Aku dengar tubuhku bernyanyi
Tentang kemesraannya dengan segumpal nyawa
Lalu tentang kebahagiannya saat perpisahan
Lirik-liriknya tiada mengaduh luruh
Terlebih saat bertutur tentang kehampaan
Yang tercatat di bawah nol ingatan
Aku dengar tubuhku bernyanyi
Tentang asal usulnya yang tak pernah jelas
Atau tentang kelahirannya dari ibu tuna aksara
Dan ayah yang tidak pernah kenal mesin
Penyadap darah manusia.
Aku dengar tubuhku bernyanyi
Tentang perantauan sekuler, kadang profan
Di mana ia bercumbu dengan teks demi teks
Multi tafsir, multi subjek
Makin jauh dari keheningan dan kebeningan
Bisikan-bisikan intuisi
Dan hermenetik yang rendah hati
Aku dengar tubuhku bernyanyi
Tentang kematian manusia
Kematian subjek yang agak mendadak
Suaranya kian parau, kian hilang
Dia pun tak lagi tampak
Di mata ragawi.
Aku dengar tubuhku berlagu kembara
Mengunjungi berbagai dataran dogma
Berziarah ke makam-makam ortodoksi
Bercengkerama di panorama narasi hakiki
Lalu simpulnya: Sungguh, hanya waktu.
Aku dengar tubuhku bicara soal roti atau nasi.
Mengapa semua itu menjelma penjara besi?
Ia bilang, orang-orang hidup di tengah orang hidup
Yang juga ingin hidup. Mengapa membunuh?
Kudengar tubuhku bicara.
Ia tidak percaya kepiluan dan derita.
Kepuasaan, kebahagian, semua tak ada
Hanya ada ketidaktahuan makna kekosongan
Dalam kekosongan itu sendiri.
Kudengar tubuhku bertutur.
Bahkan ia tidak percaya kematian.
Jika tubuh berlayar jauh, katanya,
Ia hanya berpisah dengan ruh
Itulah saat bersyukur, katanya,
Saat terindah bagi yang pernah ada.
Aku dengar ia sering bersaksi
Bahwa tubuh itu terlampau temporer
Ia bisikkan dua jenis tubuh:
Tubuh di atas tanah, tubuh di bawah tanah
Ketika tubuhku masuk bawah tanah
Aku tak sempat mencari tubuh yang lain.
Aku hanya kembara dari sunyi ke sunyi.