijau yang digerus halus setelah direbus. Yang aku suka, aku bisa mengambil bumbu kacang sepuasnya. Karena ditempatkan di piring yang berbeda. Bumbunya hem… enak sekali. Perpaduan antara rasa manis dan sedikit pedas. Mungkin terasa sangat manis bagi lidah orang di luar Kudus. Daging kerbaunya terasa sangat lunak. Sebab memang direbus berjam-jam, kemudian ditumbuk sebelum dibumbui dengan ketumbar dan rempah-rempah yang terasa meresap sampai ke dalam dagingnya.

Bapak sering bercerita, bahwa sate kerbau bukan sekadar makanan khas daerah kami. Tapi ada sejarah yang luar biasa yang mengiringi keberadaan sate kerbau. Ia menjadi simbol toleransi beragama antara umat Islam dan Hindu. “Karena sapi bagi masyarakat Hindu merupakan hewan suci, maka untuk menghormati umat Hindu yang telah terlebih dahulu ada di Kudus, Kanjeng Sunan Kudus melarang umat Islam di Kudus menyembelih sapi ataupun mengkonsumsinya sebagai makanan. Itu memang bukan perintah agama, tapi perintah leluhur, nenek moyang kita. Bagi bapak sendiri berpedoman, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Kata-kata bapak itulah, yang akhirnya baru aku pahami saat aku mulai beranjak remaja, membuatku tak pernah berani memakan daging sapi, walau aku ingin sekali. Bapak, juga warga Kudus lain yang masih menjunjung tinggi pesan Kanjeng Sunan Kudus, setiap hari raya kurban, tak ada yang menyembelih sapi. Yang mereka sembelih kerbau atau kambing. Sayangnya, sekalipun sate kerbau adalah makanan khas daerahku, tapi kami sangat jarang memakannya. Karena harganya yang mahal bagi ukuran kami. Maka, kami hanya bisa makan sate tersebut di saat hari raya kurban dan di saat musim panen tebu. Kenangan itu begitu melekat di batok kepalaku, membuat aku begitu merindukan masa-masa itu.

Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah, menjadi hal yang menyakitkan bagi keluarga kami. Terlebih buat bapak. Keinginan yang begitu besar dan kuat bapak untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci, membuat bapak akhirnya menjual kebun tebu satu-satunya, peninggalan orang tuanya kepada pihak perumahan untuk dijadikan rumah di blok E ini. Aku memahami hal itu. Bapak ingin sekali berangkat umroh, sebuah keinginan yang bertahun-tahun ia impikan. Bahkan sejak kecil. Sebab bapak berkeyakinan, bahwa belum sempurna hidupnya jika belum menginjakkan kaki ke Tanah Suci.

Impian-impian bapak melihat Nabawi dan Kabah, akhirnya hanya menjadi sebuah hal yang paling memilukan, saat keberangkatan yang ditunggu tak kunjung tiba. Bolak balik bapak mengurusnya di kantor biro yang katanya milik suami baru bulik Ainun itu. Pihak biro selalu menyatakan, karena sesuatu hal keberangkatan umroh bapak diundur. Entah sampai kapan.

Hingga pagi itu kulihat bapak duduk mematung di teras depan. Wajahnya mengeras, tapi matanya kosong dan tubuhnya seperti lunglai tak berdaya. Ibu menangis tersedu di ruang tamu. Baju-baju ihram dan koper yang sudah dipersiapkan, tergeletak begitu saja. Menjadi saksi pilu, bahwa telah ada kepastian bahwa keberangkatan umroh bapak beserta puluhan calon jamaah yang lain gagal. Biro haji dan umroh itu ternyata penipu. Bapak sudah kehilangan segala-galanya: kebun tebunya, harga dirinya, impiannya untuk bisa melihat Baitullah secara langsung, yang selama usia bapak hanya bisa dilihatnya di sajadah lusuhnya.

Bulik Ainun dan keluarganya tiba-tiba raib entah kemana. Tapi bapak tak pernah dendam pada adik satu-satunya itu, juga pada suaminya. Bapak menerima kekecewaannya untuk dirinya sendiri. Tapi kami tahu, bahwa bapak begitu sakit dan terpuruk. Hingga membuatnya menjadi berubah. Mata tuanya tak lagi menyala-nyala seperti dulu. Tubuhnya yang sekalipun telah mulai menua tapi tetap tegap dan kekar dulu, tiba-tiba mulai membungkuk dengan cepat. Bapak juga semakin menjadi kurus dan pucat.

Sejak peristiwa itu, bapak seperti kehilangan dirinya. Setiap sore menjelang senja, ia pergi menuju perumahan yang telah membatasi dirinya dengan tembok tinggi. Bapak selalu mengunjungi kebun tebu milik bulik Ainun yang juga entah keberadaan kebun itu menjadi milik siapa. Tidak jelas, apakah masih menjadi milik bulik Ainun ataukan sudah berpindah tangan? Yang jelas, hanya sepetak kebun itu saja yang masih tersisa, itu pun telah berada di lingkungan perumahan. Tak terurus dan terbengkelai.

Bapaklah yang selama ini berusaha merawatnya dengan sekadarnya, Karena memang sejak dulu bulik Ainun yang bertahun-tahun menjadi Tenaga Kerja Wanita di luar negeri telah mempasrahkan perawatan kebun tebu bagian dari orang tuanya itu kepada bapak, dengan sistem bagi hasil. Bedanya jika dulu bapak melakukannya dengan penuh semangat, kini hanya sekadar untuk bisa menatapi daun-daun tebu keemasan kala senja menjelang tiba. Menampung air dari hujan atau dengan sepedanya membawa jerigen untuk menyiraminya. Tentu saja hanya ala kadarnya. Tapi bagi bapak bergulat kembali dengan tanaman tebu, seperti hendak berusaha kembali mencoba membangkitkan semangatnya, menghidupkan kembali jiwanya, meski itu terasa sangat sulit.

Bapak hanya bisa menatap daun-daun tebu yang keemasan ditimpa cahaya matahari sore. Pucuk pucuk daun tebu yang melambai- lambai itu seperti merupakan hiburan yang luar biasa bagi bapak. Untuk melupakan sakit hatinya. Untuk melupakan kebun tebu miliknya yang tepat berada di sebelah kebun tebu bulik Ainun yang sekarang telah menjelma menjadi rumah.

Suara adzan maghrib bergema teramat syahdu, aku tergeragap dari lamunanku. Kuhapus mataku yang membasah. Kutatap tubuh bapak yang semakin mengecil tertimpa bayang senja. Sementara daun-daun tebu keemasan seperti mengejek padaku, bahwa aku belum bisa melakukan apa pun untuk bapakku.

Kutatap lekat-lekat daun tebu yang hanya terdiri dari pelepah dan helaian daun itu dengan entah perasaan yang bercampur aduk. Daun yang tanpa tangkai, polanya berselang seling begitu indah jika tertimpa sinar matahari sore. Pola daun-daun itu bagaikan buliran emas jika berbaur dengan sinar mentari yang berarak ke barat. Aku sentuh pelepah daunnya yang terdapat bulu-bulu halus. Dulu saat aku kecil, bulu-bulu daun itu sering membuat tubuhku gatal-gatal. Sepulang sekolah hampir sepanjang hari aku menghabiskan waktu di kebun tebu bersama bapak.

Daun-daun tebu keemasan itu tiba-tiba melecut semangatku untuk bisa mempersembahkan lagi sebuah kebun tebu untuk bapak, entah bagimana caranya. Ya, aku bertekad akan mengembalikan “hidup” bapakku. Aku berjanji akan kusatukan lagi bapak dengan bumi, tanah, air, dan udara yang telah menjadi nyawa bagi bapak, yang sebenarnya juga menjadi nyawa bagi seluruh isi bumi ini.

Kuhela napas panjang. Aku serasa mendapat kehidupan baru dari daun-daun tebu keemasan yang melambai-lambai di hadapanku itu. Kudekati bapak, kupeluk dia dari samping.

“Bapak, ayo pulang. Aku sedang menulis skripsi. Doakan sebentar lagi lulus. Supaya cepat dapat pekerjaan yang bagus. Aku janji, akan membelikan bapak sepetak kebun tebu, agar bapak tiap sore bisa memandang daun tebu keemasan ini di kebun milik kita sendiri, seperti dulu Pak, iya seperti dulu!”
Tiba-tiba bapak memelukku lebih erat, sangat erat, seperti pelukannya saat aku masih kecil dulu. ”Aamiin..aamiin Ya Allah…,” kata bapak lirih. Suara adzan maghrib semakin menggema, dan daun-daun tebu keemasan seakan mengamini doa-doa kami.*

Kudus, saat musim ketigo.

Tags

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku