Karya Fiksi Peserta

KOTAK PANDORA

Penulis : Septya Danas Satya

Sungguh ajaib, ada yang bergerak dan hidup di dalam perut yang selalu menemaniku setiap hari. Dalam keadaan senang atau pun sedih, ia selalu ikut merasakan semua yang kurasakan. Kadang ia mengajakku bercanda, memanggilku tanpa suara, tetapi aku bisa merasakan tendangannya yang hebat. Senang sekali bisa merasakan setiap gerakannya
Anakku, mama sayang kamu. Kita akan berjuang bersama menjalani kehidupan yang pasti akan berat meski hanya berdua, tetapi selalu ada Tuhan yang akan menyertai kita.

Hari ini tepat tujuh bulan usia kandunganku. Tidak ada yang kulakukan selain berdoa dan mengucap syukur. Tujuh  bulan usia kandunganku, biasa disebut mitoni oleh orang Jawa, sebagai peringatan kehamilan. Berbagai macam makanan khas Jawa dihidangkan dan dibagikan pada saat kenduri berlangsung. Orang tuaku di kampung membuat syukuran sederhana untuk anakku, tetapi tidak mengundang tetangga datang. Hanya ada beberapa makanan khas tujuh bulanan saja seperti dawet,  rujak, jajanan pasar dan juga tumpeng yang dibagikan kepada tetangga terdekat.

Satu  hari ini aku jalan-jalan bersama anakku. Rasanya lelah sekali, apalagi Pak Bayu marah-marah via SMS,.gara-gara masalah KTP untuk hak cipta Insan Performa. Kepalaku mendadak pusing. Saat itu aku sedang membaca buku di Gramedia kawasan Matraman Raya, tempat favoritku mengisi waktu selama masa kehamilan. SMS yang membuatku menjadi enggan melanjutkan membaca buku. Aku sedih sekali, padahal hari ini aku ingin bersenang-senang membaca buku tentang kehamilan, agar menjadi bekal saat anakku lahir nanti.

Hal yang membuat kubahagia, rencana awalku sudah tercapai. Aku membeli buku harian yang kuinginkan. Buku harianku yang sebelumnya sudah tersisa dua halaman saja. Menurutku, membeli buku harian itu lebih penting dari apa pun. Melalui buku harian, segala yang kurasa dan kupikirkan dapat tertumpah kapan saja aku mau menuliskannya. Ia teman sejatiku, meski harganya cukup mahal. Untuk sesuatu yang penting dan berarti, tak masalah bagiku. Gajiku di perusahaan konsultan bidang jasa memang tidak sebesar gaji orang yang sudah berada di level supervisor atau manajer. Aku hanya karyawan biasa, bisa di marketing, administrasi atau bahkan merangkap sekretaris pribadi Pak Bayu. Gajiku tidak sebesar yang dibayangkan, meski merangkap berbagai macam pekerjaan.

Kukira hari ini akan berjalan lancar seperti yang kurencanakan, namun menjadi teruk. Ini semua kesalahanku.
“Bego banget, sih aku ini,” gumamku.  Sudah pasti Pak Bayu akan marah padaku. Ia bosku, kadang baik, kadang suka marah-marah. Hari ini aku memang sudah membuat pak Bayu marah. Aku sudah siap apa pun risikonya.

“Anakku, rasanya mama sedih banget. Mama nggak tahu mau cerita ke siapa.  Kalau mama punya suami, pasti ada yang mendukung mama,” kataku pada anakku yang berada di dalam rahimku. Hanya ia tempatku berkeluh kesah selain Tuhan, dan buku harianku. Entahlah, anakku mengetahuinya atau tidak. Tendanganmu, gerakanmu, mungkin respon yang kau berikan kepadaku.

“Kalau mama lagi sedih, kamu tak boleh ikutan sedih ya, Nak. Doakan supaya mama bisa hadapi semua dengan penuh sukacita,” kata penutupku malam ini sebelum tidur.  Tidak lupa kunyalakan musik Classic Nite nya Radio Sonora Jakarta, agar anakku juga ikut mendengarkan, dan tertidur lelap.
“Anakku, mama sudah ngantuk sekali, mama tidur dulu, ya. Kalau kamu mau tidur, dengerin musik yang mama sudah siapkan, kamu tidur juga ya..”

*

Banyak hal di luar dugaan, semua terjadi begitu saja.  Aku hampir melahirkan, tanggal 14 Februari 2008 diperkirakan menjadi hari lahir anakku ke dunia. Aku memang belum menikah, telah kuambil keputusan untuk menjadi single parent. Ada seorang teman menyarankanku mencari jasa laki-laki untuk kunikahi sementara, semacam kawin kontrak. Setelah anakku lahir dan mendapatkan akta lahir, bisa bercerai. Sahabatku yang baik hati seperti malaikat itu, malahan mau dengan rela hati meminjamkan pacarnya untuk menjadi suamiku sementara.
“Var, kamu memang gila!” kataku melalui telepon pada Vara yang saat itu tinggal di Solo.
Aku menolaknya, bukan karena masalah pengakuan dan status anak. Tidak adil untuk Vara dan keluarganya.
“Mungkinkan aku tega melakukannya?” pikirku dalam hati. Semua kesalahanku, sudah seharusnya aku menanggung akibatnya.
“Bukan kamu, Var,” kataku dalam hati. Kubayangkan memeluk Vara yang betubuh tinggi, sedikit gemuk, dan murah senyum.

Egois, bila aku tidak memikirkan masa depan anakku, terutama dampak psikologisnya jika anakku  besar nanti. Aku sangat memikirkannya.  Kujaga hati dan pikiranku agar jiwaku tenang dan emosiku tetap stabil.  Itu kulakukan demi anakku. Kujauhkan rasa sedih dan tertekan, sekuat hati mengendalikan pikiran negatif dan rasa marah.

Aku menolak Awan menikahiku, padahal ia bapak kandung anakku. Awan sudah bertunangan dengan perempuan lain sebelum menjalin kasih denganku, namun baru kutahu di saat hasil test pack menyatakan positif. Perasaan kalut melanda diriku.
“Bagaimana ke depannya? Bagaimana saat harus melahirkan? Aku harus melahirkan di mana?” pikiranku terus berkecamuk.

Awan memang sedikit memberi kelegaan, ia mau menikahiku. Ia sudah bertunangan. Aku membayangkan hal buruk bisa terjadi bila aku menikah dengan Awan.  Terlintas di benakku untuk menggugurkan kandunganku.
“Bagaimana jika kugugurkan kandungan ini?” aku bertanya pada Awan. Ia menye tujuinya, namun kemudian kami terlibat dalam percekcokan Akhirnya kuputuskan untuk bertanggung-jawab dan mempertahankan anakku.

Aku tidak akan bahagia menikah dengan Awan, aku tahu apa yang ada di hatiku. Kutinggalkan Awan, hal terberat yang harus kulakukan. Sampai sekarang pun aku tak ingin menghubunginya lagi. Aku tetap mendoakannya agar ia diberikan yang terbaik dalam hidupnya, dan diampuni perbuatannya selama ini, terutama terhadap anakku.

Kepada Tuhan, segala beban berat kuserahkan. Aku tak mampu memikulnya sendiri. Bersyukur, keluargaku menerima dan mendukung keputusanku. Awalnya, ibuku shock. Ia langsung menangis, berteriak memarahiku saat kuberitahu via telepon, lalu Ibu tidak bicara, hanya menangis.  Aku hanya bisa meminta maaf, terdiam dan meneteskan air mata sambil memegang ponselku.

Kurenungkan hidup yang kujalani memang terasa berat, namun aku bersyukur. Tuhan mengirimkan orang-orang baik,  yang perhatian,  peduli, sayang kepadaku dan anakku, ingga aku masih bisa tersenyum. Meski pun berat sekali mengendalikan beragam perasaanku, namun beberapa orang melihatku dalam kondisi hamil yang bahagia.  Mereka memang tidak pernah tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Aku menjadi terbiasa tidak memperlihatkan kesedihan kepada orang-orang yang kutemui.  Seberat apa pun masalah, tersenyum menjadi cara agar mampu bersikap objektif, meski terdapat sedikit penyangkalan egoku.

Sebentar lagi hari Natal, biasanya kurayakan bersama keluarga di kampung halamanku.  Kali ini aku hanya  ditemani anakku, berdua saja, aku dilarang pulang karena kehamilanku.  Akan bisa pulang jika sudah melahirkan, bahkan orang tuaku memintaku untuk melahirkan di kota kecil, jauh dari kampung halaman. Aku mengerti apa yang orang tuaku rasakan, pasti malu dengan perbuatanku. Aku telah membuat kecewa dan membawa aib keluarga.  Sekali pun begitu, mereka tetap mendukung dan menguatkanku.  Aku tahu, sebenarnya mereka juga rapuh, menyembunyikan rasa malu karena perbuatanku.

Saat mereka menghubungiku melalui telepon, sekuat tenaga aku menahan air mataku tidak jatuh, menjaga suaraku agar tidak parau.  Orang tuaku pasti mengalami hal yang sama sepertiku, beban mereka juga berat, melebihiku.

Aku tak ingin larut dalam kesedihan. Ketakutan menghadapi hari mendatang akan bertambah berat setelah aku melahirkan. Aku hidup sendiri tanpa suami, jauh dari keluarga, khawatir tak bisa membahagiakan anakku. Pada kenyataannya, aku harus melibatkan orang tuaku untuk menjaga dan mengasuh anakku.  Sebenarnya aku ingin sekali merawat anakku sendiri agar bisa lebih dekat, dan memberikan ASI eksklusif.

Keadaan memang tidak memungkinkan jika anakku bersamaku di Jakarta, tak ada yang yang merawatnya. Aku harus bekerja dari pagi hingga sore hari, dan harus mengambil seorang asisten rumah tangga. Gajiku tidak akan mencukupi kebutuhan di depan mata. Bagaimana bila anakku sakit, beli susu, pampers dan kebutuhan lainnya, pikirku. Aku harus meminta pertolongan orang tuaku.

Kuputuskan jika anakku lahir, tidak kubawa ke Jakarta. Aku akan ke kampung halaman satu minggu sekali dengan naik kereta, membwa ASI dengan coolerbox berisi ice gel agar tetap terjaga kualitasnya. Aku harus sesering mungkin bertemu anakku, menjaga agar tetap lekat dan dekat padaku. Aku berdoa agar Tuhan yang mengatur semua kehidupanku.

*

Edwina Velove Gratia Mekadesh, nama anakku. Hari ini hari ketujuh meninggalnya anakku, Minggu 6 Januari 2008. Ia pergi tepat di hari lahirnya. Anakku lahir di dalam perjalanan menuju kampung halamanku, di atas kereta api..
Aku memutuskan untuk melahirkan di kampung halamanku. Beberapa hari sebelum kepulanganku, tepat di malam tahun baru, ada sedikit flek yang keluar. Keeesokan paginya aku ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan kandunganku. Flek coklat bisa merupakan tanda waktu persalinan sudah dekat, namun saat itu usia kandunganku baru delapan bulan.

“Bisa saja tanda persalinan prematur, atau ada gangguan pada plasenta,” dokter berkata padaku.
Aku dianjurkan beristirahat dan opname selama dua hari di rumah sakit, dan mendapat obat melalui suntikkan. Setiap disuntik, dalam hitungan detik sekujur tubuhku mulai dari kaki sampai kepala, rasanya gatal-gatal atau seperti kesemutan. Suntikan yang selalu kuingat dan masih bisa kurasakan bagaimana sakitnya.
Selama opname, aku terus merasakan sakit perut yang luar biasa. Ketika bisa pulang ke rumah pun, rasa mulas tak kunjung hilang. Aku tetap harus pulang ke kampung halaman untuk melahirkan, maka aku ke kampung halaman dtemani seorang sepupuku.

Selama perjalanan di dalam kereta api, rasa sakit itu tidak berhenti. Aku mengalami kontraksi, lebih berat daripada kram perut di saat menstruasi. Perutku terasa begah seperti ingin buang air, semakin lama kontraksinya semakin sering. Rasa tak nyaman menjalar ke seluruh bagian perut, bagian depan, kanan dan kiri perut, hingga ke punggung. Perut terasa keras sekali saat kontraksi, dan panggul terasa seperti ditekan.
“Oh, Tuhan! Rasanya sakit sekali.” Aku terus berdoa penuh kecemasan, membayangkan apa yang akan terjadi, karena perjalanan baru dimulai. Semakin lama  jarak kontraksi dan intensitas rasa sakit semakin sering.
“Waktu melahirkan sudah dekat jika jarak kontraksinya sering, rasa nyerinya sangat kuat,” begitu kata dokter yang pernah diucapkan saat aku kontrol kehamilan.

Detak jantungku semakin kencang, bercampur rasa takut dan cemas. Aku sudah berada di lantai kereta api. Kulihat lalu lalang penumpang, bahkan ada yang berusaha mengerubungiku. Perutku diselimuti jarik yang memang sudah aku persiapkan dalam perjalanan. Aku tak tahu siapa saja yang menolong persalinanku.
“Tolong ambilkan gunting, air hangat, dan susu!” teriak seorang perempuan, entah siapa. Kebetulan gerbongku bersebelahan dengan gerbong restorasi sehingga memudahkan mengambil yang diminta perempuan itu. Seorang laki-laki mendekapku, memberi ketenangan kepadaku.
“Tarik napas perlahan, lalu hitungan ketiga mengejan,” katanya.
Kata-katanya serasa memberi kekuatan kepadaku. Kulihat wajah sepupuku penuh kecemasan, ia sedang menelepon seseorang, kemungkinan orang tuaku.

Aku mengejan lebih kuat, dan seketika itu aku dapat mengeluarkan bagian kepala dan pundaknya dari perutku. Setelah itu semua terasa sangat mudah, seperti memegang belut yang lepas, semua keluar dengan sendirinya. Seorang ibu mempersiapkan gunting yang sudah steril dengan air panas, lalu menggunting tali pusar anakku.

Proses persalinan yang menegangkan berjalan lancar di atas kereta yang sedang berjalan. Suara klakson lokomotif kereta api terdengar, orang-orang berjalan hilir mudik melewatiku, termasuk pedagang asongan. Kucari suara tangisan bayi, tidak kudengar suara anakku. Ia meninggal dunia sejak di dalam perut. Rasa sedih tak dapat diwakilkan tetesan air mata. Air mataku tak keluar sama sekali, aku hanya terdiam.

Saudara sepupuku mengucapkan terima kasih pada para malaikat penolongku. Aku tidak dapat berkata-kata. Perjalananku menuju kampung halaman  terhenti di kota Subang. Keretta tidak diperkenankan membawa orang meninggal. Aku menggendong anakku yang sudah tidak bernyawa, naik becak yang atasnya terbuka, menuju Puskesmas. Aku menatap langit yang cerah, mengucap terimakasih pada Tuhan.

Tuhan mempercayakanku melahirkan di kereta api tanpa persiapan apa pun, namun aku percaya Ia akan menyelamatkan kami. Segala yang kami butuhkan dipenuhi melalui orang-orang  yang ada di sekitar kami. Rasanya seperti mimpi, saat itu ada  kekuatan dan ketenangan di dalam diriku.

“Grace, mama sangat menyayangimu. Mama minta maaf untuk semua yang pernah mama lakukan, membuatmu sedih, membuatmu sakit, menangis, menjerit ketika berada di perut mama. Mama bisa merasakan, kamu juga sayang mama. Tidurlah dalam kedamaian dan hidup dalam kekekalan. Tidak ada lagi yang membuatmu sedih dan menangis. Anakku, kamu akan bahagia selamanya. Tuhan selalu menyertai dan menyayangimu. I love you, Grace. *

Penulis : Septya Danas

Septya Danas Satya lahir di Kulon Progo tahun 1981. Ia menyelesaikan pendidikan Psikologi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah. Perempuan yang penuh semangat dan pembawaannya tenang ini, pernah bekerja sebagai guru TK di Sekolah Ora et Labora BSD Tangerang. Sejak 2012 ia bekerja sebagai guru BK jenjang SD di Sekolah Pahoa di Kawasan Gading Serpong. Danas menyukai pekerjaannya sebagai konselor. Untuk membekali wawasannya di bidang konseling, ia menimba ilmu untuk program Magister Konseling Pastoral di STT Jaffray, Jakarta.

Di tengah kesibukannya, dan dalam masa pandemic, ia tetap menyempatkan waktunya megikuti webinar tentang parenting, dan saat ini sedang mendalami penulisan creative writing serta belajar filsafat. Ia pun aktif menulis di majalah Studium sekolah Pahoa, tentang tema Bimbingan dan Konseling atau Psikologi yang berbentuk karangan ilmiah, semi-ilmiah, berkaitan dengan bidang akademik.

Ia ingin mempunyai karya yang dapat berguna untuk orang lain terutama dalam kehidupan.

Tags

Karya Fiksi Peserta

Naning Pranoto Creative Writing Corner | WA 085781113695 | Editor : Shinta Miranda

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Back to top button
Close