Green Pen Award

Elegi untuk Pong

Oleh Khoiriyyah Azzahro, guru dan cerpenis tinggal di Banjarmasin

Katakanlah padaku, Ibu! Apakah suka itu? Serupakah ia dengan kicau ceria beburung di langit sore yang biru?

* * *

“Ayo, Pong! Cepat!”

Lantang suara ibu menyeruku. Jari-jari panjangnya mencengkeram erat dahan beringin muda. Setelah menoleh dan tersenyum sekilas padaku, ibu pun menekuk lututnya. Lalu… Syuuungg… tubuh ibu melayang tinggi di udara.

Kedua lengan panjang ibu berayun. Ke depan, ke belakang bagai menggapai udara tak kasat mata. Di bawahnya, deras arus Sungai Bali1 tak terbendung. Sesaat kemudian, tubuh ibu meluncur deras ke bumi. Dan…. Tap! Kedua lengan ibu meraih dahan pohon bakau2 yang rimbun. Detik selanjutnya, tubuh ibu meliuk memutar hingga kedua kaki nya mencengkram erat dahan bakau. Lalu melangkah ringan di atasnya.

“Ayo, Pong! Cepat kemari!”

Lamat suara ibu terdengar dari seberang sungai. Oo… Kali ini, sanggupkah aku menyusul ibu? Aksi terbaruku dua hari lalu sungguh mengecewakan. Aku tak mampu melompat sempurna dari pohon rambai3 yang tingginya hanya dua meter. Kalah telak dari Molly yang mampu mencapai pohon beringin setinggi tujuh meter.

Byurr!! Suara kecipak air sungai mengejutkanku. Oo… Apakah ini adalah waktu makan bagi para buaya di bawah sana? Hiiyy!! Aku bergidik. Teringat kembali saat aksi burukku empat hari yang lalu. Kala itu, ekorku hampir saja menjadi kudapan lezat para buaya segar itu. Andai saja ibu tak segera meraih lenganku, moncong bergigi tajam itu pasti sudah melenyapkan ekor kecilku.

“Pong!”

Gema suara ibu menyadarkanku. Meski dari tempatku kini, hanya perut buncitnya yang samar terlihat.

Baiklah! Pong, kali ini harus bisa! Kau bukan nasalis4 kecil lagi! Kau pasti bisa!

Usai bertekad dalam hati, kuhela napas panjang. Perlahan. Aku mengambil beberapa langkah ke belakang. Berhenti. Berlari cepat. Makin cepat. Makin cepat… dan… syuungg… tubuh kecilku melayang di udara. Meninggi, meninggi dan tiba-tiba, menukik turun ke bumi.

Sempat kutengok sungai yang beriak. Jantungku berdegup keras. Tidak! Aku tak kan jatuh ke sungai penuh buaya itu! Tidak kali ini!

Meniru ibu, kuayun-ayunkan kedua lenganku. Ke depan, ke belakang, mencoba meraih dahan bakau terdekat. Tap! Dapat! Ayo, cepat! Hatiku bersorak menyusul degup jantungku yang cepat. Sekilas kulihat sepasang mata berkilat dengan moncong penuh gerigi tajam menyembul ke permukaan sungai.

Syuungg…. Kuayun lagi tubuh kecilku ke udara. Melayang, meninggi, menukik tajam ke dahan besar beringin tepat di depan ibu.

“Bagus, Pong! Kau makin mahir melompat kini.” – Pujian ibu seketika menghapus rasa gentarku akan serangan para buaya di sungai sana.

“Lihat itu! Taro dan lainnya sudah menyusul kita.”

Di udara, terlihat para nasalis kecil-besar, muda-tua, bak sedang berlomba menjadi penerbang paling unggul. Tap! Tap! Tap! Satu persatu mendarat nyaman di dekat kami.

“Hei, Pong! Selamat ya! Lompatanmu sudah lebih baik kali ini.” seru Taro.

“Iya, benar! Kau hebat, Pong! Dulu, aku perlu waktu lama untuk bisa selincah aksimu tadi.” kali ini Oni, si gadis nasalis ikut menimpali.

Pujian-pujian terlontar bertubi-tubi. Ah, aku jadi malu.

“Tapi, aku belum bisa membedakan daun bakau yang tunas dan tua. Atau menangkap kepiting tanpa harus terkena capit.”

“Ah, Pong! Itu gampang, kok! Aku akan mengajarimu.” ucap Taro.

“Aku ikut ya…! Aku tahu tempat paling asyik untuk menemukan bakau segar di sekitar sini.”

“Jangan sok tahu kamu, Oni!”

“Iiih.. siapa yang sok tahu?! Memang benar, kok!”

Oni melempar buah beringin tua yang terjatuh di dekat kakinya ke arah Taro. Namun Taro sigap melompat ke dahan pohon akasia di sampingnya. Aku geli melihat tingkah keduanya.

“Iya, deh. Aku percaya padamu, Oni! Ibu.. bolehkah…?” Aku menanyai ibu.

“Tentu saja boleh. Kau memang sudah saatnya berlatih mencari makananmu sendiri, Pong!” jawab ibu dengan lembut.

“Horeee!!”

*

“Ayo, Pong! Ayo raih ikan kecilnya.”

Lantang suara Oni menyemangatiku. Sudah tak terhitung berapa kalikah ia ucapkan kalimat itu. Namun, lihatlah! Tak satu pun ikan kecil yang berhasil kuraih dengan jemariku yang berselaput ini. Kemarin Aku berhasil menangkap kepiting berukuran sedang yang sibuk berenang di sungai ini. Itu pun setelah berulang kali terjerembab ke kedalaman sungai.

Sore ini adalah hari kedua kawanan kami tinggal di sini, di sebelah barat laut Selat Sebuku. Pepohonan bakau dan pedada5 yang di sini lebih rindang. Udaranya juga lebih sejuk. Di sini juga tak ada buaya bermoncong lancip dan bergigi tajam. Hanya ada sekawanan penyu kecil yang kemarin sempat mampir berkunjung. Mereka turut menikmati indahnya matahari sore sebelum bermigrasi ke pulau seberang.

“Hei, Pong! Lihat! Apa itu?” tiba-tiba Oni mengarahkan pandangannya ke sisi kananku.

Tampak buih-buih kuning kecoklatan panjang mengambang di permukaan muara sungai. Buih-buih itu bergerak mengikuti aliran sungai yang menuju Selat Sebuku. Perlahan, buih-buih itu semakin dekat dengan akar pohon-pohon bakau tempat kuberpijak kini.

“Apa itu, ya? Baunya kok tidak enak. Busuk. Seperti bangkai?” Taro ikut menimpali.

Buih-buih kecoklatan itu mengalir tenang hingga tepat di hadapanku. Benar! Baunya seperti lumpur, busuk dan hangit6 berbaur menjadi satu.

Tiba-tiba seekor bandeng melintas di hadapanku. Refleks, jemariku terarah padanya. Tapi… Ups! Makhluk licin bersisik itu terlepas dari genggamanku. Ih, gemas sekali! Baiklah. Akan kususul kau wahai ikan!

Byur! Aku menceburkan diri ke kedalaman selat yang dingin. Kutajamkan penglihatanku di antara lumut dan ganggang yang tebal-subur di akar-akar bakau. Namun tak kutemui sedikit pun jejak bandeng yang menggemaskan itu. Tapi… Hei, apa itu? Pada salah satu sisi terdalam pantai yang tak banyak terdapat tumbuhan bakaunya, tampak warna merah pekat bagaikan darah. Lalu apa itu yang bertebaran di atasnya? Rasa penasaran membawaku perlahan untuk menyelam mendekat.

Ya, ampun! Kenapa banyak sekali ikan-ikan besar dan kecil di sini? Mengapa tercium bau busuk olehku? Apakah…? Ya ampun, ikan-ikan ini ternyata telah mati. Beberapa ada yang masih menggelepar-gelepar bagai sedang menanggung sakit yang tak terperikan.

“Pong! Kembali!”

“Pong! Ayo naik segera!”

Samar terdengar teriakan Taro dan Oni dari permukaan air sungai. Ah, aku baru tersadar. Aku telah kehilangan jejak si ikan bandeng.

Kukayuh cepat kedua lengan dan kakiku ke arah atas. Kala kepalaku menyembul di permukaan, terlihat Taro dan Oni berlari-lari cemas ke sana-kemari di atas akar pohon bakau.

“Hei, kawan-kawan! Aku di sini!” seruku.

Serentak Taro dan Oni menengok ke arahku.

“Ya ampun, Pong! Kami kira kau sudah mati lemas di dalam sana.” Oni memekik cukup keras.

“Seharusnya kau tak perlu mengejar ikan bandeng itu hingga ke kedalaman sungai, Pong! Itu berbahaya! Bagaimana bila seandainya ada buaya besar di sana? Kamu tahu kan, ini musim kawin para buaya. Mereka kerap mencari pasangan ke pelosok sungai.” omel Taro.

“Iya. Maaf deh, teman-teman. Tapi… Eh, tahukah kalian apa yang kulihat di bawah sana?”

“Ya.. ikan-ikan tentu saja. Makanya kau enggan kembali dari sana. Ya kan?”

“Soal ikan-ikan itu ada benarnya, Oni. Tapi, bukan itu yang kumaksud. Kalian tahu, ternyata sungai ini tak teramat dalam. Ada banyak timbunan lumpur kuning kemerahan di sana. Anehnya, banyak ikan besar dan kecil yang telah menjadi bangkai di atasnya. Beberapa lagi hanya menggelepar-gelepar saja. Ah, aku tak tega mengingatnya.”

Taro menggoyang-goyangkan ekornya. Hidungnya yang mulai membesar tampak berkedut-kedut. “Ikan mati? Pong, jangan-jangan yang tadi hanyut bersama buih kecoklatan itu… “

“Bangkai ikan yang membusuk!” Oni memotong ucapan Taro dengan cepat.

“Hei, anak-anak! Ayo, kembali ke sarang. Hari sudah mulai senja, bermainnya dilanjutkan esok saja!”

Demi teriakan ibu, kutunda saja semua rasa penasaranku.

*

 

Katakanlah padaku, ibu! Apakah luka itu? Serupakah ia dengan langit pagi ini yang memerah berhias lelatu?

*

 

“Pong, ada apa dengan ibumu?”

Penuh simpati, Taro menanyaiku. Ekor panjangnya masih tergantung terlilit pada dahan pohon rambai. Tubuhnya berayun cepat sebelum meluncur ke dahan pohon bakau. Oni menyusul beberapa saat kemudian. Ia mendarat dekat sekali dengan tubuh ibu yang terbaring lemah di deaunan dan ranting-ranting.

“Entahlah. Sejak pagi tadi, ibu berbaring-baring saja. Katanya sekujur tubuhnya terasa nyeri.”

Taro terdiam mendengarku. Oni mencoba meraba tubuh ibu. Namun sesaat kemudian ia hanya menggeleng pelan.

“Ibu tak mau menyantap tunas bakau dan ikan kecil yang kuberikan.”

Tiba-tiba… Tap! Tap! Dua ekor nasalis kecil mendarat di dekatku. Dua ekor lagi bergayut manja dalam gendongan induk mereka.

“Hai, Pong….” Geri menyapa dari dalam gendongan induknya.

“Pong, kami sudah mendengar tentang ibumu.” ucap Molly, si nasalis manis.

“Terimakasih kalian mau menjenguk ibuku.”

“Sama-sama.” ucap Molly.

“Pong, sebaiknya ibumu diberi banyak buah-buahan. Buah rambai, pedada, dan manggis hutan bagus untuk pencernaan dan sangat manjur untuk membuang racun di dalam tubuh, Pong.” induk Geri ikut berucap.

“Iya, Pong! Mungkin saja ibumu memakan sesuatu yang salah. Dulu waktu Molly masih kecil, tante selalu memberikan buah pedada, manggis hutan dan rambai. Cukup manjur untuk mengeluarkan kuman atau racun dalam tubuh” kali ini induk Molly yang berucap.

“Pong, kau ingatkan dengan ceritamu tentang ikan-ikan yang mati di sungai?” ucap Oni.

Aku terhenyak. Oh, apakah ibu telah memakan ikan-ikan tersebut? Apakah sakit ibu disebabkan karena ikan-ikan itu?

“Pongg… nyeri, Pong! Sakit, Pong!” ibu merintih tiba-tiba. Tangannya memegangi dada dan perutnya.

“Ibu, sabar ya! Aku akan segera carikan obat buat ibu. Ibu pasti akan sembuh.” jawabku meyakinkan ibu.

“Kau akan pergi ke mana, Pong?”

“Kurasa, di hutan sebelah masih banyak terdapat buah-buahan. Ibu di sini saja, ya. Ada Molly, Geri dan induk mereka. Aku akan pergi bersama Oni dan Taro”

Ibu lalu memelukku erat. Setetes bening di pipi ibu yang hangat membasahi nuraniku.

*

“Pong, kita lewat sini saja. Lebih dekat.” Taro menunjuk ke arah penuh semak belukar. Oni segera melompat ke salah satu dahan besar yang ada. Aku menyusul kemudian.

Dahan demi dahan kami lompati satu persatu. Tak lama, tampaklah hamparan rumpun pohon berbuah lebat. Merah marun, kuning kehijauan, hingga gelap nila. Ada kapul, playi, rambai, pedada, manggis hutan dan masih banyak lagi.

“Ambil saja sebanyak yang kita mampu, kawan-kawan! Oke!”

Tak perlu waktu lama, Aku telah meraup sebanyak-banyaknya buah pedada yang ada dengan tangan kananku. Ya.. berarti aku harus mengandalkan lompatan dan kekuatan tangan kiriku saat kembali nanti.

Namun, tiba-tiba aku mencium bau yang tak enak. Semacam sesuatu terbakar, bau hangit. Baru saja aku hendak berkata pada Oni dan Taro….

Duaarr!!!

Aku terjerembab di antara belukar. Buah-buah pedada berjatuhan dari genggamanku. Bunyi apakah itu? Pekak pendengaranku dan lepas rasanya jantungku. Sekabut asap tipis menutupi penglihatanku.

“Taro!! Oni!! Di mana kalian, teman-teman?”

“Pong! Kau di mana? Di sini berasap”

“Teman-teman, hati-hati! Sebaiknya kita tunggu hingga asap ini menghilang” samar suara Taro terdengar.

“Taro, aku rasa, aku telah menjatuhkan semua buah pedada-ku” teriakku.

“Iya, Pong! Tak mengapa. Aku rasa beberapa manggis hutanku juga terjatuh. Biar saja. Nanti kita cari lagi. Sekarang, Oni apa kau tahu jalan lain untuk kembali ke sungai?”

“Ya! Hanya, sedikit lebih jauh.”

“Tak mengapa. Yang penting kita dapat segera kembali dengan selamat.”

“Tunggu, teman-teman!” seruku pada Oni dan Taro. Meski pun tak begitu yakin, Aku arahkan telunjukku pada suatu arah “Lihat! Bukankah itu manusia?”

“Pong! Sudahlah! Kita harus segera mencari lagi buah-buahan untuk ibumu!”

 

*

 

“Pong, kau.. baik-baik.. ya, Nak!”

Lirih terbata suara ibu. Dengan tubuh yang kian kurus dan lemah, ibu mencoba merangkulku. Tak kusangka, tujuh hari sudah ibu hanya menghabiskan waktunya di sarang. Banyak sudah buah-buahan yang disantapnya. Namun tak banyak perubahan yang tampak dari kondisi sakitnya.

“Pong, kau harus kuat ya! Bila – ibu – tak – dapat – menemanimu – lagi – kau – baik-baiklah – pada – teman-temanmu- ya!”

“Ibu bicara apa, sih? Tentu saja aku akan baik-baik dengan mereka. Ibu juga kan? Ibu akan segera membaik”

Bibir Ibu menyunggingkan senyum. Beberapa helai bulu, lagi-lagi terlepas saja dari kulit ibu. Matanya memerah.

“Kau-pandai-berenang, Pong! Andai-suatu-saat-kau-terdesak-atau-dalam-kondisi-genting-kau-dapat-berlari-menuju-sungai-dan-berenang. Jangan-takut-pada-buaya-buaya-itu. Mereka-pasti-takkan-sanggup-mengejarmu.”

“Iya, Bu! Tak usah khawatir tentang itu.”

Lagi-lagi ibu tersenyum padaku. “Pong… ibu-sayang-padamu…”

Ada tetesan bening di sudut mata ibu. Kuseka tetesan itu. Mata ibu menatap kosong ke langit. Lalu kurasakan tubuh ibu menjadi kaku dan dingin.

“Ibu.. Ibu.. Ibuuuu!!!”

Oh, apakah ibu?

“Sstt… tenang, bekantan manis! Jangan menangis. Pinanya, Uma’ ikam sudah kededa lagi7. Sekarang, ikam ikut kami saja, ya….”

Ha? Manusia? Sejak kapan mereka ada di sini? Tak tahukah mereka, bahwa kami para nasalis adalah makluk pemalu dan tak mudah dirayu.

“Begemet, Nang ay!8 Aku tangkap dari sebelah sini. Ikam dari arah sana. Mudahan berhasil. Duitnya lumayan kalau ini bekantan berhasil terjual”

Apa? Apakah mereka akan membawaku ke penjual gelap? Ibu!! Tolong aku!! Oh, ibu sudah tak ada. Tapi… aku bisa… aku bisa berlariii…

“Hei, bekantan! Jangan bukah uyy!!9”

Aku berlari secepat yang kubisa. Kemana saja! Kemana saja! Ah, ke semak-semak itu saja. Bersembunyi. Tapi…. Oo… aku terjebak!

*

“Bekantannya sudah siuman, Sher?”

“Belum. Tapi ia sudah kupasangi infus. Kasihan, pinyanya lawas banar sudah tagugur ka luang tu10”

Samar kudengar suara-suara seperti… suara manusia?

“Untung ada kau ya, Sher!”

“Ah, untung mobil kami tagugur jua ka luang tu”

“Lho? Ditimpa kecelakaan kok malah besyukur?!”

“Kalau mobil kami tidak lewat jalan itu dan tidak turut terperosok, mana kami tahu kalau ada bekantan terperangkap di lubang itu. Hei, lihat! Matanya babuka. Hore!! Dia mulai bangun!”

Seraut wajah manis menghiasi bola mataku. Jemarinya lembut membelai pipiku.

“Hai, nasalis! Ngaran ikam siapa11? Kenapa kau tertidur di lubang itu? Main petak umpet ya?”

Suaranya begitu merdu. Seperti ibu. Hmm…

“Sher, kita bawa saja bekantan itu ke posko. Kita kumpulkan dengan hewan lainnya.”

“Apa dia sudah benar-benar sehat?”

“Sher, penyembuhan yang paling cepat adalah pabila kita dapat berkumpul bersama orang yang kita kasihi.”

“Hei, nyindir kah ikam ni?!”

“Haha… “

Sang pemilik wajah manis menggendongku seraya memasuki sebuah benda yang amat rendah. Sangat sempit bila di bandingkan dengan pohon bakau dan pedada yang tinggi menjulang. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi aneh, kedengarannya seperti : brrumm… brrumm.. Dan aku merasa sepertinya benda ini bergerak.

“Oya, Sher. Aku punya kabar baik. Laporan kita sudah ditindaklanjuti. Rupanya kamu benar, Sher! Mereka memang melakukan aktivias penambangan batubara ilegal di sini. Pantas saja banyak ikan yang mati karena limbah mereka”

“Tuu, kan… Apa jua jar, ku! Aku sudah curiga. Ni kan wilayah cagar alam. Tapi masih jua ada yang menambang di sini. Bujur aku loo…12. Mereka sepertinya juga menggunakan peledak untuk membuka tanah dan lahan dengan cepat. Makanya para nasalis ini ketakutan”

“Iya, iya… Tebakanmu selalu paling benar. Heran juga Aku sama kamu, Sher?! Dasar! Ternyata Kamu masih menjadi anggota Saka Wanabakti paling cerdas di antara kita”

“Haha…”

Sang pemilik wajah manis membuka semacam kotak. Tercium bau tunas bakau dan pedada yang lezaaatt… Tiba-tiba aku merasa sangat lapar.

“Hai, nasalis. Ikam pasti mau ini… Yap! Tangkap! Wah, hebat”

“Rupanya, dia sudah sangat kelaparan ya, Sher!”

Sang pemilik wajah manis mengangguk saja. Jemarinya masih mengelus-elus tubuhku dengan lembut.

“Oya, Sher. Satu lagi. Kamu serius ingin membawa masalah penambangan dan nasib para bekantan ini ke meja hijau?”

“Seratus persen serius! Tenang, Mansyah! Aku yakin pasti menang! Bila pun tidak, setidaknya aku masih punya banyak tugas di sini. Kembali melakukan konservasi hutan bakau yang… hampir saja musnah” Sang pemilik wajah manis berucap tegas.

Selanjutnya hanya keheningan yang ada. Hingga…

“Oke, kita sudah sampai!”

“Nah, nasalis…. Ikam main-main ja sama kawan-kawan ikam di sana!”

Setelah keluar dari benda rendah yang kini tak berbunyi lagi itu, sang pemilik wajah manis melepaskanku dari gendongannya.

“Hai, itu Pong!”

“Pong!”

Suara-suara itu! Wah.. Oni, Molly, dan lainnya….

“Teman-teman….!!!” aku bersorak suka cita.

“Untunglah kau selamat, Pong!” ucap Oni.

“Iya. Kami senang kau kembali!” seru Molly.

*

Katakanlah padaku, ibu! Apakah luka itu? Serupakah ia dengan hutan bakau kita yang menjelma menjadi abu? Ibu, kini aku dan teman-teman menjadi penghuni Hutan Cagar Alam Selat Sebuku.

Salam kenangku selalu ada harapan, Ibu. Do’akan, agar kami lestari di sini.

*

 

Catatan:

1. Sungai Bali : terletak di Desa Sungai Bali, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan

2. Bakau/Mangrove (Rhizopora racemosa) : pohon berakar tunjang besar dan berkayu, dengan pucuk-pucuk tertutup dan daun yang agak lebar, biasa hidup di daerah berair seperti di pinggir laut atau sungai. Dengan akar yang besar dan kuat mampu mencegah terjadinya erosi air laut/sungai.

3. Rambai : serupa duku/langsat, namun rasanya lebih asam, dagingnya lebih penuh dan tebal, dan lebih berair, kulit luarnya lebih kuning, lebih tebal dan tak banyak bergetah

4. Nasalis (Latin : Nasalis Larvatis)(dalam bahasa setempat disebut bekantan atau bakantan) : kera besar berhidung mancung. Dikenal juga dengan sebutan ‘Kera Belanda’ karena kulitnya yang seperti albino dan berbeda dengan kera biasa lainnya. Merupakan hewan endemik asli Kalimantan yang saat ini populasinya semakin menurun, menjadi maskot atau ikon Provinsi Kalimantan Selatan dan Dunia Fantasi Ancol Jakarta Utara.

5. Pedada (Latin : Sonneratia alba) (disebut juga pidada putih) : sejenis pohon penyusun hutan bakau, berbatang besar, buahnya bulat mengembung serupa manggis namun berwarna hijau, dasarnya berpasir dan biasanya tumbuh di daerah berair seperti di laut atau sungai terbuka.

6. Hangit : bau seperti usai terbakar

7. Pinanya, Uma’ ikam sudah kededa lagi : sepertinya ibumu sudah tiada

8. Begemet, Nang ay! : Pelan-pelan, ya Nang!

9. Jangan bukah uyy!! : Jangan lari, oy!

10. pinyanya lawas banar sudah tagugur ka luang tu : sepertinya sudah lama sekali ia terjatuh di lubang itu

11. Ngaran ikam siapa? : namamu siapa?

12. Bujur aku loo…: Aku benar kaan…?!

 

Related Articles

2 Comments

  1. Mohon maaf…
    Mengulang pernyataan saya pada akun facebook Sastra Green Pen Perhutani dan laman akun saya pribadi. Kembali saya tegaskan, karya saya yang berjudul Elegi untuk Pong TIDAK MEMPLAGIAT novel karya Riawani Elyta dan Sabrina Ws. Saya memang sedikit terinspirasi dengan novel Ping, namun saya tidak meniru sedikit pun. Karena saya jyga terinspirasi dengan beberapa cerpen lain yang pernah mengangkat orangutan, monyet atau owa-owa sebagai tokoh, artinya bukan Riawani dan Shabrina saya yang pernah menjadikan orangutan sebagai tokoh. Setting Riawani adlah Kaltim. Setting saya di Kalsel. Riawani dan shabrina membahas penganiayaan hewan (hanya di akhir ada kisah hutan yang tusak), saya berkisah rusaknya habitat hutan karena pencemaran limbah batubara dan penebangan pohon.
    Mohon perhatian semua pihak… terutama kepada juri, panitia dan pembaca yang kritis. Salam…

  2. iya saya tahu anda terinsfirasi tapi kok plek yah???? membaca elegi untuk pong, bagaikan De Javu di siang bolong… Trims

Leave a Reply to virgo Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku