Cerpen Pemenang Utama I – Kategori B Lomba Menulis Cerpen Sastra Pariwisata
I
Karena gerak tubuhku tidak dapat dilihat oleh mata, seringkali orang-orang menyamakan diriku dengan Udara. Memang aku menyumbang 21 persen tubuhku kepada Udara. Namun, di mana pun aku berada, di suatu tempat, di suatu kota yang penuh gedung-gedung tinggi, di suatu daerah terpencil antah berantah, atau di suatu pulau nun jauh dan kecil seperti sekarang, jumlah diriku yang disumbangkan kepada Udara tidak selalu memiliki porsi yang sama.
Karena itulah aku harus mengatakan yang sebenarnya kepadamu tentang pulau oksigen, pulau tempat aku tinggal dengan kadar terbanyak kedua di dunia: Gili Iyang.
Setidaknya kesempatan itu yang aku ingat ketika pertama kali sebuah organisasi berinisial B-B-T-K-L-P-P menemukan kandungan diriku di pulau ini, mereka merumuskannya ke dalam sebuah angka-angka yang aku sendiri tidak paham. Walaupun aku dapat mengerti semua bahasa makhluk di jagat raya namun untuk urusan angka menyerah.
Iya, aku tidak suka. Angka bagiku berhubungan dengan nilai kepastian. Sementara aku sebuah wujud yang dapat berubah semauku dari waktu ke waktu, hari ke hari, bahkan dari zaman ke zaman. Mereka bilang kandunganku di pulau ini berada di atas batas normal dari kadar biasanya.
Aku mulai merasa tidak nyaman sejak kedatangan organisasi itu. Resah. Khawatir campur aduk. Perasaanku mulai terintai oleh sesuatu yang entah apa bentuknya.
Aku mulai menceritakan kegelisahanku kepada Udara. Aku tahu Udara akhir-akhir ini sedang sibuk membersamai pelaut mencari ikan. Membersamai perahu yang memuat penumpang dari pelabuhan ke Dungkek ke pulau ini. Dan saking sibuknya aku baru mendapatkan waktunya pada malam hari yang tenang.
Udara memang selalu punya cara untuk membuat rekannya nyaman. Udara datang pada malam hari membawa sebungkus dingin, segumpal hawa sejuk, mengajak Angin, dan meminta kesediaan terangnya Bulan untuk menemani obrolan kami.
“Ini tentang kamu hari ini,” kata Udara. Menunjukkan sebuah koran. Angin membantu membuka lembar demi lembar.
“Aku tidak paham,” jawabku.
“Kamu memang polos dari dulu,” Angin menyela.
“Keberadaanmu sudah diketahui dunia. Manusia akan banyak datang ke pulau ini,” terang Udara.
Aku terdiam. Aku berusaha mencerna kata demi kata yang disampaikan Udara. Kecemasanku kini benar-benar semakin menganga.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku pada Udara, Angin, dan Bulan.
Mereka tidak menjawab. Tatapan mata mereka mengisyaratkan akan ada ancaman untukku.
“Manusia akan selalu menyulitkan keberadaan kita,” jawab Udara.
Kemudian mereka pergi. Udara akan melanjutkan petualangannya bersama para pelaut malam hari. Angin menggiring arus dan membawa ikan-ikan ke mata jaring para nelayan. Dan Bulan berdiam di balik awan. Kalau Bulan terus-terusan muncul di atas permukaan air laut, ikan-ikan pergi menyelam ke palung laut. Dan para pelaut tak akan mendapatkan ikan.
II
Sepanjang malam, sepanjang hari, kupikirkan kata-kata Udara. Aku mengingatnya benar-benar. Kutekuri apa yang akan terjadi ketika keberadaanku diketahui banyak orang. Mereka akan menghancurkanku? Bagaimana cara mereka melakukan itu? Ribuan pertanyaan menjejali pikiranku.
Ucapan Udara tidak mengandung dusta. Beberapa hari kemudian pulau ini dikunjungi orang-orang berseragam. Perahu yang ditunggangi bukan perahu para penumpang biasa. Ada belasan perahu motor dilabuh di bibir pantai sebelah selatan. Perahu yang kurasa sepanjang aku tinggal di pulau ini tak pernah kujumpai.
Mereka pendatang entah dari mana. Mungkin dari kota. Baju yang dipakainya jenis batik. Bersepatu. Celana hitam polos. Dan satu manusia di antara mereka jika berbicara tampak yang lain mengangguk-angguk.
“Agendakan segera. Saya tunggu kabar baiknya,” kata seseorang yang tampak dihormati.
Aku tidak mengerti topik pembicaraan mereka. Aku butuh bantuan Udara. Dia yang bisa kuandalkan untuk mengetahui maksud dari kabar baik itu.
Manusia-manusia itu memang jenius. Selang beberapa hari kulihat ada banyak batu bata tiba di pulau ini. Perahu pengangkut batu berjejer. Di pulau ini mulai ada jenis motor beroda tiga. Mulanya satu. Menyusul dua, tiga, dan puluhan.
Motor roda tiga itu tidak hanya digunakan untuk memuat batu bata, genting, dan sejumlah bahan bangunan lainnya. Roda tiga itu mulai difungsikan sebagai taksi. Karena tidak ada mobil apalah daya tak ada rotan akar pun jadi.
Pengunjung dari luar pulau tiba. Bahkan ada yang dari luar kota dan provinsi. Mereka memuji-muji keberadaanku sekaligus mempertanyakan keberadaanku. Dan karena aku tidak pernah dilihat oleh manusia, bangunan yang sempat kuragukan itu telah menjelaskan semuanya pada manusia. Bangunan yang menandai titik pusat tempat aku tinggal.
Aku senang karena keberadaanku mulai dibuktikan. Pujian mereka semakin membuatku yakin bahwa keberadaanku berguna. Berguna untuk manusia-manusia yang ingin merawat tubuh mereka agar tetap sehat, bugar, dan panjang umur. Aku tidak tahu mengapa manusia menginginkan semua itu. Namun, setahuku sehat, bugar adalah pilihan dan panjang umur adalah takdir.
Para pelancong yang datang ke pulau ini membuktikan keberadaanku juga dengan adanya Maimunah. Ia perempuan tua dengan umur 156 tahun. Iya, perempuan tua itu masih hidup sampai sekarang. Kedua matanya buta saat berusia 114 tahun. Karena ketidakpedulian anak cucunya mengurus Maimunah, ia tinggal di sebuah gubuk kecil beralaskan tikar di atas tanah.
Maimunah dirumahkan sendirian oleh anak cucunya karena selalu membuat malu. Ia seringkali berak sembarangan saat ada tamu. Maimunah tidak betah tidur di dalam rumah. Pada malam hari ia selalu tidur di samping gubuknya di sebuah lincak reot dan beratapkan langit bersih.
Aku selalu ada di bumi pulau ini. Menjalar ke seluruh sudut-sudut setiap ujung pulau, ke puncak bukit menyambangi pertapa, ke tebing-tebing eksotik seperti Tocanggah
Tocanggah berasal dari dua kata yang disatukan yaitu bato (batu) dan canggah (pilar). Tempat ini merupakan objek wisata dengan eksotika batu-batu yang mirip pilar menyanggah tebing curam. Di bawah bebatuan ini air laut dalam. Ketika pagi dan siang hari pengunjung akan menyaksikan dari dekat nelayan melaut. dan Tokondang
Tokondang berasal dari dua kata juga yang disatukan yaitu bato (batu) dan kondang (posisi duduk di atas batu dan melepaskan kaki menggantung: posisi lebih santai daripada menjulurkan kaki). Batu-batu di tempat ini menghampar luas. Beberapa batu yang lain seperti lidah yang dijulurkan ke air laut. Pengunjung akan menyaksikan momen air laut mengempas batuan dan bulir-bulir ombak bercipratan.. Aku tidak pilih kasih kepada seluruh makhluk di muka bumi. Kepada tumbuhan aku hidup bersisian dan bekerja sama. Kepada binatang aku selalu merengkuh mereka: makhluk hidup yang dititipkan Tuhan kepadaku untuk selalu dijaga. Kepada manusia yang selalu berubah-ubah kemauannya.
III
Hari-hari terus berjalan begitu cepat membuat perubahan-perubahan di pulau ini. Toko-toko kelontong semakin banyak. Perahu tumpangan semakin bertambah. Pelancong juga semakin berjubel setiap harinya. Tidak ada syarat untuk masuk ke pulau ini. Pelancong bebas masuk dan dibiarkan melakukan apa saja. Termasuk mencari keberadaanku dengan mengunjungi bangunan megah tempat titik pusatku berada.
Mereka mengunjungi pula Tocanggah. Manusia-manusia baru itu merangkak ke tebing-tebing curam tanpa rasa takut jatuh ke dasar laut. Meniti batuan-batuan kecil yang mudah saja retak dan membuat mereka tergelincir. Mereka juga datang ke Tokondang menyaksikan ombak bergulung-gulung menabrak batu-batu besar. Lalu mereka sangat berani turun ke batu-batu tanpa rasa gamang dijilat ombak besar.
Melihat ini aku jadi teringat Udara. Mungkinkah dia juga begitu sibuk akhir-akhir ini melayani manusia-manusia yang datang ke pulau ini. Aku juga teringat Angin. Melihat manusia-manusia memanjat tebing dan bermain ombak semoga Angin tidak kesal dan melemparnya ke tengah laut.
Aku mencari Udara ke segala penjuru dan kutemui ia sedang duduk-duduk menyaksikan hilir mudik perahu datang dan pergi dari pelabuhan Dungkek. Aku yang datang ke sisinya tanpa disadari oleh Udara.
“Kamu tampak bahagia,” sapa Udara. Dia tidak menoleh seolah-olah keberadaanku dapat diketahui kapan pun dan di mana pun.
“Kamu tampak sedih,” jawabku.
“Lihat di sana.” Udara menunjuk ke sebuah perahu di tengah laut. “Perahu itu memaksakan diri dengan memakai tiga mesin saat ombak besar-besarnya. Kalau dalam kondisi Angin seperti ini, perahu itu lebih baik memakai satu mesin saja agar selamat,” lanjutnya.
“Itu yang membuat kamu sedih?” tanyaku.
“Bukan,” jawabnya. “Bukan itu saja maksudku. Tapi keselamatanmu dengan datangnya manusia-manusia itu dan sikap manusia-manusia di pulau ini,” pungkasnya.
Usai kalimat terakhir itu, Udara pergi dengan cepat. Udara memang selalu seperti itu. Tidak pernah tuntas jika berbicara denganku. Setiap kali pembicaraan dengan Udara dimulai, selalu pada akhir obrolan aku merasakan sebuah ketakutan. Resah. Aku rasa baru akhir-akhir ini Udara membuatku seperti ini. Tidak seperti tahun-tahun yang lampau.
Karena kegamanganku ini, Aku memanggil angin dengan meneriakinya ke segala penjuru. Berkali-kali kupanggili Angin tetap saja tak datang. Aku hanya merasakan getaran dan sepoi-sepoi sayapnya tipis-tipis. Angin tak kunjung datang. Angin sampai sekarang tak datang.
IV
Benar apa yang dikatakan Udara, setelah aku memantau secara cermat kelakuan manusia, mereka benar-benar mengancam keberadaanku. Hari-hari terus berjalan begitu cepat membuat perubahan-perubahan yang menakutkan di pulau ini.
Setiap manusia yang tiba di pulau ini, mereka membawa plastik. Tidak hanya satu dan dua saja, setiap manusia membawa dalam jumlah banyak. Plastik-plastik bungkus makanan, pakaian, dan semua benda-benda dikantongplastikkan oleh manusia. Dan ini yang paling aku takutkan: plastik-plastik itu dibuang sembarangan.
Manusia-manusia penghuni pulau juga tiba-tiba berubah. Manusia pulau berlomba-lomba membuat toko dan memasukkan plastik-plastik berjuta-juta kilo ke dalam tokonya. Setiap rumah yang berada di pinggir jalan arus utama nyaris memiliki toko. Aku tahu ini peluang ekonomi untuk manusia pulau. Tetapi bisakah peluang itu juga menyesuaikan kultur manusia-manusia pulau tempo dulu yang ramah lingkungan?
Manusia pulau tempo dulu, termasuk ketika Maimunah masih muda, membawa palasa—wadah terbuat dari anyaman bambu—ketika ingin belanja ke toko. Makanan seperti nasi, kue, dan jajanan pasar diwadahi dengan daun pisang atau daun jati. Manusia-manusia pulau bukan lagi Maimunah. Manusia-manusia pulau merasa lebih modern dan memiliki pengalaman yang kaya karena terlatih bekerja sebagai penjaga toko kelontong di ibukota.
Gelisah. Gejolak di dalam diriku terus tumbuh dan memuncak. Plastik-plastik mulai berserakan di mana-mana. Di Tocanggah plastik berserakan di sudut-sudut batuan. Terjepit di akar-akar pohon. Di Tokondang plastik seperti bangkai ikan yang berserakan di air laut. Plastik-plastik itu mulanya berada di bibir pantai. Ketika laut pasang, lidah ombak yang tiba di pasir kering menelannya ke tengah laut.
Di tengah laut, sampah plastik berkejaran karena diterpa Angin. Plastik-plastik dihalau oleh Angin agar tidak pergi ke laut jauh. Angin meniupnya ke daratan namun apalah daya, kekuatan Angin tak berarti apa-apa dibanding banyaknya botol air kemasan yang ngambang di atas permukaan air.
Kini aku sadar mengapa kata-kata Angin begitu menohok ketika berbicara denganku. Mengapa Angin jarang bisa kuajak berbicara mengenai pulau ini. Sementara Udara, sosok yang tak dapat kulukiskan sifat-sifatnya, juga ketika berbicara begitu pedas. Aku baru paham mengapa dulu aku begitu gelisah. Dan kegelisahanku sekarang terjawab.
V
Esok paginya sebelum fajar dari timur merekah, kudengar gelagar sesuatu seperti memanggil-manggil namaku dari tengah laut. Suara itu menggema. Aku segera pergi melesat menjalar di atas permukaan air. Suara itu kembali kudengar. Suara itu lebih mirip sebuah erangan. Kulesatkan diriku sekali lagi dengan menyelam karena suara itu terasa bersumber dari bawah laut.
Erangan itu benar-benar semakin nyata. Keberadaannya semakin kukenali dan sudah dekat. Setelah kuselami kedalaman laut paling dalam samar-samar kulihat ikan paus berusaha bangkit dari himpitan karang-karang. Di sekeliling paus tergeletak lemas, batuan karang hancur lebur. Ikan-ikan kecil lain bertebaran dengan tubuh mereka yang luka-luka.
Sudah kuduga ini ulah potas—peledak buatan lokal—milik pelaut tak bertanggung jawab. Pelaut jenis ini menggunakan perahu besar. Mereka memiliki alat tangkap layar yang diturunkan ke bawah laut untuk memantau situasi bawah air. Setelah hasil tangkap layar itu menemukan incarannya, diturunkan potas ke dasar laut. Ikan-ikan biasanya berlindung di bawah karang-karang. Dan potas itu juga masuk ke dalam karang-karang itu.
Mungkin paus itu sedang lewat dan tempias potas itu mengena tubuhnya. Aku sudah berusaha membantu memulihkan pernapasannya tapi gagal. Paus tidak tertolong. Aku memanggil Angin untuk membawanya ke tepian.
Paus tiba di tepian tidak jauh dari Tokondang bersamaan dengan matahari terbit. Ini juga berkat ombak sehingga paus tiba dengan cepat. Manusia-manusia di tepian yang melihat kedatangan paus tertegun. Ada teriakan dari tepian. Menyusul manusia-manusia itu mendekat ke arah paus yang tergeletak. Dari mulut paus, keluar cairan amis disusul potongan kantong plastik, berbagai jenis botol, tali rafia, dan sandal jepit dalam jumlah yang banyak.
Siang harinya manusia-manusia di pulau ini sibuk menutup hidung ke mana-mana. Udara mengirimkan bau bangkai paus ke sudut-sudut rumah, ke tepi-tepi tegalan, ke bukit-bukit, ke kamar-kamar rumah tempat manusia berlindung. Angin mengembuskan bau busuk paus sekali lagi.
Sepanjang hari dan malam, manusia di pulau ini tak nyaman makan. Tapi, manusia adalah makhluk yang tak ingin kalah terhadap keadaan. Manusia-manusia terus melawan bau bangkai dari tubuh paus. Bahkan, manusia-manusia dari luar pulau berbondong-bondong menaiki perahu tumpangan dan pribadi hanya untuk menyaksikan bangkai paus. Sesungguhnya senang rasanya dapat menyaksikan manusia melihat paus yang perutnya berisi sampah. Tapi, tidak pernah merasa bersalah kalau sampah-sampah yang ada di dalam perut paus berasal dari tangan-tangan mereka.
VI
Aku mulai merasa tidak nyaman sejak kedatangan organisasi itu. Ada yang ganjil. meresahkan. Rasa khawatir campur aduk ke dalam pikiran. Perasaanku mulai terintai oleh sekelompok organisasi peneliti. Kemudian disusul dengan peneliti-peneliti setelahnya. Aku tidak membiarkan mereka begitu saja seenaknya datang ke pulau ini kemudian mencari tahu tentang diriku.
Rasa penasaran itu membuat aku mencuri hasil obrolan mereka. Iya, organisasi terakhir yang datang ke sini justru mengatakan kalau kandungan keberadaanku biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Bahkan tidak jauh berbeda dengan pulau-pulau sekitar yang lain seperti Raas, Sepudi, Gili Labak, atau pulau Madura sekali pun.
Aku mengantongi istilah yang disebut hiperoksia yang muncul dari perdebatan itu. Istilah ini dimunculkan oleh peneliti yang menganggap keberadaanku biasa-biasa aja. Bagi mereka, hiperoksia ini keadaan di mana kadar kandunganku yang sangat tinggi. Karena melebihi batas normal itulah maka keberadaanku justru dapat menyebabkan kejang-kejang, sesak napas, dan bisa menyebabkan kebutaan. Bukan suatu kabar yang bagus untuk manusia jika dapat memaknai sesungguhnya keberadaanku.
Iya, kini masuk akal sudah mengapa Udara dan Angin begitu sengit ketika berbicara tentang manusia-manusia yang berbondong-bondong ke pulau ini. Koran demi koran setiap harinya oleh Udara disodorkan kepadaku yang memuat keberadaanku di pulau ini. Mulanya aku tidak peduli sama tumpukan koran-koran itu. Tapi, aku baru sadar manusia yang memakai baju batik itu utusan pemerintah daerah. Dan pulau ini, pulau di mana aku berada sudah berabad-abad lamanya, akan dijadikan destinasi wisata kesehatan.
Aku mencari Udara dan Angin. Tidak ada. Bahkan sepoi-sepoi tipis dari kelebat ekor Angin tak kurasakan. Aku ingin menceritakan semua ini kepada mereka. Aku ingin menunjukkan rasa bersalahku kepada Udara dengan menunjukkan anak-anak muda di pulau ini tidak disekolahkan ke jenjang lebih lanjut. Anak-anak itu banyak dipekerjakan menjadi pengebom ikan dan penjaga toko kelontong di ibukota. Ketakutanku semakin yakin, manusia di pulau ini akan dilumpuhkan masa depannya. Dan di masa depan, pulau ini akan dimiliki oleh orang-orang di luar sana.
Sumenep, 2020
Catatan:
Tocanggah berasal dari dua kata yang disatukan yaitu bato (batu) dan canggah (pilar). Tempat ini merupakan objek wisata dengan eksotika batu-batu yang mirip pilar menyanggah tebing curam. Di bawah bebatuan ini air laut dalam. Ketika pagi dan siang hari pengunjung akan menyaksikan dari dekat nelayan melaut. dan Tokondang
Tokondang berasal dari dua kata juga yang disatukan yaitu bato (batu) dan kondang (posisi duduk di atas batu dan melepaskan kaki menggantung: posisi lebih santai daripada menjulurkan kaki). Batu-batu di tempat ini menghampar luas. Beberapa batu yang lain seperti lidah yang dijulurkan ke air laut. Pengunjung akan menyaksikan momen air laut mengempas batuan dan bulir-bulir ombak bercipratan.