JANIN
Oleh Naning Pranoto
Sebuah gulita yang indah. Sebuah kehangatan tanpa cahaya. Bukan kamar memang, tapi sebuah ruang yang nyaman, empuk sejuk. Bukan kedai atau restoran, tapi tersedia makanan nikmat. Tidak ada bak mandi maupun kolam, tapi terdapat air suci pembersih diri. Ini memang sebuah garba. Garba Bunda, persemaian bagi kami bertiga. Aku, Kakang Kawah dan kedua adikku – Si Janin yang kupanggil Dik Janin , serta Adik Ari-Ari, yang kupanggil Dik Ari-Ari. Kami bertiga menghuni Garba Bunda, yang kami anggap sebagai . rumah tersuci dan terindah itu buat suatu kurun waktu yang telah ditetapkan hukum alam, hukum proses penciptaan manusia.
Aku dipanggil Kakang Kawah, alias Kantung Air Ketuban, karena dianggap lebih tua dari Si Janin dan Adik Ari-Ari yang juga digelari Si Plasenta. Aku sendiri mengira, kami adalah tritunggal, tercipta dalam masa yang sama, juga berasal dari benih yang sama, sel sperma yang muncul sebagai hasil persekutuan syahwat ayah dan bunda.
Tentu aku tak pernah tahu kapan persisnya pembuahan itu terjadi. Tahu-tahu, kami bertiga sudah berada di dalam ruangan itu, ruang kenikmatan luar biasa, yang merupakan sebuah dunia kehidupan tersendiri yang senantiasa berselubung sunyi. Bentuk ruangan itu mirip bagian dalam buah alpokat yang kulitnya berlapis-lapis elatis, lembut, lebih halus dari sutera Cina.
Sebenarnya aku hanyalah air penjaga kehidupan adikku si Janin agar ia tetap segar dan tumbuh selamat menjadi seorang bayi. Sedangkan Dik Ari-Ari yang bentuknya seperti bantal bertali, bertugas mengalirkan makanan untuk Dik Janin. Makanan itu adalah saripati yang telah dicernakan dengan baik oleh Bunda kami.
Saripati makanan itu yang mengalir lestari itulah, yang telah mengubah Dik Janin yang semula hanya mirip kecebong sepanjang 1.25 Cm kini telah menjadi calon bayi. Kuamati terus pertumbuhannya. Mula-mula kepalanya mirip sejenis reptil, dengan benjolan kiri kanan pada bagian kepalanya. Kemudian aku ketahui, kedua benjolan itu menjadi kedua matanya. Tubuhnya yang semula hanya mirip ekor reptil, akhirnya tumbuh menjadi sosok bertangan, berkaki. Alam memberinya kelamin laki-laki.
Di dalam tubuhnya berisi alur-alur nadi yang mengalirkan darah, juga berbagai organ yang membuatnya bergerak, hidup. Pada usianya yang ke seratus dua puluh hari, kulihat ia benar-benar hidup setelah ruh ditiupkan Sang Maha Pencipta ke dalam raganya. Lucu sekali gerakannya, kedua kaki yang kecil menendang-nendang dinding ruangan di mana kami berada. Sayang, tangan-tangannya yang mungil tapi kokoh gerakannya sangat terbatas, karena sempitnya ruang di mana ia harus meringkuk. Meskipun demikian, kuharap kelak ia menjadi sosok yang dinamis.
Hemmmm, adikku, Dik Janin makin tumbuh membesar. Kulihat makin jelas, di kepalanya bagian muka luar tidak hanya ada sepasang mata, tapi ada hidung, bibir, sepasang telinga. Lalu, ada segumpal benda putih, bercahaya, itu berada di dalam rongga kepalanya. Adikku Dik Ari-Ari memberitahuku, segumpal benda putih bercahaya itu namanya otak. Gunanya untuk berpikir, sehingga adikku Dik Janin tidak akan sebodoh binatang maupun tumbuhan. Adikku, Dik Janin merupakan makluk ciptaanNya yang tersempurna. Aku dan Dik Ari-Ari mendampinginya selama ia berada dalam ruang Garba Bunda kami sekitar sembilan bulan lamanya.
Waktu terus berjalan. Mulut Dik Janin menebarkan bau harum, bagai aroma buah kurma ranum. Gumpalan benda putih di dalam rongga kepalanya makin bercahaya. Sepasang matanya yang semula lekat rapat, mulai menguak. Kulitnya yang semula kusut-keriput, mulai kencang berisi, berkilauan cahayanya. Dik Ari-Ari berbisik, bahwa sudah waktunya Dik Janin meninggalkan garba untuk berpindah tempat, hidup di tempat nyata yaitu bumi. Alangkah indahnya, Dik Janin akan segera lahir ke dunia. Ia akan menjadi penghuni baru di atas bumi.
Bumi adalah sebuah tempat maha luas, terpayungi hamparan langit biru bersulam mega-mega putih sutera. Siang hari, bumi diterangi matahari dan dihangati rembulan pada malam hari. Permukaan bumi berhiaskan gunung-gunung penyangga langit, yang mengandung pupuk dan permata, hutan raya hijau zamrud, lembah-lembah berhiaskan panorama indah, sungai-sungai bening pembawa kesuburan, hamparan laut biru kerajaan berbagai jenis kehidupan air, pohon-pohon pelindung rimbun dan rindang, penghasil buah-buahan yang ranum, tumbuhan pangan yang membuat alam gemah-ripah loh jinawi, aneka satwa yang jadi tunggangan atau makanan bergizi bagi …
“Stop! Stop! Jangan kau teruskan.. Berisik, Kang” tiba-tiba adikku si Janin yang berdiam hampir sembilan bulan mulai angkat bicara. Nadanya keras seperti berang, membuat aku dan Ari-Ari terkejut.
“Lhooo…lhooo…kok marah-marah?” – kata Dik Ari-Ari pada Dik Janin. “Kakang Kawah bicara baik-baik, menceritakan keindahan bumi yang sebentar lagi akan kau huni, Dik! Mengapa kau katakan berisik?”
“Memang berisik!” Dik Janin sewot.
“Berisik? Mosok sih…Dik!” aku kecewa.
“Karena aku ndak suka itu. Aku benci bumi!” Dik Janin menjerit.
“Lho…Benci bumi bagaimana? Mungkin besok atau lusa kau akan jadi warga bumi.
Usiamu di dalam garba sudah lebih dari sembilan bulan,” Dik Ari-Ari memberi tahu.
“Ndak soal. Pokoknya, aku ndak mau jadi penghuni bumi,” Dik Janin menolak keras.
“Aku mau tetap tinggal di sini. Selamanya!” tambahnya ngotot.
“Wah, ya tidak mungkin toh Dik. Tubuhmu makin membesar dan Garba Bunda hanyalah sebuah ruang terbatas, tak akan cukup lagi untuk menampung kau dan kami berdua.. Garba Bunda bisa meletus doooorrrr …doooorrr…seperti balon yang kepenuhan udara.” Kataku.
“Bila kau dalam kandungan lebih dari sembilan bulan, kau akan seperti anak babi yang disebut genjik, atau anak kerbau yang disebut gudel atau anak sapi yang disebut pedhet. Kau mau disamakan dengan anak-anak binatang itu?”
“Biarin. Emang gue pikirin…E-Ge-Pe!” Dik Janin makin bersikeras.
“E, jangan E-Ge-Pe. Anak manusia jadi rendah martabatnya, jika disamakan dengan gudel, pedhet atau genjik. Kenapa? Karena anak babi hanya bisa molor, ngompol dan bau pesing. Anak kerbau, gudel itu, dimitoskan bodo – plonga-plongo. Anak sapi, pedhet, bisanya hanya nyusu, menthil dan pemalas. Apa kau yang ganteng dan cerdas mau disebut begitu?” tanyaku, untuk menyadarkannya.
“E-Ge-Pe..!” Dik Janin berang, “Lebih baik aku jadi pedhet daripada anak manusia!”
“Lhooo kok ngono to Dik Janin?” penggalku, terkejut.
“Lha iyalah,” seru Dik Janin, “Jadi anak sapi terjamin. Begitu lahir, dapat ASI dan akan terus dapat ASI sampai kapan ia mau dan induknya mau menyusui anaknya.”
“Kau juga akan disusui Bunda kita,” sela Dik Ari-Ari.
“Ndak. Berkali-kali aku dengar, Bunda hanya akan memberiku susu formula, karena ia takut payudaranya yang semula keras montok berubah menjadi mlorot-kendor dan tubuhnya gembrot. Ia takut tidak dicintai lagi oleh suaminya. Ia khawatir ndak laku main film lagi. Lagi pula, payudara Bunda kan sudah disumpel silikon dan sekarang jadi ikon rumah kecantikan yang mengontraknya sebagai bintang iklan yang menjual jasa ‘pencipta’ payudara indah.. Mana bisa payudara bersilikon menghasilkan ASI yang sehat?” Dik Janin gemas, “Padahal sekarang ini, susu formula umumnya mengandung bakteri yang akan merusak otak bayi atau membunuh bayi-bayi pelan-pelan, termasuk aku. Maka, lebih baik aku ndak usah lahir saja!”
Rupanya, Dik Janin mendengar apa sering yang dikatakan Bunda pada ayah, juga pada teman-temannya yang disebut sebagai selibriti.
“Sederet alasan lagi yang membuatku tidak mau lahir ke bumi,” Tambah Dik Janin.
Aku dan Ari-Ari membiarkan si Janin berbicara.
“Bumi yang ada sekarang ini tidak seindah dulu lagi. Bumi sekarang sudah mengerikan. Gundul tanpa hutan raya hijau zamrud karena dibabat para pelaku illegal logging. Akibatnya terjadilah banjir dan longsor di mana-mana, menyengsarakan umat manusia. Bumi telah kelewat diperkosa, dicangkul, dibor, hingga membanjirkan lumpur panas. Bencana itu tidak hanya menenggelamkan banyak rumah, banyak desa, juga menghancurkan masa depan anak-anak. Aku ogah ditelan banjir, apalagi terkubur lumpur panas…hiiiiiiii. Ogaaah aaahhh!”
“Dari mana kau tahu itu?” selaku dengan pedih. “Dari layar TV, kulihat lewat pori-pori perut ibu yang terlapis kain tipis transparan,” sahut Dik Janin . “Lalu, apa lagi yang kau lihat dari layar TV?” Dik Ari-Ari menjajagi. “Kalau kusebutkan satu persatu tidak selesai dalam semalam. Aku ngeri!…,” suara Dik Janin terdengar serak menahan rasa ngeri. “Apa saja yang membuatmu ngeri,Dik?” tanyaku dengan sabar.
“Jumlah koruptor terus meningkat, pengadilan yang tidak adil, harga sembako terus membubung, langkanya minyak tanah dan minyak goreng, banyaknya kasus batita dan balita yang dibunuh ibunya, bayi-bayi yang mati karena kurang gizi..,” sahut Dik Janin.
“Tapi, kau tidak akan kekurangan gizi, Dik. Bunda bintang film yang laris – uangnya segunung. Ayah kita pengusaha sukses, dijuluki konglomerat muda. Hidupmu bakal terjamin.…Dik,” aku membesarkan hatinya.
“Benar katamu, Kakang. Mungkin aku tidak kekurangan makanan. Tapi, di rumah Bunda hanya ada jenis makanan frozen, penuh pengawet, zat kimia dan sejenisnya. Tak heranlah kalau kakak kita – Mas Bimo menderita autis. Aku ndak mau jadi Mas Bimo yang kerjanya setiap saat menjerit-jerit dan nggigit siapa saja.” Dik Janin menyebut kakak kami, Bimo – yang lebih dulu berada di bumi. Dik Janin lahir, akan menjadi putra kedua Ayah-Bunda..
“Aku tak mau jadi anak Ayah dan Bunda. Aku malu!” protes Dik Janin, mengejutkanku dan Dik Ari-Ari.
“Malu?” tanyaku serentak bersama Dik Ari-Ari.
“Ya jelas malu dong. Aku akan terkait dengan karir mereka .” ujar Dik Janin getas.
“Maksudmu?” tanya Dik Ari-Ari.
“Ah, jangan pura-pura tidak tahu.” Ujar Dik Janin sinis.
Aku dan Dik Ari-Ari membiarkan si Janin terus berbicara, agar ia merasa lega.
“Ibu jadi pemain film laris bukan karena mutu aktingnya. Tapi karena keberaniannya untuk buka-bukaan baju. Ia tidak malu memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayah jadi pengusaha sukses karena dimodali para pejabat hitam,. dapat proyek-proyek KKN…,”
“Husss…husss…jangan negatif begitu terhadap orangtua kita., Dik,” kataku lembut.
“Bagaimana aku harus memandang mereka Kakang Kawah?” Dik Janin melembut.
“Pandang segi positifnya. Sekarang, Bunda tidak mau main seronok di film. Ia mulai selektif memilih peran. Ia juga serius belajar akting dari beberapa sutradara ternama. Tiga puluh persen pendapatannya disumbangkan ke panti asuhan. Ayah juga beramal. Ia mendirikan yayasan pendidikan, memberi beasiswa anak-anak berprestasi dari kalangan lemah, memperbaiki sekolah-sekolah yang roboh dan mendirikan perpustakaan untuk sekolah-sekolah miskin. Dana yang dikeluarkan ayah tidak sedikit, Dik!” kataku.
“Ayah juga banyak menyumbang korban bencana alam. Mana bisa ayah bermal kalau hanya jadi pengusaha kelas ecek-ecek?”
“Untuk membantu orang lain, tidak harus kaya dulu. Berikan apa yang kita punya, seperti yang dikatakan Bunda Teresa, Kalau kau tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah dulu makan untuk satu orang. Kita tidak perlu memaksakan diri, apalagi dana yang diamalkan itu uang haram! Kasihan yang menerimanya. Aku tak mau makanan haram,” Dik Janin protes keras, “Maka, biarkan tetap dalam Garba Bunda.!” sambungnya.
Protes keras Dik Janin sia-sia. Pisau operasi cesar telah membedah perut Bunda, untuk mengeluarkan Dik Janin yang telah 10 bulan, dalam kandungan. Tubuh Dik janin mulai mengeras. Jika Bunda tidak dioperasi cesar, ia akan meninggal bersama Dik Janin dan aku Kakang Kawah serta Dik Ari-Ari akan mati layu membusuk.
Oek…oek…ooooooekkk…oooooekkk!
Aku lega dan bahagia, Dik Janin akhirnya lahir ke bumi, walau aku hancur karena menjadi pelumasnya. Adikku, Dik Ari-Ari juga rela dipotong, untuk dipisahkan dari Dik Janin, karena tugasnya mengalirkan makanan untuknya sudah selesai. Kemudian seorang bidan, menaruh kami berdua dalam tempayan kecil bertutup, untuk dikuburkan.
Oek…oek…oooooekkk…ooooekkkk!
Tangis Dik Janin melengking berkepanjangan. Ketika berhenti sejenak, ia memanggil-manggil kami berdua dengan bahasa yang hanya kami mengerti. Ia minta dicarikan orangtua asuh, “Aku ingin jadi anak asuh mahasiswa yang kritis, para penggerak reformasi negeri ini!” teriaknya.
“Dik, para mahasiswa kritis sudah tidak ada lagi. Mereka entah di mana sekarang. Tapi, Tuhan akan terus menjagamu, karena Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, juga – Al Muhaymin, Maha Memelihara. Percayalah Dik!” aku memberi nasihat, untuk membesarkan hatinya. Agar adikku, Dik Janin berani menjalani hidup di atas bumi.
Oek…oek…ooooooekkkkk…oeeeeekkkkk…oookkkkkk kekkkkk!
Lengkingan tangis Dik Janin tiba-tiba terhenti oleh suara : kekkkk ngiiik!
Oh, rupanya, adikku mencekik lehernya sendiri dengan sepasang tangannya yang mungil tapi ternyata sekuat catut. Nasihatku sia-sia. Semua orang yang menyaksikan tragedi itu, terbelalak. Ayah dan Bunda meraung-raung, lalu tak sadarkan diri. Anehnya, Mas Bimo yang autis malah menari-nari sambil tertawa-tawa dan bertepuk tangan.
Pagi harinya tragedi Dik Janin menjadi head-line berbagai surat kabar ibukota: BAYI LAKI-LAKI TEWAS, MENCEKIK LEHERNYA SENDIRI. *