Lumbung Air Mata Karya Kartini F Astuti
LUMBUNG AIR MATA
Kartini F. Astuti
Terik menancapkan cakarnya dengan santun. Sebatang ajir kayu gemeretak lalu patah lalu bersimpuh pada tanah, ibu jasadnya. Rayap kenyang. Alap-alap memangsa perkutut yang tak sempat menciap. Angin tenggara mengirim batuk pohon kelapa, membalas sedak rumpun kecipir. Ladang meriang, menanti kecup hujan dengan kening keriput sungguh—terlampau keriput dibandingkan lelaki yang menungging-nungging di atas sajadah jerami.
Lelaki hijau. Liuk lengannya sudut ketam. Lampai tungkainya kembaran tangkai lalang. Langkahnya air bandang. Disibaknya tirai padi yang menularkan gelitik gatal. Jurang selokan mencegat menodongkan curam, menawarkan lebam. Derak ranting terinjak seakan gempa bagi gerayang semut. Sorot matanya membidik sasaran sekali delik. Sebilah bambu dicengkeramnya demikian kukuh. Menyeberangi titian pinang sebatang, Atang bagai menjangan lapar. Berderap menerjang.
“Modar siah1!” umpatnya sengit.
Kesumat tuntas sudah. Bambu belepotan darah. Seekor tikus tewas. Betapa naas. Berpasang jemari menjewernya, menjentiknya hingga terjerembab dengan wajah koyak. Julangan pohon pisang menangkap kejatuhan dan kehancuran kekal. Akar-akarnya rela dijadikan pemakaman. Rumbai daun-daunnya teduh nisan purbakala. Dua likur bangkai tikus bergelimpangan. Atang bergidik. Anyir menelesup ke liang hidung.
Tikus, dalang onar segala nanar, musuh bebuyutan para petani. Atang yang juga putra petani sontak menjelma tentara ladang jika sepasukan tikus menyerang. Dengan moncong tirus dan kumis jarang, bandit-bandit nakal itu menggoda padi belia, memuji kecantikannya untuk kemudian mengunyah serat-seratnya hingga lumat. Berhektar ladang gagal panen. Kecewa harus ditelan. Pantang menyerah adalah kebangkitan.
Gerah. Musim berganti baju. Kemarau lucut. Derau hujan, tidak tergesa tapi rapat, mendekap erang sekarat ladang. Lumbung bagai perawan mandi basah, penuh gairah. Para petani menabung impian-impian sederhana dalam rumah beranyam bambu itu. Rumah yang tidak pernah lapuk. Rumah yang hangat sebagai tempat istirah gabah-gabah istimewa.
Amat mesra matahari mengusapkan handuknya. Ladang kuyup sesaat, merona kemudian. Seekor munding, jika mampu menahan buncit, barangkali bisa berjingkrak senang. Munding akan menahkodai lumpur, menjadi pembajak paling ulung.
Kidung karuhun menembus lapisan langit dan bumi, pertanda upacara tolak bala tengah berlangsung. Usai disemai berbait-bait, bibit-bibit padi mulai menggeliatkan makna. Hampir saban hari mereka dimanja para petani yang petantang-petenteng memanggul cangkul. Tikus bukan soal. Ular sawa titisan Hiang Dewanata sudah menelan habis sanak keluarga bandit berkumis itu, pun cucu-cucunya.
Padi hamil gabah. Sudah sejak lama. Berjuang membentengi pianggang meski dengan ketidakberdayaan rahim bumi. Maka kini detik panen raya. Padi melahirkan Pandanwangi. Aroma pandan direngkuh pesta pora penduduk desa. Para petani membidani, menimangnya sepanjang jarak huma menuju lumbung. Gigi mereka kawanan soang, berdenyar putih dalam jernih air muka. Ayun rengkong2 di bahu menjadi tembang jagat paling merdu. Tali ijuk dan awi gombong3 bersigesek, terdengar seolah kasidah ratusan bangkong.
Kong. Kong. Kong.
Atang bersorak setiap kali mendengar kegaiban suara itu. Telinganya bagai menangkap padu padan mainan reang4 dibunyikan. Lesap ke alam lain. Lindap di tapal batas peradaban. Terkadang ikut bergoyang kiri-kanan mengiringi irama arak-arakan rengkong. Anak-anak desa berandai bisa seperti ayahnya. Kecuali Euis, seorang perempuan cilik yang terus menerus menangis setiap menyaksikan gundukan padi dipikul sedemikian rupa.
Kembang bakung memekarkan kuncup kasmaran, dipetik dari semak-semak ruas jalan, dianjurkannya satu untuk Euis yang langsung bersin-bersin. Lambat laun isak tangis bertukar sedu sedan, bertukar gelak tawa. Kembang bakung tersemat di lekuk telinga. Kelakar Atang mengalahkan mekar kembang itu. Digendongnya Euis ke lumbung dekat tulang-tulang pagar. Sudah dibentangkan tikar bangkar pada rebah pekarangan.
Masih dengan kepala berpayung caping, seorang petani ngagebot5 sejumput padi. Atang memanggilnya Abah. Sosok ayah yang langka. Jarang bicara tapi gesit tingkahnya. Berladang sebelum era reformasi. Ingatan Abah tidak pernah lepas dari bedil laras panjang yang dicondongkan tentara Jepang tepat pada pelepis para peladang.
“Atang!” seru Mak bersipongang dari daun jendela. Tangannya berkibar-kibar bagai bendera agustusan. Terkesiap, Atang merasa digertak titah komandan. Euis merengek manakala hendak ditelantarkan. Atang memangkunya pulang. Abah menyusul, mencampak tapak serampangan.
Tudung saji tak jemu menjamu. Nasi pulen, peda, serta sambal tersingkap, mengundang longsor lidah dan banjir ludah. Geletar gendang lapar bertabuhan di lambung. Semisal Mak tak sempat beli lauk di pasar, Atang sebetulnya sudah sangat puas makan siang hanya dengan tutug uyah. Kadang-kadang, Mak membekalinya opak dan raginang6 sebagai cemilan. Atang akui sungguh, masakan Mak memang hidangan terlezat di dunia. Adalah pamali7 jika santapan masih bersisa.
“Ladang kita pusara Dewi Sri Nyai Pohaci,” tutur Mak bangga saat Atang menanyakan asal mula padi, pangan pokok insan pribumi, “semua yang tumbuh dan melimpah, hadiah dari Taman Sorga Loka8.”
Kisah tragis dewi kesuburan itu memangkas urat-urat zaman, menyisakan rimbun cambang Atang. Puluhan tahun merentang. Ladang bukan lagi isyarat kegagahan. Ijazah modal utama lamaran kerja sekaligus lamaran wanita. Atang menempuhnya dari bangku sekolah rakyat, agak terpenggal-penggal tapi kemudian berhasil khatam kuliah. Andai kata sarjana berlatar keluarga petani bisa dihitung dengan jemari, Atang mungkin menempati posisi telunjuk. Atang yakin takdirnya adalah memerintah secara adil dan bijaksana. Itu saja.
Sunyi mendesah. Gelisah tidak berkesudah. Atang butuh pendamping, bukan ketam, bukan pula gebotan. Atang menemukan lagi perkakas ladang yang hilang dalam diri seorang perempuan. Segera dipinangnya ia sebelum hasrat dan dahaga menuntut makin rutin, sebelum kelopak mata jatuh pada yang lain. Perempuan rapuh. Alangkah memabukkan bagai kembang bakung dihinggapi kumbang. Atang kepayang.
Euis dan Atang bersenyawa di bawah lengkung janur kuning. Orang-orang desa memandang mereka sebagai perwujudan Sri dan Sedhana.
*
Ladang tadah hujan kini merupa sawah, rupawan dan senantiasa basah. Saluran irigasi ditenggaknya pelan-pelan apabila musim berlaku kejam. Saluran itu berlinang memanjang, menggurat wajah pertanian. Lenguh munding semula masih terdengar parau tapi kemudian terkubur derum mesin traktor. Berton-ton hasil panen dijemput punggung kendaraan roda empat, digiring ke gerbang rumah tengkulak. Biaya produksi kian melambung. Segenggam cangkul, alat usang paling perkasa, tertindih kebimbangan cuaca.
Serupa padi berisi, Atang memberat, merunduk-runduk setiap menjumpai kerabat. Tidak lupa berucap punten9 atau sekadar berkabar. Tersipu. Namanya semerbak di mana-mana. Terlebih sejak mempersunting kembang desa, Euis Sukaesih, yang kini sedang berbadan dua. Pun daya pesona Atang dengan gemilang menggaet kepercayaan orang-orang penting. Atang kini menjadi kaki tangan kepala desa.
Sudah pantas kau jadi anggota dewan, kerling cermin pun mengaku. Petir ketam langit menyambar-nyambar dalam beliak bola matanya. Senyum Atang setrum ribuan watt. Dikancinginya jas sewarna arang. Sejulur dasi membelit di lingkar leher, mengingatkannya pada ular sawa yang tidak letih-letihnya memburu tikus. Tubuhnya terlampau kurus untuk menyangga ragam busana. Sepatu gilap semir. Peci beludru bertahta pongah di kepala. Atang siap merapatkan pantat di kursi pejabat.
“Jadi anggota dewan butuh modal, Mak,” ujar Atang terus terang saat menduduki kursi rotan di rumah orangtuanya. “Maka Atang berharap kita bisa menjual tanah.”
Asap rokok dari mulut Abah bergulung-gulung mengitarinya, memintanya menjelaskan lebih. Tempo hari, katanya, Atang ditawari mencalonkan diri jadi anggota dewan. Itu berarti kantor kabupaten akan segera menjadi ladang sesungguhnya.
Mak menoyor kepala Atang. “Jangan gegabah, Ontohod10! Tanah itu harta keluarga kita satu-satunya, sumber cihaya, sumber mata pencaharian.”
“Bertani tidak ubahnya berjudi, hanya mengira-ngira besar kecil cambuk nasib.”
“Memang, tapi…”
“Tidak tega Atang mah melihat anak cucu kelak cuma jadi petani. Hidup miskin dan membusuk. Tidak bisa diandalkan sama sekali selain mencangkul kuburan sendiri.”
Sontak, Abah bangkit. Berang bukan main. Sarung melorot, dilintingnya lekas-lekas. Bara puntung rokok disaruk jempol kaki. Padam. Namun, ada kepulan ancaman dari kepalan tangan. Kekar otot-otot tangannya merenggut putih susu kerah kemeja Atang, beringsut ke pojokan seiring keriut kursi rotan. Kering kelenjar air matanya tak mampu menamai perasaan yang bergumul di dada. Hantaman tinju menggetarkan jantung. Tidak cukup sekian, sebuah batang cangkul yang rusak diraup dan dibanting berkali-kali ke tulang punggung anaknya. Atang merintih hebat.
Mak sedari tadi tertatih-tatih, memohon belas kasih, “Ampun, Bah. Ampuni Atang! Memang dia lupa dari mana selama ini kita memberinya makan, belum tahu mulang tarima. Tapi tetap, Bah, dia tetap benih masa depan kita.”
Hancur lebur batang cangkul akan menghentikan rotasi kebrutalan Abah. Tapi batang cangkul tak hancur-hancur. Dada Abah juga masih turun-naik seperti menyimpan selaksa guntur. Mendung tampak pada kelam kedalaman matanya.
Atang cedera luar dalam. Dihimpunnya segenap tenaga untuk merayap pelan-pelan, lalu meraba-raba jalan penyesalan, lalu mengecup telanjang kaki Abah yang tahan reruncing beling. “Maaf atas kelancanganku, Abah. Tidak sepatutnya aku membuatmu murka.”
Abah masih berpaling, tapi ekor matanya terus mencari-cari niat tulus seorang anak. Jejak egonya perlahan berlelehan. “Giliran Abah berbicara supaya harga jualnya sesuai.”
“Abah?” lirih Atang menyuling saripati kata-kata ayahnya.
“Giliran Abah berdagang tanah setelah lelah menggarap ladang.”
Atang menggabrukkan tubuhnya ke pelukan Abah dengan air mata menggerimis.
Pada senggang siang yang lengket oleh keringat, gergaji mesin menampakkan gigi-gigi keperkasaan. Anak-anak bersorak dalam pangkuan resah orang tua. Sebatang pohon kelapa tumbang. Dua batang. Tiga batang. Runtun, hingga tidak lagi ada pengawal berambut baralak11 tegak di batas ladang.
Buldoser mengeram. Ladang tidak kuasa berontak. Tikus-tikus mencicit sesaat sebelum akhirnya tergilas. O, aroma pandan membubung di udara! Gelepar daun-daun tercatat sebagai salam perpisahan. Kumbang bersialang. Serempak wereng tunggang langgang. Bebegig12 minta tolong dengan bahasa yang hanya mampu diterjemahkan angin.
Lumbung doyong. Kosong. Hanya ada kasidah ratusan bangkong dalam selimut semen-batu-aspal kemudian. Hutan beton di seberang sana menjadi hunian paling anyar. Sebab apa lagi kalau bukan ulah pengusaha asing!
Seluruh saksi mata menjerit dalam hening. Mak terduduk lemas sambil memijat permukaan daging pada tengkuk anak kesayangannya. Buldoser itu meluluhlantakkan hati siapa pun. Abah kembali ke kamar, mengambil kantong karet berisi air hangat dan mengompreskannya ke perut. Abah tiba-tiba merasa mulas. Entah mengapa. Tujuh kali ia hilir-mudik ke jamban siang itu. Sementara ladang yang dirawatnya bertahun-tahun akan roboh seketika, menimpakan amuk gelisah pada lembaran tipis sisa hidup.
*
Ketukan halus hinggap pada satu per satu pintu rumah penduduk. Janji-janji berselancar di lantai pasar yang becek. Suara Atang mengurai ratusan helai kaos berlambang partai dan berkardus-kardus sembako di tangan-tangan berlainan. Angannya satu: pagar-pagar yang ditulis kapur membuka jalan untuk menyambut kepemimpinan seorang mantan petani.
Buah manis pemilu pada tahun itu sulit dikupas, kecuali dengan uang sebagai pisau politik paling lancip. Demokrasi memelihara padang tandus revolusi. Tidak ada yang bisa ditanam dengan pasti selain kaktus berduri. Ladang sesungguhnya sudah mati sejak Atang memimpikannya.
Atang gontai. Sejak dulu berkemas untuk bahagia tapi ia lupa akan kesiapan kecewa. Gagal jadi anggota dewan, Atang mengasingkan diri ke terminal kota menjadi pengemis keadilan. Merah kepiting wajah Atang kalau saja ia langsung pulang ke desa. Lalu lebam karena dihantam cangkul keramat. Betapa pun, Atang rindu setiap pukulan Abah yang menyakitkan.
Terpancang setegar lalang, Euis menyampirkan kain sinjang pada sebidang punggung. Anaknya dirapatkan, cekatan. Sia-sia dua tahun mengincar cempor di ruang-ruang penantian. Kendi kepercayaan pecah berkeping. Atang, suaminya, urung tampak meski sekadar singgah sesaat. Barangkali tengah sibuk ia berguru pada hujan yang pandai menumpahkan kejutan.
Dunia kian menantang. Hutang pada tengkulak membengkak melebihi besar kepalanya. Teringat dahulu, anak-anaknya tak pernah kekurangan beras. Tempayan penuh selalu. Euis kini memintas kian-kemari, mengais sesuap nasi. Buruh cuci dilakoninya demi menyambung sisa hidup. Jika masih saja sulit, nasi kemarin ia sulap jadi aron13, ditawarkan ke beberapa pengunjung pasar. Rupiah tak seberapa diraupnya susah payah.
Masih. Desa itu masih punya aset pertanian. Kabut merangkak, melahap pelan-pelan rentang panjang pematang. Sawah lama kelamaan lumpuh. Terbengkalai. Sebab tiada lagi yang sudi meramal cuaca saban hari seperti bermain judi. Kebanyakan dari kalangan petani justru beralih kerja jadi kuli bangunan karena rumah baru serempak menggeliat bangun. Atau, jadi kuli angkut barang. Atau, jadi penabuh gendang di gedung hajatan. Atau, apa saja. Tapi mereka ragu, apakah besok awaknya masih bisa menanggung nasib demikian dan terus demikian atau mungkin lebih buruk?
Euis membentangkan lapak di pasar, pun di dadanya sendiri. Tentu supaya tekanan batin paling berat sekalipun bisa dengan ikhlas ia pikul. Engko, pemilik warung yang menjual segala rupa bumbu dapur, merasa iba memandang ketabahan perempuan malang itu.
“Bilang pada suamimu jangan jadi anggota dewan! Bantuin Engko saja di sini.”
“Pasar ini bikin gerah, Ko,” timpal seorang pelanggan bernada iseng. “Apa yang dia cari hanya kursi jabatan.”
“Engko cuma menawarkan. Upahnya lumayan. Asalkan dia sanggup membedakan mana gula mana garam.”
“Dan mana wanita cantik.”
“Ha ha ha.”
Seorang pelanggan lain ikut merecoki, “Kursi jabatan memang mahal. Pesan kursi sama saya saja atuh. Murah meriah. Insyaallah akan saya buatkan kursi terbaik biar Atang bisa duduk tenang.”
“Biar tidak lengser-lengser?”
“Ha ha ha.”
Tawa mengangkasa. Senyum Euis sepahit buah mengkudu terasa. Telaga matanya manampung beribu pecahan kaca, diarungi sampan luka. Semua mendadak tertegun. Hening. Keleningan sepeda lalu meremukkan kaleng kerupuk yang tersangkut pada galar warung sebelah. Seseorang berhenti mengayuhnya, terengah datang, tapi bukan sebagai pelanggan. “Euis! Euis! Ada yang gawat, Euis! Abah sekarat!”
Pelepah pisang di sudut desa robek seketika sebab kabar duka. Jantung Euis berpacu. Lumbung yang kini menjadi naungan terakhirnya basah air mata, kuyup duka lara. Abah terbaring di ambang maut. Nafasnya tersengal-sengal. Telinganya berdenging. Sehabis merapal kalimat toyibah, dada Abah memuncak. Tatapannya beku. Otot-ototnya menegang. Pekik tangis membumihanguskan kasur kapuk.
Corong telinga Atang menangkap pesan dari kepak sayap perkutut. Atang mesti segera pulang dan berpaling dari pengap terminal kota. Kehadirannya disambut bisu bilik-bilik bambu dan atap jerami. Baru saja Abah menginap di rahim bumi, selamanya. Namun belum sempat Atang melihat isyarat pamit dari lipatan kulit pipi tanpa lemak itu.
Kian hari Atang kian tak waras. Hanya memakai selempak, telentang di samping selokan yang mampat oleh slogan-slogan, dilempari sampah oleh bocah-bocah nakal. Terkadang ia pun mengigau, “Atang mau kawin lagi ah sama Dewi Sri biar punya ladang lagi yang luas tidak terkira. Tunggu panen? Jangan. Langsung jual saja buat modal jadi Presiden.”
Euis yang tak tahu menahu soal Dewi Sri menggetok batok kepala Atang dengan pangkal sendok. Atang terkekeh-kekeh, sebentar kemudian menekuk wajah. Murung membungkus samar-samar rona wajahnya. Murung yang asing.
“Dewi Sri itu ular sawa,” bisik Mak di telinga Euis. “Pernahkah kau mendengar desisnya di sekitar lumbung ini?”
Kecemburuan pudar menjadi kemarahan luar biasa. Sungguh Euis tidak menyangka elok tubuhnya dibanding-bandingkan dengan seekor ular! Buru-buru ia menelisik dirinya melalui cermin cerlang di almari. Lentik bulu mata berguguran saking panasnya mengipasi tungku biji mata. Seringainya terpantul, berkilat. Hanya memeriksa apakah ada sepasang taring untuk menyemprotkan bisa pada sesiapa yang menghina dirinya.
“Kau bilang apa, hah? Kau bilang ular itu lebih cantik ketimbang aku? Sana! Pergi sana! Cari saja ular sawa! Menyesal selama ini aku menunggumu pulang,” isak Euis berapi-api, tidak terkendali. Tubuhnya lekat ke pelupuh bambu lalu merosot. “Menyesal aku mencintaimu.”
Daun pintu terkatup, melemparkan debam. Atang kaget menemukan dirinya didamprat. Jalan setapak berkubang lumpur. Liuknya mengular, menuntun Atang dari bayang-bayang gemerisik ladang ke tepi sebuah sungai. Batu-batu seperti bisul abadi, ditombaki curah hujan. Atang menyenggolnya sebongkah dengan batang bambu. Tawanya membuih di lidah. Ada kehampaan setiap kali hati membentur batu-batu seperti itu. Kecipak telanjang kaki Atang terus bersahutan dengan gema kenangan masa kanak.
Seekor munding menggigil di sungai keruh lagi surut. Kotoran yang berpagutan di kulitnya rengkah perlahan saat digosok sikat. Disodoknya pemilik munding hingga terpelanting. Berkali-kali pemiliknya mengatakan munding akan disembelih, bukan untuk main-main. Tapi Atang bersikeras menungganginya, melecutinya keras-keras. Disobeknya singlet untuk kemudian ia kibarkan dengan batang bambu. Burung ceblak mana yang tak takluk melihat panji-panji melambai di atas munding, apalagi bau keringat? Munding melenguh. Tulang punggungnya diapit selangkangan orang sinting. Kepalanya berputar-putar. Ekornya menangkis-nangkis udara yang lesu.
Kedua tungkai kaki berkelejotan seperti kecebong ditinggalkan bangkong. Nyaring melengking suara Atang. Pemilik munding merambatkan isyarat dengan raung ketakutan. Orang-orang sekitar sigap berdatangan. Gerebekan mengarah pada lelaki baya yang hanya memakai kembang selempak, mengangkang-ngangkang, menggebot munding dengan setangkai merang dan terus tertawa-tawa.
Atang terpaku. Dari lengkung langit lazuardi, tampak Abah sedang menggotong rengkong kiri-kanan. Ratusan bangkong mengepung tanpa ampun. Kong. Kong. Kong.
“Abah! Tunggu Atang, Bah!”
Geli! Ada yang melata di bawah dagu. Seekor ular sawa mendesis sehabis mematahkan batang leher.
Cianjur, 2013
1modar siah: mati kau
2rengkong: alat kesenian Cianjur, pikulan yang terbuat dari bambu untuk pemindahan padi huma (ladang) ke saung (lumbung padi), bunyi yang dihasilkan menyerupai suara katak besar
3awi gombong: bambu gombong
4reang: ramai
5ngagebot: memukul batang-batang berserat untuk memisahkan seratnya dari bagian lain
6raginang: rangginang, sejenis kerupuk tebal yang terbuat dari beras yang dijemur lalu digoreng
7pamali: pantangan
8Taman Sorga Loka: khayangan, tempat berdiam Sunan Ibu, asal mula munculnya padi
9punten: permisi
10ontohod: bodoh
11baralak: tandan daun kelapa kering
12bebegig: orang-orangan sawah
13aron: nasi kering