Creative WritingReview

Kisah Kreativitas Tiga Kepala

Oleh Naning Pranoto

Cover Aku Mati di Pantai

Tulisan ini bukan mengulas maupun mengkritik puisi-puisi karya Marina Novianti yang dihimpun dalam Antologi Puisi Aku Mati di Pantai, yang sedang berada di tangan Anda. Melainkan menelusuri proses kreatifnya dalam menulis puisi. Walau perempuan kelahiran Medan ini dengan rendah hati mengatakan, pengakuan sebagai puisi atau belum termasuk puisi karyanya itu, ia serahkan saja kepada para pembaca.

“Yang saya perlukan kritikan-kritikan yang mengarahkan karya-karya saya mendatang lebih baik dari yang sudah mengada saat ini.” Tuturnya dengan lincah, selincah dinamikanya sehari-hari.

Marina Novianti, ibu dari satu putri dan dua putra ini, mulai menulis puisi sejak di bangku Sekolah Dasar. Sayang, ayahnya menginginkan agar putrinya menomorsatukan sekolah, maka kegiatan menulis puisi pun terhambat. Beberapa puluh tahun kemudian, baru ia kembali menulis puisi dengan alasan sama seperti ketika ia masih anak-anak. “Saya sulit berteman, sulit berkomunikasi dengan orang-orang sekitar saya, maka…saya menulis.” Akunya jujur, tanpa dibungai kata-kata pemanis. “Menulis, membuat saya merasa lebih utuh.” Tegasnya. Bahkan kini ia memiliki motto 3 P: Pray-Pen-Paper untuk mengkokohkan kiprahnya dalam menulis.

Berguru Pada Puisi Dickinson

Dalam kesusastraan Indonesia, nama Marina Novianti belum dikenal sebagai penyair. Tetapi, ia menghayati dunia, dan karena itu ia dapat melahirkan kepuitisan dunia yang dihayatinya itu menjadi puisi – demikian Penyair Nenden Lilis Aisyah mengomentari eksistensi Marina Novianti dan karya-karyanya sebagai Kata Pengantar antologi ini.

Memang demikian adanya. Ia menghayati dunia dan penciptaNya serta mengagumi seorang penyair kenamaan Amerika Serikat yang lekat dengan alam dan penciptaNya: Emily Dickinson. Pada karya-karya penyair itu ia berguru. Bahkan dalam kesehariannya, Marina mempunyai kesamaan rona hidup dengan Dickinson: pianis, agamis, pecinta lingkungan dan penyendiri tapi kaya akan rasa cinta. Ada saja caranya untuk mengungkapkan rasa cinta itu, termasuk rasa cintanya kepada kematian, berikut ini:

 

AKU MATI DI PANTAI

Aku mati di pantai

Ragaku melebur dengan pasir

Melarut dialun ombak

Menari ruhku bersama angin

Berduet di tiap hembusan

Berdendang tentang nirwana

Terkuburku di sini

Selamanya

Puisi tersebut juga ia tulis ke dalam bahasa Inggris:

AT THE BEACH I DIED

At the beach I died

My flesh and bones became one with white sand

Melted and carried away by blue sea waves

My spirit danced with the wind gods

We sang a romance in every breeze

Lifting up praises about paradise

I have buried myself here

Forever

Marina menulis karya-karyanya dalam antologi pertamanya ini memang menggunakan dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Hal itu ia lakukan sebagai ekspresi suara hatinya secara tuntas.

Kreativitas Tiga Kepala

Guru Matematika, Pianis dan Ibu Rumah Tangga, itulah yang melatarbelakangi Marina menulis puisi. Dengan ‘tiga kepala’ itu ia berproses kreatif dalam menuliskan puisi-puisinya. Sejak pagi hingga menjelang senja, aktivitasnya di luar rumah sebagai guru matematika dan guru musik barulah usai. Di pagi-pagi buta dan di malam hari menjelang tidur ia berperan penuh sebagai ibu rumah-tangga. Di jeda waktunya, pukul 02.00 hingga menjelang pukul 05.00 dinihari menjadi miliknya sebagai the golden time untuk berkarya: menulis puisi dengan sepenuh hati.

“Hal-hal yang bersifat rutinitas yang membuat saya kehilangan kreativitas. Tapi, saya selalu berusaha untuk tidak kehilangan itu. Ketiga anak sayalah yang membuat saya menemukan kembali kreativitas itu. Saya banyak belajar tentang kehidupan dari mereka, khususnya tentang – bagaimana cara mencintai dan selalu memiliki cinta sebagai sumber keindahan dalam berkarya.” Marina bertutur dengan perasaan liris, seliris kala ia menulis dan bermain musik.

“Menulis puisi atau apa pun orang menyebut karya saya, bagi saya sebuah proses untuk menjadi diri yang utuh sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa yang memiliki peran.” Marina berharap.

Setelah ia menerbitkan antologi puisinya Aku Mati di Pantai, mulailah ia menulis prosa, dalam bentuk novel. *

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku