Sinar matahari berada pada keadaan terbaik, memberikan manfaat bagi tubuh, Galuh berjalan santai menjinjing ember berisi baju-baju kotor di tangan kanannya. Tapih1 hijau tua bermotif bunga sepatu membungkus dada hingga betisnya. Handuk merah muda dililitkan di atas bahunya. Rambut hitamnya panjang sepunggung, tergerai berkilau keperakan diterpa cahaya matahari. Betisnya kuning langsat dan mulus. Ia perlahan melenggang di atas tanah kecoklatan, khawatir terpeleset karena jalan yang licin oleh hujan sepanjang malam.
Berhenti di pinggir sungai, ia melepas dan menjinjing sandal jepit swallow warna hijau yang mulai kusam seperti tapih yang melilit tubuh mengkalnya. Hati-hati ia menuruni titian kayu ulin kehitaman sebanyak tujuh lapis, yang disusun berbentuk tangga. Nafasnya mulai terengah-engah ketika ia sampai di atas batang2yang berderet di pinggir sungai, tepi perkampungan yang berpenghuni sekitar tiga ratus keluarga. dengan jarak 20 – 30 meter. Bertumpu pada empat sampai enam batang pohon bulat berukuran diameter hingga 30 cm. Batang terapung di atas sungai, yang pengikatnya berbahan tali tambang dan rotan. Biasanya batang diikat di pohon dan tiang rumah warga yang tinggal di pinggir sungai.
Galuh sengaja mencuci baju lebih siang dari biasanya, karena mama menyuruhnya membeli kelapa lebih dulu. Mama mau membuat kolak pisang dan gembili3 kesukaan Abah. Ia lalu meletakkan ember di pinggir batang. Sebelum mulai betapas,4ia menoleh ke kanan dan ke kiri sungai mencari jukung 5penjual kelapa yang ternyata belum tampak. Ia pun mulai mencuci sambil bersenandung menyanyikan lagu Sapu Tangan Babuncu Ampat, Paris Berantai, dan Baras Kuning Dari arah matahari terbit terlihat titik hijau di atas sungai, rupanya jukung sudah tampak. Di atasnya ada seorang pemuda gempal berkulit kecoklatan, rambutnya kaku, bertopi tanggui.6 Di depannya bertumpuk kelapa tua yang sudah hilang sabutnya.
“
Bang, kelapa!”, teriak Galuh.
Pemuda itu langsung menoleh ke arah Galuh, mengayuhkan jukungnya mendekati Galuh.
“Kelapakah, Ding?” tanya pemuda yang berusia lebih tua beberapa tahun dari Galuh.
“Engih7Bang,” jawab Galuh.
Galuh memilih sebiji kelapa tua berukuran besar. Kata ibunya, kelapa tua memiliki santan lebih banyak dan pekat. Galuh lalu bertanya, mengapa pemuda itu membawa jukung.Haji Udin. Ahmad, pemuda itu menjelaskan kepada Galuh.
“Aku diminta menggantikan Haji Udin. Ia sedang sibuk membuka pabrik baru untuk pengolahan kelapa,” jawabnya.
Ahmad memuji suaranya, membuat gadis ini merasa malu. Keduanya ini ternyata memiliki rasa ketertarikan satu sama lain. Mereka memiliki kegemaran yang sama di bidang seni. Mereka kemudian berjanji besok untuk bertemu lagi di batang, ingin saling bertukar kisah.
Pertemuan mereka berlanjut, hingga Galuh menjadi perbincangan perempuan-perempuan di batang. Sebenarnya mereka bukanlah sepasang kekasih, Ahmad suka dengan suara Galuh ketika menyanyikan lagu Melayu, karena Ahmad pintar memetik alat musik panting8. Suara merdu Galuh menjadi inspirasinya untuk menciptakan syair-syair Melayu. Galuh menyukai Ahmad, karena bisa menyalurkan hobinya bernyanyi. Di rumah, mama dan abah menganggap memalukan bila seorang gadis bersuara keras, apalagi bernyanyi. Kedekatan antara dua insan ini menjadi buruk di mata para perempuan di batang.
Mereka pikir kedua orang muda itu sering berkirim surat cinta yang sebenarnya berisi lirik syair. Kabar itu sampai ke telinga mama dan abah Galuh. Mereka menganggap prilaku Ahmad akan menjadi aib bagi keluarga. Dampaknya bisa menurunkan hantaran bagi anak gadisnya bila menikah. Sejak itu Galuh dilarang ke batang. Ahmad yang tidak tahu, berusaha mencari alamat Galuh. Ia bertanya pada para perempuan yang ada di batang. Ia tak sabar ingin memberikan syair-syair barunya. Galuh telah membuatnya tenggelam dalam suasana romantis percintaan muda mudi. Setelah tahu alamat Galuh, ia menuju rumahnya tanpa ragu. Rumah panggung berbahan kayu tanpa cat, berjendela besar, dan beratap sirap itu, akhirnya didatangi Ahmad. Ia menaiki tangga depan rumah yang berjumlah lima titian. Setelah berada di tingkat teratas, ia mengetuk lawang,9 berharap bisa segera bertemu Galuh.
Sungguh buruk nasibnya, bukan Galuh yang membuka lawang. Ahmad nama pemuda di depannya, dianggap abah sebagai pegawai Haji Udin. Abah pikir, tentunya tidak akan bisa memberi hantaran tinggi bagi Galuh. Ia langsung saja memukul ulu hati Ahmad dan mengusirnya.
Ahmad pulang dengan perasaan bingung. Ia berjalan, kepalanya menunduk, memegang dadanya yang terasa nyeri. Kertas syair yang terjatuh dari tangan Ahmad, dipungut dan dibaca abah. Semakin murkalah abah, karena menganggap benar omongan perempuan di batang. Ahmad sering mengirim surat cinta untuk anak gadisnya.
Keesokan hari, Abah dan kakak laki-laki Galuh berencana ke rumah Haji Udin. Mereka akan melaporkan tindakan kurang ajar buruhnya itu, dan akan minta Haji Udin memecat Ahmad. Pemuda itu dianggap telah merusak ketenangan warga, berani menggoda para gadis.
Ketika mereka akan berangkat, tampak berdiri tegap Haji Udin di depan rumahnya. Wajahnya berona murka. Ia marah karena perlakuan abah pada Ahmad. Abah yang merasa perbuatannya benar, tidak menerima amarah Haji Udin. Katanya lagi, Ahmad akan membuat hantaran anak gadisnya menjadi rendah gara-gara berhubungan dengan laki-laki lain yang bukan calon suaminya. Haji Udin yang merasa direndahkan, naik pitam.
“Akan kuberi hantaran anak gadismu itu, sebuah rumah lengkap dengan isinya. Sepuluh hektar kebun kelapa dan sepuluh jukung untuk menikah dengan Ahmad, anak bungsuku!”
Abah terperangah, Ia terkejut pada ucapan yang baru saja diteriakkan Haji Udin.
Ahmad yang berada di belakang langsung menyela ucapan abahnya.
“Ulun sudah beisi bini10, Bah”.
“Biar haja, bini ikam hanyar seikung, kada 11masalah ditambah lagi”.
Ahmad hanya menunduk mendengar keputusan Abah yang selalu tidak suka keputusannya dibantah. Abah sedang sangat terhina karena prilaku ayahnya Galuh. Haji Udin seorang saudagar kelapa yang terpandang. Ia memiliki ratusan hektar kebun kelapa, sejumlah besar jukung dan kapal besar untuk mengirim kelapa ke Jawa yang bersandar di pinggir sungai depan rumah peninggalan datu.12
Di dalam rumah, mama memeluk dan membelai rambut Galuh yang hanya tertunduk pasrah akan masa depannya.
“Apa putusannya wahai Abah Galuh?”,desak Haji Udin masih dengan rasa marah.
“Ulun terserah pian haja13,” jawab abah lemah sambil menunduk menutupi senyum
tipisnya.
Profil Ade Noor
Ade Noor Aliyah Rahmayani, dilahirkan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada 13 Maret 1983, bungsu dari empat bersaudara. Orang tua dan saudaranya berprofesi sebagai guru. Perempuan yang gemar bergurau ini, telah mengabdi selama tiga belas tahun di pelosok transmigrasi. Ibu dari dua anagk yan sangat suka mengunjungi tempat-tempat baru, dan aktif berteater dan pramuka.
Ia mulai belajar menulis saat kuliah di Universitas Palangka Raya, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Beberapa puisinya pernah di muat di koran Kalteng Post dan Dayak Pos, bahkan ketika bertemu W.S Rendra, ia mendapat pujian atas karyanya. Mantan Putri Kampus ini berkeinginan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, dan berharap para muridnya bisa menyelesaikan pendidikan minimal tingkat SLTA, karena masih banyak muridnya menikah diusia dini. Ia sangat suka belajar, mencoba menulis min ifiksi dan cerpen. Keinginan terbesarnya, membukukan kenangannya, dan ia akan selalu dikenang melalui karyanya.
Catatan
Karya Fiksi Peserta secara lengkap dapat dilihat dalam Rubrik Khusus Karya Fiksi Peserta