Karya Fiksi Peserta

MAGNET CINTA

Penulis : Erpitriyanti

Lupus, begitu julukan teman-teman sekolah untuk Raihans. Nama julukan yang diberikan kepadanya tentu cukup beralasan. Ia bagai seorang idola di sekolah, seperti tokoh Lupus dalam film yang diangkat dari sebuah novel remaja. Selain cukup tampan dan digandrungi para gadis, ia pun memiliki cara unik dalam memberi perhatian pada lawan jenisnya. Mungkin saja ia romantis, setidaknya untuk Hanna.

Cinta pertama terjadi pada Raihans dan Hanna. Keduanya mengalami perasaan yang baru dialami, membuat keduanya semakin dekat dan lekat. Barangkali ada peran oksitosin 1yang begitu saja hadir, mengikat masing-masing hati,ketika saling jatuh cinta.

Hanna, gadis manis dan pandai itu seorang kutu buku. Ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan buku pelajaran di sekolah. Ia agak introvert 2dan sering mengurung dirinya di perpustakaan sekolah, atau di dalam kelas. Bercengkerama dengan buku dianggap lebih asyik ketimbang bergaul dengan teman-temannya. Bukan menjadi keanehan kalau ia selalu menjadi juara umum di sekolah

Bagaimana pun, Hanna tetap disenangi teman temannya. Ia bukan sosok yang angkuh meski pun pendiam. Ia ternyata disukai banyak teman lelakinya, ada yang kagum karena kepandaiannya, ada yang mengagumi kecantikan wajahnya.

Kepandaian, kecantikan dan pendiamnya Hanna, membuat Raihans ingin lebih mengenalnya. Ia penasaran, merasa tertantang. Perlahan Raihans mencoba mendekati Hanna, meski agak takut dan ragu. Di masa sekarang tentu lebih mudah berkomunikasi dengan seseorang, bisa lewat WA, messenger atau yang serupa. Di masa remaja Raihans dan Hanna, sangat sederhana, namun cukup membingungkan. Raihans mencoba memakai kurir,3teman sekelas Hanna yang diminta menyampaikan salamnya kepada Hanna. Hanya dengan acara kirim salam seperti itu, dan dengan sesering mungkin yang bisa dilakukan Raihans.

Belum ada tanggapan dari Hanna. Rasanya agak malu dan ingin mundur, tapi hati kecilnya mengatakan agar tidak menyerah. Bukan Raihans namanya kalau tidak berhasil mendekati Hanna. Raihans nekad, memberanikan diri menjumpai Hanna di kelasnya saat jam istirahat belajar. Hanna yang sedang asyik dengan buku, terkejut dengan kehadiran Rayhans yang tiba tiba. Raihans mengeluarkan kertas dan dengan gayanya yang khas, mulai membacakan pantun.

Anak gadih main congkak.
Main congkak di Tanjuang alam.
Oh, adiak gadih nan rancak.
Uda taragak siang dan malam 4

Menyaksikan Raihans membacakan pantun dengan penuh penghayatan, Hanna tersenyum. Ia merasa terhibur, ada kebahagiaan menjalar di batinnya. Melihat senyum Hanna, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Raihans melanjutkan pantunnya yang kedua.

Mahiruik kopi di palanta.
Duduk sambia makan katan
Kalau adiak nio manarimo cinto uda
Nyawo jo badan uda sarahkan 5

Setelah berpantun, Raihans menghampiri Hanna, menyerahkan kertas pantun yang baru dibacanya.
“Hanna, terimalah kertas pantun ini. Saya tunggu jawabanmu. Semoga kamu mau menjadi kekasihku.”
Hanna tersipu, wajahnya merah merona. Ia terdiam, menunduk dan terdiam. Hening sejenak, lalu Hanna bicara dengan perlahan, “Nanti saja, ya. Saya belum bisa menjawab sekarang.”

Dengan berat hati Raihans menganggukkan kepala. Berhari-hari berlalu, tapi Hanna tak kunjung memberi jawaban. Raihans menanti dengan penuh harap dan cemas. Seminggu kemudian, khirnya Hanna mengajak Raihans bertemu.

“Iya..aku mau jadi pacarmu, Raihans,” Hanna menjawab pertanyaan Raihans yang telah lama ia tunggu.
Mendengar Hanna, Raihans sangat bahagia. Ingin meraih tubuh, memeluknya ke dalam dekapan. Raihans urung melakukannya. Ia sadar, Hanna gadis alim dan punya tata krama.

“Terima kasih, Hanna. Aku sangat bahagia. Aku janji akan selalu membuatmu bahagia.”

Sejak saat itu, Hanna dan Raihans selalu menghabiskan waktu bersama di waktu istirahat sekolah. Mereka pergi dan pulang sekolah pun selalu bersama.

Tak terasa masa putih abu abu pun berakhir. Hanna dan Raihans memutuskan untuk sama sama melanjutkan pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi di Kota Padang. Setiap ada kesempatan di luar jadwal kuliah, mereka saling berbagi cerita atau mengerjakan tugas tugas kuliah bersama.

Di tengah tengah kebahagiaan mereka, tiba tiba ada kabar duka yang terpaksa disampaikan Hanna pada Raihans. Ia tak kuasa menolak perjodohan yang diatur orang tuanya. Raihans sangat kecewa, lalu memutuskan berhenti kuliah. Ia pergi membawa dirinya terbang jauh dari Hanna. Raihans tak sanggup melihat pujaan hati bergandengan tangan dengan pria lain. Ia pergi membawa sejuta duka yang menggores hatinya. Luka yang tak akan bisa terobati sampai kapan pun.

Hanna yang taat beragama, dan patuh pada orangtua, mau tak mau harus menerima perjodohan yang telah ditetapkan padanya. Ia berusaha ikhlas, menerima takdir dan perjodohan ini. Ijab Kabul dan pesta penikahannya dilangsungkan. Meski Hanna telah menjadi istri orang, tidak mudah baginya melupakan Raihans. Setiap saat Hanna selalu berusaha menepis kerinduannya yang selalu membuncah pada Raihans. Hanna hanya melampiaskan kekecewaan dan kesedihannya pada diary kesayangannya.

Berpuluh tahun Hanna melewati kebersamaan dengan suaminya, seorang pengusaha rumah makan Padang yang sukses. Banyak cabang rumah makan milik suaminya bertebaran di berbagai kota besar Indonesia. Hanna tidak pernah merasa kekurangan materi. Suaminya bukan orang yang pelit, bahkan terbilang royal dan sangat memanjakan Hanna. Hanya saja suaminya terbilang pelit bicara. Sehari hari hanya bicara beberapa patah kata saja, itu pun sekadar menjawab jika Hanna bertanya. Tak jarang mereka duduk berdua menonton TV sambil berdiam bibir. Memang benar kata pepatah, kebahagiaan tak bisa diukur dengan uang berlimpah. Suami Hanna tipe pendiam, tak pernah bisa romantis dengan Hanna. Waktunya hanya dihabiskan untuk memikirkan bisnis yang harus terus berkembang, dan menghasilkan banyak uang untuk istri dan kedua anaknya.

Seiring waktu berjalan, satu ketika Hanna mendapat informasi di grup alumni putih abu abu. Teman-temannya akan mengadakan reuni perak. Hanna memutuskan datang ke acara yang diadakan teman alumninya setelah meminta izin pada suaminya.

Pagi pagi sekali Hanna sudah bangun, menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Setelah sarapan, ia diantar suaminya untuk menghadiri acara reuni. Alangkah terkejutnya Hanna, Raihans hadir di antara teman-teman yang lain. Hanna bagai menemukan belahan jiwa yang telah hilang begitu lama. Di setiap kesempatan saat acara sedang berlangsung, mereka saling curi pandang. Raihans tidak lagi fokus mengikuti acara. Ia ingin mendengar cerita Hanna. Ia lalu mengajak Hanna untuk segera pamit dari acara.

Mereka menuju sebuah café yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat acara. Ketika pelayan café memberikan menu, Raihans langsung menulis pesanan untuk mereka berdua, dan saat pelayan datang menyajikan makanan, Hanna tersenyum haru.

“Masih ingat rupanya makanan favoritku, Raihans,”

”Tak ada yang bisa kulupakan tentangmu, Hanna. Berpuluh tahun kita terpisah jarak dan waktu, namamu selalu hadir temani hari hariku. Mungkin ini cara Allah mempertemukan kita kembali. Kembalilah padaku, masih adakah cintamu buatku, atau aku hanya masa lalu yang tak perlu dikenang? Jawablah, Hanna. Aku siap pergi dan tidak akan mengganggu lagi bila memang tidak ada lagi rasa cinta di hatimu. Jika masih ada, mari kita bersatu mencari langkah untuk bisa kembali bersama.”

Hanna meraih tasnya, mengeluarkan kertas yang sudah menguning dari dompetnya. Kertas kusam dimakan usia.

“Cintaku padamu tak pernah pudar. Kertas ini bukti aku setia menyimpan ucapan tanda cinta darimu. Pantun itu masih tersimpan rapi di hatiku. Kurawat rasa cintaku seperti merawat kertas ini agar tidak hancur di telan waktu. Sampai detik ini tak ada yang bisa menggantikan namamu, Raihans. Namun, apa daya kita Raihans. Statusku tidak memungkinkan kita untuk bisa bersama, mungkin Allah takdirkan kita untuk saling mencintai tapi Ia tidak izinkan kita untuk saling memiliki,” tangis Hanna pecah, tubuhnya terguncang menahan kepedihan hatinya.

Raihans manarik tubuh Hanna, menyandarkannya ke dada bidangnya. Ia mengusap wajah Hanna, berusaha mengeringkan setiap tetes air mata yang membasahi pipi Hanna.

“Bersabarlah, sayang. Yakinlah pada kuasa Illahi. Jika kita ditakdirkan untuk berjodoh, Allah pasti akan memberikan jalan agar kita bisa bersama.”

Tiba tiba suami Hanna datang menghampiri mereka berdua. Hanna terkejut dan khawatir suaminya akan marah. Di iluar dugaan, suami Hanna berkata sambal menyodorkan sebuah diary pada Hanna.

“ Hanna, uda6 sudah baca semua diary yang kamu tulis. Maafkan uda yang tak bisa berikan kebahagiaan buatmu. Sekarang uda ikhlas, sadar tidak mampu memberikan kebahagiaan untukmu. Raihlah kebahagiaan bersama pria yang kamu cintai. Magnet cinta yang kalian miliki, akan selalu melakukan tarikan agar kalian tetap bersama. Nikmatilah kebahagiaan di sisa usiamu.” *

Tags

Karya Fiksi Peserta

Naning Pranoto Creative Writing Corner | WA 085781113695 | Editor : Shinta Miranda

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close