Reminisensi Debu
Oleh Joshua Timothy – Siswa SMPK Ora et Labora BSD
Aku hanyalah senoktah kecil debu yang tersusun dari partikel tanah. Kau pastilah menjumpai aku dan teman-temanku di mana-mana. Mungkin aku tampak kotor dan tidak berguna, namun kau selalu melahirkan saudara tiriku dari pencemaran. Manusia diciptakanNya sebagai penguasa dan penakluk alam semesta. Sayangnya, sebagian dari mereka hanya memikirkan prinsip keuntungan ekonomi dalam menggunakan haknya. Ingat, bahwa tanah mencatat, debu juga mencatat.
*
Aku telah menjadi saksi, bagaimana kota ini berubah menjadi neraka dunia. Dahulu kota ini adalah pedesaan hijau, tidak banyak bangunan yang berdiri. Setiap hari selalu terdengar tawa riang dan suara hewan ternak yang bersautan. Angin membelai sejuk, bunga-bunga tersenyum memandang langit dan kicau burung mengumandangkan simfoni alam. Dedaunan hijau menari bermandikan sinar surya menghiasi hari. Keadaan berubah, ketika sang raja siang mengamuk. Aliran air menguap habis, hewan ternak mati merindukan air dan kelaparan, serta bunga-bunga bergantikan semak belukar. Penduduk desa tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, sebab semua terjadi begitu mendadak. Saat itu tampillah sosok-sosok yang sok pahlawan. Mereka merupakan investor dari kota. Dengan tipu muslihatnya, mereka menawarkan bantuan dengan syarat penduduk desa harus hengkang dari tempat tinggal mereka. Warga yang polos pengharapkan bantuan, mengiyakan tawaran itu. Sungguh udang di balik batu.
Sosok-sosok yang merasa pahlawan itu mulai membuka topeng kepahlawanannya. Licik. Mereka adalah tikus-tikus rakus yang telah memperdayakan warga. Mereka mulai melakukan pembangunan raksasa. Mereka memaku bumi dengan paku bumi dan mengubah hamparan rumput hijau menjadi aspal kering. Awalnya mereka mempromosikan kawasan hunian hijau, iming-iming hutan-hutan kota. Tentu hal ini sangat menarik animo masyarakat luas. Perumahan yang dibangun mulai terisi, hingga permintaan melewati batas penawaran. Dengan keuntungan yang menggiurkan dan akar cinta uang yang telah tertancap dihati, tikus-tikus rakus itu mulai membabi buta.
Aku pernah menyaksikan tipu muslihat mereka. Saat itu matahri mulai condong ke ufuk barat. Tiba-tiba angin antahberantah meniupku. Sehingga aku menempel di jas mewah tikus rakus itu. Rupaku yang amat kecil tidak disadarinya. Tikus rakus itu berjalan menuju gedung putih di tengah kota. Ia berjalan menaiki tangga dan sampailah di sebuah ruangan. Di sana aku melihat seorang pria berseragam coklat, dengan kumis mendeplang di bawah hidungnya dan lambang pemerintahan tersemat di dadanya. Pembicaraan sangatlah ruwet, sampai di ujung pembicaraan. “Maaf bapak, saya belum bisa memberikan persetujuan atas permintaan Bapak. Lahan yang pembebasan Bapak ajukan, merupakan lahan terbuka hijau.” Kata Si Kumis.
Tikus rakus itu mengambil jalan pintas. Ia mengeluarkan sebuah amplop, lalu menyodorkan kepada Si Kumis itu. Si Kumis ternyata menolak. Aku senang, Si Kumis berpegang teguh pada prinsip lahan harus hijau. Tapi tikus itu memiliki seribu satu akal. Si Tikus Rakus itu kembali mengeluarkan sebuah kotak. Aku pun terkejut ketika dibuka terdapat sebuah jam tangan mewah bertahtakan permata. Ekspresi Si Kumis berubah. Setelah mengecek keadaan, dengan sigap tangan Si Kumis mengambil amplop serta jam tangan itu. Ia memberi tanda-tangan: setuju. Sungguh ironi, nasib bumi hanya dihargai dengan amplop berisi uang dan jam tangan mewah. Si Kumis tersebut sama saja dengan Si Tikus Rakus. Si Tikus Rakus itu berjalan keluar dari ruangan Si Kumis dengan kesombongannya, sambil mengantungi persetujuan pembebasan lahan.
Bumi semakin diperkosa dengan paku bumi yang semakin banyak. Taman-taman kota mulai dialih fungsikan. Pohon-pohon dipenggal. Pembanguan semakin ganas dan merajalela. Tembok-tembok beton menghiasi kota, gedung-gedung pencakar lagit berdiri kokoh menambah beban bumi, dan kuda-kuda besi berpacu di jalan-jalan raya. Hai manusia, apa kau tidak peka dengan rintihan bumi?
Dampak buruk belum terasa. Namun mulai menghantui ketika kawasan industri dibangun tidak jauh dari kota itu. Setelah berdiri, kawasan itu selalu menderukan suara bising, memuntahkan limbah dan menebar polusi. Buruknya sistem pengolahan limbah, membuat pencemaran menjamah daerah perkotaan. Tumbuh-tumbuhan penghasil oksigen mati, polusi meracuni udara, air sungai menghitam jelaga, dan ikan-ikan mati.
Penyakit pun mulai bermunculan. Sesak nafas, alergi, iritasi, infeksi saluran pernafasan, penglihatan terganggu, itulah berbagai penyakit yang timbul. Lagi-lagi, manusia tidak menyadari kesalahannya dan berbalik saling menyalahkan. Sebagai debu, aku terkena imbasnya. Aku dicap sebagai penyebab penyakit-penyakit itu. Bukan aku, tapi saudara tiriku yang lahir dari pencemaran ulah manusia. Aku hanya mengandung partikel tanah, sedangkan saudara tiriku mengandung berbagai zat kimia yang berbahaya. Manusialah yang sebenarnya melahirkan bahaya itu sendiri. Semua manusia menghindari dan mengusir keberadaanku.
Namun kepedihan bumi tidak berkepanjangan, sebab ada seorang pahlawan hijau yang sesungguhnya. Pria muda itu bernama Vino. Dengan gagah berani, ia menentang perusakan alam dan menggalakkan penghijauan. Vino adalah orang pertama yang menyadari kerusakan alam telah terjadi di kota ini. Ia mengetahui bahwa kerusakan alam yang terjadi di kota ini, dapat mempengaruhi bumi secara keseluruhan. Ia mulai melakukan perubahan, sebelum bumi bertindak. Vino selalu mengkampanyekan penghijauan untuk menyadarkan manusia lainnya. Jalannya memang tidak selalu mulus, banyak yang mendukungnya dan banyak juga yang menolaknya. Namun, pahlawan pantang menyerah. Vino memulai dari rumahnya terlebih dahulu. Ia mengubah rumahnya menjadi oasis di tengah padang gurun. Langkahnya mulai diikuti oleh tetangganya yang juga merasakan manfaatnya. Sehingga sedikit demi sedikit usahanya mulai tercapai.
Ia juga sering berpidato ditempat umum, untuk menarik animo masyarakat. Salah satu penggalan pidatonya adalah “Kita adalah bagian dari bumi, namun mengapa kita justru memperkosanya. Kita memperoleh kehidupan dari bumi. Pelukan hangat selalu kita rasakan, aliran sungai bagaikan susu yang memuaskan dahaga, daun-daun menyumbangkan oksigen penyambung kehidupan, dan kita selalu menikmati kekayaan bumi bahkan kita merampasnya. Pantaskah kita memperlakukan bumi seperti ini. Kita membayar keindahan, padahal kita sedang menyiksa tumbuhan. Atau membunuh bunga, hanya sekadar untuk melambangkan kasih semu. Apakah tidak pernah terlintas di pikiran bagaimana nasib generasi penerus kita? Akankah mereka hanya mengenal apa yang disebut keindahan bumi hanya melalui cerita, tanpa pernah menyaksikannya secara langsung. Semua jawaban ada di tangan kita. Mari kita kembalikan bumi seperti sediakalanya. Untukku, untukmu, untuk kita semua, dan untuk generasi penerus kita. Pidato ini mampu mengubah dan memperngaruhi paradigma pendengarnya.
Sejak saat itu tunas-tunas muda dan kokoh mulai menghiasi kota. Aku harap tunas itu dapat tumbuh dengan cepat, dan merubah kota ini. Pemuda bernama Vino itulah sosok pahlawan hijau sesungguhnya. Ia mendedikasikan dirinya untuk melekat dengan alam. Namun, di sisi lain tikus-tikus rakus itu berteriak tidak setuju dan melakukan pemberontakkan. Karena penghijauan mempersempit lahan pembangunan mereka. Malam itu, semua penduduk tengah dalam peraduannya. Saat itu aku menyaksikan dua orang sedang berjalan di bawah sorotan rembulan. Gerak-geriknya sungguh mencurigakan. Dengan cepat dan hati-hati mereka menuangkan cairan hitam ke sekitar bibit-bibit pohon. Andai saja aku memiliki kuasa, aku pasti akan bertindak. Aku hanya mencatat tindakan mereka. Selesai menunaikan perintah, kedua pria itu berjalan meninggalkan bibit-bibit pohon itu. Meninggalkan bekas yaitu kematian. Ketika fajar mulai menyingsing dan membentangkan cahayanya. Betapa terkejutnya aku, bibit-bibit itu tertunduk lemas. Sungguh keji perbuatan mereka, menindas yang lemah. Limbah beracun telah membunuh bibit-bibit pohon itu.
Untunglah Vino dan masyarakat pendukungnya tidak berputus asa. Vino mulai menempuh jalan lain sebelum bertindak melakukan penghijauan. Ia mengirimkan petisi kepada penegak politik daerah. Petisi itu berisi permintaan untuk lebih mengetatkan syarat pembebasan lahan, agar lahan tidak mudah dikuasai oleh tikus-tikus rakus. Petisi itu juga menyuarakan aspirasi bumi yang merindukan kehijauan. Sudah seharusnyalah peraturan mengenai lahan terbuka hijau dan penghijauan diberlakukan.
Bila nantinya petisi itu dipersetujui, maka kegiatan penghijauan dapat terwujud. Vino dan para pendukungnya sangat menantikan keputusannya. Namun penantian mereka tidak akan berujung. Sebab petisi itu jatuh ke tangan pria yang menjual bumi seharga satu amlop uang dan jam tangan mewah. Tentulah, permohonan petisi itu diketahui tikus-tikus rakus. Mereka menggunakan cara apa pun, agar petisi tersebut tidak disetujui. Karena penerima petisi itu sudah terjerat perangkap tikus-tikus rakus. Mudahlah bagi Si Kumis itu untuk kembali dijerat. Dengan nominal yang jauh lebih besar, Si Kumis dijamin akan menggagalkan persetujuan petisi itu tanpa melakukan pemberitahuan.
Tidak mau menunggu lama, dengan bermodalkan aspirasi bumi Vino mengirimkan petisi yang sama kepada pemerintah pusat. Dalam petisi kedua ini, ia membubuhkan tentang tindakan penegak politik daerah yang seperti di bawah kendali pihak tertentu. Vino mengharapkan pemerintah pusat dapat melakukan penyelidikan. Sebab kalau tidak ditindaki, maka korupsi akan meluas. Beberapa minggu setelah itu, pemerintah pusat mengirimkan surat keputusan langsung kepada Vino. Surat tersebut memberitakan bahwa pemerintah pusat menyanggupi usulan mengenai pembentukan peraturan pembebasan lahan dan peraturan lahan terbuka hijau serta penghijauan. Hal ini cukup membuat senang Vino dan pendukungnya. Pemerintah pusat juga akan melakukan penyelidikan kepada penegak politik daerah. Hal ini menyempurnakan kebahagian Vino dan Pendukungnya. Bumi turut bersukacita.
Sebulan setelah persetujuan dikeluarkan, tersirat kabar bahwa Si Kumis yang menjual bumi itu terungkap kebusukannya. Dengan barang bukti jumlah kekayaan yang mencurigakan dan petisi penghijauan yang dibiarkan tertumpuk dalam berkas-berkas arsip, penegak hukum segera memprosesnya. Tentu, dengan tertangkapnya pria itu, satu per satu tikus-tikus rakus mulai terjerat jebakan penegak hukum. Namun selayaknya tikus, tikus-tikus rakus itu memiliki koloni yang besar. Untuk menghindari jeratan hukum, mereka kembali mengenakan topeng-topeng kepahlawananya. Sehingga kita harus waspada. Namun kebenaran selalu menang, kebusukan perlahan akan tercium baunya. Sehingga, tikus-tikus rakus yang menjelma dengan topeng kepahlawanan itu tidak dapat hidup dengan rasa aman.
Dengan dikeluarkannya peraturan mengenai penghijauan dan tertangkapnya para penjual bumi, upaya perbaikan bumi dapat berjalan lancar. Upaya itu tidak hanya terjadi di kota ini, namun hingga seluruh pelosok negri ini. Semua orang mulai menanam pohon, karena satu pohon berarti satu kehidupan baru dimulai. Aku tidak sabar melihat kota ini kembali hijau seperti sedia kala. Di mana apa yang disebut keindahan itu bisa kembali disaksikan dan dinikmati. Sehingga perubahan positif tercatat dalam memoriku. Tampaknya tugasku dikota ini sudah berakhir. Angin antahberantah membawa diriku entah menuju kota lain atau belahan dunia lain, untuk melanjutkan tugas ku. Aku tetap akan dibumi ini dan menjadi saksi semua perubahan yang terjadi. Termaksud perubahan yang kau lakukan. Lakukanlah perubahan positif bagi bumi, masa depan bumi ditanganmu. Dan ingat, debu mencatat.
*