Wawancara

MASKUR: PEMUDA BERPENA DI GARIS DEPAN 3T

Invia virtuti nulla est via
Untuk sebuah kebajikan tidak ada jalan yang tidak bisa dilalui
(Ovid, Penyair Romawi)

Mengajar Semua Pelajaran untuk Anak Didik Tingkat SD dan SMP

Benarkah selalu ada jalan untuk kebajikan? Jawabannya, “Ya!” demikian yang dialami oleh Maskur, anak muda kelahiran Pacciro Kabupaten Barru Makasar Sulawesi Selatan. Ia menjadi salah satu dari 94 guru Tahap 10 yang lulus seleksi untuk bertugas mengajar anak-anak TKI di Malaysia. Ini merupakan kebajikan yang kedua yang ia lakukan sebagai baktinya untuk anak bangsa. Sebelum bertugas di Malaysia, tahun 2014, ia telah membaktikan diri sebagai sarjana mendidik di daerah 3 T: Terluar, Terdepan dan Tertinggal. Tepatnya di salah satu pulau kecil di Sulawesi Utara. Program tersebut lazim disingkat SM-3T

Sekelumit paparan di atas merupakan awal pembicaraan saya dengan Maskur, melalui telepon selular yang suaranya tidak stabil karena sinyalnya ‘hilang-timbul’.

“Maklum, Bund saya berada di tempat terpencil di perkebunan kelapa sawit, wilayah Malaysia. Saat ini saya tidak lagi di Makassar.” Ungkapnya perihal sinyal yang labil.

Maskur! Saya mengenalnya sebagai anak muda yang aktif menulis cerita pendek. Kemudian ia menjadi penggerak literasi di Makassar. Ia pernah memenangi Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) Lip Ice Golden Award yang kami selenggaraka bersama PT Rohto Laboratories Indonesia tahun 2006 – hingga 2013. Maskur salah satu pemenangnya, tahun 2011. Walau tidak bertatap muka, kami berkomunikasi lancar untuk pengembangan literasi hingga sekarang. Ya, hampir 10 tahun lamanya. Kala saya mengenalnya, ia masih sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Makassar. Awal tahun lalu, ketika ia menghubungi saya untuk berbincang tentang literasi, posisinya mengajar di SMAN 17 Makassar sebelum mengabdi di perkebunan kelapa sawit.

Sejujurnya, saya sangat kagum ketika mendengar paparannya bahwa keberadaannya di perkebunan kelapa sawit di wilayah Sabah adalah untuk mewujudkan kecintaannya terhadap anak bangsa agar maju pendidikan mereka.

“Saya mulai bertugas di Malaysia awal November tahun lalu,” tutur Maskur dengan suara santun rendah hati. Tepatnya, tanggal 1 November 2019 dan akan berakhir tahun 2021 mendatang. Secara resmi ia bertugas mengajar Bahasa Indonesia saja, tapi kenyataannya di lapangan ia mengajar semua mata pelajaran untuk anak didik tingkat SD hingga SMP. Sehingga hari-harinya sibuk, mengajar anak-anak TKI di Malaysia. Sayangnya, tidak semua anak-anak TKI tersebut bisa ikut belajar, karena terkendala oleh jarak tempat tinggal mereka dengan sekolahan yang ada. “Sedih, Bund…!” Maskur berkata lirih, sedih – menyelasali anak-anak TKI yang tidak bisa bergabung ikut belajar dengannya.

Kemudian ia menjelaskan via WA bahwa sekolahan yang di Sabah tersebut milik Indonesia yang disebut SIKK (Sekolah Indonesia Kota Kinabalu). Sekali lagi ia menegaskan bahwa SIKK tidak bisa dijangkau oleh semua anak-anak yang letaknya jauh dari bangunan sekolah itu. Untuk menjangkau anak-anak TKI yang berada di Sabah dan Serawak Malaysia, maka pemerintah merintis kelas jauh.

Kelas jauh disediakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Wadah belajar ini disebut CLC (Community Learning Center). Tempat kegiatan belajar disebut TKB – CLC 301 dengan peserta didik 18.523, berdasarkan data tahun 2019.

Terjauh dari Kota Kinabalu, Mandi Debu

Maskur bertugas di sekolah yang terjauh dari Kinabalu, di tengah perkebunan kelapa sawit. Ia merupakan guru bina pertama yang ditempatkan di lokasi terpencil dan harus siap mengajar semua mata pelajaran. Sebagai pegiat literasi ia juga harus mengedukasi kemampuan anak didik menulis fiksi dan nonfiksi serta membaca karya literer.

Upacara Bendera: Menggelorakan semangat nasionalisme
Upacara Bendera: Menggelorakan semangat nasionalisme

Tentu saja hal itu tidak mudah ia laksanakan. Tapi karena kecintaanya pada dunia pendidikan, maka ia mendapat jalan kemudahan. Apalagi ia telah punya pengalaman mengajar di pulau kecil di Sulawesi Utara yang lokasinya terpencil di lingkungi lautan.

“Kami sesama SM-3T saling menyemangati, sehingga kami semua kuat untuk melayani pendidikan anak-anak TKI.” Maskur bercerita. Baginya, bisa berbagi ilmu amatlah membahagiakan jiwanya. Kebersamaan dengan anak didik, khususnya pada saat upacara bendera, sangat mengharukan perasaannya dan itu makin menggelorakan semangat nasionalismenya. Ia tak lagi memikirkan bahwa dirinya berada di tempat terpecil.

Bila ia ingin ke kota, ke sekolah induk, ia harus bersabar menanti adanya sarana transportasi. Kadang naik mobil bak terbuka atau naik lori ke luar ladang dengan perjalanan selama satu jam di bawah teriknya matahari, mandi debu dan harus tahan goncangan. Kemudian perjalanan disambung dengan naik bus selama sembilan jam. Jarak yang demikian jauh membuatnya agak lambat menerima informasi karena jaringan internet yang hilang-timbul. Tapi Maskur tidak mengeluh. Ia justru merasa beruntung karena kesabarannya terus terlatih. Sehingga ia bisa konsentrasi mengajar dan selepas mengajar ia menulis cerpen dan catatan harian pengalamannya mengajar yang akan ia publikasi sebagai buku. Pena Maskur makin berkilau membuahkan karya kreatif.

Ada cerita yang mengharukan dari Maskur tentang sulitnya menerima pesan melalui WA. Kadang bisa terhambat lebih dari 24 jam. Apalagi jika pesan tersebut berupa foto atau video. Untuk membukanya ia harus naik motor melewati jalan berbatu menuju bukit di mana sinyal akan lebih bagus dibandingan dengan posisi di tanah datar. Barulah ia bisa melihat kiriman foto dan video yang dikirim teman-teman atau dari keluarganya.

Sore Hari, Ana-anak Belajar Mengaji Plus

Ruang kelas yang sederhana dengan sarana apa adanya
Ruang kelas yang sederhana dengan sarana apa adanya

Ternyata, anak didiknya tidak hanya bertemu Maskur di sekolah. Di antara mereka ada yang datang ke tempat tinggal Maskur untuk belajar mengaji. Usai mengaji mereka banyak bertanya-tanya tentang Indonesia, karena anak-anak TKI ini ada yang belum pernah diajak mudik ke kampung halaman orangtua mereka masing-masing. Maka Maskur pun memenuhi apa yang diinginkan anak-anak itu. Di dalam hatinya, Maskur bersyukur bisa memperkenalkan Indonesia kepada anak-anak Indonesia di perantauan. Maka pengabdiannya pun makin lengkap dan bermanfaat.

Ruang belajar atau kelas yang digunakan oleh anak-anak TKI adalah ruangan sederhana, dengan peralatan seadanya. Kelasnya dicampur berbagai level. Meskipun demikian, mereka belajar penuh antusias. Suasana demikian membuat energy Maskur terus terpompa, membuatnya tidak lelah dan pantang menyerah.

Di tengah perkebunan kelapa sawit, Maskur tinggal di rumah sederhana bekas klinik kesehatan. Rupanya para TKI belum banyak yang tahu kalau klinik tersebut telah beralih fungsi, sebagai tempat tinggal Pak Guru Maskur. Maka tak heranlah apabila pintu tempat tinggal Maskur sering diketok oleh orang-orang yang mau berobat. Bahkan ada juga yang kecelakaan berdarah-darah, datang minta pertolongan.

“Ya, saya maklum saja dalam menerima kondisi seperti itu,” ucap Maksur dengan ikhkas. *

Penulis : Naning Pranoto
Foto : Koleksi Maskur

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku