Perjumpaan dengannya di Kamar Diponegoro Museum Fatahilah bagi saya merupakan the golden time after I presented Wasiat Ratu Ageng Tegalrejo Javanese Musical Show. “History brings a life to us,” tuturnya, mengawali paparannya mengapa ia begitu piawai dalam menulis sejarah kehidupan Pangeran Diponegoro dari berbagai aspek yang mengagumkan dari sosok Ratu Adil tersebut. Atas bimbingan hasta-Nya saya siap menulis buku buah legit wawancara tersebut. Sungguh indah berdialog dengan Peter Carey yang menerapkan tiga bahasa sebagai media komunikasi kami: Inggris, Indonesia dan Jawa Kromo Inggil.
Sebelum berpisah, Peter Carey menyerahkan buku BABAD DIPANEGARA An Account of the Outbreak of the Java War (1825 – 30) untuk saya sebagai kado ilmiah. Buku ini merupakan tesis doktoralnya yang ia tulis tahun 80an.
Sungguh, sebuah kado yang tiada tara nilainya. Tak bisa tergantikan dengan uang.
Menjelang senja, pertemuan ditutup dengan makan bersama di sebuah kafe berbangunan klasik nan antik yang letaknya hanya sekitar 150 meter dari Museum.Fatahillah. Peter Carey memesan secangkir temu lawak hangat. Lelaki Inggris yang ‘jatuh cinta’ pada kisah perjalanan hidup Pangeran Diponegoro itu, memang telah ‘menjadi Jawa’ saat berusia 22 tahun, sekitar hampir setengah abad yang lalu. Kunjungannya ke Yogyakarta untuk pertama kalinya tanpa ia sangka-sangka diajak temannya nonton pertunjukkan wayang orang di sebuah pendopo yang kala itu dikelilingi sawah ladang, jalannya belum peraspal: tempat itu adalah Pendopo Puri Tegalrejo. Ia pun melakoni takdir yang kemudian hari melahirkan buku TAKDIR karya agungnya.
Pertemuan saya dengan Peter Carey bersama para Siswa-Siswi SMP SMA Don Bosco 2 Keanu, Mary, Jessica, Fedora, Hope dan Jazzlyn bersama guru pendamping literasi Bapak Albert Ade (Guru Musik) dan Bapak Edward Aria Jalu (Guru Sejarah,)
