Wawancara

HANNA LATUPUTTY: PEMBERDAYAAN PUSTAKAWAN MELALUI APISI

Hac via itur ad astra
Lewat jalan ini menuju ke bintang
(Ovid, Penyair Romawi Kuno)

Quote yang saya kutip dari Ovid, Penyair Romawi Kuno tersebut di atas, merupakan majas metafora yang dimaknai prestasi dengan diksi ‘bintang’.

Tulisan berikut ini merupakan perbincangan saya dengan Hanna Latuputty, salah seorang pendiri APISI (Asosiasi Pekerja Profesional Informasi Sekolah Indonesia) mengenai harapannya bisa membawa para pustakawan Indonesia mencapai prestasi sebagai pekerja profesional di bidang informasi sekolah/lembaga pendidikan.

Tentu saja harapannya tersebut tidak mudah diwujudkan, mengingat tidak semua orang yang bertugas di perpustakaan berlatar belakang pendidikan formal Ilmu Perpustakaan.

Selain itu ada juga isu negatif bahwa perpustakaan merupakan tempat untuk ‘membuang’ guru yang dianggap tidak kompeten mengajar. Tentu saja isu tersebut harus kita kikis untuk diganti dengan gerakan cerdas yang memberi nilai plus untuk meningkatkan kualitas kerja para petugas perpustakaan.

APISI yang didirikan tahun 2007, melalui program idealismenya memberikan solusinya walau belum optimal hasilnya. Meskipun demikian, sudah ada fakta kerja nyatanya antara lain di Aceh, Sumatera Utara dan beberapa kota di Pulau Jawa. “Kami terus berjuang untuk mencapai wilayah se-Indonesia.” Demikian tegas Hanna, yang sejak tahun 2006 memotori APISI hingga sekarang.

Kegiatan di Rumah Dhekem, Tanah Tingal Ciputat Tangerang
Kegiatan di Rumah Dhekem, Tanah Tingal Ciputat Tangerang

Bukan Pecinta Buku

Miss Hanna! – demikian panggilan akrab bagi Hanna Latuputty yang nama lengkap dan titelnya Hanna Chaterina George, SS., M.I. Kom. Perempuan kelahiran Jakarta hampir setengah abad yang lalu ini sangat familier bagi para pegiat perpustakaan dan literasi. Selain ia sosok yang ramah dan rendah hati, yang utama adalah menguasai bidang yang ditekuninya sebagai pakar perpustakaan yang tak terpisahkan dari buku berikut berbagai informasi bagi sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan. Uniknya, ia mengaku dengan jujur bahwa kegiatan membaca pada mulanya bukan hobinya.

“Sejak remaja hingga mahasiswa saya ini tidak suka membaca. Hari-hari saya disibuki dengan kegiatan organisasi dan banyak bergaul ke sana ke mari. Nggak baca buku. Belum akrab sama bacaan.” Tuturnya, sambil tertawa renyah – mentertawakan dirinya sendiri yang waktu itu belum punya tujuan pasti. Padahal saat ini ia dikenal sebagai salah seorang Library Rockstars yang dimilki Indonesia.

Dengan jujur dan lugas ia ceritakan bahwa awal karir yang kini ditekuninya adalah berkat bimbingan Erna Wattimena – seorang pustakawan senior. “Ibu Erna Wattimena itu tante saya. Beliau yang mengarahkan saya kuliah di Universitas Indonesia ambil jurusan Sastra – llmu Perpustakaan. Pada waktu itu, bidang ini masih baru dan belum begitu dikenal masyarakat. Masuklah saya ke jurusan Ilmu Perpustakaan.” Kenangnya.

Meskipun demikian, ia mengaku belum juga ‘jatuh cinta’ membaca buku. Studi yang dipilihnya sebatas kegiatan kuliah dan aktif berorganisasi. “Saya belum ada cita-cita mau mendalami dunia perpustakaan. Walau, pada waktu saya duduk di bangku SMA pernah ditunjuk guru untuk ikut mengelola perpustakaan. Tapi, yaaaahhh…hanya begitu-begitu saja karena pada waktu itu belum banyak buku menarik seperti sekarang ini. Di perpustakaan isinya hanya buku-buku pelajaran.” Paparnya.

Aliran Bening Pencerahan

Lulus kuliah, Miss Hanna mendapat tawaran kerja di sebuah perpustakaan sekolah internasional. Tepatnya, di Dickens Library, Secondary School, The British International School Jakarta. Karirnya diawali sebagai Library Assistant dari tahun 1994-1997. Kemudian posisinya naik sebagai Assistant Librarian dari tahun 1997-2000. Selanjutnya sebagai Senior Librarian dari tahun 2000-2011. Puncaknya sebagai Library Manager, orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tersebut dari tahun 2011-2014. Kemudian ia mengundurkan diri, memilih sebagai ‘orang lepas’ agar lebih leluasa dalam berkiprah membaktikan diri untuk kemajuan perpustakaan dan pustakawan di negeri ini.

“Tentu saja banyak sekali pengalaman yang dapat saya timba selama bekerja di British International School. Wawasan saya terbuka dan yang paling berharga saya jadi suka membaca yang saya awali dengan membaca majalah-majalah yang berisi tentang review berbagai jenis buku yang ditawarkan ke sekolah kami. Dari membaca review-nya, lalu memesan buku tersebut, ketika buku tiba saya pegang fisiknya dan tertarik membaca isinya. Bacanya pelan-pelan, mempelajari bahasanya kemudian menyerap isinya. Indah sekali. Sejak itu saya suka membaca hingga sekarang.” Pengakuannya sangat jujur, bak air bening yang mengalir membawa pencerahan.

Sebagai penulis saya suka sekali mendengarkan tuturannya. Miss Hanna bukan sosok yang megumbar pencitraan untuk memperoleh jempol sebanyak-banyaknya. Bukan itu. Ia sosok apa adanya, kala mengaku bahwa pada mulanya ia hanya menyukai bacaan-bacaan ringan antara lain karya Enid Byton ‘indung telur’ cerita Serial Lima Sekawan. Dari bacaan tersebut, kemudian ia meningkat ke bacaan yang berat-berat. Karena ia ingin mengembangkan perpustakaan dan SDM Pustakawan maka ia banyak mempelajari buku-buku management, hukum yang ada terkait dan pengembangan SDM. Tahun 2007, ia pun bersama teman-temannya mendirikan APISI dengan modal swadaya. Ia sisihkan sebagian gajinya untuk mengembangkan organisasi yang digagasnya tersebut. Ia baru bisa aktif secara penuh ketika mengundurkan diri dari pekerjaan formalnya di sekolah internasional tempat ia membantikan diri puluhan tahun.
Mengenal Siapa Dirinya, Maka Hanna Mengada

Tak bisa dipungkuri bekerja di lembaga pendidikan asing tentu mendapat imbalan lebih besar dbandingkan dengan bekerja di lembaga pendidikan milik swasta anak negeri. Tapi, Miss Hanna punya prinsip bahwa ia bekerja bukan untuk mendapat uang semata. Pengalamannya puluhan tahun sebagai pustakawan membuatnya ia matang dan merasa mengenal siapa dirinya. “Ternyata saya bukan tipe orang yang betah diam dalam suatu tugas rutin dan monoton. Saya tipe manusia yang harus bergerak dan terus bergerak walau saya tahu masih banyak kekurangan ilmu.” Ucapnya merendah.

Pengalamannya sebagai pustakawan sering mengikuti berbagai seminar dan workshop di dalam dan di luar negeri membuatnya ‘berani berbicara’. Baginya itu kompetensi baru sebagai speaker yang mampu mempresentasikan berbagai pengalaman dan gagasannya ke forum nasional maupun internasional. Bahkan ke forum lingkup kecil dan juga ke sekolah-sekolah. Ia berbicara secara literer berdasarkan paper yang ditulisnya dengan apik. Telah puluhan paper ia tulis dan dijadikan acuan untuk memberikan kursus pemberdayaan pustakawan yang ia beri tajuk Kursus Kelas Pendek. Ilmu itu ia sebarluaskan bersama APISI yang ia dirikan. Perempuan yang pernah menjabat sebagai Regional Director for Asia, IASL –International Association of School Librarianship tahun 2015-2018 ini terus mengembangkan kiprahnya walau kadang menemui kendala ‘gap sosial’ dan birokrasi.

“Karena, memang tidak mudah mengajak orang berinovasi. Meskipun demikian, hasilnya ada. APISI di Aceh dan Sumatera Utara sangat aktif dan berprestasi.” Ia menggarisbawahi kemajuan dan pengembangan para pustawakan di wilayah tersebut. Padahal para penggeraknya bukan kaum muda. Tentu hal ini patut dibanggakan dan menjadi panutan untuk berbagai wilayah yang gerakan pemberdayaan SDM Pustakawan masih belum beranjak.

Kegiatan Kelas pendek
Kegiatan Kelas pendek

Energi Positif Wangi di Rumah Dhekem Tanah Tingal Ciputat Tangerang

Tanpa banyak berkata-kata bahwa Miss Hanna merasakan bahwa kelahiran APISI merupakan wadah gagasan yang merupakan wahana untuk memperdayaan pustakawan Indonesia, itu membuat jiwanya penuh spirit untuk terus berkiprah. Pendirinya rekan-rekannya yaitu Soelfan, MI Eko Wiyanti, Dwi Retno Widaty, Mahmudin (almarhum), Mendy Andriana, David Andriansyah, Trini Haryanti dan Blasius Sudarsono serta Laxman S. Pendit sebagai pengawas merupakan sumber energinya. Satu lagi sosok yang menjadi pilarnya yaitu Ennie Boedihardjo Satoto, putri Menteri Penerangan RI (1968-1973) Boedihardjo yang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kamboja dan Spanyol.

“Ibu Hajjah Ennie Boedihardjo Satoto memfasilitasi kami kantor APISI di Rumah Dhekem miliknya, di Tanah Tingal Ciputat Tangerang. Rumah kayu yang unik berjendela kaca yang dilukis oleh Rastika, pelukiskaca asal Cirebon. Tempat yang nyaman dan penuh energy positif.” Cerita Miss Hanna dengan semangat, tentang awal gerakan APISI.

Di Rumah Dhekem pula berbagai gagasan kiprah APISI berlahiran dan diaplikasi. Antara lain dibukanya Kelas Pendek yang merupakan pembekalan pemberdayaan pustakawan sebagai profesional dan kerjasama dengan Bank Indonesia dalam mensosialisasikan gerakan liletarasi melalui Program BI Corner. Sampai sekarang ini BI Corner telah hadir di sekitar80-an sekolah di berbagai kota di Indonesia.

“Kami terus bergerak untuk mengembangkannya, walau tahap demi tahap.Tapi saya optimistis bahwa gagasan kami akan terus berkembang.” Energy Miss Hanna bersamaAPISI terus menyala dan mengada. Perempuan kelahiran bulan Juli ini memang bertekad akan terus mengembangkan APISI dengan berbagai rencana idealisnya. Antara lain menerbitkan buku-buku yang ada kaitannya dengan visi dan misinya.

“Tahun ini APISI berusia 15 tahun! Akan siap merayakannya dengan bekerja lebih keras.”Miss Hanna menutup kalimat paparannya.

Penulis: Naning Pranoto
Foto : Koleksi APISI

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close