Cerpen KitaCreative Writing

NYAWA YANG MEMBISU

Penulis : Naning Pranoto

Akhirnya, kau yang kutunggu-tunggu tiba. Kau turun dari mobil jeep menggandeng gadis cilik berambut keriting. Aku segera paham, itu putri bungsumu yang kau panggil: My Girl. Di belakangmu menyusul turun seorang perempuan bertubuh ramping, menggendong ransel dan rambutnya digelung cepol. Ia mengenakan atasan putih dipadu dengan jeans belel seperti yang kau kenakan. Aku tahu. Ia istrimu. Manis ya wajahnya. Aku iri, ia bisa memilikimu. Duhhh…dadaku ngilu, mengintipmu dari balik bukit.

Kedua anak laki-lakimu begitu turun dari mobil jok belakang, langsung menurunkan koper-koper yang kau bawa selama liburan di Sumba. Entah mereka berbicara apa denganmu aku tak mendengarnya. Yang kulihat wajah mereka ceria setelah kau tepuk-tepuk bahu mereka yang tegak gagah, seperti bahumu. Sungguh membanggakan ya punya anak laki-laki yang begitu gagah? Tapi kebanggaanmu adalah racun bagiku, yang membuat seumur hidupku cacat jiwa alias gila. Itu dampak kegagalanku menikah denganmu. Keluargamu tidak mengizinkanmu menikah denganku karena keyakinan kita yang berbeda.

Ah, mengapa sebuah keyakinan yang masing-masing misi dan visinya begitu mulia justru jadi pemecah belah? Aku salah satu korbannya. Pemaknaan kosmogoni sia-sia karena para pemeluk keyakinan yang membabi buta jadi mabok menjadi hama. Sudah banyak korban berjatuhan karena hama itu yang tidak hanya menimbulkan peperangan berdarah-darah tapi juga politik adu domba, dominasi kaum puritan hingga polarisasi.

Aku dan kau berpolarisasi. Bukan intrik politik, tapi kuanggap lebih penting dari itu: Cinta! Ya, cinta kita yang membenih sejak kita di bangku SD, kemudian menumbuh kala kita di bangku SMP-SMA. Akhirnya berkembang mawar di bangku kuliah Fakultas Kedokteran. Kau cinta monyetku, kau cinta pertamaku seperti kau juga mengatakan senada itu kepadaku. Duhhh… sungguh pahit cintaku padamu hanya berbuah nila yang rasanya terpahit dan menuba.

Aku tertuba dan menjadikanku menjadi merasa mati dalam hidup. Aku kehilangan akal waras hingga aku sekarang berada di sini, dengan tubuh terjepit dua batu besar di atas bukit karena menguntitmu yang liburan ke Sumba. Ini bukan kali pertama aku bertindak bodoh, merendahkan diri, gila karena menguntitmu. Itu terdorong oleh luapan kerinduanku padamu yang tak pernah surut karena api cintaku padamu yang tak pernah padam. Aroma keringatmu tak pernah menguap dari cuping hidungku. Juga ciuman pertama kita tetap membakar bibirku yang membuatku sulit berhenti memanggil namamu. Duhhhh… mengapa kau tega menghanguskan rasa cintaku padamu? Padahal kau begitu lembut, tulus, teduh… yang membuatku kepayang? Juga pasien-pasien yang kau sembuhkan, khususnya pasien perempuan. Kau memang magnet. Aku selalu terseret ke kutubmu. Aku tak mampu menarik balik diriku. Maka aku babak belur.

Oooohhh. Teriknya matahari Sumba tidak hanya membakar tubuhku tapi juga kecemburuanku pada istri dan anak-anakmu yang menjadi buah hatimu. Kenapa bukan aku? Mengapa? Jiwaku meraung-raung membuat dadaku nyeri, detak jantungku mengaum dan darahku mendidih kala menyaksikanmu mencium mesra kening istrimu di pantai pasir putih yang menghampar di depan villa tempatmu menginap bersama keluargamu. Aku menyaksikannya dari atas bukit yang sejak pagi mengukung diriku. Tanpa sadar aku berteriak sambil mendorong batu besar penahan longsor bukit. Aku terjatuh menggelundung bersama batu raksasa yang menjatuhimu dan istrimu. Juga menghancurkan tubuhku. Tak lama kemudian kita bertiga menjadi berita di televisi radio dan viral di media sosial. Nyawaku membisu. Cintaku mencium ceceran darahmu. Maaf aku, Erick!*

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close