Puisi

Puisi-Puisi karya Naning Pranoto

Sebuah Sembah:

Ratu Ageng Tegalrejo

Izinkan aku menyapamu lirih dalam sudut sunyi sepi
Mengucap salam sembah bekti puja-puji wangi sawiji
Kepadamu Perempuan Agung yang ditelan asap sejarah
Menjadi samar mengabu terkubur hiruk-pikuk Zaman Edan
Jejak-jejak perkasa cundrikmu nguri-uri Negeri jadi terlupakan
Tak mengapa, pepatah meneguhkan: emas murni tak akan meloyang

Dari secuil lontar lapuk aku mengenalmu, wahai Bunda Ratu
Leluhurmu Trah Nata Bima, ayahmu Kyai yang tafakur di tengah Jawa
Niken Ayu Yuwati nama gadismu, Pangeran Mangkubumi menyuntingmu
Kau menemaninya berlaga dalam yudha merebut merdekanya kebenaran
Berpeluh ikut mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bernyali
Menjadi permaisyuri saat suamimu jumeneng Hamengkubuwono Kasiji

Kau lahirkan putra, Sundara – di kancah perang berujung Perjanjian Giyanti
Setelah dewasa putramu kinasih menduduki tahta Hamengkubuwono Kalih
Bablas parisuka polah tingkahnya, lupa tirakat, degsura dan menjauhi masjid
Sungguh kecewa kau padanya, amat merana kau, apalagi setelah suamimu tiada
Lalu, kau ke luar istana menuju titik tenggara ‘tuk membasuh luka-lebam hati
Kau babad alas, bergotong-royong dengan wong cilik mendirikan Tlatah Tegalrejo

Kala mengayun cangkul dan menabur benih kau rabuk dengan nawaitu lillahi ta’ala
Sawah ladang pun loh jinawi: jagung dan padi menguning berajeg Pepohonan Makrifat
Keringatmu adalah sungai Seihan, Jeihan, Nil dan Eufrat, bermata air wangi surgawi
Ujung jemarimu mentrubus kembang tujuh rupa peneguh kubah megah: tata-titi-tentrem
Semua kau rengkuh-pengkuh dalam rumah jiwa gilar-gilar seluas samudra tanpa batas
Kau nyalakan pustaka ilmu penerang ruang gelap kebodohan: memberantas buta huruf

Kala usiamu memasuki kepala enam, lahir Raden Ontowiryo – seorang buyutmu
Kau timang dia, kau asuh pula anak lelaki berbola mata akik dan berkaki kijang itu
Kau ajari dia membaca kearifan alam dan keagungan Gusti Allah serta rona wong cilik
Kau pahamkan pula arti kemerdekaan dan keharusan mengenyahkan kaum penjajah
Menyalalah api perjuangan di dada Ontowiryo dan menjadikannya sosok Diponegoro
Nyala api itu tak pernah padam walau ia dibelenggu ribuah godam dan dibuang diasingkan
Terima kasih wahai Bunda Ratu guru sejatiku, yang tak akan usang dalam jiwaku
Kau ajari aku tentang Bumi berajeg Pepohonan Makrifat dan pemahaman kemerdekaan
Kau wariskan pula sosok panutan Pangeran Diponegoro simbol perlawanan penjajahan
Maka:
Izinkan aku menulis kitab tentang perjalanan hidupmu yang terjal tapi kau tetap pejal
Karena kau berani menunggang kuda dan melemparkan granat kepada kaum pengkhianat!

Gubug Hijau Sentul City, Mid-Maret 2019

Kelembutan

Bukan tangan yang mengusap
Bukan dekapan luapan rindu merindu
Bukan ombak yang membelai bibir pantai
Bukan bubur sumsum yang menyentuh lidah
Bukan ciuman mesra yang membungai pipi
Bukan pula jeruk manis yang meleleh madu
Angin pantai yang semilir pun terkalahkan
Juga bukan alunan tembang-tembang nostalgia
Tidak. Puisi-puisi berdiksi merah jambu pun lewat
Tatapan berprosa uaran cinta itu nihil
Karena kelembutan hanya ada dalam panggilan-Nya yang tepat waktu
Kala ruh tertidur pulas ditimang Malaekat Maut
Sehabis jiwa berdzikir hingga ujung malam:

Surat Al-Kautsar mengumandang berbingkai kristal-kristal Embun-Nya yang tersejuk

Jakarta, Awal Desember 2018

1/3 + 2/3

Menyapa tanpa kata
Menatap penuh makna
Saksi lontar bisu pustaka prosa
Tentang perempuan sepertiga Siti Hawa
Dua pertiga Adam menghuni pula di raganya
Sejak Gobi Sahara menempanya – sosok membaja
Jiwanya pun tersenyum,
kala hasta-Nya melebur keduanya menjadi padang bunga:
empat musim menembang lembutnya seta
Gerimis tipis pun membasuh rekah tanah merah girilaya 1/3 + 2/3
Mereka merabuk seperti yang didamba semua manusia
Menyatu dengan Maha Cahaya-Nya

Bandung, Agustus 2018

Ridha: Rabi’ah Al-Adawiyah

Dengan nama apa aku harus memanggilmu?
Wahai, Perempuan Sufi berevolusi dari anak yatim dan budak
hatiku mengabu kala membaca kisahmu dihimpit labirin bola api
Subhanallah, Perempuan Sufi;
onggokan arang itu bukan tubuhmu karena kau menjelma burung baja
tanganmu menumbuh kayuh perahu, kaki-kakimu memilar lukisan kiblat
matamu membunga cahaya, menuntunmu menyusuri jalan menuju Cinta-Nya
“Tuhanku, tenggelamkan aku dalam lautan Cinta-Mu..,” kau bersyair dalam doa
Perempuan Sufi, dari laut Cinta-Nya kau mengentas di bubungan atap tertinggi
Kau saksikan langit biru, matahari, pohon kurma dan burung-burung di kala pagi
di balik tirai malam kau sesap lembutnya sinar rembulan dan kerlipan gemintang
semilir angin, asinnya tetes air matamu yang meleleh di pipi jadi santapan jiwamu
nyeri patah tulang tanganmu, cambukan cemeti pialang budak kau jadikan kudapan
“Tuhanku, Engkau telah memberikan kebahagian padaku,” syukurmu dalam derita
Lalu kau dirikan shalat kala manusia tidur terlena atau asyik bermain syahwat?
Pada suatu hari kau membawa air di tangan kiri dan obor di tangan kanan
Seseorang bertanya padamu hendak ke mana, kau menjawab mau ke langit;
“Untuk membakar surga dan memadamkan api neraka,” katamu dengan gagah
“Agar keduanya tak menjadi sebab manusia menyembah-Nya!” Tegasmu
Kau meragukan mereka;
“Sekiranya Allah tak menjadikan pahala dan siksa, masih adakah yang menyembah-Nya?”
Kau teguhkan dirimu, “Cintaku kepada-Nya tak pernah kubagi!” – Zuhud dunia.

Bogor – Jakarta, mid-November 2018

Bunga Setengah Abad

Ada bunga mekar di dada mereka
Setengah abad silam nenumbuhnya
Kala biji randu berkecambah di hati mata
Membulu kepak sayap emas cinta pertama

Tak ada janji terucap menyiram rasa
Tapi sepasang bola mata pernah bicara
Sepasang tangan juga bertaut mesra
Lalu duduk berdua di pinggir rel di bibir Yogya

Rambut hitam ikal tergerai di pundak lelakinya
Rambut cepak tubuh ceking perempuannya
Hidung pesek mata bulat di wajah lelakinya
Hidung mancung mata tajam ciri perempuannya

Lembar masa melukis degup jantung mereka
Menguncup rindu di jantung mewarna jingga
Terkungkung jarak sunyi senyap sepi sapa
Tapi bunga yang mekar di dada meratu-meraja

Saling berkirim mimpi di jeda-jeda purnama
Saling menulis puisi gejolak rasa memprosa
Saling menitip pesan kerinduan pada pawana
Saling berharap suatu saat dua jiwa bersua

Si perempuan menyibak bilangan usia menua
Si lelaki menyiram bunga yang mekar didadanya
Ada kepedihan menggunung di dada mereka
Tandus. Menggurun. Ada lembah meluka

Di ujung malam si lelaki bersimpuh berdoa
Air matanya meruah unjuk rasa tak berdaya
Memohon pada Gusti Allah Yang Maha Kuasa
Agar dipertemukan dengan perempuannya

Dalam gelap si perempuan nyalakan lentera
Ia usap ujung api ‘tuk memetik bunga jelaga
Lalu ia lukis wajah si lelaki di lembar udara
Gemetar tangannya. Terhenti hela nafasnya

Pusaran waktu menggegam kenangan
Si perempuan dan si lelaki menunggu ruang
Keduanya memegangi dada penuh kembang
Mohon restu-Nya untuk dimakam satu lobang

Gubug Hijau Sentul City, Awal Maret 2019

Naning Pranoto studi bahasa dan sastra di Universitas Nasional, dan jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta. Mendapat gelar master (MA) Chinese Studies Bond University Australia (2001). Mendalami bahasa Inggris di English Language Centre Monash University. Belajar Academic Writing and Creative Writing di University of Western Sydney Australia (1999). Belajar Sastra Hijau di Parque Ecologico Tatui Brazil (1994-1995) dan Penanganan Anak Terlantar di Makati Filipina (1997).

Ia mantan wartawati, sutradara film/program TV dan sampai sekarang aktif menulis skenario film dokumenter dan dosen tamu di berbagai universitas serta tutor creative writing di berbagai lembaga pendidikan. Telah menulis puluhan judul novel, textbook dan cerita pendek. Novelnya, Miss Lu mendapat penghargaan sebagai novel asimilasi. Novelnya Mumi Beromak Minyak Wangi dan Miss Lu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Creative Writing ditekuninya dan telah menulis 11 judul buku di bidang ini. Persahabatan sastra dengan Negeri Serumpun ia renda melalui Antologi Cerpen Indonesia-Malaysia, Antologi Cerita Etnis 5 Negara Serumpun (2013), Antologi Puisi Penyair Perempuan Indonesia-Malaysia (2015). Ia juga menulis untuk Serial Antologi Puisi Negeri Poci, Antologi Puisi Aku Perempuan dan Sepilihan Puisi Kepada Pohon Lelaki.

Pada pertengahan 2017 Naning Pranoto berkolaborasi dengan Yeni Fatmawati (Penyair, Pelukis, Pematung, Pelestari Lingkugan dan Lawyer) menciptakan Wayang Hijau – sarana edukasi untuk merawat dan melestarikan Bumi. Akhir 2018 menerbitkan Kumpulan Puisi Ode yang Tak Pernah Mati dan awal 2019 menerbitkan Novel Mei Merah 1998.

Naning Pranoto dapat dijumpai di www.rayakultura.net. E-mail: rayakultura@gmail.com

Sumber: Tembi.net

Tags

Related Articles

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku