Pagi masih dibalut mendung. Hujan deras mengguyur semalaman, menjadikan pagi tampak muram. Udara lebih dingin dari hari sebelumnya, membuatnya ingin menarik selimut kembali, melanjutkan tidur. Mary masih di atas pembaringan, masih ingin menyelesaikan mimpi yang tak selesai tadi malam
Pluk! Ada tangan yang singgah perlahan di tubuhnya. Ia lalu menggeliat dan menoleh pada lelaki yang berbaring di sampingnya.
”Pagi, udah bangun ya?” Mary mengecup bibir lelaki, suaminya itu. Pertanyaannya tak dijawab. Tangan suaminya menggapai-gapai, napasnya terlihat berat, lalu terdengar dengkur keras.
“Kenapa Bang? Bangun dulu deh, aku masih ngantuk,“ Mary menepuk-nepuk wajah suaminya.
*
Pagi itu menjadi awal kehidupan yang tak pernah Mary bayangkan sebelumnya. Sebastian berbaring tak berdaya. Sesuatu terjadi pada diri suaminya.
“Suami ibu, stroke,” kata dokter yang memeriksanya.
Mary bagai terhempas gelombang tsunami, lalu terdampar lemas. Tubuhnya serasa tak berdaya, terpuruk di sudut jiwa, rasanya limbung. Bumi seakan berhenti berputar. Tanpa terasa, ia dibawa ke masa silam. Perempuan muda ini terpikat pada seorang laki-laki tampan yang selalu berbusana necis. Sebastian muda, ia pegawai negeri sipil yang berpenghasilan tetap dan ramah, tentu menjadi idaman banyak perempuan untuk dijadikan suami dan menantu untuk para ibu.
“Mau, kan kamu jadi istriku?” tanya Sebastian suatu hari, setelah mereka menjalin relasi yang lebih dalam. Mary tersenyum bahagia, menganggukkan kepalanya, menerima lamaran Sebastian.
Sudah terbayang oleh Mary, kebahagiaan akan berpihak padanya. Terbentang masa depan indah yang akan dijalani bersama Sebastian. Bagai Upik Abu yang akan jadi Cinderela, ia dipinang pangeran tampan, akan hidup bahagia selamanya di istana. Hati Mary berbunga-bunga. Menikah menjadi hal terindah, karena akan hidup dan tinggal bersama dengan orang yang dicintai. Mengarungi bahtera rumah tangga penuh cinta, dilingkupi kehangatan, keharmonisan, lalu mempunyai buah cinta bersama.
Kenyataan tak selalu indah seperti impian dan harapan. Masuk ke dalam pernikahan, Mary seperti seekor kelinci imut dan lucu, masuk ke hutan rimba gelap gulita. Tak ada rambu dan tanda bahaya. Ia bagai hanyut digulung gelombang cinta membara. Di peraduan bersama Sebastian, ia mengantar gelora, hasrat tak berkesudahan, membuat raganya melayang-layang ke awan. Tak diduganya, ada batu karang terjal berdiri, menjadi penghalang besar.
Perangai asli Sebastian perlahan-lahan terkuak. Ia menjadi kucing manis di hadapan orang lain, tapi menjadi harimau buas yang mengaum berang di hadapan Mary, terutama bila kemauannya tidak terpenuhi, dan kenyamanannya terganggu.
“Aku hamil, Bang,” Mary menunjukkan hasil tes urine.
“Oya?” Sebastian merespon datar, seakan mengatakan memang tugasnya perempuan untuk hamil dan melahirkan. Sudah kali ketiga Mary melahirkan anak. Rasa sakit pada saat melahirkan membuat Sebastian sosok yang tidak mendatangkan rasa nyaman untuk mendukung Mary. Isterinya harus berjuang sendiri melawan sakit. Tak ada kata manis terucap untuk menghibur atau menenangkan. Gerutuan dan omelan suaminya harus ditelan, Mary mencoba menganggap setiap ulah suaminya sebagai jamu pahit yang menguatkan.
Bagai seorang suami yang bertanggung jawab menafkahi istrinya, Sebastian memberi seluruh penghasilannya kepada Mary. Kenyataannya, penghasilan itu hanya digunakan untuk membelanjakan kesenangannya sendiri dan keperluan rumah, Mary tak diberi kesempatan membeli keperluannya sendiri.
“Masak apa ini?” tanya Sebastian saat melihat makanan yang kusajikan di meja makan.
“Hanya tumis bunicis dan sambal goreng tempe? Aku gak suka buncis,” lanjutnya
Ditumpahkannya sayur buncis ke atas nasi di sangku, dilemparnya piring sambal goreng ke lantai. Untuk memenuhi selera lidahnya, Mary harus berusaha keras membuat masakan yang rasanya harus serupa dengan masakan ibunya. Bagai raja yang penuh kuasa di kerajaan yang bernama rumah tangga, ia memerintah semua orang di rumah, untuk tunduk pada keinginan dan kehendaknya. Di hadapan orang lain, Sebastian menjadi orang yang sangat murah hati, memberi perhatian, mentraktir makan di restoran mahal,sebagai pencitraan diri, sebagai orang baik hati. Kepada Mary, ia bersungut-sungut karena telah menghamburkan uangnya sendiri.
Setelah 15 tahun berjalan, bagai petir menyambar, tanpa hujan angin, tanpa pernah menyampaikan niatnya terlebih dulu kepada pasangan hidupnya, Sebastian memecatkan diri dari pekerjaannya. Ia tidak mau patuh pada pimpinannya, karena dipindahkan ke tempat yang baru.
“Mengapa berhenti kerja, Bang? Kita hidup dari mana, .bukankah aku setuju ikut pindah ke Batam?”
Pertanyaan Mary tak dijawab, seakan isteri tak boleh punya pertimbangan atas keputusannya, Mary kemudian berpikir, mungkin dengan mengubah kebiasaan bekerja di kantor, suaminya bisa menjadi wiraswatawan, sekaligus bisa mengubah karakter arogannya. Sayangnya, tak pernah terjadi, malah lebih parah, ditambah dengan post power syndrome yang menjangkiti dirinya. Sebenarnya, ia tak bisa menerima kenyataan atas keputusannya sendiri. Mary menjadi pelampiasan rasa kecewanya.
Segala usaha dilakukan Mary untuk menghasilkan uang, karena uang pesangon telah habis dan tabungan pun telah ludas. Anak-anak mulai membutuhkan biaya lebih untuk masuk perguruan tinggi. Mary pun berjualan di pasar. Hasil berjualan yang tak seberapa pun, terasa agak melegakan. Berbeda bila ia tiba di rumah dari berjualan, hatinya serasa begitu terhimpit. Caci maki dan omelan yang ia dapat, bahkan dituduh bermain serong dengan pedagang di pasar. Cemburu buta Sebastian sudah tak masuk di akal. Tak ada kata pembelaan dari Mary yang bisa menepis tuduhannya.
Mary yang masih cantik di usianya yang tidak muda lagi, memang pandai bergaul. Hatinya baik dan suka berbagi. Penampilannya yang sederhana dan sopan membuat banyak teman menyukainya. Bila ada pertemuan atau perayaan, Mary senang tampil menyanyi,, karena suara Mary memang cukup enak didengar. Semua itu tidak membuat Sebastian bangga. Ia akan marah, menganggap Mary ingin mencari perhatian lelaki lain, terutama jika ada yang memuji dan senang bila Mary menyanyi.
“Biasa aja, jangan kegenitan,” Sebastian berkata dengan ketus.
Seringkali perlakuan kasar Sebastian tak pada tempatnya, ia akan menegur bahkan mencaci Mary di depan orang lain, dan di depan anak-anak. Tidak hanya kepada laki-laki saja, ia bisa cemburu, pada teman perempuan Mary pun ia bisa bersikap seperti itu.
“Kamu berteman dengan Siti karena mau sama suaminya, ya?” Sifat yang sangat tidak masuk di akal. Aku tidak leluasa bergaul dengan siapa pun. Sepulang kerja, pertengkaran pasti terjadi di rumah. Herannya, bila di depan Siti, ia akan tampak manis dan ramah, terkesan bagai merayu, membuat Mary iri, karena perlakuan itu tak pernah ia perolah dari Sebastian.
Suatu ketika ada seorang kerabat jauh bertamu ke rumah Mary. Ia berkeluh kesah tentang suaminya yang memperlakukannya dengan kasar, dan terbukti berselingkuh. Mary memberi tumpangan sementara untuk menyelesaikan masalahnya. Sungguh di luar dugaan, Sebastian memberi perhatian yang lebih kepada teman yang sedang bermasalah itu. Sebastian memberi kesan seakan-akan ial suami yang baik. Penuh perhatian ia membelai dan memeluk perempuan itu untuk menenangkan hatinya, di hadapan Mary. Hati Mary serasa tercabik menahan perih, luka melihat kemunafikan Sebastian. Ia seolah-olah seorang suami yang penuh cinta kepada pasangannya, namun kenyataannya ia tak pernah melakukan hal itu kepada isterinya. Mary hanya istri pemuas kebutuhan suaminya di tempat tidur. Mary hanya diperlakukan sebagai pekerja rumah tangga yang harus membersihkan rumah dan memasak. Semua telah dilakukan Mary dengan baik, namun tak ada kata pujian, selalu ada saja yang salah.
Pertengkaran, kata-kata kasar dan hinaan, bagai pembuka untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tiada hari tanpa bentakan dan caci maki yang dilakukan Sebastian di hadapan anak-anak mau pun teman dan keluarga. Mary bagai menjadi kebal dan tak mempedulikan, walau hatinya menangis. Air matanya sudah habis dan kering.
Perhatian Sebastian kepada anak-anaknya hanya sebatas materi dan pencitraan diri sebagai ayah yang penyayang. Semua kesalahan dan kekurangan ditimpakan pada Mary sebagai ibu yang tidak berguna. Banyak hal lain yang membuat Mary bertahan menjalani semuanya. Ada keraguan dan ketakutan menyelimuti, harga diri yang dihempaskan, perasaan tidak berguna menempel dalam benak dan sanubari Mary, namun ia tetap bertahan. Perjuangannya demi anak semata, berharap yang dialaminya jangan sampai terjadi kepada anak-anaknya. Cukup ia seorang yang menanggung semua kepahitan hidup di bahtera keluarga. Mary tak berkesempatan mengembangkan kemampuan diri. Dipendamnya segala keinginan dan hasrat membangun gairah untuk hidup normal lagi.
“Aku mencintaimu, Bang,” selalu Mary ucapkan pada Sebastian setelah selesai bercinta. Mungkin hanya itu yang ia bisa rasakan, sisa keindahan sebuah pernikahan, walau pun bagi Sebastian hanyalah pelampiasan kebutuhan biologis semata, Mary harus melayaninya dalam keadaan apa pun bila hasrat kelelakian suaminya datang. Mary akan memberi perhatian dan melayani Sebastian dengan segenap hati dan jiwanya. Memeluk dan menciumi lengan kekarnya, Mary membisikkan kata cinta, sehingga mata hati pun buta dalam menilai yang benar dan yang salah.
Perjalanan yang harus dilaluinya tak bisa berjalan mundur. Ia tak bisa mendelete atau mengubah keadaan yang sudah terjadi. Ketika janji perkawinan diucapkan di depan altar suci, disaksikan para kerabat dan keluarga, itu merupakan titik awal perjalanan panjang menuju satu kebahagiaan. Baginya arti bahagia pun telah samar. Perlakuan yang dialaminya disimpan rapi dalam sanubari terdalam, meski pernah menggeliat mencari pelepasan diri.
Di tahun yang ke 27 pernikahan, Mary termenung berhari-hari. Ia mengingat betapa sangat menyakitkan perlakuan dan perkataan yang terlontar dari suaminya, sehingga tercetuslah kata tabu yang keluar dari bibirnya.
“Kita bercerai aja,” Mary berkata, tertunduk lesu, wajahnya lelah.
Perjuangan untuk Bahagia, berujung kekecewaan, tak ada yang bisa dipertahankan lagi. Setiap hari tuduhan berselingkuh semakin gencar, ia tak mau terima penjelasan apa pun. Tak ada celah untuk menenangkan dan meneduhkan Sebastian.
“Apa? Cerai?” jawab Sebastian terkejut dan tak pernah menyangka
Mary berani mengucapkan kata yang seharusnya tak pernah terucap. Laki-laki itu tersentak bagai tersengat arus listrik, menyinggung kelelakiannya. Di dalam pemikiran Sebastian, Mary miliknya, hanya ia yang berwenang menentukan hitam putihnya warna kehidupan rumah tangganya.
“Oh, mentang-mentang udah bisa cari uang sendiri, ya? Mau cerai, trus mau kawin sama si Ami orang pasar itu!”.
“Aku udah ga tahan. Abang nuduh aku yang engga engga. Aku capek, Bang,” Mary berurai air mata.
Ia berjalan keluar rumah, meninggalkan Sebastian yang terduduk diam. Suaminya mulai gelisah dan resah, mulai berpikir, mengapa Mary yang lemah lembut dan penurut mengajukan keinginannya untuk bercerai? Lelaki itu berasumsi sendiri, isterinya mempunyai kekasih di pasar. Sebastian mendatangi pasar, bertengkar dengan Ami, pedagang kelontong yang menjadi langganan Mary berjualan. Keributan yang terjadi membuat Mary berhenti berjualan di pasar.
Karena sudah tidak berjualan lagi, Mary lebih aktif di pelayanan keagamaan. Ia menyadari dan mulai mencari pencerahan diri. Diajaknya Sebastian agar lebih banyak menabur kebaikan pada sesama, walau perlakuannya kepada Mary tak berubah. Mary sudah menganggapnya biasa, sampai di hari serangan stroke yang membuat Sebastian tidak berdaya,
Mary tetap dengan sabar dan telaten merawat Sebastian. Suaminya yang biasa mengeluarkan kata-kata kasar, hanya mampu diam. Bila ada suara dari mulutnya, tak ada yang mengerti bahasanya. Hanya separuh raga kiri yang hidup, separuhnya mati tak bergerak. Andai Mary benar seorang isteri yang seperti suaminya tuduhkan selama ini, tentu saat itulah Mary meninggalkan suaminya yang arogan.
Ada satu titik harus menepi, sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Ada saat Mary bisa menikmati semilir angin tenang yang menenteramkan, membawa kedamaian hati. Tak ada lagi caci maki dan bentakan, hanya mata layu yang menatap Mary, istri yang selama ini direndahkannya. Dengan tangan sebelah kiri, Sebastian memeluk dan membelai lembut kepala Mary, ingin mengungkapkan kata maaf yang tak terucap.
“I love you,” kata Mary. Sebastian meremas tangan Mary, ingin mengatakan kata yang sama. Mary mengerti.
“Maafin aku ya, aku dah kasar ke abang,” ungkap Mary. Sebastian menggelengkan kepalanya. Ada embun di matanya. Tangan kirinya menarik tubuh Mary, memeluknya. Samar terdengar suaranya, terbata-bata, mengucapkan kata yang tidak jelas tertangkap.
“Abang sayang Mary ya?”
Sebastian menganggukkan kepalanya dengan tegas, mencium bibir Mary dengan lembut. Cintanya telah kembali berlabuh, bertaut, memulihkan hati yang luka. Rona bahagia mulai menunjukkan biasnya, mewarnai perjalanan Mary untuk menemukan cintanya.kembali. Berhari, berbulan dan bertahun, tepatnya satu tahun 23 hari, Sebastian bisa bertahan dengan strokenya, dengan cinta penuh dari Mary, belahan jiwanya.
Azan subuh dari mesjid di belakang rumah sudah terdengar. Mary terbangun dan tangannya menggapai ke samping, mencari seseorang yang selalu menemaninya tidur. Kosong, Mata hatinya mencari, di mana Sebastian? Mary kembali tertidur. melanjutkan mimpi yang tertunda dalam dingin dan sepi.*
Profil Erina Charlotte
Erina Charlotte yang sehari-harinya dipanggil Ina, lahir pada 27 Oktober 1957,
di Rumah Sakit Koja, Jakarta. Ia merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Setelah lulus SMA di Jogjakarta, ia menikah dan memiliki dua putera seorang puteri, Selain sebagai ibu rumah tangga, ia aktif dengan pelayanan gereja di bidang paduan suara dan lainnya.
Di usia yang terbilang cukup ranum, ia tampak maih cantik dan berusaha tetap sehat Ia pandai bergaul, tidak angkuh, dan baik hati. Ia pun gemar bernyanyi walau katanya tak sebagus penyanyi Titi DJ. Hobi melukis dilakukannya untuk mengisi waktu luang.
Ia ingin selalu ceria, berpikir positif, mau berbagi, tidak kikir, dan selalu ingin menimba berbagai hal, seperti belajar creative writing, dan dapat membuat peninggalan berupa tulisan-tulisan yang bisa menginspirasa orang banyak.
Beberapa karya tulis sebagai hasil belajarnya, antara lain, fiksi mini yang berjudul Yang Hilang Yang Kutemukan, Payung, Jalan Kembali Menuju Cinta,, dan beberapa puisi pendek.