Politik Minus Kebudayaan
Oleh Sides Sudyarto DS

Sampai hari ini belum terdengar orang politik atau partai politik bicara soal kebudayaan. Dalam kehidupan sehar-hari kaum politisi sibuk bicara soal politik.Mengapa wacana politik paling dominan? Masalah ekonomi banyak juga dibicarakan. Wajar. Sebab poltik adalah ‘jalan’, ekonomi adalah ‘tujuan’. Dominasi wacana politik bisa menimbulkan kesan bahwa “politik adalah panglima”, sekarang ini.
Di Zaman Orde Lama, hampir setiap partai politik memiliki organisasi kebudayaan. Partai Nasional Indonesia (PNI) punya LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Partai Nahdlatul Ulama (NU) punya Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia). Partai Komunis Indonesia (PKI) punya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Meskipun harus dicatat bahwa lembaga-lembaga kebudayaan milik parpol itu cenderung lebih dimanfaatkan untuk agitprop (agitasi dan propaganda).
Tetapi juga harus dicatat bahwa hampir setiap lembaga kebudaayan parpol itu menghasilkan budayawan-budayawan andal dan ternama. Misalnya: Usmar Ismail yang Sineas/Sastrawan, Mahbub Djunaedi yang Jurnalis/Eseis, Asrul Sani yang penyair dan budayawan, (Lesbumi). Sitor Situmorang yang penyair dan budayawan, Motinggo Busye yang novelis (LKN). Dari Lekra bisa disebut beberapa nama, seperti HR Bandaharo, Rivai Apin, dan Pramudya Ananta Toer (Sastrawan)
Di Zaman Orde Baru, partai politik digusur masuk kuburan. Hanya ada Golkar yang bukan partai politik (namanya) tetapi berfungsi penuh sebagai parpol. Memang ada dua partai lain, tetapi pimpinannya harus ditunjuk atau disetujui oleh penguasa pada saat itu. Maka tidak ada lagi organisasi kebudayaan yang berafiliasi kepada partai politik.
Di Zaman Reformasi, bertumbuhanlah partai politik. Tetapi tidak terdengar kegiatan mereka yang berbau kebudayaan. Tidak adanya wacana atau kegiatan kultural, memberikan kesan bahwa partai politik atau politisi sekarang tidak peduli dengan masalah dan nilai-nilai kebudayaan. Berkecamuknya politik minus kebudayaan bisa membahayakn kebudayaan kita. Politik bisa terjerumus masuk lubang barbarisme.
Positif dan Negatif
Kebanyakan orang berpendapat kebudayaan itu selalu positif. Tidak demikian, kata Akinwande Olawole “Wole” Soyinka. Penyair dan budayawan asal Nigeria (Peraih Nobel 1986) itu berpendapat, ada kebudayaan yang positif ada pula kebudayaan yang negatif. Wole Soyinka menggariskan, kebudayaan yang positif berwatak memanusiakan manusia (humanizes). Sedangkan kebudayaan yang negatif tidak memanusiakan manusia (dehumanizes).
Pemikiran Soyinka itu bisa mendapatkan pembenaran, jika kita mengacu kepada Dr. Mohamad Hatta yang semasa hidupnya mengatakan bahwa “korupsi telah membudaya”. Meskipun pernyataan itu sudah kurang dikenang, sekarang korupsi sudah membahayan kebudayaan kita.
Sebagai insan demokratis tentu kita boleh membantah pendapat Soyinka itu. Kita harus menegaskan, bahwa kebudayaan mestilah positif karena wataknya yang humanizes. Lalu bagaimana dengan tindakan manusia yang negatif, destruktif dan tidak manusiawi (dehumanizes) itu? Segala yang berlawanan dengan kemanusiaan dan perikemanusiaan itu musuh kebudayaan.
Argumentasinya ialah, bahwa kebudayaan itu sejatinya merupakan keseluruhan cara untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan manusia. Apalagi, jika kita mengacu kepada Edward Said: Kebudayaan adalah cara perjuangan masyarakat untuk mrnghindari kepunahannya. Dengan demikian, segela sesuatu yang bersifat negatif dan destruktif, mengancam keberadaan dan martabat manusia, bukan kebudayaan.
Sekarang ini, masalah yang sangat mendesak adalah, apakah kita mampu menbudayakan politik? Ataukah kita akan membiarkan manusia atau masyarakat menjadi korban politik yang minus budaya? Dampak politik minus budaya sebenarnya sudah lama kita rasakan bersama. Antara lain mewabahnhya penyakit memperkaya diri dengan memiskinkan. Tetapi yang lebih berbahaya dan lebih memilukan ialah ketika terjadi kekerasan dan pemusnahan manusia “hanya” karena identitasnya. Tetapi, sabar sebentar. Wole Soyinka punya tuturan arif yang enak di dengar bagi telinga batin kita.
“Jika sebelum minum Anda mencipratkan air ke tanah, sebagai pernyataan terima kasih kepada Sang Pemberi air, Anda sudah memasuki ranah budaya,” tulis Wole Soyinka. Berterima kasih, berdoa, adalah tindakan ritual kultural. Kultur yang berjiwa dan berakar religiositas. Dalam kehidupan Subak, cara bertani khas Bali, orang berdoa bersama, bersembahyang bersama sebelum mengairi sawah mereka.
Alangkah eloknya jika sikap sosioreligius itu menjadi inspirasi buat masyarakat kita, utamanya para politisi. Memang semua orang tahu dan merasakan, bahwa persolan bangsa sekarang ini adalah masalah-masalah perekonomian, terutama. Masalah ekonomi, adalah masalah kebutuhan hidup. Jika disempitkan lagi, adalah persoalan mengisi mulut, memenuhi ruang perut. Ketika manusia memusatkan seluruh hidupnya untuk mengejar kepentingan ekonomi, maka ia pun menjelma Manusia Ekonomi (Homo Economicus).
Apa yang disebut modernitas tidak lain adalah gerak langkah hidup manusia untuk pemenuhan nafsu-nafsu ekonomi. Imperialisme, Kolonialisme dan Neokolonialisme adalah wujud atau ekspresi ekonomisme tersebut. Dalam proses perjalanannya, kekuatan kolonialis harus melaksanakan politik kekerasan terhadap koloni-koloninya. Pada gilirannya, kekerasan itu memancing kekerasan yang lain. Masyarakat yang tertindas (the oppressed) bereaksi, melancarkan perlawanan terhadap penjajah (oppressor). Maka kemudian meletuslah perang kmerdekaan di mana pihak yang terjajah ingin melepaskan diri dari dominasi penjajahnya. Maka kekerasan politik tidak terhindarkan lagi.
Sebab, kata Frantz Fanon: Decolonization is always a violent phenomenon. (Dekolonisasi selalu merupakan fenomena kekerasan).Tetapi, anehnya, politik kekerasan tidak hanya dilakukan oleh kolonialis terhadap koloni-kolninya. Politik kekerasan juga bisa terjadi dalam satu negara: Pihak yang kuat, melakukan kekerasan politik terhadap bangsanya sendiri. Dalam kasus seperti itu, agaknya postulat Jacques Ellul, yang mengatakan bahwa kekerasan memancing kekerasan yang lain, tidak berlaku.
Sejak tahun 1965 bangsa ini memasuki Era Kekerasan. Pembantaian massal tahun 1965-1966 berlangsung dengan lancar. Tanpa alangan, tanpa pwrlawanan. Pihak yang menjadi korban tidak bisa melawan, bahkan juga tidak mampu membela diri. Di ambang Era Reformasi, kekerasan kembali merebak. Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti, penculikan manusia, penghilangan secara paksa, pembakaran kota terjadi dengan lancar, tanpa kendala. Para korban tidak mendapatkan keadilan, sebab tidak ada pengusutan dan tidak bisa ditemukan siapa otak penggerak politik kekerasn itu. Hukum ternyata tidak berdaya menghadapi dampak kekerasan politik pada saat itu.
Adakah persamaan dan perbedaan antara kekerasan politik yang dilakukan bangsa asing (kolonialis) terhadap masyarakat koloninya, dibanding kekerasan politik yang dilakukan oleh bangsa sendiri? Kekerasan politik kolonialisme dilakukan oleh ras kulit putih terhadap ras kulit berwarna, dengan motif utama kepentingan ekonomi. Kekerasan politik bisa berupa pembunuhan, penahanan dan pembuangan (pngasingan).
Kekerasan politik yang dilakukan oleh bangsa sendiri dalam suatu negara, dilakukan karena persaingan kekuasaan, perebutan kekuasaan. Kekerasan politik juga bisa dilancarkan, ketika penguasa harus mempertahankan kekuasaannya dari ancaman musuh-musuh politiknya.
Tetapi ada persamaan sebab. Kekerasan politik yang dilakukan kolonialis dari Eropa terhadap koloni-koloninya di Asia, Afrika dan Amerika latin akibat politik kolonialis itu sama sekali tidak berbudaya. Karena tidak brmoral. Sebab, di sana yang berkembang bukan budaya, melainkan teknologi yang merupakan tulang punggung kapitalisme.
Penjajahan itu sendiri sudah melanggar prinsip-prinsip moral, prinsip etika. Dengan melakukan politik kekerasan untuk menumpas perlawanan pihak terjajah, mereka semakin menjauhi etika politik.
Kekekerasan politik dalam negeri oleh bangsa sendiri terjadi, juga karena politik tidak berbudaya. Kekerasan politik internal itu sungguh lebih berbahaya akibatnya. Pertama, kekerasan itu hanya akan menimbulkan penjajahan oleh bangsa sendiri. Bahaya kedua, kemungkinan timbulnya penyakit psikologis, di mana rakyat umum seolah diyakinkan bahwa kekerasan politik itu biasa dan bisa dibenarkan. Bahaya ketiga, bangsa yang selalu berada dalam ketakutan terhadap kekerasan politik akan menyandang “sindrom” atau “hysteria” yang terpendam, sehingga tidak mungkin lagi menjadi subjek budaya yang normal atau sehat.
Maka sebenarnya, tugas kita skarang ini sebagai suatu bangsa merdeka, selain menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang mendesak, juga harus menghadapi pekerjaan berat: Membudayakan politik. Politik yang ramah terhadap manusia sebagai pelakunya, dijiwai etika yang kukuh, menghargai hak-hak hidup sesama, harus ditegakkan secara konsekuen dan konsisten, jika kita ingin survive, tetap eksis sebagai suatu bangsa jauh ke depan. ***