Article

Indahnya ‘Menyusu’ Bahasa Ibu, Walau Ibu Jadi ‘Pembunuh’

Merayakan Hari  Bahasa Ibu Internasional 21 Februari

Oleh Naning Pranoto

ProfiloNP PoncoMari  kita peringati Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO 21 Februari. Penetapkan ini diproklamirkan pada tanggal 17   November 1999 yang lalu. Jadi, tahun 2014 ini merupakan peringakatan yang ke 15. Tujuannya, untuk meningatkan kesadaran keanekaragaman bahasa dan budaya. Mengingat ciri suatu bangsa berdasarkan lima pilar:  rupa, bahasa, adat, aksara dan budaya. Kelima pilar tersebut  membentuk anggota bangsa (manusia)  bisa mengekspresikan cinta kasih, tata-krama (etika berperilaku), unda-usuk (etika berbahasa), berbudi dan saling menghormati secara fisik, psikis maupun keyakinan – demikian mengutip pendapat Prof.Dr.N. Drijarkara, SJ.,   dalam bukunya berjudul Filsafat Manusia (Kanisius: 1969).

Kelima unsur tersebut merupakan ‘modal’ manusia untuk menjalani hidup sebagai makluk sosial maupun  makluk intelektual. Sumbernya, dari bahasa ibu (mother tongue). Yaitu bahasa pertama yang dipelajari oleh seorang anak. Bahasa ibu  membentuk identitas pribadi, kemampuan kognitif, sosial dan budaya. Bahasa ibu sangat beragam, mengacu pada suatu etnis tertentu. Berdasarkan catatan SIL International AS, ada sekitar 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia. Yang terbanyak di Papua Nugini 800 bahasa ibu. Indonesia berada pada urutan kedua. Diperkirakan mempunyai 746 bahasa ibu. Jumlah yang terbanyak terdapat di Papua, hampir 200 jumlah bahasa ibu yang ada di sana. Tapi, yang baru terteliti belum ada 100 ragam bahasa ibu.

Bahasa ibu di Indonesia yang telah berhasil diteliti ada 546, demikian data yang ada di Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Diharapkan, angka tersebut akan menjadi 600 bahasa ibu di tahun 2014. Penelitian terus berlangsung. Diperkirakan ada puluhan bahasa ibu yang telah mati. Penyebab kematiannya, karena bahasa itu tidak dipergunakan lagi. Baik sebagai bahasa lisan (tutur) maupun bahasa tulis. Ironisnya, ‘pembunuh’ bahasa ibu adalah para ibu – yang empunya bahasa ibu. Alat pembunuhnya bukan senapan atau belati, tapi gaya hidup dan pola pikir. Dampaknya secara sosiologis dan psikologis, mengikis – bahkan melumpuhkan  daya kemampuan kognitif anak. Dampaknya si anak akan kehilangan jatidiri atau kehilangan ‘akar’ dari leluhurnya. Anak menjadi ‘manusia baru’ semacam hibrida di lingkungannya. Kasus memprihatinkan ini tidak  hanya melanda anak-anak yang diajak berubanisasi  atau bermigrasi oleh orangtua mereka. Tapi juga melanda anak-anak ‘desa baru’ (orang desa yang bergaya hidup metropolitan karena pengaruh televisi atau tertular sanak saudaranya yang merantau ke kota). Tragedi ini tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga menjadi epidemi global. Bahkan, Bahasa Jawa yang penuturnya termasuk ranking lima besar di seluruh dunia, eksistensinya pun terancam. Perhitungannya, penutur aslinya sekitar 85 juta pada tahun 1977, tahun 2012 menurun menjadi di bawah 80 juta. Tapi, Bahasa Jawa termasuk 11 besar penutur terbanyak penutur skala dunia(1,25%). Padahal Bahasa Indonesia, dimasukkan ke kelompok Bahasa Malay hanya berada di urutan 14 (hanya 1,16%)

Kebijakan sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah, khususnya  menghapus bahasa daerah dari kurikulum dan merajalelanya sekolah-sekolah asing yang dianggap bergengsi karena mengajarkan bahasa asing, juga faktor matinya bahasa ibu. Para orangtua, khsusunya para ibu merasa bangga jika putra-putrinya dapat berbahasa asing daripada bahasa ibunya. Bahkan tidak sedikit para ibu yang menganggap, bahasa ibu tidak penting. Hal ini saya amati dari lingkungan saya Suku Jawa yang tinggal di Jakarta. Dari 10 ibu yang saya amati, hanya 3 (tiga) orang yang mengajarkan bahasa Jawa secara bagus pada putra-putrinya. Lepas dari masalah politik, dari 3 (tiga)  ibu tersebut, adalah  Ibu Tien Soeharto.

Kenyataannya, memang  sedikit jumlahnya ibu yang masih peduli mengajarkan bahasadaerah nenek-moyangnya terhadap putra-putrinya. Tapi yang sedikit itu ternyata ‘melahirkan’ putra-putri yang memiliki kemampuan kognitif tinggi. Antara lain dua penulis kenamaan Amerika Serikat dan Indonesia serta penyair dari Zimbabwe Afrika Selatan. Berikut ini sekelumit kisah mereka yang dipilari bahasa Ibu:

Bahasa Indonesia merupakan Bahasa Nasional. Tapi tidak semua warga negara Indonesia bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Maksudnya, mereka tidak bisa menterapkan Bahasa Indonesia  untuk bicara (spoken) maupun menulis (written) secara benar. Yaitu mengikuti  hal-hal yang menjadi kaidah Bahasa Indonesia. Seorang teman saya – Guru Bahasa Indonesia, pernah bercerita pada saya demikian, “Murid-murid saya sebetulnya punya kemampuan menulis. Ada yang cenderung menulis fiksi. Ada pula yang nonfiksi. Sayangnya, penguasaan bahasa Indonesia mereka minim.” – mengapa demikian ? Karena, murid-muridnya berbahasa  Indonesia hanya di sekolah saja. Selebihnya mereka berbahasa Cina (Hokkian dan Mandarin). Teman saya ini mengajar di sebuah kota di Kalimantan Barat, yang mayoritas penduduknya Tionghoa.

Kasus serupa tidak hanya dihadapi oleh teman saya yang mengajar di wilayah Kalimantan Barat. Tapi juga dihadapi oleh teman-teman saya yang mengajar di berbagai daerah di mana  penduduknya masih kuat menggunakan bahasa daerah setempat. Apakah ini salah dan akan menghambat kemampuan seseorang untuk menulis? Jawabannya, tidak! Justru, hasilnya akan bagus jika mereka mau  menulis dengan tekun. Karena bahasa daerah atau disebut juga sebagai bahasa ibu (mother tongue) merupakan fondasi  kuat bagi siapa saja yang ingin menulis dengan baik.  Ada beberapa contoh pengarang kenamaan mulai menulis dengan bahasa ibu. Contoh, Penyair Han – Hanna Fransisca asal Singkawang Kalimantan Barat,   Amy Tan novelis Amerika Serikat,  nenek moyangnya dari Cina Daratan dan   Musaemura B. Zimunya penyair yang juga  profesor sastra di Universitas Zimbabwe Afrika Selatan.

Zimunya“Menulis dengan bahasa Inggris, saya merasakan banyak kata-kata yang hilang untuk berekspresi. Berbeda dengan mother tongue, kita bisa mengekspresikan semua yang kita rasakan secara secara jiwa, indera dan ragawi.” Tutur Musaemura B Zimunya dengan jernih. Ia menulis puisi-puisinya dalam bahawa Shona. Tapi, ia tidak menyalahkan rekan-rekannya yang menulis dalam bahasa Inggris, Perancis atau Belanda. Karena Afrika Selatan menjadi jajahan bangsa-bangsa pemilik ketiga bahasa asing tersebut. “Masing-masing orang punya pilihan bahasa sendiri  untuk menulis.” Sambungnya.

Amy Tan“Karena saya mulai menulis terpengaruh bahasa Ibu, maka bahasa Inggris saya dianggap berbeda dengan bahasa Inggris yang sebenarnya. Bagi saya itu tidak masalah. I am a writer. Saya seorang penulis. And by that definition, I am someone who has always loved language. Dan menurut definisi itu, saya seseorang yang selalu mencintai bahasa. I am fascinated by Saya terpesona oleh language in daily life. bahasa dalam kehidupan sehari-hari. I spend a great deal of my time thinking about the power of language — the way it Saya menghabiskan banyak waktu  untuk  berpikir tentang kekuatan bahasa. Misalnya, bagaimana  caranya agar bahasa yang saya gunakan menulis can evoke an emotion, a visual image, a complex idea, or a simple truth. dapat membangkitkan emosi, citra visual, ide yang kompleks, atau kebenaran yang sederhana tapi sangat bermakna. Peran bahasa ibu tak bisa dipisahkan.” Demikian pendapat  Amy Tan pengarang  novel laris antara lain The Joy Luck Club dan The Kitchen God’s Wife.

Pendapat Amy Tan tersebut   saya sarikan dari esainya berjudul The Mother Tongue, ia tulis awal  2008. Kemudian, esai karya Amy Tan menjadi kajian  di berbagai sekolah maupun universitas di AS, dalam menyikapi peran bahasa ibu sebagai dasar kemampuan menulis siswa. Dari berbagai kajian dapat disimpulkan, bahwa bahasa ibu sangat berperan penting dalam mengasah ketrampilan anak menuliskan  pemikirannya maupun dalam mengekspresikan  perasaannya. Khususnya, untuk mengarahkan anak-anak usia Sekolah Dasar yang menggunakan dua bahasa (bilungual)  atau lebih dari dua bahasa (multilingual).

Memulai mengajar anak menulis dengan fondasi bahasa ibu, kelak akan memudahkan mengembangkannya dengan menggunakan bahasa di luar bahasa ibu – misalnya bahasa Inggris. Untuk di Indonesia, memulai mengajar anak menulis dengan bahasa daerah, kemudian dikembangkan mengajar dengan menggunakan bahasa nasional – Bahasa Indonesia. Bahkan juga ke bahasa asing.

Bicara tentang bahasa ibu, Penyair Han juga merasakan hal yang tak jauh berbeda dengan Amy Tan. Hal itu ia ungkapkan saat berbincang-bincang dengan saya pertengahan tahun 2013. Katanya, dari bahasa ibunya – Hokkian, ia bisa menyelami puisi-puisi karya dua  penyair jenius  Cina Zaman Dinasti Tang. Kedua penyair tersebut  Li Bai dan Du Fu yang ia sebut sebagai gurunya. Li Bai dikenal juga dengan nama Li Po, bersama Du Fu menulis puisi aliran romantisme tradisional tingkat adikarya. Karya mereka dihimpun dalam antologi puisi berjudul Three Hundred Tang Poems.

HannaFransiscabaca PuisiDari bahasa ibu Hanna Fransica bisa memahami dan   mencintai keindahan alam mulai dari hal-hal  kecil. Misalnya semak-semak, ilalang dan kupu-kupu. Dari alam ia belajar menjadi perempuan tegar, cerdas dan pantang tangan menadah. Lidahnya juga piawai menikmati kelezatan makanan walau itu bukan  makanan mewah. Apa yang dirasakan oleh inderanya, degup jantungnya, kelembutan jiwanya menggerakan tangannya untuk menulis puisi-puisi indah. Karyanya antara lain Antologi Puisi Konde Penyair Han. Puisi-puisinya  sangat menyentuh hati. Diksi yang ia gunakan menulis sangat ekspresif dan metaforis khas budaya Cina, budaya bahasa ibunya. Bagi Indonesia, penyair yang berkarya seperti Hanna Fransisca menurut saya belum ada.

Apakah kisah kreatif Musaemura B. Zimunya, Amy Tan dan Hanna Fransisca menginspirasi Anda untuk segera menulis? Saya pikir, itu keputusan positif untuk mulai menulis  dengan menggunakan bahasa ibu. Andaikan, Anda mengalami kesulitan mulai menulis dengan bahasa Indonesia – misalnya. Hanna Fransisca mengaku, untuk bisa menulis dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidahnya, ia belajar secara khusus. Tentu ini memakan waktu, tapi bukan menjadi kendala. Untuk bisa menulis dengan baik, memang perlu waktu puluhan tahun, seperti pengalaman Stephen King pengarang genre psiko-horor  terkaya di Amerika Serikat.

Mari kita lestarikan bahasa ibu.  Mari belajar pada kutipan dari Rig Weda: Orang harus menghormati tanah airnya, budaya dan bahasa ibunya karena ketiga pemberi kebahagiaan.

*

Kekuatan Bahasa Ibu bagi Amy Tan – Novelis Amerika Serikat

Aku cukup cerdas untuk berpikir tentang diriku sendiri. Aku tidak hanya punya kebebasan untuk memilih, aku juga punya kebebasan untuk berekspresi melalui bahasa ibu.

*

Aku orang Amerika dan mendalami nilai-nilai Amerika. Tapi dalam tingkat emosional aku tahu apa artinya aku harus  menyelami budaya Cina dari bahasa ibu.

*

Saya cukup pintar untuk menulis seperti mereka. Tapi saya tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang disebut orisinalitas  dan itu suara kita sendiri dari bahasa ibu.

*

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close