Nyanyian Meranti Merah
Oleh Sulfiza Ariska – Cerpenis, tinggal di Yogyakarta
Perempuan itu kunamai Cinta. Di rahimnya, Ranying Mahatala Langit menanam asa. Saat bumi memejamkan mata, ia menuruni tangga betang . Menyusuri pundak Gunung Purei yang terjal. Mengerat sunyi. Melangkah sepasti matahari. Angin resah mengulurkan tangan, membelaiku dan bibit pohon yang dipikulnya. Meranti merah, ulin, agatis, dan ramin. Sebelum fajar membentangkan sayap, ia telah mendayung perahu, membelah kabut perak Sungai Barito, menuju Ranah Petaka.
Angin kencang meniupkan bisikan Seniang , “Hentikan perjalananmu ke neraka. Pulanglah. Kembali ke daratan. Kau akan mati sia-sia.“
“Tidak!” bantahnya. “Lebih baik karam daripada menjadi pecundang. “
Tiba-tiba, Sungai Barito terbangun dari mimpi, mengeliat dan mengerang. Lalu mengamuk seketika. Melemparkan sulur-sulur ketidakberdayaan. Aliran air yang berwarna coklat keruh, perlahan berbuih. Riak lembut menjelma gelombang, menghantam lambung perahu. Berkali-kali, aku dan para bibit pohon, diterkam gelombang, terjun ke pusaran arus deras. Tapi, perempuan itu dengan sigap menyambar kami.
Hujan mencakar-cakar. Badai menerjang. Memukul punggung dayung. Mengeping harapan. Selembar daunku direnggut angin kencang, melayang-layang dipermainkan udara beku, serupa layang-layang yang putus dari talinya, lalu jatuh ke pusaran arus deras. Aroma maut menguar lantang. Bayang-bayang bukit gundul, semak berduri, bunga-bunga bakung, mengabur dari pandangan. Kabut kelabu bergulung-gulung. Petir menyambar-nyambar. Bulan dan bintang-bintang bersembunyi ketakutan. Semesta menjelma neraka.
Ia terus mendayung. Mendayung. Mendayung dan terus mendayung, mengabaikan bisikan para Seniang. Perahunya menghantam kesumat Sungai Barito. Ujung tapih berkibar liar. Aku dan bibit-bibit pohon gemetar ketakutan, merapat ke tubuhnya. Ulin dan Agatis memeluk bahunya. Ramin memeluk punggungnya. Aku bersembunyi di dada. “Ranying Mahatala Langit yang melindungi kita,” bisiknya pada kami, menghalau sulur-sulur ketidakberdayaan. Lalu, ia berdoa. “Oh, Ranying Mahatala Langit. Bila usia tidak meminjamkan cukup waktu untukku, kumohon tumbuhkanlah benih-benih kehidupan di Ranah Petaka. Agar sirna angkara dan dunia melahirkan cinta.”
Perlahan-lahan, amuk Sungai Barito mereda. Kabut kelabu menjauh. Petir berlari ke ceruk langit, bersembunyi di sana. Bayang-bayang bukit gundul, tunggul-tunggul pohon, semak berduri, bunga-bunga bakung, kembali melimpahi pandangan. Perempuan itu menarik nafas lega bersamaku dan para bibit pohon. Ia mengucapkan syukur. Perlahan-lahan, dari kejauhan, Ranah Petaka mencuat di kelopak matanya.
*
Dulu, Ranah Petaka berjubah hutan tropis. Di sana, orang Dayak, bertani dan memuja alam. Ajaran Kaharingan menuntun orang Dayak—dari Gunung Purei —memuliakan semesta. Sebelum membuka lahan, mereka akan memberitahu para Tamanggung . Beberapa orang diutus untuk memeriksa hutan yang cocok untuk dijadikan ladang. Lalu, dilaksanakan upacara untuk membuka hutan. Tarian-tarian magis pun menyempurnakan upacara itu. Sebab hutanlah sumber kehidupan. Mereka membajak, menugal, menyemai, memupuk, menyadap, sampai menuai panen. Semua langkah-langkah bertani dilakukan secara handep .
Meskipun memegang tradisi berladang berpindah, orang Dayak tetap menjaga kelestarian alam. Mereka bertani secara tumpang sari. Di ladang-ladang tersebar cabai, mentimun, jagung, singkong, dan sayur-mayur. Tapi, mereka tetap menanam tumbuh-tumbuhan yang menyerupai tanaman hutan, seperti karet, rotan, dan tengkawang. Akar tanaman tetap mampu menyerap air. Hewan-hewan tidak merasa kehilangan rumah. Udara tetap sesuci nafas bayi. Setelah panen usai, mereka mengadakan upacara bagondang .
Sayangnya, sekelompok pendatang tiba untuk mengubah sejarah. Konon, sekelompok pendatang itu berasal dari kota. Tanpa izin Tamanggung, mereka mengukur lingkaran pinggang batang pohon. Tidak ada upacara atau pun tarian magis untuk menghormati hutan. Bila lingkaran pinggang sebuah pohon mencapai enam puluh senti, eksekusi langsung dilaksanakan. Mesin chain saw membabat leher-leher pohon. Membabi buta. Menderu-deru. Ngiiing. Ngiiing. Ngiing. Pohon-pohon menjerit. Kraaak. Kraaak. Lalu tersungkur ke pangkuan bumi. Selanjutnya, mesin serupa capit kepiting raksasa, mengangkat kayu-kayu ke logging truk, diusung ke log pond, dan menjelma singgasana-singgasana raja di negari asing.
Eksekusi pohon terjadi setiap hari. Lahan-lahan yang mereka buka, dibiarkan telanjang, tidak ditanami lagi. Bukit-bukit gundul dalam hitungan hari. Nasihat Tamanggung tidak dihiraukan. Ladang-ladang Dayak Ngaju mereka gusur. Hingga pecahlah perang. Mandau melayang-layang. Sumpit beracun menyambar-nyambar. Tombak menghujam-hujam. Senapan menyalak. Peluru-peluru beradu dengan mantra ganjil.
Masing-masing kubu membakar benteng satu sama lain. Menciptakan lidah api yang menjalar liar, berkobar buas. Melalap batang-batang pohon, mayat, dan prajurit yang terluka. Darah membanjiri tanah. Aroma daging yang terbakar, membaur dengan bau batang-batang pohon yang hangus sia-sia. Ribuan nyawa luruh bersama daun-daun yang ditanggalkan api.
*
Perang tersebut tidak melahirkan pahlawan dan pecundang, kalah atau menang. Hutan yang damai menjelma api, menjelma arang, menjelma puing, menjelma hampa, menyisakan dendam yang terus menggarang. Serupa rayap yang melahap buku-buku tua, hutan lenyap dalam sekejap. Dan, sejak perang usai, hutan yang hijau tinggal dongeng-dongeng. Demang menamakannya Ranah Petaka. “Siapa yang menginjakkan kaki di sana, akan tertimpa bala ,” tegas Demang.
Balian memagari Gunung Purei dengan mantra. Agar penduduk desa tidak mengayuhkan perahu ke Ranah Petaka, aman dari cakar-cakar bala. Di sana, bertahun-tahun tidak ada upacara atau pesta adat. Nyaris dilupakan masa, serupa kitab-kitab suci yang tidak dibaca. Hingga burung-burung meniupkan kabar, ranah itu akan tenggelam.
Kabar buruk itu, sampai ke telinga perempuan yang kunamai Cinta. Ia terkesiap dan menghentikan gerak tari manawi . “Jadi, ranah itu ada?” tanyanya. “Bukan hanya dongeng-dongeng pengantar tidur?”
“Ada!” jawab anak perempuan Demang bernama Jenta. “Umaaq mengatakannya padaku. ”
“Jata! Bila kita tidak tanam pohon-pohon di sana, Ranying Mahatala Langit akan murka. Kehidupan harus dimulai kembali, entah siapa yang menghancurkan.”
“Benar. Tapi, siapa yang ke sana? Aku tidak berani melintasi pagar mantra Balian.”
“Kumpulkanlah bibit-bibit pohon. Aku akan menanam kembali di sana,” tegasnya.
Hari itu juga, para perempuan mengumpulkan bibit-bibit pohon, membawanya ke tepian. Di sana, Jenta memuatnya ke dalam perahu. Tak seorang laki-laki pun yang diberi tahu. Hingga angin meniupkan nyahuq ke dalam labirin pikiran Balian. Bersama Tamanggung, Balian mendatangi betang perempuan itu.
“Menjauhlah!” tegas Balian yang paling sakti di Gunung Purei. “Ranah itu terkutuk.”
“Bumi semakin tidak berdaya memeluk hujan,” sanggahnya. “Sungai Barito sering mengamuk dan mengirimkan banjir. Harus ada yang menanam pohon di sana, sebelum tinju Sungai Barito menghancurkan punggung bukit-bukit.”
“Mantraku hanya memagari daratan. Bila kau mengayuh perahu, kau tidak akan pernah kembali utuh. Alam yang menghabisi nyawamu. Atau, para pendatang yang memperkosamu.”
“Jangan sampai sejarah kembali terulang!” tambah Demang. “Bila hutan kembali lestari di ranah itu, sekelompok orang kota akan datang, membunuh pohon-pohon, dan meletuskan kesumat dendam.”
“Perang telah menjadi abu masa lalu, Demang!” bantahnya. “Ranying Mahatala Langit menganugerahi hutan untuk masa depan. Aku tidak akan merelakan, abu masa lalu mengaburkan masa depan orang-orang Dayak.”
“Kau akan mati di sana!” jerit Ineen sambil membeturkan kepala di dinding betang.
“Dayak Ngaju sejati takkan takluk pada kematian!” sanggahnya.
“Kamu anak kami satu-satunya,” ujar Umaaq, mencoba melelehkan kristal di hatinya. “Kami mencintaimu. Bila kau tiada, kami akan menjelma hampa.“
“Aku mencintai Umaaq dan Ineen,” bisiknya pilu. Jemarinya yang pipih, membelai daun-daunku. “dengan separuh hati. Separuh hatiku yang lain, telah menjadi milik bumi. Pada Ranying Mahatala Langit, aku bersumpah menjaga hutan. Kini, hutan memanggilku berbakti. Aku tidak akan lari dari takdir yang kupilih sendiri.” Hatinya telah menjelma karang. Larangan tidak membuat keteguhannya menjelma serpih-serpih arang.
*
Kini, perempuan tersebut berdiri di Ranah Petaka, memikul bibit-bibit pohon, menantang matahari. Perahu dan dayung patah jadi dua, terkapar di tepian Sungai Barito. Ia tak mungkin pulang. Sesekali, angin kerontang setajam paku, berhembus keras, menusuk luka memar di tubuhnya. Di sini, selain tunggul-tunggul mati serupa Patung Jurong yang terlupakan, tidak terlihat tanda-tanda kenangan tentang hutan. Aroma kematian masih abadi. Tumpukan tengkorak-tengkorak manusia, bagai bola yang ditinggalkan anak-anak bosan, menyambut kedatangannya.
Perempuan itu melangkah. Udara kering merintih di setiap jejaknya, mengirimkan bau maut yang telah berlumut. Keheningan Ranah Petaka, membuat detik-detik merambat pilu, serupa iring-iringan menuju pemakaman. Matahari bersinar kejam. Sulur-sulur sinarnya menjalar liar, membakar bumi. Tidak ada pohon-pohon rimbun yang mampu menangkal terik amarahnya. Di punggung tanah, kelopak-kelopak bunga liar terkapar, serupa irisan-irisan daging mayat korban mutilasi.
Dengan ketabahan pelangi bulan Januari, perempuan itu menyembunyikan hujan kepedihannya pada langit. Meski kelelahan masih bermekaran di seluruh sendi, ia melangkah menyusuri punggung Ranah Petaka.“Oh, Ranying Mahatala Langit!” pintanya dengan lidah kelu. “Engkau telah menuntunku melalui amarah Sungai Barito. Kuyakin, Engkau memberiku kekuatan untuk menuntaskan janjiku.” Sehelai daunku yang direnggut angin, melayang-layang di udara, lalu membawa bisikannya ke Lawu Tatau . Pintanya dikabulkan Ranying Mahatala Langit. Awan-awan berhenti bergerak ke selatan, memayungi dirinya dari terik amarah matahari.
Di Ranah Petaka, tak ada senjata sakti yang disisakan perang. Mandau, sumpit, tombak, dan senapan. Semua lapuk dilipat musim. Perempuan itu memungut seruas tulang, lalu menggali liang untukku dan bibit-bibit pohon. Entah tulang siapa. Tulang orang Dayak atau tulang pendatang yang curang. Apa bedanya? Bukankah di Pulau Batu Nindan Tarung semua makhluk setara di hadapan-Nya?
Perempuan itu menggali liang sendirian. Hingga terik amarah matahari mengerut. Telapak tangannya yang menggenggam tulang penggali, terluka, menebarkan nyeri. Darah merembes dari celah-celah luka. Ia tidak peduli dan terus menggali. Di sebuah liang yang ia gali, tulang di genggamannya beradu dengan sebuah tabung air berukuran besar. Entah tabung milik siapa. Milik Dayak atau pendatang yang curang, tidak ada bedanya.
Usai menggali, perempuan itu menaruh akarku di sebuah liang. Dengan kehati-hatian seorang ibu muda, ia menimbun akarku dengan tanah gersang. Lalu, ia melakukan hal yang sama pada bibit-bibit pohon yang lain. Menjelang senja, bibit pohon berjejer gembira di Ranah Petaka. Beberapa bibit tidak utuh lagi, termasuk diriku. Daun-daunku telah rontok, menyisakan sehelai pucuk muda yang menolak layu.
Setelah menatap jejeran bibit pohon yang ditanamnya, perempuan itu meraih tabung air dan sebuah tengkorak kepala. Lalu menyeret langkahnya ke tepian Sungai Barito, menciduk air dengan tengkorak kepala, sampai tabung itu penuh, dan bergegas kembali. Dengan tengkorak kepala itu pula, ia menciduk air dari tabung, lalu menyirami kami. Ulin yang masih rindang dengan daun, melambaikan tangkai-tangkainya, menyapa langit lembayung. Begitu menyentuh air, akar agatis langsung menyesapnya dengan rakus. Ramin mengeliat dan mendesis, menghembuskan nafas baru. Akar-akarku menyerap air dengan gembira. Oh! Rasanya, aku ingin segera tumbuh dewasa, menjulang jangkung, memberi rindang dan oksigen segar.
Dengan kesabaran seorang ibu sejati, perempuan itu merawat para bibit-bibit pohon. Tak pernah jemu. Bila lelah membengkak di seluruh sendi, ia akan tertidur berselimutkan langit. Tulang-belulang prajurit yang tewas, menjadi bantalnya. Ketika rasa lapar melilit lambung, ia beranjak ke tepian Sungai Barito, memakan buah-buah kayu yang hanyut dari hulu. Sepanjang waktu, Ranying Mahatala Langit melindunginya dari bala. Sehingga, hewan buas dan orang-orang jahat tak ingin melukainya.
Suatu malam, seekor anaconda betina yang kelaparan, mencium wangi darah perempuan itu. Mendesis licik. Taringnya berkilau ditempa cahaya bulan. Ia mendekati perempuan yang tertidur kelelahan. Angin yang tidak pernah tidur, selalu mengawasi, tiba-tiba resah dan berpusing. Sehelai daunku yang berwarna hijau tua, direnggutnya, lalu diterbangkannya ke Lawu Tatau, menyampaikan pesan dari bumi. Sebelum anaconda tersebut melilit dan menyantapnya, seekor burung enggang melayang dan menyerang. Meskipun tidak sebesar anaconda, burung enggang utusan Ranying Mahatala Langit tidak gentar. Dalam hitungan menit, kepala anaconda putus dipatuknya. Paruhnya yang setajam mandau, mencacah-cacah tubuh anaconda menjadi irisan-irisan sepipih sosis.
Pernah pula seekor harimau datang menerkam. Sebelum angin merenggut daunku, lalu membawanya ke Lawu Tatau, tiba-tiba sekawanan burung pipit menghadang dan menyerang hewan itu. Dalam hitungan detik, sepasang mata sang harimau, dipatuk mereka. Sambil mengaum kalah, sang harimau buta menjauh.
*
Perempuan itu tidak pernah kembali ke Gunung Purei. Orang-orang kampung mulai melupakannya. Banyak yang mengira dirinya mati tertimpa bala, kecuali para sahabatnya, perempuan-perempuan yang kini telah menjadi ibu.
“Semalam aku bermimpi menelan bulan,” tutur Jenta pada teman-temannya. Saat itu, mereka sedang mandi di tepian. “Lalu, di pagi hari, aku mendengar burung mentit berkicau di sebelah kiri betang.”
“Kata nenekku, itu pertanda perjalananmu ke ladang yang baru dibuka, akan membawa hasil yang memuaskan,” sahut temannya yang bernama Rimbun.
“Almarhum Umaaq juga mengatakan begitu. Tapi, ladang yang mana? Burung itu berkicau terus. Berhari-hari.”
“Mungkin kamu punya ladang yang belum dibuka. Ladang yang jauh sekali.”
Jenta tersentak. “Mungkinkah?” desisnya.
“Mungkin apa?” tanya perempuan bernama Sallie.
“Kau ingat teman kita yang pergi ke Ranah Petaka?”
“Tentu!” sahut Rimbun. “Kita turut mencarikan bibit pohon.”
“Mungkinkah Ranah Petaka menjelma hutan dan ladang?”
“Sudah dua puluh lima tahun berlalu. Ia tidak pernah kembali.”
“Bagaimana kalau kita ke Ranah Petaka?”
“Wah, kamu sudah gila? Gunung Purei sudah dipagari Balian dengan mantra.”
Jenta memutuskan, “Apapun yang terjadi, aku akan ke Ranah Petaka. Lebih baik dikaramkan Sungai Barito, daripada hidup menghamba pada ketakutan.”
*
Di hari yang ditentukan, Jenta mengayuh perahu menuju Ranah Petaka. Semua perempuan di Gunung Purei berangkat bersamanya. Bahkan, ada yang membawa anak perempuan yang masih kecil. Tidak ada yang bisa menghalangi keteguhan hati mereka. Sepanjang Sungai Barito, perahu mereka melaju tenang. Tidak terlihat tanda-tanda kemarahan alam, badai, ataupun bala.
Alam seolah bersekutu, agar perahu para perempuan dari Gunung Purei, melaju cepat menuju daratan Ranah Petaka. Angin dan arus Sungai Barito, mendorong perahu. Sekawanan burung enggang menjadi petunjuk arah. Bahkan, mereka, tidak perlu mengayuh dengan dayung. Ketika ubun-ubun Ranah Petaka mencuat dari pandangan, mereka tidak melihat tanah gersang yang ditinggalkan, melainkan Pulau Batu Nindan Tarung sangat indah.
Memang, sebutan Pulau Batu Nindan Tarung untuk daratan itu, agak berlebihan. Tapi, para perempuan Gunung Purei kehilangan kata-kata, tidak tahu sebutan yang tepat. Pohon-pohon perkasa merayapi seluruh permukaan tanah, serupa barisan prajurit. Berbagai suku Dayak tumpah-ruah. Dayak Punan, Dayak Ngaju, Dayak Mama, Dayak Kenyah, Dayak Kayan, dan ratusan suku Dayak lainnya. Mereka menyatu dengan para pendatang, saling mencintai. Di mana-mana, terlihat perempuan yang mengenakan ta a dengan leher dihiasi kalung dari manik-manik. Terlihat pula laki-laki memakai sampe sapaq dengan abet kaboq , serta mandau di pinggang. Terlihat pula pendatang yang memakai sasirangan .
Upacara bagondang tengah dihelat di sebuah betang. Kadire, gong, dan uding, mengalun merdu. Berbagai tari-tarian digelar. Tari Enggang Terbang, Tari Hudog, dan Tari Jiak. Jenta dan para perempuan Gunung Purei disambut sebagai tamu. Sayang, mereka tidak bisa berlama-lama. Mereka mengutarakan niat mencari sahabat di masa lalu. Seorang sesepuh mengarahkan telunjuknya ke bukit di selatan. Perlahan-lahan, iring-iringan perempuan dari Gunung Purei beranjak ke sana. Mereka menjumpai hutan homogen meranti merah, lima orang pendatang, dan seorang gadis yang memakai ta a memeriksa diriku. Jenta tertegun. Sebuah luka lama menyelinap dalam hatinya. Ia pun menghampiri mereka.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Jenta membendung amarah.
“Kami ahli agrikultur kehutanan. Di sini, aku satu-satunya perempuan Dayak,” sahut si gadis dengan bahasa Dayak Ngaju khas Gunung Purei. Senyum seribu kupu-kupu terukir dari wajahnya yang jelita. Jenta merasa pernah bertemu dengannya. “Lihatlah,” ia mengarahkan telunjuknya pada daun-daunku, “meranti merah yang tampan ini sedang sakit. Daun-daunnya terinfeksi virus. Bila tidak segera diobati, virusnya akan menyebar ke seluruh pohon di hutan ini.” Jenta terpukau. Matanya berkaca-kaca. Gadis itu bisa mengerti bahasanya. Ia tampak sangat cerdas.
“Kami ingin berguru padamu,” tutur Jenta, sambil menggenggam jemari ahli agrikultur Dayak tersebut. Kemudian, Jenta menanyakan perempuan yang dicarinya. “Dua puluh lima tahun lalu, ia berangkat ke sini, membawa bibit-bibit pohon.”
Senyum seribu kupu-kupu kembali terukir di wajah si Jelita. Kali ini, disertai air mata haru yang bergulir di tebing pipinya. “Dia ibuku,” tuturnya dengan bibir bergetar.
“Pantas saja. Kau sangat mirip dengannya,” tutur Jenta. “Di mana ibumu? Kami, para sahabatnya, selalu merindukan dirinya.”
Air mata gadis itu terus bergulir. “Di Lawu Tatau ,” bisiknya pilu. Di bawah guguran daun-daunku, para perempuan Gunung Purei memeluknya penuh rindu. Kerinduan mereka melampaui kematian.
Perempuan yang menamai diriku Cinta.
Di rahimnya, Ranying Mahatala Langit menanam asa.
Dipenuhinya janji menjaga hutan rimba.
Ditempuhnya jalan menuju surga. […]
*