Wawancara

”Jatuh Cinta Pada Pena, Pasca Bersimbah Airmata”

Aku, Erina Charlotte: The New Me

Namaku Erina Charlotte Bangkeling. Ayahku yang memberi nama, Erina dari nama neneknya Erina Mananohas. Charlotte dari nama ibunya Yosephine Charlotte Mamudi. Mereka berasal dari Sangir Talaud, yang terletak di ujung utara kepulauan Sulawesi berdekatan dengan Mindanau negara tetangga, Filipina. Ayahku anak pertama, bernama Richard Adolf Bngkeling, kakekku yang berasal dari Siau bernama Israel Charles Bangkeling. Entah mengapa nama-nama itu berasal dari negara Eropa, dengan agama Kristen Katolik yang disiarkan di sana. Nenekku di Sangir masih keturunan raja pada masa kerajaan yang memimpin daerah utara.

Ibuku bernama Praptiningsih Kartodidjojo, lahir dari pasangan suami Suku Jawa bernama Sugiri Kartodidjojo. Istrinya, Nyi Ratu Haerani Sitiningsih, keturunan bangsawan Banten. Anak ketiga dari 13 bersaudara.

Ayah dan Ibuku
Ayah dan Ibuku

Anak Pertama, Berpilar Nasihat Ayah

Aku anak pertama. Adikku dua orang laki-laki dan perempuan. Adik lelakiku, bernama Donaldo Kellis Bangkeling, dan yang perempuan bernama Betty Christine Bangkeling. Masa kecil kami menyenangkan, karena aku anak yang selalu mengalah, dan memang harus mengalah sebagai anak yang tertua. Hubungan sesama saudara dekat walau jarang bertemu, tapi kami saling mendukung dan menolong bila ada yang kesusahan.

Aku menikah pada usia 20 tahun, pada tahun 1977. Gerarddus Antonius Muntu, itulah suamiku. Papanya orang Menado Ambon, maminya berdarah belanda. Kami mempunyai tiga orang anak: Renne Octavius Muntu, Grace Bernadetta Muntu, Rudolf Albertus Muntu. Aku mengarungi bahtera rumah tangga selama 30 tahun. Pada tahun 2007 suamiku berpulang.

Ayahku sangat baik hatinya. Ia banyak memberi nasihat yang menguatkanku harus berbuat kebaikan dan tidak boleh membalas dendam kepada orang yang menyakiti kami. Suatu ketika, kala aku berusia 10 tahun bermusuhan dengan teman bermain. Ayahku menyuruhku harus datang dan meminta maaf kepada teman tersebut. Aku pun patuh. Sejak itu aku tak mau bermusuhan dengan siapa pun, hingga sekarang ini. Jika ada yang memusuhi dan tidak mau berteman denganku, aku mundur dengan damai. Mauku berteman, bahkan bersahabat dengan siapa pun. Maka aku senang kumpul-kumpul dengan teman untuk bersenang-senang. Misalmya, bernyanyi atau makan-makan. Itulah hobiku.

Aku dan adik laki-lakiku
Aku dan adik laki-lakiku

Bintang Tidak Selalu Bersinar

Aku tumbuh dan berkembang remaja di Kota Hujan, Bogor. Aku gemar menari pada kurun usia remaja. Selaras dengan lingkunganku, maka tarian Sunda yang aku perdalam. Dalam waktu tak lama mengikuti latihan menari, aku sudah sering dapat kesempatan tampil pentas di acara-acara formal maupun non-formal. Adik lelakiku selalu mendampingiku. Setelah ayahku tahu bahwa aku sering manggung, ia menasihatiku agar tidak berpuas diri dengan kepandaian menari. Alasannya, “Menjadi bintang itu tidak akan selalu terus bersinar. Ada saatnya ia akan meredup dan terlupakan.” Aku pun menuruti nasihatnya, untuk bergiat mempelajari hal-hal baru.

Ayahku bersuara merdu nan indah. Ia juga mahir memainkan berbagai alat musik: gitar, piano, drum dan lainnya. Kami sekeluarga memang pencinta seni. Setiap sore hari kami berkumpul bernyanyi dan berdansa. Bahkan mengundang tetangga dekat untuk ikut bergembira. Sehingga hubungan kami dengan tetangga jadi begitu harmonis,

Bagiku, ayahku seorang yang rendah hati, suka menolong orang dan pandai bergaul. Sungguh bahagia, aku menjadi anak kesayangannya. Ia senantiasa membela dan melindungiku. Aku juga menjadi teman mencurahan isi hatinya. Satu hal yang selalu ia tekankan, “Sesusah dan sesulit apa pun, jangan minta-minta kepada saudara atau pada orang lain. Berusaha dan berdoa, mintalah pada Tuhan.” Ayahku orang yang taat dan beriman. Kata orang aku mirip ayah dari sifat dan karakternya. Oh, sungguh beruntung aku!

Sisi Keindahan ’Kekerasan’ Ibu

Dari keluarga ibuku ada ’warisan bakat’ yaitu pandai dalam seni menggambar. Kakek dan ada beberapa pamanku menjadi arsitek. Ibuku pandai dalam olah tangan, apa yang dilakukan tangannya akan tampak indah dan menarik. Antara lain ia merenda, menghias pengantin, menghias kue, menjahit pakaian dan buka salon. Uniknya, di balik karya-karyanya yang indah itu ibuku mempunyai sifat yang keras, bicaranya lantang, lugas dan berani. Sungguh berbeda dengan ayahku yang lembut, dan romantis. Akibatnya, ada fase di mana aku kurang disukai ibuku, karena kurang tegas dan lemah menurutnya.

BACA :   Ratih Kumala : Profesi Penulis Mampu Menghidupi.

Berkat didikan keras ibuku, aku mampu berprinsip dan bisa mandiri, tidak cengeng.. Tapi dalam hatiku, aku bertekad untuk tidak meniru cara dan gaya ibuku dalam mendidik anak-anakku, walaupun aku mempunyai dasar yang sama dengan ibuku. Dalam menghadapi persoalan suami istri pun, aku belajar untuk tidak berlaku seperti ibuku. Namun semua tidak ada yang sempurna ada risiko pada setiap pilihan hidup.

Gadis Modis, Banyak yang Naksir

Aku selalu ingin belajar atau mencoba sesuatu yang baru. Misalnya, menari tradisional Sunda, pada usia 13 tahun. Pada saat pentas aku harus bisa berdandan sendiri, tapi jika pakai sanggul dibantu ibuku yang memang ahlinya. Maka aku selalu belajar pada ibuku untuk bisa tampil chic sebagai perempuan.

Selulus SMP aku bertekad untuk keluar dari rumah. Maksudnya, aku ingin merantau. Jadi aku mencari sekolah yang tidak ada jurusannya di Bogor. SAA, Sekolah Asisten Apoteker yang kuincar. Maka aku pun pergi ke Yogyakarta untuk bersekolah di SAA. Sayangnya, aku tidak lulus ujian masuk. Meskipun demikian, aku tidak mau kembali ke Bogor. Jadi aku mencari SMA, bersama adik lelakiku. Ia pun tak lama di Yogya, lalu kembali ke Bogor, dan berpetualang di bidang yang yang lain.

Aku, kala usia 17 tahun
Aku, kala usia 17 tahun

Aku merasa bebas tinggal di Yogja, tak ada orangtua yang mengawasi. Untunglah, aku banyak bertemu dengan mereka yang kuanggap kakak dan sahabat yang baik hati. Mereka memberi perhatian padaku dan menciptakan pergaulan yang sehat dalam arti di jalan yang benar. Saat itu usia remaja, masa yang rentan dengan godaan pergaulan bebas. Aku gadis yang terbilang cantik dan modis. Banyak pemuda yang melirik dan jatuh hati padaku, aku yang baik hati ini senang menanggapinya, tapi tidak untuk serius. Karena saat itu aku menyadari, ayahku membiayai studiku dan memberi uang saku yang cukup. Aku tak boleh menyia-nyiakannya.

Menikah, Tak Seindah yang Kubayangkan

Sampai pada ujian akhir, aku harus kembali ke Bogor, karena ayahku meninggal. Aku tak bisa melanjutkan pendidikanku, tidak ada biaya untuk itu. Pada saat itu ada seorang lelaki tinggal dekat rumahku. Ia sangat akrab dengan keluargaku, terutama dengan ayahku. Pada saat ayahku sakit sampai meninggalnya ia banyak membantu. Sehingga aku jatuh pada pilihan untuk menikah dengannya. Pertimbangannya, selain telah menolong ayahku, ia berwajah tampan dan sudah bekerja. Waktu itu usianya menjelang 30 tahun. Hanya bekenalan tiga bulan kami bertunangan. Sembilan bulan kemudian kami menikah. Sepuluh bulan berikut nya aku sudah menggendong bayi.

Pada fase menjadi ibu rumah tangga yang masih sangat muda, tak bisa dipungkiri aku masih terlalu bodoh. Bayangan akan pernikahan yang bahagia tak seindah yang kubayangkan. Aku tak mempunyai kebebasan berpendapat, tak bisa memberi usulan atau keinginan sendiri. Ketika aku menginginkan untuk kontrak rumah supaya tidak tinggal dengan keluarga mertua, tidak dihiraukannya atau memberi alasan apa pun.

Aku tergiring untuk mengikuti apa yang menjadi program kerja suami. Padahal ia lebih banyak berdiskusi dengan adiknya. Aku hanya sebagai pendengar saja, ikut perintahnya. Melahirkan dan mengurus rumah dan melayani suami itu kewajibanku, karena aku tidak bekerja dan menghasilkan rupiah.

BACA :   MASKUR: PEMUDA BERPENA DI GARIS DEPAN 3T
Wedding kami pada 12 Desember 1977
Wedding kami pada 12 Desember 1977

Sampai perkawinan memasuki tahun ke 13 rumah kediaman sudah selesai dibangun. Suami berhenti dari pekerjaannya. Mulailah terjadi kehidupan yang sebenarnya, selama masa 15 tahun berikutnya. Tabungan berupa harta bergerak dan harta tak bergerak mulai habis. Pada saat itu masanya anak-anak kami membutuhkan biaya besar untuk pendidikan mereka. Untunglah, aku dibantu adik lelakiku di samping aku bekerja di pasar. Pekerjaanku menjaga kios adikku yang berjualan daging. Walau terasa berat, tugas yang menjadi tanggung-jawabku harus kupikul demi kelanjutan hidup selama puluhan tahun.

Aku, suami, dan ketiga anak kami
Aku, suami, dan ketiga anak kami

Mencari ’Obat’ Kebodohan dan Luka Batin

Sibuk dan terus sibuk aku dengan pergulatan hidup hingga usia perkawinanku yang ke 28 tahun. Puncaknya, suamiku yang terserang stroke selama satu tahun 23 hari. Aku melayani dan merawatnya sendiri, dalam kondisi keuangan yang sangat tipis. Pada waktu itu anak-anak kami baru mulai belajar bekerja. Selama 30 tahun perkawinanku, aku tak mempunyai waktu untuk diriku sendiri. Aku memposisikan diri menjadi istri yang setia dan berbakti kepada suami. Padahal, kadang apa yang kulakukan selalu salah, tidak ada yang benar bagi suamiku. Aku sepertinya tidak ditakdirkan sebagai manusia merdeka. Aku hidup di bawah perintah suami. Inilah, yang kadang membuatku bingung dan menjadi bodoh. Ketika ia meninggal, untuk sementara waktu aku tak bisa mengambil keputusan untuk menentukan langkah apa yang harus kujalankan.

Aku menjadi janda di usia 50 tahun. Perasaan sedih dan hancur menjadi satu. Sungguh, perubahan hidup itu sangat menyakitkan. Aku masih harus melanjutkan hidup dengan tiga anak yang mengarah untuk mendapatkan pasangan hidup mereka masing-masing. Kemudian aku mulai mencari kegiatan di samping mengurus rumah. Aku harus keluar dari rumah, mencari ’obat’ untuk menyembuhkan batinku yang nyeri. Aku teringat pada ibuku yang menjadi janda pada usia 45 tahun. Ia memberiku saran, “Setiap hari harus ada jadual untuk dikerjakan. Bangun pagi dan mandi pergi ke pasar atau bertemu dengan teman. Terus pulang ke rumah membawa suatu semangat baru,” katanya, Kusimpulkan, jadi ada aktivitas yang menghidupkan raga dan pikiran. Semangat hidupku mulai menyala.

Mulai Bernyanyi, Jiwa Menari

Aku merasa mulai senang bernyanyi, kata orang yang mendengar suaraku berkomentar: Oh, bagus! Oh, merdu sekali. Semangatku bernyanyi makin bergaung. Kumulai bergabung dengan kelompok paduan suara dan acara persekutuan doa di gereja. Berkegiatan di gereja kurasa lebih baik dan positif, karena menjadi janda banyak hal yang harus dipikirkan agar jangan menjadi pergunjingan orang.

Kegiatanku itu bukan sekadar mengisi waktu tapi juga menemukan teman bicara bersenda gurau dan tertawa. Menyerap hal positif adalah yang terpenting. Ajaran mengenai kitab suci dan agama tidak kulewatkan, untuk lebih mendalami apa yang aku yakini. Sehingga aku terhindar dari rasa kesepian dan menguatkan jiwaku dalam menghadapi beragam masalah hidup. Walau itu tak bisa menggantikan sesuatu yang hilang.

Aku berusaha untuk bisa menjalani kehidupan tanpa merepotkan anak-anak, terutama mereka yang sudah memiliki kehidupannya sendiri bersama keluarga kecilnya. Maka, aku selalu mencari sesuatu yang baru, terutama saat masa Pandemi Covid-19. Di saat itu ada virus yang mengubah kehidupanku. Aku yang sudah lanjut usia tidak dapat berkegiatan di luar rumah. Aku harus pandai mencari kesibukan di dalam rumah. Sebagai ibu rumah tangga tidak jauh dari kegiatan memasak, dan berjualan makanan yang kuolah sendiri. Aku juga banyak makan, sampai kelebihan berat badan, over weight.

Bertujuan mengajari cucuku melukis, aku membeli peralatan lukis. Kenyataannya aku yang melukis, sehingga menghasilkan berpuluh-puluh lukisan yang aku pelajari melalui youtube. Hiburan yang sangat menyenangkan adanya sosial media melalui alat yang namanya handphone. Aku bisa berhubungan dengan teman atau mendapat kabar berita yang sangat aku butuhkan. Ada satu kabar pemberitaan tentang ajakan untuk belajar menulis, yang kebetulan salah seorang pengajarnya adalah sahabat lamaku saat bersama dalam pelayanan di gereja, yaitu Shinta Miranda. Ia telah menulis beberapa buku puisi dan novel. Aku berpikir, siapa tahu aku bisa seperti dia. Masa Pandemi Covid-19 bagiku sangat tepat untuk belajar menulis.

BACA :   KERJA OTAK, ZIKIR DAN KREATIVITAS MENULIS

Aku dan tante, adik Ibuku
Aku dan tante, adik Ibuku

Mulai Jatuh Cinta Pada Pena dan Menjadi Juara

Aku pun segera menghubungi Shinta. Terjalinlah relasi dan dialog demikian:

Apakah aku boleh ikut belajar menulis?” kataku, karena aku ragu. Umurku sudah 65 tahun dan tak memiliki dasar pengetahuan tentang seni sastra. Aku hanya ibu rumah tangga biasa. Pendidikanku juga hanya tamat SMA.

Sungguh tak kuduga, Shinta merespon begitu apresiatif.

Boleh, ayo ikutan belajar nulis di ruang zoom, ya secara online. Nggak perlu ke luar rumah, kau pasti bisa nulis!”

Sungguh suatu yang jawaban di luar perkiraanku. Ternyata metode belajarnya tidak ruwet. Naning Pranoto yang didampingi Shinta Miranda cara mengajarnya praktis, mudah dipahami. Hal sulit dipermudah, begitu komunikatif dan egaliter. Semua peserta yang belajar menulis diberi kesempatan mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan masing-masing gaya dan ciri khasnya. Yang ditekankan adalah kaidah-kaidah menulis secara benar berdasarkan teori creative writing.

Aku sangat tak menyangka, bisa menyerap ilmu cara menulis yang kupelajari dari Naning Pranoto. Dengan semangat, setiap hari aku berkutat di depan laktopku yang baru aku beli khusus untuk menulis beragam cerita pendek. Bila ada hal yang tidak kumengerti, kuhubungi Shinta. Kubaca pula cerita-cerita yang disarankan Shinta. Aku jadi menikmati proses kreatifku dengan belajar berimajinasi untuk menemukan ide-ide yang bisa kutulis.

Bagiku, pada akhirnya kegiatan menulis itu menjadi tempat curahan hatiku yang terpendam puluhan tahun. Sungguh, itu sangat menghiburku, menyembuhkanku dari segala macam penyakit dan juga wadah untuk mensyukuri atas anugerah-Nya yang ada. Aku pun mulai peka bila ada seseorang yang bercerita tentang pengalaman pribadinya yang luar biasa. Aku pun minta izin untuk jadikannya sebagai cerpen.

The New Me, Sebagai Pengarang

Puji Tuhan. Untuk usiaku yang tak muda lagi, aku menjadi The New Me – Erina Charlotte yang baru, yaitu jadi seorang pengarang. Aku mampu menerbitkan antologi cerpen karyaku disertai karya lukisanku, ya dalam buku ini! Ada satu lagi cerpen karyaku yang ikut dilombakan pada saat ulang tahun ke 125 gereja katedral, aku mendapat juara satu. Membuat aku bertambah semangat untuk menulis lebih banyak lagi, dan mencari sumber ide yang tiada henti. Dengan bergiat membaca, untuk menambah perbendaraan diksi.

Aku, Naning Pranoto, dan Shinta Miranda
Aku, Naning Pranoto, dan Shinta Miranda

Aku bertanya-tanya, kenapa baru sekarang? Di usiaku yang sudah tidak muda lagi, sehingga aku seperti berlari sekencang-kencangnya mengejar waktu yang tertinggal, agar bila habis waktuku ada yang aku wariskan. Semua yang kutulis terinspirasi dari sejarah kehidupan masa lalu. Aku berharap menjadi pelajaran bagi anak cucuku.

Aku bersyukur pada Allah yang telah mempertemukan aku dengan Naning Pranoto dan Shinta Miranda, sehingga aku bisa menjadi sekarang ini. Jika berandai-andai, dari dahulu, aku tak mungkin bisa menulis dengan kesibukan menjadi istri. Dengan waktu yang sedikit ini aku sangat bersyukur, masih diberi kesempatan untuk mempersembahkan karya ini bagi anak cucuku. Semoga menjadi berkat bagi generasi muda, karena bagi semua orang “bisa” berawal dari tekad dan ada kemauan. Berlatih dan terus belajar tiada henti!*

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Back to top button
Close