Cerpen Kita

MERARIQ

Oleh Rilnia Metha Sofia

Gombel, 27 Syawal 1429 H Langit bersih memamerkan jutaan bintang yang mengelilingi bulan. Sesekali, kelelawar tampak menari-nari memburu makan. Kodok-kodok bernyanyi girang. Aku manarik napas begitu dalam. Kusambut angin malam segar yang membelai jiwaku. Bau tanah khas sehabis hujan mengguyur otakku. ”Hmmmhhhhh….Hahhhh!!” kulepaskan udara penat yang berkerumun di paru-paruku. ”Byarrr..Segarrr!!”

Kuangkat kepalaku, menatap bintang-bintang dan planet-planet cantik di langit petang tak berawan. Di bintang-bintang terang itu terpampang pudar wajah-wajah hatiku. Entah mana pampangan wajah hatiku yang asli.

Di bintang yang itu ada Yuga. Mata jeniusnya menatapku lugu. Senyumnya mengembang, menghiasi wajah sawo matangnya. Di bintang yang di sana, Fauzan tersenyum jenaka padaku. Mata nakalnya yang sipit menggodaku dengan kedipannya. Ia memanggilku dengan suara beratnya yang lembut.

Di dekat bintang yang itu, ada bintang yang cantik. Warnanya biru. Sinarnya memancar indah, menyorot mata cokelatku yang bening. Di bintang biru itu, seseorang tersenyum simpul namun tak menatapku.
”Ohh…!”
Di dekat bintang cantik tampak cahaya lemah. Bintang itu, bintang itu redup, makin meredup, makin meredup, hampir tak terlihat. Wajah Ompik terpampang pudar di sana. Ia merunduk lemah. Sesekali, ia mengangkat pandangannya yang penuh asa.
”Hahh…!” Aku membuang muka, lalu melangkah kecut ke dalam rumah.
”Aku benci Ompik!”

* Namaku Zurriyatun Toyyibah. Orang-orang gubuk*1) biasa memanggilku Atun. Kulitku sawo matang. Hidungku bulat, tak mancung. Rambutku ikal, hitam kemerahan. Aku memang tak secantik Janah, sahabat karibku. Walau begitu, aku cukup menarik dan menjadi perhatian banyak pemuda.. Tiap malam, paling sedikit tiga laki-laki midang*2) ke rumahku. Awalnya, aku takut. Tapi, inaq*3) menyuruhku untuk menemui mereka karena ini adat Sasak. Dulu, walau banyak laki-laki yang midang ke rumahku, hatiku hanya untuk seorang, Ompik. Tapi, setelah kejadian itu, aku benci padanya, hati ini tak lagi untuknya. Iya, setelah kejadian memilukan itu. Kejadian yang menimpa Janah, Karibku. Berikut ini kisahnya…

* Gombel, 22 Ramadhan, 1429 H

Kabut tipis menyelimuti pohon nangka yang memagari jalan kecil desa Gombel. Memandang jauh ujung jalan di utara, puncak Rinjani biru disembur ujung lidah keemasan mentari, nan mulai menjulur. Berbalik memandang ujung jalan di selatan, tampak sebuah beringin lebat menjulang tepat di pojok tenggara persimpangan jalan. Puluhan langkah ke selatan, beringin yang nyaris mencakar kabel listrik itu tampak begitu jelas. Tepat di bawahnya, seorang gadis berwajah Arab berdiri tegak menggigit-gigit jemari langsingnya.

“Mbe ja dokar-dokar eno? Mana dokar-dokar itu?!” gumamnya, sambil melirik jam tangan murahannya.

Sesekali, ia berjinjit-jinjit tengok kanan-kiri, menanti derapan langkah kuda yang belum juga terdengar. “Adooo…h, mana ja’ – aduuuh, mana sih! Hari ini test midsemester, kalau telat gimana?” ungkapnya semakin gusar.

Jarum pendek arlojinya tepat menunjuk angka tujuh. “Akh..kusir-kusir eno mana ja’ – akh, kusir-kusir itu mana sih?!” gerutu Janah menghentakkan tapak kakinya yang beralas sepatu hitam usang. “Tumben-tumbenan kayak gini! Aneh bener!” gerutunya dalam hati. Ia makin gesit menghentakkan tapak kakinya. “Ee..! Tidak tahu ada apa hari ini?..,”

Titittt Tit…tit! pekikan soer sebuah sepeda motor butut memotong ocehan Janah. Lelaki yang naik motor itu menawari tumpangan untuk Janah.
“Apa tidak ngerepotin, Om?” sambut Janah berseri-seri.
“Tidaklah. Sekalian, aku mau motokofi dekat sekolah kamu!” kata lelaki berkumis tipis itu sambil membuka tutup helm kepalanya. “Ayolah!” desak l ramah, mengisyaratkan Janah untuk segera duduk di sadel empuk motor barunya. Makdudnya, ’baru dicuci’.
Janah pun tersenyum lebar. Ia berlari kecil sedikit mengangkat rok abu-abunya menuju motor tua. Setelah Janah duduk mantap, terlihat asap kumal menyempul dari bokong motor, mengekor laju Janah dan lelaki berjaket jeans itu. Mereka kini mulai jauh, jauh, makin jauh dari persimpangan Desa Gombel.
Sekadar basa basi, Janah berusaha memecah kesunyian di tengah motor yang melaju tak lurus, memilah jalan yang tak berlubang. “Mau motokofi ape, Om?” tanyanya dengan suara keras yang terseret angin dingin nan menusuk tulang.
“Emmh! Ni..Emm..Em buat lebaran minggu depan. Ya, buat lebaran minggu depan,” jawab lelaki itu gugup.
Kesunyian menyergap lagi. Yang terdengar hanya desiran angin dan gemercik air yang agak samar. Gemercik air yang terdengar sedikit lebih jelas menandakan motor tua mulai mendekati perbatasan Desa Gombel. Ya, kini gemercik air yang jatuh dari tebing beton itu sudah terdengar sangat jelas. Kini Janah melihat sendiri bagaaimana air berkejaran turun menuju sungai berbatu besar legam.
Namun, Janah belum benar-benar lega. Jarak sekolahnya masih sepuluh kilometer. Sementara, tinggal dua puluh menit lagi gerbang sekolahnya ditutup. Inikah yang membuat hatinya gundah?
“Kenapa berhenti di sini, Om?” tanya Janah gugup terjun dari motor yang berhenti mendadak.
“Eeeeh..kenapa sih ni motor?” ujar lelaki itu mengayunkan kaki, menurunkan standar motor, lalu turun menengok mesin motornya sebagai jawaban pertanyaan Janah. Suara agak keras lelaki itu bersaing dengan gemercik air yang terjun dari tebing beton sungai. Namun, tetap saja, ekspresi kepura-puraannya tak bisa terkemas rapat.

Hawa panas terasa mengguyur otak Janah. Padahal, hawa dingin di sekelilingnya tak segan mencakar-cakar sum-sum tulang. Hati dan otaknya bergulat. Ada apa? Apa mungkin Ompik berani berbuat macam-macam padanya. Ya, lelaki yang memboncengkan Janah adalah Ompik.

Tidak! Selama ini kan Ompik akrab dengan kamu Janah! Hati kecil Janah angkat bicara.

Mungkin saja – pikir Janah! Tiap malam dia antar kamu pulang tarawih! Apa itu tak ada tujuannya?! Otak Janah pun tak mau kalah, berpikir logis.
Tapi, itu kan agar si Ompik disalamin sama Atun, sahabat karib kamu, Janah. Balas hati Janah berusaha menenangkan gadis jelita itu.
“Nah! Janah! Janah…!” Ompik membuyarkan lamunan Janah. “Businya mati. Tunggu dulu sebentar! Aku mau beli di dekat pengkolan sana.”

Janah mengangguk lesu disertai dengan sunggingan senyum pudar di pojok bibirnya. Kini onggokan kecurigaan di dadanya mulai mencair. Namun, ada sesuatu yang membuat otaknya panas lagi. Mentari tak henti merangkak walau perlahan. Jarum pendek arlojinya mulai menjauhi angka tujuh.

Ia menghentakkan ujung tapak kakinya lagi walau sol sepatunya makin menganga seper sekian mili. Digigitnya bibir lembutnya yang merah merekah. Ia tengok ke ujung jalan di utara sambil bertolak pinggang, satu dokar pun tak muncul dari puncak tanjakan. Ia tengok ke ujung jalan di selatan, Ompik yang menghilang lima menit lalu, dokar -gerobak yang ditarik seekor kuda, motor, tak ada yang tampak menaiki tanjakan. Ia makin gusar. Ia mulai bingung. Bingung, kenapa motor ini mesti berhenti di tengah tanjakan? Janah benar-benar bingung.

Sayup-sayup, desiran sesuatu terdengar melaju kencang dari arah utara. Desiran itu terdengar makin jelas beriring bergulirnya waktu. Suara itu tak asing bagi seorang Janah yang sekolah di kota. Desiran itu memang sama sekali bukan anggota orkestra alam. Desiran itu…

“Alhamdulillah!” pekik Janah haru melihat sebuah kijang hijau menyalakan lampu rem menghampirinya. Tapi, harunya dalam sekejap tergeser kegugupan saat menyaksikan hal di depan matanya detik ini. Lima lelaki yang tak asing, turun sigap dari mobil dan langsung mendekat ke arahnya. Janah melotot ketakutan. Bulu kuduknya berdiri spontan. Hanya dalam hitungan detik, kelima lelaki itu sudah berada sangat dekat dengannya. Otot-otot kaki Janah gemetar tak siap menerima instruksi otaknya untuk berlari kencang karena ia telah h disergap kasar. Dua lelaki menggenggam lengannya. Janah meronta keras. Dua lelaki lainnya mencengkeram betisnya. Seorang lagi, yang tak lain adalah anak kepala adatnya sendiri, mengangkat kepalanya.

Janah memekik histeris menegangkan urat-urat lehernya. Tapi, semuanya sia-sia. Teriakannya tak kan ditanggapi warga mengingat tak ada rumah yang berdiri di areal perbatasan. Walau ada, penghuninya tak kan pernah sudi membantu gadis itu. Mereka menganggap penculikan seperti ini budaya melamar bagi masyarakat kami, suku Sasak, yaitu merariq. Jadi, bukan dianggap tindak kriminal.

Dada Janah sesak. Matanya mulai basah. Tenaganya telah terkuras. Dengan gerakan lemahnya, dengan sisa tenaganya, ia terus meronta. Tapi, kelima lelaki itu sungguh kuat untuk membopong seorang gadis belia ke dalam mobil, sampai-sampai jilbab putihnya pun terlepas.

“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Janah, sambil meronta-ronta. Lintasan sekolah di benaknya membuat ia semakin meronta. Ia kini duduk tersiksa di deretan kedua kursi mobil. Dua lelaki sangar tak henti menggenggam lengannya, walau Janah sedang berpuasa. Keringat dingin bercampur darah merah segar mengalir di wajah putihnya. Sayatan merah terpampang melintang di pipi dan dahinya. Jarum jilbabnya menyayat wajah ayunya ketika balutan jilbab terlepas dari kepalanya. Air matanya makin meluap-luap. Lukanya sungguh perih ditimpa air mata hangatnya. Kini, ia tak bisa lagi membendung isak tangis dan kepahitan di hari yang disebut suci ini.

“Dasar binatang kalian! Lepaskan aku!” teriak Janah lagi, dengan mata indah yang menyala-nyala pedih. Qamar, si Puteri Ketua Adat, tak menoleh sedikit pun ke belakang. Pemuda kerempeng berambut kribo itu tersenyum begitu sinis tapi manis. Dirogohnya sebatang rokok kurus serta korek api di saku depan jeansnya yang kebesaran.

“Jalan!” katanya santai menginstruksi supir di sampingnya. Si Qamar mulai menghisap rokoknya dalam, lalu meniupnya angkuh ke atas. ”Tenang bae Janah yaqt merariq doang, Ariq” ujarnya. Dalam bahasa Indonesia, Qamar itu mengatakan, ”Tenang saja Janah, kita pasti meraiq, Dik!”

Tak segan-segan Janah meludahi lelaki yang duduk agak kiri di depannya tersebut.

”Sompret! Kau berani meludahiku, Janah?” teriak Qamar menghempaskan rokoknya yang masih menyala membara. Dilemparnya sehelai handuk putih kumal cukup panjang ke arah kedua sekutunya yang masih saja memborgol lengan Janah erat dengan tangan mereka yang berurat kukuh. “Ayo, sumpal mulut Janah!” ujarnya mengerling Janah lalu tersenyum begitu sinis disusul melajunya kijang itu.

* Di jembatan besar jalan raya itu, tampak ratusan kendaraan berhenti. Ratusan orang berkerumun dengan mimik ngeri di pagar besi jembatan. Orang-orang itu melihat ke bawah, melihat ratusan orang lainnya yang berdiri di bebatuan pinggir sungai, juga melihat puluhan orang lainnya berlalu-lalang mengangkut manusia-manusia yang telah gosong serta berlumuran darah merah kelam. Satu per satu, mereka dengan kondisi yang amat mengenaskan dikeluarkan dari kijang hangus yang terbalik di tengah air sungai yang mengalir kecil. Para manusia berbaju putih-putih itu mengangkut korban ke mobil putih – ambulans, yang parkir di pinggir jembatan, sepuluh meteran di atas sungai.

Sungguh dahsyat kecelakaan yang hanya disebabkan sepuntung rokok kurus itu! Sebuah kijang hijau melaju begitu kencang tak lurus dan terhempas menumbangkan tiang listrik, menyinggung pohon kelapa, lalu terjun bebas ke sungai. Batu-batu hitam kelam menyambut jatuhnya kijang. Suara dahsyat serta semburan asap yang begitu pekat menyusul secepat kilat. Cairan kental merah segar mulai menyusup melalui tiap-tiap celah mobil. Cairan kental mewarnai serpihan-serpihan kecil kaca, membaur dengan air sungai yang tak mengalir deras. Semua orang di dalamnya tak bergerak lagi kecuali seseorang. Kemunculannya dari dalam mobil mengundang riuh rendah para insan yang berjejer di atas jembatan. Dengan muka kotornya, ia keluar merayap dari mobil meninggalkan kelima lelaki yang mengerang pilu di dalam sana. Janah disambut ledakan hebat kijang di belakngnya. Allah Mahakuasa!

Janah, dalam kondisi setengah pingsan, kini menyadari arti dari sebuah bulan suci. Dalam kondisi setengah pingsan, ia sadar bahwa bagaimana pun, ia tak pantas mengotori Ramadhan ini dengan berjalan berduaan tiap malam dengan Ompik, lelaki yang bukan mahrimnya. Dalam kondisi setengah pingsan, ia menyadari, Allahuakbar!

Dalam kondisi setengah sadar, Janah berbisik, “Aku benci budayaku – Merariq!”

Masih lekat di ingatannya walau ia belum bisa membuka mata, “Selamat senang-senang, Janah!” teriakan kencang itu terdengar samar dari dalam mobil yang melaju pelan di tikungan dekat perbatasan desanya. Itu suara Ompik! Bajingan tengik yang membuat tingkat kebencian Janah akan budayanya makin menjadi-jadi. Sambil menautkan kedua alis legamnya, ia pun tega berkata, “Aku benci jadi orang Sasak!”

Kutatap haru gadis yang terlentang tak berdaya di atas hamparan batu kali di bawah sana. Wajah putihnya yang kotor bersimbah air mata dan darah kelam memantulkan sinar tajam mentari sepenggalah. Kelelahan, ketakutan, kesedihan bercampur baur menggigit ulu hatinya.

“Sudahlah! Yang menimpamu itu penculikan, Janah! Bukan budaya kita, bukan Merariq!” tegasku, sambil kusorot Ompik yang terpekur lesu di hadapanku dengan mimik yang amat layu.

Kuhempaskan napas panjang lalu kembali menatap Janah yang masih tergolek di atas batu kali. “Mereka semua salah, sahabatku sayang. Jangan benci budaya kita! Merariq, budaya kita melamar tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan selalu bermantel cahaya rembulan. Bukan bermantel sinar mentari yang terik,” bisikku pada Janah, menyakikannya kembali agar ia tetap menjunjung tinggi Adat Sasak.

Catatan:
*1) orang gubuk = orang kampung
*2) midang: kunjungan laki-laki Sasak pada malam hari ke rumah gadis yang disukainya
3*) inaq = ibu

Rilnia Metha Sofia, Siswi SMAN 1 Praya, Lombok Tengah, NTB

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Back to top button
Close