HABIS GELAP TERBITLAH TERANG, BAGI BMI DI NEGERI GINSENG: DAEGU
Oleh Hasan Sanusi
Perkenalkan nama saya Hasan Sanusi, salah seorang Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sekarang masih terikat kontrak dengan salah satu perusahaan di Deagu, Korea Selatan. Sebagai pekerja yang berpengalaman dan telah dua periode terikat kontrak bekerja di Korea Selatan, melalui tulisan ini saya untuk berbagi cerita tentang suka dukanya menjadi seorang BMI Indonesia yang bekerja di bidang pembuatan plastic injeksi molding(PIM) atau cetakan plastik injeksi .
Sebelum melanjutkan kisah hidup saya di negeri Ginseng, terlebih dahulu saya mendefinisikan BMI. Buruh Migran (Migrant Workers) atau tenaga kerja di luar negeri adalah salah satu sektor di mana perdagangan orang terjadi. Dengan kata lain kasus perdagangan orang terjadi dalam konteks menjadi migran. Di negara kita, pengertian ini merujuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam konteks keseluruhannya, buruh migran atau TKI merupakan para pekerja yang berstatus warga negara, baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu.
Pada dasarnya, sebagai warga negara yang mencoba keberuntungan mencari kerja, pekerjaan kami biasanya ditentukan melalui penempatan kerja dan disesuaikan dengan kontrak kerja yang telah disepakati bersama sebelumnya. Seperti halnya yang saya ceritakan dalam tulisan ini tentang prosedur yang saya lewati, suka duka menjadi BMI dan hasil kerja keras dari negera tempat bekerja yang sudah saya investasikan saat ini.
Kisah perjalanan kehidupan ketika menjadi BMI atau TKI di negara Ginseng ini saya menggunakan judul buku dari pemikiran RA. Kartini yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Hal ini karena, pengalaman-pengalaman ketika menjadi BMI di Korea Selatan tersebut telah membuka pola pikir saya dalam menentukan cara pandang dan sikap yang lebih baik lagi di masa depannya dibandingkan dengan awal saat pertama menerjunkan diri mengambil jalur pekerjaan tersebut. Sehingga kekeliruan pemikiran yang dangkal tentang prosedur menjadi TKI ketika berangkat pada periode pertama yang saya jalani, saya umpamakan seperti kegelapan yang menyelimuti diri. Sedangkan periode selanjutnya ketika saya kembali menjadi TKI namun dengan misi yang berbeda menjadi titik cahaya terang yang mulai menyinari kehidupan saya hingga saat ini.
Bermodal Ijazah SMK dan Ditipu Calo
Awal periode pertama menjadi TKI bukanlah hal dapat saya predikasi saat itu. Tepatnya, sekitar tahun 2008 silam, saya merupakan salah seorang pemuda yang baru menamatkan sekolah kejuruan, SMK. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dan baru lulus dari salah satu SMKN di Cirebon, tidak menjadikan dirinya sebagai pemuda yang manja dan bergantung kepada saudara saudaranya. Ketika anak seusia saya berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, kala itu saya justru berkeinginan keras untuk bisa segera bekerja.
Berawal dari banyaknya penduduk kabupaten daerah asal yaitu Cirebon yang merupakan salah satu wilayah pengirim TKI terbanyak di Indonesia, membuat saya ikut tergerak mencoba keberuntungan mencari rejeki lewat jalur tersebut. Pada realitasnya BMI atau TKI asal daerah saya ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seperti yang dilaporkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon angka TKI tahun 2012 yang awalnya hanya mencapai 9.768 orang kini menurut catatan BNP2TKI tahun 2014 telah mencapai 15.786 orang. Dengan latar belakang meningkatnya jumlah TKI yang signifikan seperti sekarang inilah yang akhirnya membuat saya mendapatkan banyak dorongan dan motivasi dari beberapa orang terdekat yang telah lebih dahulu menjadi BMI atau TKI ini saat itu untuk menempuh jalur tersebut.
Salah satu daerah tujuan kebanyakan BMI atau TKI dari Cirebon adalah Korea Selatan. Mengapa? Karena, Korea Selatan merupakan negara tujuan yang sangat menjanjikan hasil pendapatan kerja dibanding dengan negara lainnya. Contohnya, upah minimum Korea Selatan tahun 2017 rata-rata mematok sekitar 1.375.000 Won yang kurang lebih setara dengan 16 juta rupiah per-bulan. Selain itu, rata-rata perjanjian kerjasama yang dibuat biasanya ada yang dibayar 18 juta hingga 20 juta rupiah perbulannya. Apabila ditambah lembur bisa mencapai 30 juta rupiah perbulan. Dengan alasan inilah yang menjadikan Korea Selatan sebagai tujuan saya bekerja di Negeri Ginseng itu.
Pada awal muncul keinginan saya berangkat ke Korea Selatan, saya berkenalan dengan salah satu calo penyalur TKI ke berbagai negara. Dari perkenalan tersebut saya ditawari bekerja ke Korea Selatan lewat jalur calo tersebut. Syaratnya, harus membayar uang sejumlah 10 juta rupiah agar dijamin bisa berangkat menjadi TKI. Karena ketidakmengertian tentang prosedur menjadi TKI tersebut, saya pun mengambil tawaran itu. Langkah pertama yang saya lalui waktu itu adalah diminta mengambil kursus bahasa Korea disalah satu lembaga kursus di Cirebon selama satu bulan dengan modal sendiri. Hal ini dilakukan agar bisa lulus tes KLPT (Korean Language Proficiency Test). Dari sinilah saya mulai menyadari bahwa saya ditipu calo tersebut. Setelah lulus tes ternyata saya harus mengajukan lamaran ke BNT2TKI secara mandiri tanpa jalur calo tersebut. Sambil menunggu keputusan kontrak kerja yang diterbitkan oleh BNP2TKI diumumkan, saya dipekerjakan di lembaga kursus bahasa asing ini tanpa gaji. Benar-benar penipuan yang telak bagi saya waktu itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula sudah di tipu 10 juta dimanfaatan juga tenaganya oleh pihak calo tersebut. Padahal untuk pengajuan lamaran menjadi TKI ke Korea Selatan ini memang harus dilakukan secara mandiri dan biaya yang dikeluarkan untuk kepengurusannya juga hanya seperempat dari biaya yang saya berikan ke calo tersebut.
Antara Gelap dan Terang
Pada akhir tahun 2008 setelah dinyatakan lulus dan mendapatkan SLC (Standard Labour Contract) dari HRD Korea, saya dikarantina untuk menjalani proses PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) terlebih dahulu selama dua minggu sebelum akhirnya berangkat kerja ke Korea Selatan. Prosedur ini merupakan alur yang harus ditempuh oleh para TKI legal demi terwujudnya tenaga kerja yang berkualitas dan bermartabat di negara tujuannya nanti. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 39 tahun 2004 di pasal 31, 69, dan 95. Dimana disebutkan bahwa PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) bagi calon TKI adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pemahaman dan bekal bagi calon TKI, agar mempunyai kesiapan mental dan tambahan wawasan untuk bekerja keluar negeri.
Setelah melalui prosedur di Indonesia selesai, saya diterbangkan ke Korea Selatan. Sesampainya di Korea Selatan, sebelum bekerja di perusahaan, seluruh TKI wajib mendapatkan pembekalan di Anseong Traning Center. Sebelum di tempatkan di pabrik yang merekruit sebagai pekerjanya, saya diberi pembekalan tentang budaya, dan etos kerja di Korea Selatan serta sistem keselamatan kerja. Setelah itu barulah saya dijemput oleh pihak perusahaan yang merekruit saya.
Pengalaman pahit yang harus saya telan ketika pertama kali menjadi TKI di negeri Ginseng tersebut. Pertama kalinya ditempatkan di perusahaan produksi kardus di kota Gwangju Provinsi Gyeonggido. Sebelum sampai di Korea Selatan, saya sempat membayangkan bahwa pekerjaan di pabrik negara maju ini tempatnya bersih dan bagus. Namun ternyata dalam realitanya perusahaan tempat awal bekerja ini jauh dari ekspektasi yang saya bayangkan. Tempatnya kumuh, pekerjaannya sangat berat. Selain itu, adanya sikap yang tidak bersahabat yang ditunjukan oleh orang-orang korea pada TKI yang juga bekerja di tempat tersebut. Dengan kondisi lapangan yang seperti itu, akhirnya saya putuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
Selang beberapa hari kemudian, setelah mendapatkan file dari Depnaker Korea Selatan saya mendapatkan pekerjaan baru, di bidang industri pembuatan label untuk merek-merek seperti Nike, Adidas dan lain sebagainya. Lokasi tempat saya bekerja tidak jauh dengan perusahaan yang lama. Kondisi di perusahaan baru ini sangat berbanding terbalik dengan tempat pertama saya bekerja, membuat saya betah bekerja di perusahaan ini. Sayangnya, saya mendapatkan cobaan hidup yang sangat berat setelah sebulan bekerja di perusahaan tersebut. Hal terpahit yang harus saya alami dalam hidup saya yaitu menginggalnya bapak saya. Kesedihan yang mendalam tidak dapat menyaksikan pemakaman bapak saya membuat saya tenggelam dalam kedukaan. Sebagai pengobat perasaan bersalah terhadap almarhum bapak, akhirnya saya pulang kampung setelah dapat mengambil cuti di tahun ketiga bekerja pada perusahaan tersebut.
Hikmah Terserang ‘Demam’ Korean-Wave
Sebelum menyelesaikan kontrak kerja selama empat tahun 10 bulan untuk periode pertama akhir tahun 2012, saya mengalamai pengalaman hidup yang jadi pembelajaran agar tidak terulang dimasa depan. Jiwa anak muda yang mengalir di dalam diri saat itu membuat saya sangat labil dengan budaya kebebasan yang di Korea Selatan ketika periode awal menjadi TKI. Gaya hidup Korean Wave (Ke-Koreaan) pun saya ‘menyerang’ saya dan saya lakoni kala itu. Berpesta saat liburan kerja dan berjudi bola saya lakukan. Untunglah saya cepat menyadari bahwa apa yang saya lakukan adalah suatu kesia-siaan dan berdampak negatif bagi masa depan saya..
Setelah kontrak kerja selesai, saya putuskan untuk tidak memperpanjangnya dan kembali ke Indonesia dengan mencoba keberuntungan baru. Saya membuka usaha warnet dan konter HP bersama teman saya dengan modal dari hasil kerja saya di Korea Selatan. Selain itu saya juga membeli sebuah rumah di daerah Cikarang. Namun usaha yang kami rintis itu gulung tikar, karena minimnya pengetahuan saya membaca pasar. Kemudian saya putuskan untuk menjual usaha saya dan rumahh saya pada kerabat dekat relasi saya.
Dengan gulung tikarnya usaha yang saya rintis tersebut, akhirnya saya putuskan untuk kembali bekerja ke Korea Selatan. Pada periode keberangkatan kedua ini saya berniat bermisi berbeda dari periode sebelumnya. Yaitu selain bekerja bertujuan mengumpulkan modal untuk usaha, saya juga berkeinginan bisa mengecam bangku pendidikan perguruan tinggi di Korea Selatan. Misi yang baru dan berbeda dari sebelumnya menjadikan saya semakin semangat berusaha ekstra agar bisa kembali menjadi TKI di Negeri Ginseng.
Melalui jalur EPS-TOPIK CBT saya mengajukan lamaran kerja ke BNP2TKI untuk berangkat kembali menjadi TKI ke Korea Selatan. Bulan Oktober 2013 menjadi periode kedua keberangkatan saya menjadi TKI di Korea Selatan. Saya di tempatkan di perusahaan pembuatan plastic injeksi molding(PIM) atau cetakan plastik injeksi tepatnya di Daegu, Korea Selatan. Sambil bekerja pada saat hari libur kerja saya aktif di Migrant Center kota Daegu untuk mendalami bahasa Korea. Migrant Center ini merupakan lembaga sejenis LSM Korea yang diperuntukan bagi orang asing yang datang ke Korea Selatan dan ingin mengenal lebih dalam tentang bahasa Korea. Lembaga ini juga mengajarkan cara beradaptasi dengan budaya hidup di negara tersebut. Selain itu di waktu libur kerja saya juga aktif di bidang keagamaan, sering mengikuti beberapa kegiatan pengajian di musolah Al-Amin, Daegu dan beberapa seminar wirausaha yang diadakan oleh Kedutaan Besar Indonesia.. Sehingga aktivitas liburan sangat bermanfaat. Akhirnya pada tahun 2015 saya mendapat kesempatan melanjutkan studi di perguruan tinggi sesuai dengan misi saya.
Menjadi Mahasiswa di Yeungnam University
Tepatnya pertengahan tahun 2015, saya mendaftarkan diri menjadi peserta didik baru di Universita Terbuka Indonesia Cabang Korea Selatan yang berlokasi di Yeungnam University. Setelah berganti status menjadi TKI sekaligus mahasiswa di UT cara pandang saya tentang konsep hidup dan prilaku semakin terbuka. Pola pikir yang dulu tentang bekerja untuk berfoya-foya dan memenuhi kebutuhan hidup saat itu akhirnya saya tinggalkan. Kini cara pandang diri semakin matang dan penuh perhitungan tentang keuntungan dan kerugian yang akan saya petik di masa depan.. Seperti dalam makna detailnya menurut KBBI tentang arti pendidikan itu sendiri. Dimana pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata kelakukan seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;seperti proses, cara dan perbuatan mendidik.
Meskipun kegiatan ini, membuat saya harus bekerja ekstra dan mendapatkan sedikit liburan kerja namun perkuliahan di UT Cabang Korea Selatan tersebut lebih banyak membawa kebaikan untuk kehidupan saya sekarang ini. Di UT selain mendapatkan pengetahuan dasar tentang manajemen dan sistem usaha secara akademisnya, saya juga mendapatkan banyak pengalaman, peluang usaha, serta relasi baru untuk memulai investasi masa depan yang lebih baik dari pada sebelumnya. Di samping bekerja di perusahaan dan aktif di kegiatan kemahasiswaan saya pun aktif di KIMCHI( Komunitas Ciledug ) sebuah paguyuban TKI dari kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon. Saya ikut menginisiasi lahirnya paguyuban ini sebagai wadah silaturahmi BMI dari Ciledug, juga tempat berkumpulnya ide –ide brilian untuk kemajuan daerah asal.
Hingga saat ini, saya telah mampu menginvestasikan hasil keringat saya dalam bentuk asuransi, investasi modal usaha, investasi pendidikan, investasi rumah baru, depot air dan lain sebagainya. Sehingga dengan adanya usaha ekstra yang dilakukan ini, setelah berakhirnya kontrak tanggal 25 September 2018 nanti saya berharap sekembalinya ke Indonesia bisa membangun usaha yang lebih mapan lagi, jauh dari penipuan serta bisa tetap melanjutkan kuliah meskipun harus pindah rayon. Agar di kemudian hari saya tidak perlu kembali bekerja menjadi TKI di negara orang hanya demi mencari sesuap nasi.
Menghindari Deportasi
Melalui kisah perjalanan saya menjadi TKI selama dua periode keberangkatan ini semoga pembaca dapat mengambil hikmah agar tidak mudah tergiur dengan iming-iming para calo. Saran saya, jika ingin bekerja di luar negeri lebih baik mengajukan lamaran pekerjaan melalui lembaga resmi pemerintah seperti BNP2TKI. Tujuannya, agar keberangkatan Anda untuk bekerja keluar negeri menjadi legal dan dilindungi oleh hukum negara asal. Karena, para TKI yang tidak memiliki izin resmi dari negara asal untuk bekerja di luar negeri akan mendapatkan sanksi berupa kurungan penjara sebelum di deportasi. Selain itu juga keamanan hidupnya di negara tempat bekerja tidak dijamin oleh negara.
Hal lain yang juga bisa menjadi pembelajaran hidup dari kisah saya ini yaitu tentang cara melakukan penataan kelolah usaha haruslah dipikirkan matang-matang dan memperhatikan kondisi iklim ekonomi yang ada di sekitar tempat usaha. Mengetahui dasar tentang manajemen usaha yang jelas, sesuai dan tepat akan memudahkan kita untuk memajukan usaha tersebut. Sehingga tidak gulung tikar seperti yang saya alami.
Terakhir, bekerja selagi muda dan menginvestasikan hasil pekerjaan sedari dini merupakan langkah yang tepat untuk memanen hasil berupa masa depan yang cerah. Hal ini berbanding terbalik apabila kita bekerja selagi muda namun hasilnya hanya digunakan untuk berfoya-foya, tidak memberikan manfaat untuk masa depan. Karena membangun masa depan itu harus dilandasi dengan keinginan yang gigih dan usaha keras. Tanpa berusaha, hanya berwacana – hanyalah akan jadi mimpi bunga tidur saja.
*
Hasan Sanusi lahir di Cirebon, 3 Oktober 1987. Saat ini ia bekerja sambil kuliah di UT Korea Selatan, bermukim di Daegu Korea Selatan hingga Oktober 2018, sesuai dengan kontrak kerjanya.