Creative Writing

PENULISAN KREATIF DAN PERANAN PERPUSTAKAAN

Oleh Naning Pranoto

Penulisan Kreatif (PK) atau dalam bahasa Inggris lazim disebut sebagai Creative Writing (CW). PK atau CW merupakan bagian dari ketrampilan menulis yang bersifat non-ilmiah yang lazim disebut fiksi. Kebalikanna adalah Academic Writing, yaitu ketrampilan menulis yang bersifat untuk tujuan penulisan ilmiah, seperti papers, paperworks dan tesis.

Bicara mengenai CW, di Barat dianggap sebagai cabang ilmu yang tak kalah pentingnya dengan matematika maupun fisika yang dianggap mempunyai nilai unggul. Ini terbukti di berbagai universitas di Amerika Serikat maupun di Australia, CW telah dijadikan fakultas tersendiri, bukan lagi bagian dari fakultas sastra maupun bahasa. Bahkan, untuk bisa masuk ke fakultas CW diperlukan persyaratan yang sulit dan berat. Jadi, tidak sekedar mempunyai nilai tinggi ketika lulus dari SMU atau setingkatnya. Melainkan harus menjalani serangkaian tes, antara lain mengarang (menulis fiksi – cerpen dan puisi), menulis esai (percikan pemikiran mengenai CW), menulis resensi beberapa novel karya pengarang yang dianggap memiliki kreativitas tinggi antara lain karya i Orwell (Animal Farm)

Selain itu, mereka yang bisa diterima di fakultas CW harus mempunyai kemampuan berbahasa minimal tingkat B plus punya karya (fiksi) yang telah dipublikasi di media-cetak. Lebih bagus lagi bila karya mereka telah dibukukan. Maka, mereka yang serius ingin masuk ke fakultas CW, biasanya lebih dahulu mengikuti kursus CW yang banyak ditawarkan pada musim panas (summer course). Kursus ini biasanya diselenggarakan selama minimal delapan minggu, per minggunya masuk tiga kali. Sekali pertemuan selama tiga jam, demikian pengalaman penulis ketika mengikuti kursus CW di Melbourne – Australia.

Orwell dan Hemingway Jadi Model

Yang dipaparkan berikut ini studi kasus di Australia. Penulis pernah melakukan survei kecil-kecilan, yaitu bertanya kepada student yang mengikuti CW. Apa tujuannya? Pada umumnya menjawab, “I want to be a writer. Professional writer!”

Di Australia, menjadi writer atau penulis memang merupakan profesi yang banyak diidam-idamkan, khususnya oleh kaum muda. Tetapi, yang mampu mewujudkannya hanya sedikit. Alasannya? “Ternyata, menulis itu tidak mudah!” jawaban 22 orang responden yang ditanya oleh penulis. Jumlah responden 25 orang. Maka dapat disimpulkan dari 25 student CW yang kemungkinan besar bisa menjadi penulis hanya tiga orang. Meskipun demikian, yang 22 orang merasa puas, walau tidak bisa menjadi penulis professional. Mereka senang bisa menulis untuk diri sendiri atau paling tidak untuk media lokal di mana mereka tinggal. Di Australia tiap wilayah semacam kelurahan – mempunyai tabloid dan diberikan cuma-cuma. Media ini dimanfaatkan oleh mereka yang gemar menulis dan hobi fotografi.

Di Australia, CW secara ringan telah diajarkan sejak di bangku SD. Tahapannya sederhana, misalnya murid SD diwajibkan menuliskan bagaimana perasaannya ketika sedih atau gembira. Penulisan ini seperti curahan hati secara detail, karena disertai ekspresi dan gambaran ‘suara jiwa’ (pengaruh kesedihan atau kegembiraan terhadap jiwa) dan ‘siksaan fisik’ (pengaruh kesedihan atau kegembiraan terhadap tubuh). Jadi tidak hanya sekedar menulis kata: sedih atau gembira. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan tugas menulis cerita dengan rangkaian: membuat judul, menciptakan tokoh, menyusun cerita dengan bahasa yang komunikatif dan enak dibaca. Proses menulis dirinci dengan tahapan: memilih kata-kata berjiwa dan bermakna, menarik dan enak untuk dibaca, mudah dipahami, kalimat-kalimatnya tidak terlalu panjang sehingga komunikatif. Proses menulis tidak hanya di dalam kelas, melainkan di luar kelas (outdoor). Sehingga suasana lebih segar dan inspiratif. Maka tidak heran, apabila pelajaran mengarang jadi mata pelajaran favorit.

Tahap berikutnya, di tingkat SLTP-SLTA – CW diajarkan lebih serius yang didukung dengan adanya wajib membaca karya-karya fiksi berkelas pemenang nobel untuk sastra. Yang paling populer adalah Animal Farm karya George Orwell dan The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Bisa dipastikan, anak-anak dan remaja Australia mengenal akrab kedua karya tersebut. Bahkan di tempat kursus CW kedua karya tersebut menjadi buah bibir.

Pada umumnya para tutor CW memuji kehebatan daya imajinasi dan kreativitas Orwell dan Hemingway dalam menciptakan karya mereka tersebut. Orwell dan Hemingway memang dijadikan model dan karyanya dianalisis secara detail.

Peranan Perpustakaan

Siapa pun yang mengikuti kursus atau kuliah di CW mau tidak mau harus ‘bersahabat’ dengan perpustakaan. Atau, bila uangnya banyak, akan mondar-mandir ke toko buku, untuk mencari karya-karya yang diwajibkan untuk dibaca atau yang dianggap penting (bisa dijadikan model) oleh para calon pengarang itu sendiri. Karena karya-karya itu selain memberi inspirari dan sumber pengalaman kreativitas juga bisa dijadikan ‘guru mengarang’. Dengan kata lain, kegiatan membaca ini berfungsi sebagai media untuk belajar mengarang kepada pengarang yang karya-karyanya bermutu. Bahkan, yang terbaik adalah membaca karya-karya yang telah diakui dunia dan memperoleh penghargaan untuk sastra (misalnya nobel untuk sastra)

Berdasarkan pengalaman penulis, ketika mengikuti kursus CW selama enam minggu (tahap awal, pengenalan seluk-beluk CW) diwajibkan membaca enam judul novel. Antara lain, The Animal Farm karya Orwell, juga mempelajari proses kreatif Toni Morrison melalui karyanya yang berjudul Beloved), Nadine Gordimer (The Lying Days), Dorothy Parker (Laments for The Living). Dari hasil membaca diwajibkan membuat suatu analisis mengenai: gaya bahasa masing-masing pengarang, pilihan kata-kata dan proses kreatif yang melatarbelakangi terciptanya cerita yang disajikan (menyangkut sosial-budaya-politik). Proses analisa ini memberi pelajaran ‘kreatif’ dan menjadi semacam trigger untuk menulis. Selain itu juga terpahami bahwa, walau CW itu dipergunakan untuk menulis yang bersifat non-ilmiah, tetapi tidak semata-mata khayalan belaka. Melainkan ada yang mendasari, yaitu fakta yang kemudian diramu dengan imajinasi. Misalnya, Beloved karya Toni Morrison dilatar-belakangi masa perbudakan di Amerika Serikat pada Abad ke 18 dan 19 awal. Jadi, bukan semata-mata buah khayalan Toni Morrison. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ‘mengarang itu sebetulnya tidak gampang’ – kalau saja yang dikarangnya hal-hal yang bermutu.

Peranan perpustakaan bagi mereka yang berminat menekuni CW tidak hanya sebatas untuk mencari novel-novel atau karya fiksi yang dapat dijadian model, acuan atau semacam trigger. Akan tetapi juga bisa dijadikan ladang gagasan dengan mengambil materi dari buku-buku sejarah, sosiologi, psikologi, filsafat, geografi sampai kamus. Materi tersebut bisa dijadikan narasumber, untuk menghidupkan daya khayal dan mendukung setting, membangun karakter pelaku yang akan ditokohkan, mendukung alur cerita dan sebagainya.

Sebagai contoh, Pramoedya Ananta Toer banyak memanfaatkan data sejarah untuk memberi roh kepada karya-karyanya. Sedangkan Jean Paul-Sartre, Albert Camus dan Umberto Eco memberi roh karya-karyanya dengan paduan antara psikologi dan filsafat serta sejarah. Dari fakta ini dapat disimpulkan, untuk menjadi seorang pengarang yang handal memang harus mengakrabi perpustakaan (baca: banyak membaca!) . Jadi, tidak sekedar mengandalkan imajinasi atau ada yang menyebutnya sebagai ilham.

Dimulai dengan Memilih Kata

Ada yang mengatakan atau beranggapan, untuk menjadi pengarang tidak harus melalui studi atau bersekolah. Cukup mengandalkan bakat. Tetapi di Barat (Eropa, AS dan Australia) anggapan tersebut kini tidak berlaku. Alasannya? Karena, bila seseorang mau menghasilkan karya-karya bermutu (tidak membodohi masyarakat), maka ia tidak bisa dilepaskan dari pengusaan bahasa (tahu mempergunakannya dengan benar) dan kemampuan berimajinasi serta wawasan yang luas. Fokus mengenai penguasaan bahasa, bahwa menulis kreatif tidak mungkin berada di luar lingkar bahasa. Karena itu seorang penulis karya kreatif (pengarang) harus menguasai bahasa sebaik mungkin. Bahasa sebagai alat untuk mengkomunikakan pikiran. Dan, pikiran ini adalah ide-ide untuk merangkai suatu cerita yang tidak bisa dibiarkan liar tanpa aturan, juga bukan hanya merupakan bualan yang cenderung membodohkan pembacanya. Oleh karena itu, untuk menulis kreatif tidak cukup mengandalkan bakat alamiah, melainkan perlu didukung dengan kegiatan studi.

Studi bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berarti berhubungan dengan tutor (guru/pelatih). Misalnya mengikuti kursus-kursus atau kuliah di Fakultas CW atau konsultasi, koresponden dengan para pengarang yang dapat dijadikan guru di sektor ini. . Sedangkan studi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara membaca buku-buku (Creative Writing) atau literature (psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan kebudayaan) serta karya-karya sastra yang dapat diperoleh di perpustakaan atau membeli langsung di toko-toko buku. Tetapi yang disebut kedua jelas memerlukan biaya tidak sedikit. Tetapi bukan berarti tidak bisa dipenuhi. Kalau kita serius memprioritaskan bahwa buku adalah merupakan ‘makanan otak dan jiwa’, maka dapat menganggarkan dana kita untuk pos ini sebagai prioritas atau kebutuhan primer. Kebutuhan yang lain dijadikan sekunder. Ada pihak yang menganggap, yang paling praktis adalah alternatif pertama: yaitu ke pustakaan yang mempunyai koleksi karya-karya kreatif yang bermutu. Tentu saja, Anda yang paling berhak menentukan kemana Anda akan belajar CW

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close