Cerpen Kita

GARIS LUKA DITIKAM KATA-KATA

Cerita Pendek Naning Pranoto

Mati! Kata pertama yang menikamku ketika aku di bangku kelas IV Sekolah Dasar di kota kecil di Jawa Tengah, di mana ayahku bertugas sebagai polisi. Di kota itulah ayah meninggalku, meninggalkan ibu juga kedua adikku, untuk selama-lamanya. Kata ibuku, ayahku meninggal akibat serangan jantung. Sejak itu aku harus berjalan kaki cukup jauh ke sekolahku, karena ayahku tak bisa lagi mengantarku. Bahkan, bukan itu saja yang berubah dalam hidupku dan ini membuatku sedih: ibuku yang biasanya bersikap lembut, penuh kasih sayang,tiba-tiba berubah menjadi pemberang. Aku dan kedua adikku sering dipukulinya hanya karena hal sepele – misalnya, kami menutup pintu menimbulkan suara ‘grek’. Bahkan ia seringkali melontarkan ancaman,”Awas ya, kalau pada nakal ndak ibu kasih makan. Biar kamu mati semua.” Matanya berapi, kalimatnya disambung ujaran menikam perasaan, “Kalau kalian mati semua, ibu ndak ada beban. Uang pensiun ayahmu kan cuma seupil.”

Benci! Itu kata kedua yang menikam perasaanku sehari-hari setelah kepergian ayahku. Aku benci pada ibuku, juga benci pada nasib yang menimpaku. Bahkan aku juga membenci diri sendiri: mengapa aku ada di dunia ini? Aku tak pernah memintanya, apalagi bercita-cita untuk menjadi aku. Ayah dan ibukulah yang membuatku ada di dunia ini. Ayahku sudah meninggal dan tinggal ibuku. Seorang ibu yang sering memukuli anak-anaknya dan mengancam agar kami mati. Ibu macam apa ibuku ini? Benci! Benci! B-e-n-c-i…! Aku sering meneriakkan kata itu sambil berlari sekencang-kencangnya, untuk menghilangkan rasa nyeri di dadaku.

Kata ‘benci’ juga kuteriakkan di rumah kala ibuku memarahiku maupun saat memukuli kedua adikku karena mereka berlarian di dalam rumah, untuk menghibur diri. Tapi, teriakanku bisu karena tersumbat di kerongkongan, membuat nafasku sesak. Aku sering menangis, tapi kering air mata. Kepada siapa aku bisa mengadu? Kakek-nenekku, orangtua ayahku sudah lama meninggal. Ayahku anak tunggal. Kakek-nenekku, orangtua dari ibuku tinggal di Banjarmasin, Kalimatan Selatan. Jauh…jauh sekali, tak mungkin aku bisa menjumpai mereka untuk mengadukan derita dan menumpahkan air mata. Andaikan bisa, tentu mereka akan berkata “Hai…tak pantas, lelaki menangis. Memalukan!”. Duhhh, mengapa lelaki tak boleh menangis? Bukankah lelaki juga manusia yang punya hati dan rasa? Kala itu aku menyesal, lahir sebagai lelaki. Kedua adikku beruntung bisa bebas menangis, karena mereka lahir sebagai anak perempuan. Sungguh tak adil! Aku benci….!

Lonte! Ya lonte alias pelacur – itu kata ketiga yang tidak sekadar menikam perasaanku, tapi juga merendahkan harga diriku. Bahkan juga harga diri ibuku. Aku tak rela mereka mengataiku, “Kamu anak lonte! Ibumu sekarang jadi lonte!”. O, tidak. T-i-d-a-k. Ibuku bukan lonte yang menjual tubuhnya pada setiap lelaki yang membayarnya. Aku sangat mengenal ibuku, ia perempuan baik-baik, lahir dari keluarga baik-baik walau status sosialnya sebagai anak transmigran asal Wonogiri Pulau Jawa ke pedalaman Pulau Kalimantan. Kala ekonominya membaik mampu membeli rumah dan tinggal di Banjarmasin – ibukota Kalimantan Selatan. Ya, benar, kalau sekarang ibuku pemarah dan galak, tapi ia bukan lonte, bukan pelacur. Aku marah sekali dibuatnya. Siapa pun yang mengataiku bahwa ibuku lonte langsung kutonjok, kutempeleng dan ini membuatku digelari ‘jagoan, tukang kelahi’.

Musuhku banyak di mana-mana, aku sering dihukum guru dan ibuku dipanggil kepala sekolah karenanya. Aku tak pernah berkata pada ibuku, bahwa aku berkelahi karena membela harga dirinya. Maka ibuku hampir tiap hari memukuliku dan menghukumku tidak diberi makan. Itu membuat tubuhku kurus dan lebam bekas pukulan, hantaman dan cakaran. Apalagi hati dan perasaanku: berdarah-darah dan bernanah. Duhhhh…rasanya aku tak sanggup lagi melanjutkan hidupku, yang kala itu belum genap berusia 10 tahun. Aku pun bertanya: Tuhan, untuk apa aku ada di dunia?

Pacar! Kata itu yang membuatku makin ganas: pemarah, suka berkelahi dan misuh – bicara kotor. Aku juga jarang masuk sekolah. Aku sibuk menguntit gerak-gerik ibuku. O, ternyata ibuku punya pacar. Ia sering bertemu pacarnya di dekat pasar pada pagi hari kala ibuku belanja dan pada sore hari kala ibuku meninggalkan rumah diam-diam. Akhirnya aku tahu, mengapa ibuku dikatai lonte oleh teman-temanku dan orang-orang sekitarku. Aku jadi makin benci pada ibuku, juga pada lelaki yang bertubuh gemuk, rambut ikal, berkacamata – pacar ibuku itu. Aku pun cari tahu, siapa lelakiku itu? Jawabannya kudapat ketika seorang lelaki jangkung menyapanya, “Pak Sukardi, apa kabar?” Jantungku berdetak cepat ketika mendengar nama itu, karena u sama dengan nama ayahku: Su-kar-di! Bapakku seorang polisi. Nah, Sukardi yang ini apa ya pekerjaannya? Akhirnya aku tahu, kala ibuku memperkenalkan pacarnya kepada kami, di suatu senja menjelang kami makan malam.

“Anak-anakku, ini Pak Sukardi. Akan jadi ayahmu. Pak Sukardi seorang sinder perkebunan tebu.” Kata ibuku dengan tegas, membuat kedua adikku terkejut dan aku diam penuh geram. Mengapa ibuku tidak minta persetujuan kami akan menikah dengan Sukardi?

“Ya, saya siap menjadi pengganti ayahmu, menyayangi kalian seperti saya menyayangi anak-anak kandung saya yang ditinggal mati ibunya tiga tahun yang lalu.” Sukardi angkat bicara, suaranya berat-lembut, tapi tak mengubah mimik wajahnya yang sangar. Aku benci dia. Bahkan jijik. Lelaki ini yang menyebabkan aku dikatai anak lonte? Lelaki ini pula yang membuat aku sering berkelahi dan punya musuh di mana-mana. Lelaki ini pula yang membuatku tidak naik ke kelas. Maka ketika ia menyalamiku, aku menyambutnya dengan kaku. Tapi kedua adikku tampak senang.

Tiga minggu kemudian ibuku menikah dengan Sukardi, dirayakan sederhana tapi disaksikan semua tetangga dekat. Mereka yang mengatai ibuku lonte berkomentar, “Ibumu sudah laku kawin, pensiun jadi lonte..” – aku naik pitam. Mereka yang mengata-ngataiku kuserang dengan membabi-buta. Mereka mengeroyokku hingga aku tak sadarkan diri. Ketika aku membuka mata, kulihat wajah ibuku yang seram dan tangan kanannya langsung memukulku. Ibu Kepala Sekolah melerainya dan meminta agar ibuku membawa pulang aku. Sejak itu aku tak pernah kembali ke sekolah itu. Aku dikeluarkan dari sekolah. Setiap hari ibuku memaki-makiku, sambil memukuli tubuhku dengan rotan. Suatu malam aku meninggalkan rumah sambil bergumam, “Ibu, aku berkelahi untuk membela harga dirimu! Aku bukan anak nakal, Bu.” – sayangnya aku tak mampu mengatakan itu pada ibuku. Aku tak tega!

Pulanglah! Kata itu membuat air mataku tumpah di pelukan lelaki bertubuh dan berparas seperti Gatotkaca, tokoh wayang favoritku. Lelaki itu biasa kupanggil Om Darwis, seorang polisi sahabat ayahku sejak mereka sekolah polisi di Sukabumi hingga mereka bertugas bersama dan ayahku meninggal. Om Darwis terus bertugas dan suatu malam menemuiku di emperan toko di kotaku.

“Pulanglah. Jangan jadi gelandangan. Tidak baik untuk masa depanmu. Adik-adikmu mencarimu. Ibumu juga. Bahkan ayahmu, Pak Sukardi bingung. Pulanglah. Ayo saya antar.” Om Darwis membelai-belai kepalaku, “Kau anak tampan-gagah, pinter, berhentilah berkelahi. Kau sekolah lagi ya? Agar kelak bisa jadi tentara, polisi atau jadi dokter?” – suara Om Darwis lembut, membujuk manis.

Aku menggeleng. Aku tidak mau pulang. Aku benci ibuku. Aku benci Sukardi ayah tiriku walau ia sangat baik.Kuperhatikan, selain memberi uang belanja yang cukup untuk ibuku, ia juga rajin mengantar sekolah kedua adikku. Bahkan ia memperbaiki atap rumah kami yang bocor, mengganti pompa air yang rusak, membeli kursi untuk teras dan halaman belakang rumah yang semula kumuh diubah jadi taman segar dan asri. Kehadiran Sukardi membawa banyak perubahan di rumah kami, tapi sikap ibuku tidak berubah. Aku ditikam begitu banyak hal yang membuatku jadi pembenci dan tak mau pulang. Maka, Om Darwis pun tak bisa memaksaku pulang.

Om darwis menyelipkan dua lembar uang ke dalam sakuku sebelum meninggalkanku sendirian malam itu, di emperan toko. Tiba-tiba tubuhku lunglai dan terjatuh. Lantai emperan toko yang dingin dan perutku yang kosong, membuat tubuhku menggigil, kepalaku pusing, lalu aku lupa segalanya. Ketika aku sadar dan membuka mata kudengar suara bernada berat tapi lembut, “Alhamduillah, kau sadar…ayo minum teh hangat ini.” – tangan kekar itu mengusap-usap keningku, lalu membangunkan tubuhku yang lemas dan memberiku minuman hangat. Sukardi? Samar-samar kulihat wajahnya. Bersamaan dengan itu, kulihat tangan mengayun dan memukulku. Itu tangan kanan ibuku. Aku hafal, tangan itu tidak hanya membuat biru-lebam bahuku tapi juga semakin memar hati dan perasaanku.

“Cukup! Stop. Jangan kejam kamu…!” kudengar suara Sukardi melerai ibuku. Sekujur tubuhku teramat nyeri dan hanya satu keinginanku: menyusul ayah kandungku – mati! Biar hidupku tamat.

Kenyataannya aku tidak mati. Aku masih terus hidup dan tinggal di rumah yang kubenci dalam kondisi sakit. Berkali-kali Om Darwis menjengukku dan membujukku agar mau berobat ke rumah sakit. Sebab, aku menolak ketika Sukardi mau membawaku ke rumah sakit. Padahal tubuhku yang penuh luka dan lebam perlu perawatan. Selain itu, nafasku juga sesak. Akhirnya kuterima bujukan Om Darwis. Setelah diperiksa dokter, hasilnya – aku harus opname agar bisa dirawat secara intensif. Kedua adikku menangisiku, sangat sedih melihat kondisiku. Aku memejamkan mata bila ibuku menjengukku, untuk menghindari caci-makinya. Mataku memejam makin rapat jika Sukardi, mendekatiku. Aku ingin pergi dari mereka, walau tak tahu akan pergi ke mana? Ketika aku merasa sehat, minggat dari rumah sakit..
Aku kembali menggelandang, hingga suatu hari aku kembali jatuh pingsan dan dibawa pulang oleh Om Darwis, Sukardi – ayah tiriku dan seorang anak lelaki sebaya denganku tapi tubuhnya lebih kekar dibandingkan denganku. Matanya bening, bibirnya yang segar menguak tersenyum padaku penuh persahabatan. Ia menjabat tanganku erat-erat. Om Darwis berbisik padaku, anak lelaki itu bernama Wira – Wirawan, salah seorang putra Sukardi. Aku baru kali itu aku berjumpa dengan anak Sukardi. Ternyata yang menjengukku selain Wira, ada Idawati dan Mulyawan. Wira anak Sukardi yang paling kecil. Idawati adalah anak sulungnya dan Mulyawan anaknya yang nomor dua. Mereka saudara-saudara tiriku. Dengan adanya tali perkawinan maka kini ibuku dan Sukardi jadi punya enam orang anak. Keluarga besar? Aku gelisah. Aku ingin berpisah dengan mereka.

Cerai! Kata itu sungguh mengejutkanku kala kudengar terlontar dari mulut Sukardi pada suatu malam. “Ce-rai?” seru ibuku gagap, “Kau mau menceraikanku? Kau…”
“Iya.” Sahut Sukardi tegas, membuat darahku mendidih dan ingin menempelengnya, karena ia mau menceraikan ibuku. Apa maksudnya? Dengan gigi gemeretak kutahan amarahanku, kudengarkan lanjutan kalimat Sukardi dengan seksama. “Iya, aku akan menceraikanmu kalau kau tidak bisa berubah.”
“Berubah? Aku udah usaha keras berubah dan sabar hadapinya. Tapi, anak itu memang bengal, liar, ganas. Lebih baik dia mati…” ibuku penuh emosi. Aku langsung tanggap, yang dimaksud ‘dia’ adalah aku. Langsung tubuhku panas, nafas sesak – begitu bencinya ibuku padaku, hingga ia menginginkan aku mati? Kutenangkan diriku. Tarik nafas. Aku tak sabar menanti respon ayah tiriku.

“Istigfar….istigfar kamu,” seru Sukardi menyuruh ibuku beristigfar, “Tega-teganya kamu ingin anak kandungnya mati. Dia itu…anak yang kau lahirkan. Tanya! Kenapa dia bengal, liar, tentu ada sebabnya. Dia perlu dituntun agar tidak sesat. Percuma aku jadi suamimu kalau kau tidak bisa berubah…”
Kudengar, tiba-tiba ibuku menangis pilu. “Aku mau berubah, ndak akan kejam lagi sama dia.”
“Tuluskah yang kamu katakana itu?” seru Sukardi.
“Iya. Sumpah. Aku ndak akan kejam lagi sama dia.” Sahut ibuku di antara tangisnya.
Tubuhku gemetar tersentuh keharuan yang tak kuduga-duga. Air mataku pun meruah ketika mendengar Sukardi berkata lembut, ”Baiklah, aku percaya sumpahmu. Kalau begitu, saya mau minta pindah tugas di kota lain, agar kita bisa memulai hidup baru. Terutama, agar dia bisa kembali sekolah, punya teman baru di lingkungan lebih baik. Saya percaya, dia bisa berubah menjadi anak baik. Saya akan bimbing-tuntun dia !” kalimat Sukardi terputus oleh isak tangisnya, “….walau saya tahu, anak itu tidak suka pada saya. Ya, itu karena, dia belum kenal saya secara dekat. Juga, belum kenal anak-anak saya.”
“Jadi, kau ndak benci pada anakku itu?” sela ibuku, sambil masih terus menangis.
“Ah, kamu.Tidak ada gunanya menyimpan kebencian. Sebaiknya, tumbuhkan terus benih cinta dan kasih sayang dalam jiwa kita agar kita tidak saling mendendam, penuh curiga. Oya, pelan-pelan anakmu itu pasti mengenal saya juga paham kalau anak-anak saya itu baik. Kita harus bersatu jadi keluarga besar, keluarga bahagia. Itu impian saya, maka saya menikahimu.”

Ohhhh…Sukardi, Sukardi! – ingin aku bersujud padanya memohon maaf atas sikapku yang tak terpuji terhadapnya selama itu. Sejak malam itu tidak hanya ibuku yang berubah, tapi juga diriku. Kupanggil Sukardi – ayah tiriku dengan sebutan ‘Bapak’. Air matanya berkaca-kaca ketika untuk pertama kalinya ia mendengar sebutan itu kuucapkan pada suatu pagi ketika ia berjalan menuju ke mobil dinasnya, Jeep Willys – “Bapak, salam pagi!”
“Salam pagi,” – Responnya dengan mata berbinar. “Ayo, ikut Bapak.” Sambungnya spontan , sambil membuka pintu mobilnya agar aku masuk, duduk di jok depan, di sampingnya.
“Ikut Bapak kerja? Ah, tidak. Malu.” Aku menggeleng, mundur selangkah.
“Ayolah. Nanti Bapak tunjukkan sesuatu padamu.” Ia mengangkatku dan mendudukkanku di atas jok mobil depan. Dengan cepat ia tutup pintu mobil dan naik ke mobil, duduk di sampingku. Ia hidupkan mesin mobil sambil berkata,”Tentu kau akan senang.” Ucapnya.
Mobilnya melaju ke arah selatan. Aku bertanya-tanya dalam hati – mau dibawa ke mana aku? Sekitar 30 menit kemudian kami sampai di persawahan. Kulihat banyak sekali lelaki sibuk mencangkul. Ketika melihat Bapak mereka berhenti sejenak, memberi hormat. Beberapa orang lelaki berseragam serupa dengan Bapak, datang menghampiri Bapak dan memberi hormat. O, ternyata mereka anak buah Bapak. Dengan gesit Bapak turun dari mobil dan menurunkan aku dari jokmobil depan.
“Pagi, Pak!” mereka bersalam.
“Pagiii. Nah, hormat dulu sama Pak Bos Kecil ini,” kata Bapakku, sambil mengangkatku ke batas dadanya, untuk menerima penghormatan.
“Selamat pagi Pak Boss Kecil,” mereka memberi hormat padaku.
“Selamat pagi, Bapak-Bapak.” Sahutku dengan suara gemetar karena haru, bangga dan bahagia.
Bapak bertepuk tangan setelah penghormatan berakhir. Kemudian ia berbicara dengan mereka tentang penanaman bibit tebu. Aku berjalan-jalan melihat bentangan sawah yang siap ditanami bibit tebu yang manis, untuk digiling menjadi gula pasir putih nan legit.
“Kau harus sekolah lagi, agar hidupmu kelak selegit gula pasir,” kata Bapak ketika kami meninggalkan bentangan sawah yang luas itu. Ia membawaku ke luar kota – berjarak sekitar 40 kilometer dari kota di mana kami tinggal. Ia mengajakku melihat rumah baru yang akan kami tempati. Juga, menunjukkan sekolah yang akan kumasuki. Tapi, momentum yang paling indah ketika aku diajaknya ke sebuah warung makan di tengah sawah untuk makan siang. Di warung itu ternyata kami telah ditunggu oleh ibuku, kedua adikku dan ketiga anak kandung Bapak. Kami makan bersama dengan suasana hangat dan nikmat, menyantap nasih putih, sayur lodeh dan lauknya ikan nila goreng.
Seminggu kemudian kami menepati rumah baru, walau masih menunggu kepindahan tugas Bapak. Aku kembali masuk sekolah. Sebelas tahun kemudian, aku lulus Sarjana Pertanian. Bapak mengajakku membuka usaha pembudidayaan tanaman organik. Ia tekun berladang didampingi ibuku hingga Tuhan memanggilnya saat ia sedang minum kopi bersama kami, istri dan anak-anaknya. Kata ibuku, Bapak meninggal dalam situasi bahagia. Tapi, setahun kemudian ibuku meninggal dalam kondisi menyedihkan, akibat kanker yang menyerang rahimnya.
Menjelang menutup mata ibu berbisik padaku, “Hatimu sungguh mulia.Tak dendam pada ibumu yang pernah kejam padamu. Dan, satu hal – kau benar. Ibumu ini memang bukan lonte. Maka kau bela mati-matian, hingga kau jadi jagoan tukang berkelahi. Terima kasih.” – suaranya parau, serak-seraknya terbang tinggi bersama ruhnya. Keduanya menembus arak-arakanan mega lalu menyusup ke langit biru menjadi larik-larik puisi. Ohh, ternyata ibuku tahu mengapa waktu itu saya suka berkelahi.
“Ibu!” kupeluk erat tubuhnya yang mendingin.
Keningnya yang masih hangat kukecup perlahan.
Sungguh, aku sangat hormat dan menyayanginya: Ibuku memang bukan lonte!

Gubug Hijau Rayakultura Bantul Yogyakarta, Medio Februari 2017

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku