Gemerlap Lubang-Lubang Gelap
Oleh Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy – Siswi SMPN 2 Blitar Jawa Timur
Sebenarnya jalan raya yang lengang ini memberiku cukup ruang untuk lebih cepat mengayuh pedalku. Desiran angin dari sela-sela pohon di kiri kanan jalan rasanya sanggup meredam teriknya mentari. Namun segera kuperlambat laju sepedaku tatkala menyadari sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Benar saja. Kali ini ban belakang sepedaku membuatku menyerah.
Aku segera menepi. Beberapa kali kupencet ban belakang sepedaku untuk memastikan kondisinya, meskipun hanya dengan melihat saja sudah bisa kupastikan ban itu memang benar-benar kempis. Aku mengedarkan pandangan di sekitarku. Tidak ada tukang tambal ban. Kalau pun ada percuma, pikirku. Tidak ada rupiah tersisa di kantong celanaku. Uang sakuku hari ini habis untuk fotocopy latihan soal matematika. Ibuku memang tidak pernah memberiku uang jajan lebih.
Namun aku tidak pernah mengeluh untuk hal yang satu itu. Bagiku membawa bekal sebotol air sudah cukup untuk mengantarku sampai ke sekolah walaupun jarak antara rumah dan sekolahku tidaklah dekat. Sekitar 18 km untuk berangkat dan 18 km untuk kembali ke rumah. Jarak 36 km dengan medan berkelok-kelok penuh tanjakan dan turunan yang kutempuh setiap hari membuatku merasa lebih sehat dibandingkan teman-temanku yang lain. Seperti itulah aku menyemangati hariku.
Keringat mulai merembes dari sela-sela topi pramukaku. Sebagian mengalir menggelitiki punggung. Tak bisa kukendalikan desah nafas yang saling memburu seiring alas sepatuku menapaki jalanan beraspal. Beberapa kendaraan yang lalu lalang dengan mulus membuatku menelan ludah. Sudahlah, toh ini bukan kali pertama, bukan pula sesuatu yang perlu diratapi. Bahkan, bagi seorang anak laki-laki cengeng sekali pun.
Binar lega tak bisa kusembunyikan tatkala aku mendapati simpang kecil di sebelah kanan mushola. Saat itu langit telah berubah warna dari cerah menjadi sedikit kemerahan. Hawa kampung tempat tinggalku menjalar damai bersama burung walet yang terbang rendah diatas pemukiman. Berapa langkah ke depan sebuah rumah dengan pelataran yang luas tempat bapak biasanya menjemur gabah akan menyambutku.
Di sebuah lincak (balai-balai dari bambu) yang menghiasi teras rumahku, dua orang yang kukenal akrab sedang terlibat percakapan yang sepertinya tidak biasa. Sebenarnya aku ingin tidak peduli saja, mengingat dibetisku rasanya tertancap balok-balok kayu yang mengganjal hingga terasa panas luar biasa. Pandangan keduanya tertuju padaku.
“Lho, kok sampai sore, le. Sepedamu mana?” tanya bapak menyambut kedatanganku.
“Bocor, Pak. Agung titip di tukang tambal ban,” jelasku menyalami Bapak dan Pak lik Handoko.
Bapak bukanlah tipe orang tua yang suka memanjakan anak-anaknya. Kejadian yang kualami ini bukanlah apa-apa. Melihat kedua orang tuaku yang pekerja keras membuatku jadi anak yang mandiri tanpa harus dilatih.
“Kamu lihat itu kan, mas? Kamu nggak kasihan melihat anakmu seperti itu? Kamu bisa membelikannya sepeda motor kalau bersedia mengikuti saranku.”
Pak lik sepertinya ingin melanjutkan pembicaraannya yang sempat terpotong karena kedatanganku. Kulihat bapak menghela nafas panjang. Dari raut mukanya aku bisa menebak ada sesuatu yang sedang beliau pikirkan dan itu membuatku merasa tidak tega. Bapakku sudah terlalu lelah. Tidak seharusnya ada hal yang membebani beliau lagi.
Merasa tidak nyaman, aku berpamitan masuk ke dalam. Aku tidak mungkin terlibat dalam pembicaraan dua orang dewasa ini. Sementara samar-samar kudengar Pak lik masih gencar dengan kalimat-kalimatnya. Apa yang sebenarnya mereka perbincangkan? Tidak biasanya mereka terlihat seserius itu.
*
Aroma khas seperti bau harum setengah gosong merebak dari dapur. Di sana kudapati ibuku sedang sibuk melemparkan jerami dan batang-batang kayu kering ke bara api dalam sebuah tungku. Dibantu alat peniup dari bambu (semprong) ibuku mencoba menyesuaikan besarnya api. Di atasnya sebuah wingko besar beliau gunakan untuk menggoreng biji kopi yang dicampur dengan beras. Menurut ibu, ini bisa lebih menghemat karena akan lebih banyak bubuk kopi yang dihasilkan. Begitulah, hampir semua yang kami makan dan minum adalah buah kerja keras yang berasal dari kebun dan sawah milik kami sendiri. Selanjutnya tugaskulah menumbuk biji kopi itu dengan lumpang batu dan alu peninggalan nenekku. Tidak perlu mesin penggiling kopi. Bahkan saat panen raya sekali pun semua dilakukan dengan otot.
“Ibu tahu apa yang dibicarakan Pak lik dengan Bapak kemarin?” tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Aku menduga pastilah Bapak menceritakannya pada Ibu. Mendengar pertanyaanku, Ibu mengerutkan dahinya.
“Soal apa to le?” ibuku balik bertanya.
“Sepertinya Pak lik kemarin meminta Bapak melakukan sesuatu, Bu,” jelasku. Aku mendengar jelas desahan nafas ibuku.
“Bukan apa-apa, le. Pak lik cuma menawari bapakmu pekerjaan.”
Aku lebih kebingungan mendengar penjelasan ibu. Pekerjaan? Bukannya Bapak sudah bekerja sangat rajin setiap hari? Butiran-butiran keringatnya telah mampu mencukupi apa yang kami butuhkan. Apakah itu belum cukup? Kampungku ini adalah surga tanaman bagi para penduduknya. Bentangan sawah terhampar luas bagai permadani. Tak hanya itu. Pohon-pohon jati tumbuh dengan gagah menghiasi lereng gunung seperti lukisan alam yang sengaja dipamerkan oleh Tuhan. Memang, itu adalah hadiah terbesar dari Tuhan yang sengaja diberikan pada kami yang bermukim di sini. Tanah yang subur, hutan penjaga alam dengan beragam satwa, air yang melimpah, semua itu lebih dari apa yang kami butuhkan.
*
Di saat aku mulai benar-benar paham seberapa hebatnya peranan hutan bagi bumi ini, maka aku merasakan pilu melihat apa yang terjadi di depan mataku. Ini jawaban kedatangan Pak lik menemui Bapak beberapa waktu yang lalu. Aku tidak tahu apakah ini bisa disebut anugerah, ataukah sebaliknya. Kabar burung menyebutkan bahwa kawasan yang kami tinggali ini ternyata kaya akan emas. Tak pelak kenyataan ini disambut riang gembira oleh banyak orang.
Tambang emas menjadi idola baru bagi sebagian penduduk yang sudah bosan dengan kehidupan apa adanya. Bahkan banyak orang mulai berani membangun mimpi-mimpi mereka yang tadinya mustahil terbeli. Aku merasakan sebuah firasat buruk. Diam-diam dalam hati aku berdoa semoga di tengah-tengah gemerlapnya tambang emas yang menjajikan itu, masih ada orang-orang yang tidak dibuat silau olehnya.
Rasa penasaran akhirnya membawaku menyusuri lereng gunung. Pagi itu napas masih menimbulkan uap putih. Aku keluar rumah lebih cepat dari biasanya. Kulihat ke arah timur, matahari belum sepenuhnya terjaga. Pagar-pagar bambu yang kulewati seakan berlarian meninggalkanku. Semakin jauh semakin aku menyadari ternyata telah banyak hal yang berubah. Aku sangat terkejut ketika melewati pinggiran sungai yang biasanya digunakan bermain anak-anak kecil termasuk aku dan teman-temanku kala itu. Hamparan luas berwarna putih terang laksana padang pasir menguasai sungai.
“Apa yang terjadi?” gumamku. Aku mulai menduga-duga. Prasangka buruk berkecamuk dikepalaku.
Belum hilang keterkejutanku, sekali lagi aku dibuat lebih terkejut lagi. Dari atas terlihat jelas warna hijau dedaunan yang dulu menjadi selimut lereng gunung tanpa celah, kini sebagian telah berganti coklat tanah liat. Berkali-kali aku mengucek mataku berharap ada kesalahan pada penglihatanku.
Kuhela napas panjang dan menghembuskannya pelan. Di tengah-tengah perjalanan kurasa aku telah menemukan jawaban dari rasa penasaranku. Dengan mengumpulkan segenap nyali, aku mendekati sekelompok orang yang tengah sibuk dengan berbagai peralatannya. “Itukah mereka?” batinku.
Aku memperhatikan segala aktifitas mereka dengan seksama. Kulihat beberapa orang mulai menggali tanah hingga menembus bagian pasir. Kemudian tanah itu disedot dengan mesin khusus dan diarahkan ke mesin lain yang di desain untuk menyaring pasir dengan air. Dan bijih emaspun akan terpisah dibagian penyaring yang mengandung bahan kimia merkuri.
Aku ternganga. Inilah yang membuat orang tergila-gila. Bukan hanya emas yang mereka dapat. Bagian lain berupa pasir halus berwarna hitam manis -yang kuduga zirkon- juga dipisahkan untuk dijadikan rupiah.
“Tidak satu pun orang yang tidak tergiur melihat ini,” gumamku lirih.
Bisa ditebak, kawasan ini kian banyak diserbu orang-orang yang berlomba menambang mimpi-mimpinya. Semakin hari semakin banyak para pendatang yang suka tidak suka akhirnya mengubah kehidupan kami. Layaknya makan buah simalakama, kenyataan ini memang mampu mendongkrak ekonomi warga kampungku. Namun di sisi lain hatiku seperti disayat-sayat sembilu ketika menyaksikan orang-orang itu, mesin-mesin itu, lubang-lubang itu, limbah-limbah itu nyatanya telah merusak apa yang dulu kami miliki.
“Harus seperti itukah cara untuk menjadi kaya?” berkali-kali aku melontarkan pertanyaan itu pada bapakku. Bapak yang sepaham denganku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Gelombang keresahan mulai melanda di tengah lompatan kegirangan sebagian orang yang merasa pundi-pundi uangnya makin gembung. Udara panas yang berhembus di pematang-pematang sawah kian menyulut kegalauan para petani.
“Bagaimana lagi, air pun harus berebut,” begitulah keluhan yang kudengar dari orang-orang yang setia dengan sawahnya. Aku mendapati sosok bapakku berdiri di antara mereka. Sosok yang selalu terlihat tenang itu nyatanya tidak mampu menyembunyikan kekhawatiran di raut mukanya. Sejak dibukanya tambang-tambang emas para petani harus berbagi air dari sungai dengan penambang yang juga membutuhkan berliter-liter air setiap harinya untuk memisahkan bijih emas. Tak hanya itu, rusaknya lingkungan hutan juga sangat menganggu ketersediaan air bawah tanah.
*
Selalu saja saat senja menjelang aroma secangkir kopi panas merebak di bilik kami yang tak luas. Sementara di luar kulihat Ibu sibuk mengandangkan ayam-ayamnya. Aku berjalan mendekati Bapak. Sejenak aku memperhatikannya duduk bersila di lincak depan rumah. Sesekali beliau memijit-mijit sendiri telapak kakinya. Menyadari kehadiranku Bapak segera menggeser duduknya.
“Sini, le,” seru bapak mengajakku bergabung.
“Pak, Agung tak sabar menjadi dewasa,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mendengar itu Bapak malah terkekeh.
“Bapak dulu waktu umur lima belas tahun juga sama sepertimu. Pingin cepat-cepat besar, hahaha,” Bapak mengacak-acak rambutku sambil tertawa lebar. Tak kulihat beban dimatanya. “Sekolahmu bagaimana? Kamu harus jadi insinyur nanti, le, biar bisa bikin bapakmu ini bangga. Ir. Agung Prasetyo…” senyum Bapak kembali merekah mengakhiri kalimatnya.
Bukannya mengabaikan kalimat-kalimat Bapak, namun pikiranku saat ini sedang tak menentu.
“Pak, Agung tahu kenapa sekarang petani di sini kesulitan air.”
Bapak mengerutkan dahinya yang mulai keriput. Seketika rona wajahnya berubah.
“Kamu itu sebenarnya mikir apa to, le?”
Aku menghela napas panjang. Bedug maghrib terdengar bertalu-talu memanggil kami untuk segera mengambil air wudlu. Dan perbincangan kami ini tak berpernah berlanjut.
*
Kembali aku mengitari lereng-lereng gunung. Kini semakin terlihat jelas beberapa bagian hutan telah gundul. Lubang-lubang bekas galian tambang menganga sementara limbah pasir dan sampah plastik berserakan di mana-mana. Jalanan becek bekas guyuran hujan memperlengkap kemirisan hati siapapun yang peduli dengan apa yang terjadi pada kawasan ini. Harusnya ada yang bisa aku lakukan, paling tidak untuk bapakku.
Bayanganku berkelebat di gelapnya malam. Mungkin ini sangat konyol atau bahkan sedikit gila. Ku biarkan saja kaki dan tanganku mengikuti perintah hatiku. Berbekal cangkul milik bapak aku larut dalam misi rahasiaku. Tak ingin diketahui siapapun, aku mencoba mengembalikan alamku dengan caraku sendiri. Saat orang beranjak tidur, aku mulai mengendap-endap diantara pohon yang meliuk diterpa angin.
Lubang-lubang itu begitu gelap. Aku menatapnya awas. Di lubang gelap itu tersimpan gemerlap harapan yang menyilaukan banyak orang. Aku melangkah semakin dekat. Kemudian tanpa ragu aku mulai menguruk lubang itu dengan gundukan tanah hasil galian disekitarnya.
Cangkulku menari dengan lincah. Otot-otot tanganku menyembul diantara keringat yang mulai mengucur. Disaksikan tatap mata satwa malam aku beraksi. Sedikit demi sedikit aku berhasil memasukkan tanah ke lubang itu, kemudian menimbunnya, dan terus menimbunnya tanpa lelah hingga kokok ayam terdengar menyambut terbitnya fajar, dimana aku harus kembali pulang.
*
Satu malam, dua malam, satu minggu, hingga bulan. Kurasa pekerjaanku tak akan sia-sia. Setidaknya satu demi satu lubang-lubang itu berhasil teruruk. Seperti biasanya, udara dingin berhembus dari lereng gunung. Kabut mengambang di atas rerumputan liar. Sesekali terdengar nyanyian pungguk hingga membuat bulu-buluku meremang. Tanah masih basah bekas siraman hujan sore tadi. Ku edarkan pandanganku ke segala penjuru sebelum mantap menyelinap diantara pepohonan.
Di sana satu lubang menantiku. Kurasa aku sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan malamku. Selanjutnya, kutancapkan cangkulku digundukan tanah kemudian menariknya sekuat tenaga, dan melemparkannya kedalam lubang, lagi dan lagi. Aku terlalu bersemangat hingga tidak menyadari sesuatu yang buruk sedang mengintaiku.
Langit seakan bersendawa. Bunyi gemuruh terdengar mengiringi tetesan-tetesan air yang kian lama kian nampak seperti sengaja dimuntahkan. Aku segera mengambil langkah untuk berlindung, namun naas, kakiku tergelincir. Aku terperosok kedalam lubang galian tambang. Kepanikan luar biasa menghantuiku saat air melongsorkan tanah diatasku.
“Tolong aku,Tuhan!” aku merintih pasrah.
Tidak seorangpun di sana. Napasku mulai sesak. Longsoran tanah menerjang tubuhku bertubi-tubi. Aku bersujud, melindungi bagian kepalaku dengan kedua tanganku. Rasa sakit mulai menjalar. Longsoran tanah terus menguburku. Telingaku mendenging, kepalaku terasa sangat berat. Dadaku seperti terhimpit membuat napasku tersengal-sengal. Sesak, pengap. Entah mengapa tiba-tiba aku menggigil hebat. Aku tidak bisa lagi mengendalikan tubuhku yang mengejang. Pandangan mataku abstrak, lunglai, hingga aku tidak bisa merasakan apapun. Semua berubah gulita.
Entah dari mana datangnya tiba-tiba aku mendapati sinar lurus bagai panah cahaya. Aku merasakan tubuhku seringan kapas, melayang, mengikuti arah cahaya itu. Sebuah lorong putih menantiku didepan sana. Ragu-ragu aku melangkah menyusuri lorong itu. Semakin jauh seperti tak bertepi.
“Di mana aku? Apa yang terjadi?”
Samar-samar aku melihat sebuah jalan setapak. Aku berjalan di atas tanah berumput, ditepi sebuah sungai. Rasanya aku pernah melihat sungai itu, dulu, dulu sekali. Sungai yang begitu jernih. Aku berniat mencuci mukaku namun air sungai itu tiba-tiba meluap menyeretku ketepian sebuah hutan. Aku mendongakkkan kepalaku. Pohon-pohon tinggi menjulang. Anehnya semua pohon di hutan itu terbalik dengan akar di atas. Akar itu menjulur-julur seolah ingin menjeratku. Aku berlari menjauh. Sekencang-kencangnya aku berlari hingga aku kembali menemukan jalan setapak yang tadi kulalui. Sebuah tanah berumput ditepian sungai bersaput kabut, oh, semua sangat membingungkan. Dalam lengang aku melihat seorang anak laki-laki berbadan kurus dengan seragam pramuka tengah menuntun sepedanya.
“Hai…” aku menyapanya pelan, namun anak itu tak bergeming.
“Bolehkah aku bertanya?” sekali lagi aku mencoba menyapanya dengan pertanyaanku, namun ia tetap membisu. Aku terus mengikutinya. Hingga sampai di simpang kecil sebelah kanan mushola, anak itu berbelok dan menghilang begitu saja disebuah rumah dengan pelataran yang luas. Bendera putih terpasang di tugu depan rumah itu. Orang-orang berkumpul di sana. Isak tangis terdengar di mana-mana.
Di sebuah lincak aku melihat seorang laki-kali paruh baya terkulai pucat, enggan bergerak. Sorot matanya redup, sementara butiran air bening mengalir dari sudutnya.
“Bapak, apa yang terjadi?” aku berteriak sekuat-kuatnya hingga tenggorokanku terasa panas. Namun semua orang sepertinya tidak mempedulikanku.
Dadaku berdegup kencang. Di ruang tengah terbaring sesosok tubuh di atas sebuah tikar ditutupi selembar kain jarit. Lantunan ayat suci Al Qur’an bergema. Di tengah kerumunan orang kulihat ibuku terisak-isak memeluk sebuah nisan bertuliskan Agung Prasetyo.
*
Genangan air memantulkan serpihan sinar rembulan dengan sempurna. Tanah dan pasir telah menimbun lubang naas tersebut, meninggalkan sisa-sisa ingatan perih pada batin tiap-tiap orang. Tambang itu telah ditutup dengan menyimpan segudang misteri serta gemerlap emas yang masih berkilau nun jauh di bawah permukaan bumi – di sela-sela timbunan tanah, batu dan memori tentang Agung Prasetyo.
*