Ditulis Oleh : Naning Pranoto
“Ada satu novel yang harus dibaca sebelum Anda mati, itulah Don Quijote”
(Ben Okri, Sastrawan Posmo Terkemuka – Nigeria)
Tentu saja saya sependapat dengan Ben Okri yang karya-karyanya saya kenal sejak pertengahan tahun 90-an kala saya belajar creative writing di Negeri Kanguru. Karena Novel Don Quijote merupakan salah satu bacaan wajib yang harus kami baca dan telaah, selain Novel Animal Farm karya George Orwell. Kedua novel tersebut memang sastra yang bernas disajikan secara nyleneh. Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616) pengarang Don Quijote maupun George Orwell (1903-1950), keduanya merupakan sastrawan yang sangat piawai berimajinasi dan berpikir melampui batas atau out of the box. Pola imajinasi dan pola pikir yang demikian selalu membuat saya jatuh hati untuk berguru pada mereka melalui karya-karyanya. Sepertihalnya saya juga haus berguru pada karya-karya Toni Morrison, Maya Angelou, Nawal el Sadaawi dan sastrawan lainnya peraih Nobel Sastra. Karya-karya mereka sebagian ada di rak buku saya sebagai ‘harta’ sangat berharga.

Kembali pada Novel Don Quijote, jauh-jauh waktu sebelum belajar creative writing, saya sudah membacanya hingga saya mengenal tokoh Don Quijote. Orang yang memperkenalkan saya pada novel Spanyol itu adalah bibi saya, seorang dokter ahli mata yang mengasuh dan mendidik saya sejak kecil hingga dewasa. Bibi saya itu hobinya membaca. Ia memperkenalkan pada saya tidak hanya buku-buku karya Anak Negeri, tapi juga penulis dan pengarang kelas dunia. Sehingga ketika saya kuliah di Fakultas Bahasa dan Sastra, merasa tidak asing lagi pada buku-buku bacaan yang diwajibkan untuk ditelaah. Karena hampir 90% telah saya kunyah dan nikmati sejak usia dini. Efeknya, membuat saya tertarik membaca buku-buku ilmu budaya, filsafat dan sospol hingga menjadi semacam ritual dan menghela saya menjadi lonely traveler.
Bukan Don Kizot dan Gemilang Pustaka Obor
Kembali pada Novel Don Quijote! Ya, ya, saya sudah membacanya novel itu sejak usia kira-kira 10 tahun atas ‘perintah’ bibi saya yang tadi sudah saya sebut, seorang dokter ahli mata. “Ini kamu baca Don Kizot. Selain lucu, kamu bisa belajar jadi banyak akal dan berpengetahuan luas.” Kata bibi saya, sambil menyodorkan buku ukuran saku bergambar seorang satria bertubuh kurus mengendarai kuda yang mirip keledai.
Kemudian, buku dari bibi saya tersebut saya baca. Saya pun paham siapa sosok ksatria bertubuh kurus yang naik kuda yang mirip keledai itu adalah Don Kizot dari La Mancha Spanyol. Bukunya tidak tebal, berisi sekitar 10 judul cerita kalau tidak salah, judulnya Petualang Don Quixote. Isi ceritanya lucu-lucu. Yang paling saya ingat adalah ketika ia mengaku-aku sebagai seorang ksatria ketika menginap di sebuah losmen sangat buruk, tapi dalam imajinasinya losmen itu merupakan hotel itu sangat mewah. Ia merasa dilayani para perempuan jelita. Padahal para pelayanan losmen itu jauh dari sebutan jelita. Maka mereka sangat terkejut dan heran ketika dipuji berparas jelita. Demikian pula hidangan yang disajikan dianggapnya makanan mewah, padahal hanya sup kentang dingin dan sepotong roti. Di balik kekonyolan imjinasi Don Kizot, ada nilai-nilai filosofi yang mengajarkan bahwa kita wajib menghargai siapa pun, benda-benda seburuk apa pun dan bersyukur saat menikmati makanan yang kita santap.
Sekitar setengah abad lebih, pada satu siang di bulan Juni 2019, saya mendapat kiriman dua buku bersampul kuning sangat tebal, berilustrasi seorang ksatria bertubuh kurus naik kuda bersama pengawalnya. Masing-masing terdiri 572 halaman dan 566 halaman. Judul buku Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan Don Quijote dari La Mancha Lijid II karya Miguel de Cervantes, pengirimnya Ibu Kartini Nurdin, Pimpinan Penerbit Pustaka Obor.
Waowww… dapat kiriman Novel Don Kizot! – saya menjerit riang. Dengan tergesa-gesa Buku Jilid I saya buka. Ooohhh… saya dapat novel asli Don Kizot, yang diterjemahkan dari Bahasa Spanyol oleh Prof. Apsanti Djokosujatno – empu penerjemah. Langsung saya baca Catatan Penerjemah – Ibu Apsanti (halaman ix) yang bekerja keras untuk menerjemahkan novel klasik sepanjang masa itu, selama bertahun-tahun. Yang paling terkesan dan bermanfaat dari catatannya, saya mendapat pengetahuan baru tentang pelafalan nama Don Kizot secara benar yaitu dibaca Don Kikhote dari spelling aslinya Don Quijote. Maka, untuk selanjutnya dalam tulisan saya ini menggunakan nama lafal Don Kikhote, terhadap pelaku sentralnya.
Dengan terbitnya Novel Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan Jilid II, yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaaan Besar Spanyol untuk Republik Indonesia, maka makin memperkaya khazanah sastra dunia di Persada Indonesia. Langkah-langkah Pustaka Obor memang selalu gemilang dalam mencerdaskan masyarakat melalui ‘obor’bacaan sastra, sesuai dengan misi-visi yang dicanangkan oleh pendirinya, sastrawan-budayawan-wartawan Mochtar Lubis (1922-2004). Di tengah gencarnya bisnis bernafas kapitalistik, Penerbit Pustaka Obor masih tetap mampu mengemban misi-visinya yang idialistik dengan teguh.
Don Quijote, Bukan Sekadar Bacaan ‘Flash-Flush’
Novel Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan II yang diterbitkan oleh Pustaka Obor dan beredar pada Juli 2019, berbeda dengan buku-buku serupa yang telah beredar di Indonesia saat ini. Karena novel yang diterbitkan Pustaka Obor tersebut diterjemahkan secara komplit edisi pertama ke dalam Bahasa Indonesia dari novel aslinya berbahasa Spanyol berjudul Don Quijote de la Mancha. Novel ini diakui sebagai ‘karya sastra paling berarti sepanjang masa’ oleh Norwegian Book Club pada tahun 2002 dan kini bisa kita miliki sebagai bacaan legendaris sastra dunia yang merekatkan hubungan budaya antara Indonesia dan Spanyol.
Novel karya Miguel de Cervantes ini telah diterjemahkan ke dalam 140 bahasa asing di luar Bahasa Spanyol. Pertama kali terbit berjudul El Ingenioso Hidalgo Don Quijote de la Mancha dan dicetak tahun 1605
Don Quijote diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris untuk pertama kalinya tahun 1608 oleh penulis Inggris kelahiran Dublin, Thomas Shelton. Cetakan kedua dipublikasi tahun 1615 dan diakui sebagai roman modern pertama di dunia. Diperkirakan hingga saat ini telah terjual sekitar 500 juta eksemplar. Dua buku lainnya yang dianggap saingannya adalah Novel A Tale of Two Cities karya Charles Dickens yang telah terjual 200 juta eksemplar dan Novel The Lord of the Rings Trilogy karya J.R.R. Tolkien terjual 150 juta eksemplar.
Di Indonesia, buku Don Quijote diterbitkan sebagai ‘edisi ringkas’ untuk yang pertama kalinya oleh Penerbit Balai Pustaka tahun 1950-an, demikian kesaksian budayawan Goenawan Mohamad dalam kata pengantarnya dalam Novel Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan II yang baru saja dirilis oleh Penerbit Pustaka Obor pada bulan Juli 2019. Perilisannya juga didukung dengan berbagai diskusi, bedah buku, pembacaan puisi dll yang dikemas dalam Festival Don Quijote untuk menyambut hadirnya buku sastra klasik Spanyol tersebut yang bukan sekadar bacaan kelas mini-fiksi alias flash-flush atau karya pop.
Imajinasi yang Membauat Pembaca Mawas Diri
Buku Don Quijote yang say abaca di masa kecil (mungkin yang diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti yang disebut oleh Goenawan Mohamad) sungguh berbeda dengan buku Don Quijote yang diterbitkan oleh Pustaka Obor. Selain bentuk fisiknya juga isinya. Tapi keduanya masih ada benang merahnya walau hanya tipis.Yaitu, menceritakan tentang sosok lelaki berusia 50-an, mengaku-aku sebagai seorang ksatria, efek dari buku-buku cerita yang meracuni otaknya. Khususnya karya Feliciano de Silva, tentang petualangan para ksatria yang dibacanya siang dalam malam tiada henti. Isi cerita yang dibacanya membuat dirinya lebur dalam fantasi yang hanya dipahami oleh dirinya.
Baginya, membaca kisah-kisah pengembaraan para ksatria adalah kenikmatan yang tiada tara. Maka ia rela menghabiskan uangnya, hingga menjual tanah dan harta miliknya, untuk membeli buku-buku yang digandrunginya itu. Sehingga ia menjadi ‘seperti gila’ karena pengaruh tokoh-tokoh yang dibacanya. Pengaruh tersebut mendorongnya berpakaian dan berpenampilan seperti ksatria dengan kostum dan properti apa adanya sehingga mengundang tanda-tanya dan tawa. Ia pun meninggalkan desanya dengan naik kdanya yang kurus, untuk mengembara seperti para ksatria yang dibacanya. Dari pengembaraannya ia menjumpai berbagai orang yang masing-masing memiliki kisah unik, lucu mengundang tawa tapi banyak juga yang tragis bikin ngilu hati. Semuanya itu dapat dibaca di kisah yang disajikan Bab ber Bab.
Dalam buku Jilid I, terdiri dari 52 Bab. Buku Jilid II terdiri dari 74 Bab. Cerita antara Bab dengan Bab berikutnya ada yang terkait, tapi ada pula yang terpisah – berbeda kisah (tidak ada hubungannya). Karena cerita yang disajikan merupakan cerita berbingkai dalam bingkai tapi alurnya sederhana. Sehingga tidak perlu berpikir dan mengulang Bab sebelumnya. Masing-masing cerita pada umumnya mengundang tawa tapi jika direnungkan ada kepedihan yang menyelip dalam rasa dan kemudian memberikan hikmah. Yang lebih penting lagi, kita jadi bisa mawas diri melalui tokoh utama Don Quijote, pembantunya Sancho Panza, Rocinante – kudanya yang kurus dan orang-orang yang dijumpai tokoh utama dengan berbagai kalangan antara lain petani, pastor, buruh, babu, orang gila, lelaki jomblo, perempuan nakal, ilmuwan, hingga istri yang baik maupun maupun yang tidak setia. Selesai membaca kisah-kisah yang ada dalam buku ini, jika mau jujur, pembaca ada di dalamnya dan mengakui: itu sih gue banget haaa…haaa…!
Don Quijote Merasuk Dalam Rasa Kita
Membaca buku tebal hingga 1.000 halaman memang tidak menarik semua orang. Tapi bila Anda mau serius membaca kisah-kisah Don Quijote tentu akan merasakan tarikan magis yang mengundang Anda terus membacanya hingga selesai karena terpancing oleh tawa yang memecah dari teks yang mengisahkan misalnya – bagaimana Don Quijote menciptakan kekasih bayangan dari imajinasinya yang membuatnya seolah-olah perempuan itu ada dalam hidupnya dan diberi nama Dulcinca dari Toboso (halaman 24 – 25, Jilid I). Karena baginya,ya… bagi seorang kstaria tanpa cinta seorang perempuan adalah bak pohon tanpa daun, tanpa buah dan tubuh tanpa jiwa. Di balik perasaan yang sentimental itu pembaca tentu tertawa karena kekasih bayangannya itu terinspirasi dari anak perempuan seorang petani, tetangga desanya, yang bernama Aldonza Lorenzo yang ditaksirnya secara diam-diam. Sepertihalnya kala Don Quijote merasa telah menaklukkan musuh-musuhnya, padahal musuh-musuh itu hanya ada dalam imajinasinya. Walau hidup dalam kubah imajinasi ia merasa bahagia, karena mampu menjadikannya lelananging jagad – super hero!

Pedih? Tapi kisahnya juga mengundang tawa. Ya, menurut saya, tokoh Don Quijote memang diciptakan oleh si jenius Miguel de Cervantes untuk mengajak kita tertawa sepanjang masa. Karena cara Don Quijote berimajinasi kadang merasuk dalam tubuh kita untuk membasuh kepiluan dan menghibur diri saat kita kalah dan terpuruk: kita juga berimajinasi! Tak percaya? Maka, bacalah hingga tuntas novel klasik berusia lebih dari empat abad, yang lahir di Bumi Matador ini.
Selamat membaca!*