KEPADA TATUI: SEBUAH ARCADIA
Cerita Pendek Naning Pranoto
(Dimuat dalam Antologi Sastra Hijau: Nyanyian dari Hutan, Pantai dan Taman Kota – Penerbit Cantrik Yogyakarta)
Bom dia, Tatui!
Good morning, Tatui!
(Selamat pagi, Tatui!)
Lelaki berkulit tembaga, tubuhnya sekokoh pohon trembesi, menyambut kedatangan kami – delegasi Indonesia dengan senyuman lebar, setelah bersalam bom dia! Dia tidak sendiri dalam menyalami kami, tapi disertai puluhan muda-mudi berkulit warna-warni: dari warna hitam pekat hingga seputih susu krim. Tapi yang terbanyak berkulit tembaga yang kemudian kukenal sebagai mulatto – yaitu muda-mudi blasteran ras kulit hitam dan kulit putih. Di antara mulatto kulihat seorang perempuan bertubuh langsing, rambutnya diurai sebatas pinggang. Hidungnya sangat mancung, bibirnya merekah rona merah jambu dan sepasang bola matanya menyerupai akik dibingkai bulu mata tebal mirip injuk serupa dengan sepasang alisnya yang menyambung. Mata dan alisnya itu mengingatkanku pada pelukis perempuan Meksiko – Frida Kahlo.
“Saya Clairine. Ini Amandus suami saya.” Ucap perempuan yang mirip Frida Kahlo itu, sambil menunjuk ke dada lelaki berkulit tembaga. Kemudian Clairine memperkenalkan muda-mudi yang mendampinginya dengan menyebut nama mereka secara cepat. Yang bisa kutangkap hanya beberapa saja, antara lain Izarra dan Armando – dua nama yang sering kudengar dari layar kaca yang menayangan telenovela, yang banyak digemari kaum ibu di Indonesia.
“Mari, mari silakan masuk, ke ruang makan.” Amandus dengan ramah membawa kami ke suatu ruangan yang mirip pendopo, dikelilingi kebun sayuran dan bibit tanaman.
“Hari ini kami masak nasi untuk Anda semua. Lauknya istimewa, tofu!” Clairine menimpali sambil menunjuk tahu mentah yang dihidangkan di lepek. Di sampingnya, sebakul kecil nasi putih. Piring-piring kecil dan garpu kecil serta gelas kecil pula adalah alat makan kami.
“Selamat makan. Kami mau makan di kebun,” Amandus mempersilakan kami sarapan.
“Terima kasih,” responku, disertai lima teman dari Indonesia.
Kami saling berpandangan, ketika Amandus dan istrinya serta para muda-mudi itu meninggalkan kami menuju ke kebun.
“Nggak salah nih sarapan kita,” bisik Santi – sahabatku, sambil menujuk tahu mentah tiga biji dan nasi yang hanya pas dimakan untuk dua orang.
“Tadi Clairine menyebut sarapan ini istimewa lho.” Bisik Danarto, wartawan koran nasional terbesar di Indonesia, mulutnya mlongo.
Kami berlima tertawa, ditahan. Karena lapar kami pun menyantapnya dengan membagi hidangan yang ada. Santi berlari menuju ke kebun, kuikuti, “Mau ke mana?” tanyaku.
“Mau lihat mereka di kebun sarapan apa?” sahut Santi penasaran. Aku mengikutinya. Tapi sebelum sampai di kebun langkah kami terhenti oleh pemandangan yang menurut kami aneh. Amandus dan istrinya serta para muda-mudi itu sedang menyantap buah-buahan dan sayuran yang langsung mereka petik dari pohon, tanpa dicuci. Mereka menggunakan keranjang ceper sebagai piring dan pisau untuk mengupas buah. Mereka makan dengan nikmat.
“Wadowww…,aneh banget sarapannya.” Santi membelalak, memandangiku. Aku juga demikian. Ketika kami akan kembali ke ruang makan, ternyata teman-teman dari Indonesia sudah berada di belakang kami dan juga membelalak.
“Let’s join us. Sarapan sehat.” Seru Armando ramah, juga istrinya dan para muda-mudi itu.
“Beginilah cara makan kami sebagai neo-humanista – manusia baru yang cinta dan pelestari bumi.” Izarra yang bermata biru menjelaskan pada kami dan didukung oleh teman-temannya.
“Semua yang kami makan tidak ada yang dimasak. Semua dipetik dari pohon. Tanpa bumbu. Tidak usah kami cuci, karena kebun kami steril. Tanaman dan pohon yang ada di sini saling membersihkan dari hama dan penyakit.” Tegas Armando.
“Sesekali kami merebus kentang dan membuat bubur gandum, jika ada kayu bakar dari ranting pohon yang kering. Kami tidak boleh menebang pohon apa pun untuk kayu bakar.” Gadis berkulit langsat menambahi.
*
Kami berada di Tatui, atas undangan sebuah LSM penyelamat pohon yang bermarkas di Stockholm – Swedia. Aloin Laurens sebagai ketuanya, berdarah Belanda. Sayang, dia tidak bisa menyertai kami ke Tatui, karena kekasihnya sedang operasi kanker. Sehingga kami ke Tatui tanpa Aloin. Kami terbang dari Jakarta, transit di Schiphol Belanda sekitar lima jam lalu lanjut terbang ke Sao Paulo – Brazil menjelang senja, tiba di Bumi Amerika Latin itu selepas Subuh. Kami dijemput Salidino, sopir dari Parque Ecologico Tatui yang dipimpin Armado dan istrinya, dari Bandara Sao Paulo menuju Tatui yang berjarak sekitar 160 kilometer.
Sungguh, perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, tapi menarik dan sekaligus menantang. Benar apa yang dikatakan Aloin. “Anda sesampainya di Tatui akan memasuki dunia baru yang penuh tantangan – berperang dengan diri sendiri. Itu neo-humanista, penyelamat Planet Bumi yang gaya hidupnya paradoks dengan modernisasi.”
Kami berenam kompak. Ke Parque Ecologico Tatui untuk mengenal dekat neo-humanista. Di tempat ini kami berkenalan dan bergaul dengan sekitar 30 bangsa dari seluruh lima benua. Masing-masing orang punya keahlian untuk menyelamatkan bumi. Mereka menyebar ke berbagai pelosok Brazil, basecamp-nya di Tatui. Dari 100 orang yang kukenal, dua-pertiganya bergelar akademis doctor dan sisanya otodidak. Tapi tak satu pun dari mereka merasa lebih pandai atau super dari yang lain. Semua menjalin hubungan dengan tanpa kesenggangan karena berpegang satu prinsip: saling asah, asih dan asuh, Toleransi prioritas dijunjung tinggi. Amandus dan istrinya merupakan pelopornya. Suami-istri yang keluarga baron atau tuan tanah ini memang mengabdikan dirinya untuk kelestarian dan eksistensi bumi. Semboyannya: Mari kita cintai dan lestarikan Bumi – Rumah kita satu-satunya.
Ada lima bahasa utama yang digunakan komunikasi di Tatui: Portugis Brazil, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda. Ketika kami hadir, Bahasa Indonesia menjadi perhatian komunitas Tatui. Kami diminta berbahasa Indonesia dalam presentasi, diterjemahkan oleh Emma Dellios. Dia ahli biologi dari Brisbane Australia, pernah studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan tinggal di Yogyakarta sekitar lima tahun. Maka tak heran dia juga fasih berbahasa Jawa. Emma juga rela menjadi pemandu kami. Jadi, kami tinggal di Tatui hampir satu tahun seperti berada di kampung sendiri.
*
Tatui – kota kecil berlangit biru, dikelilingi ladang anggur. Para petani anggur mulai bekerja sebelum matahari terbit. Di antara mereka ada yang mengendarai kuda atau mobil VW dan hanya satu dua yang berjalan kaki kala menuju ladang. Semua mengenakan topi lebar, pakaiannya stelan warna krem, bersepatu boot hingga bawah lutut. Mereka bekerja hanya setengah hari. Selepas makan siang, mereka bergabung dengan komunitas Parque Ecologico Tatui menggarap lahan hutan buatan atau ikut penelitian tanaman obat di hutan bibir Amazon. Ada juga yang menanam bibit akasia, trembesi, jati dan meranti. Tak sedikit yang gotong royong mendedas dan membasmi sarang-sarang semut dan rayap yang membentuk perbukitan.
“Sarang-sarang semut dan rayap penghancur humus. Mereka ada dan merajalela akibat dari penghancuran hutan tropis selama puluhan tahun yang tiada henti. Wajah bumi pun luka parah. Kami semua sedang mengobati wajah Ibu Bumi.” tutur Clairine, ketika menemani kami menyaksikan bukit sarang semut dan sarang rayap. Berkat kegigihan dan kerja keras para petani anggur serta para relawan neo-humanista, ladang pun berangsur-angsur subur. Brazil kembali bisa mengekspor anggur ke negara-negara tetangga. Bahkan juga mengekspor jeruk jenis Sunkist, jeruk bola (mirip jeruk Bali), pepaya dan apel.
Kami diajak Armando ke perkebunan jeruk dan apel. Para muda-mudi sibuk memilah bunga jeruk dan apel yang dianggap kurang berkualitas jika jadi buah. Kedua bunga itu diolah menjadi minyak pelembab kulit yang sangat ampuh untuk melawan derasnya angin musim rontok dan musim dingin. Pengolah minyak pelembab dilakukan para pakar dari Afrika dan India yang bergabung dalam komunitas neo-humanista. Minyak yang digunakan sebagai ramuannya adalah biji zaitun dan biji bunga matahari, sebagai variannya.
Minyak pelembab itu dijual dengan harga relatif tinggi kepada para istri konglomerat yang juga donatur pemulihan bumi. Oleh para istri konglomerat minyak pelembab itu dijual pada perusahaan kosmetik di Paris yang melayani perawatan kecantikan para bintang film Amerika Latin, Bollywood hingga Hollywood. Hasil penjualannya untuk membangun hutan-hutan lindung, pendidikan masyarakat agar mencintai dan melestarikan bumi dan berkesenian dengan misi melestarikan bumi. Amandus pengelola utamanya.Tak seorang pun yang diberi gaji. Semua bekerja untuk membangun Brazil, negeri tercinta! Sungguh puas, aku dan kawan-kawan pernah menjadi bagian dari mereka, walau peran kami tak seberapa dibandingkan dengan para pakarnya.
*
Tidak ada listrik di Parque Eqologico Tatui. Juga tidak ada air PAM. Yang ada, penerangan dengan mengandalkan tenaga matahari dan air bersih disaring dengan serapan jerami gandum atau serat pandan. Tapi, kami selalu mandi dengan air yang sangat wangi – hasil rendaman kelopak mawar dan melati. Kami minum teh istimewa setiap hari, yaitu rebusan air mint atau air serai dan jahe. Air putih sebagai minuman segar di ambil dari mata air di gugusan hutan Amazon. Mencuci rambut dengan sari getah daun lidah buaya yang ditumbuh liar dari hutan tanaman jamu di sekitar Tatui.
Kualami, rambut berkilau, kulit halus cemerlang, berat badan turun 10 kilogram berkat hidup sebagai vegetarian dan ke mana-mana jalan kaki. Hidup bersama neo-humanista tak perlu uang berlimpah, karena tak pernah ke kota. Masuk kebun, ke luar kebun, masuk hutan ke luar hutan, menyusuri sungai, melintas padang rumput, mendaki perbukitan sarang-sarang semut dan sarang-sarang rayap. Tak pernah jajan camilan atau makanan, semua dipetik dari kebun.

Malam hari kami berdiskusi strategi penyelamatan bumi atau mengevaluasi apa yang sudah kami kerjakan untuk mengobati bumi – healing the Mother Earth. Kadang diselingi pembacaan puisi, monolog atau pentas drama mini yang bermisikan Sastra Hijau, yaitu sastra untuk menyelamatkan bumi. Untuk gerakan Sastra Hijau, tiap akhir pekan mengajak student pentas di taman-taman kota atau latihan di parque atau di bibir Sungai Amazon. Aku suka sekali mendengarkan mereka memusikalisasi puisi dengan seruling bambu Indian yang ditiup oleh orang-orang Indian asli. Mereka pentas dalam lingkaran susunan batu, penontonnya duduk di atas pokoh-pokoh kayu, angin semilir terasa sejuk seiring gesekan ranting-ranting willow dan perdu pandan. Aroma alam menguap menebarkan udara segar. Kami makan siang bersama sebagai penutup acara. Menunya, salad daun kol merah, brokoli, mint dan irisan alpokat. Minumnya air sari tebu atau perasan mangga Amazon yang bentuknya mirip mangga golek tapi rasanya semanis madu. Maka tak heran, kala minuman dihidangkan banyak sekali serangga mengerumuni sari buah itu, karena kental akan nectar.
Demikian antara lain hari-hari kami selama di Tatui.
*
Bahagiakah kami tinggal di Tatui?
Aku menjawab dengan jujur: bosan, kala memasuki bulan kedua. Aku ingin rekreasi, keluar dari lingkup Tatui. Aku ingin melihat kota-kota besar Brazil dan tentu saja Rio de Janeiro City yang menjadi prioritas. Teman-temanku juga demikian. Tapi ada penekanan, “Aku rindu makan daging. Aku rindu makan nasi. Aku rindu makan anu…ini anuuuu….!” Semua makanan lezat mereka sebut. Aku ingin makan ikan. Karena aku tak suka makan daging. Tapi tak seorang pun neo-humanista makan makanan yang kami inginkan itu. Mereka sudah meninggalkannya sejak ‘membaptiskan diri’ sebagai manusia baru. Mereka hanya makan buah dan sayuran yang mereka tanam atau yang mereka temukan di hutan. Tapi, mereka minum kopi walau tanpa gula.
Suatu pagi kami pamit pada Amandus dan Clairine untuk meninggalkan Tatui barang sejenak menuju Rio de Janeiro City yang dibingkai pantai indah Copacobana dan Bukit Gula. Mereka memberi saran agar kami menunda dulu ke Rio de Janeiro City ibukota Brazil itu. “Menjelajah Sao Paulo dulu saja. Bulan depan kami siap mengantar Anda semua ke Rio.” Tegas Amandus.
Kami dipinjami mobil dan keliling Sao Paulo City. Besar sekali kota itu, mungkin dua kali lipat luasnya Jakarta. Sao Paolu City adalah paduan kota kuno dan kota modern, pusat industry dan budaya blasteran Latin-Eropa. Di Kota Tua kami menikmati kopi, teman-teman makan steak terlezat dan aku makan ikan bakar bumbu Itali. Kami makna di restoran yang menjadi favorit warga Brazil maupun turis. Tempatnya sangatm unik, berdekor Itali Klasik. Musik opera mengalun lembut, dibelai alunan suara malaekat Maria Callas, Pavarotti, Bucelli, hingga entah siapa lagi aku tak mengenalnya. Yang kurasakan syahdu…
Setelah perut kenyang, kami melangkah shopping. Karena lama tak menggunakan uang, kami kalap berbelanja barang-barang khas Sao Paulo: jaket kulit, sepatu kulit semua serba kulit asli berkualitas. Selain membeli sepatu, aku juga membeli beberapa tas dan topi. Teman-teman membeli sunglasses dan oleh-oleh dompet serta ikat pinggang. Ke luar dari toko ke toko, tangan kami sibuk menjinjing aneka belanjaan. Puncaknya, jaket kulit yang kami beli langsung kami pakai dengan penuh gaya. Tidak lupa, mengenakan kacamata hitam. Kami tertawa lepas, sungguh sangat gembira.
Dari berbelanja, kami lanjut ke pantai menyaksikan gadis-gadis sexy berbikini main voli pantai. Ada juga anak-anak dan remaja yang asyik bermain bola. Tapi yang paling menarik adalah kala kami menyaksikan para cara (cowok) dan garota (cewek) menari samba diiringi hentakan drum. Sementara garota yang lelah berenang leyeh-leyeh di kursi pandai dengan dada telanjang. Para pedagang asongan menawarkan dagangannya dengan gaya jenaka atau menawarkan barang dagangannya dengan menyanyi gaya opera. Kabarnya, di antara mereka ini ada yang menjual maconha semacam marijuana. Ada juga yang tukang copet menyamar sebagai pengamen dan pemijat – begitu yang kami dengar.
Kami kembali ke parquet menjelang malam. Kawanan anjing langsung menerkam kami kala kami turun dari mobil. Kami semua berteriak-teriak ketakutan dan kembali masuk ke mobil dan menguncinya rapat-rapat. Kedua teman kakinya terluka digigit anjing. Amandus dan istrinya ke luar menghampiri kami. Juga beberapa rekan relawan neo-humanista. Mereka terbahak-bahak menyaksikan kami yang meringkuk dalam mobil.
“Makanya, sebaiknya, kalian stop makan daging. Parque ini wilayah bebas daging. Anjing-anjing kami akan menggigit siapa pun yang pemakan daging. Mulailah jadi vegetarian. Penyelamat bumi pantang makan penghuni bumi yang bernyawa selain menghancurkan hutan, sumber daya alam dan speciesnya.” Kata Clairine dengan tenang, tetapi nadanya menggodam.
Kami, sungguh malu. Armando mengajak kami ke luar dari mobil setelah ia mengikat 12 ekor anjing penjaga parque yang mengeroyok kami.
Tatui: Sebuah Arcadia – Kenangan yang Indah
*
Gubug Hijau Rayakultura, akhir Mei 2016