Sastra Hijau : PENA YANG MENYELAMATKAN BUMI

Sastra Hijau
PENA YANG MENYELAMATKAN BUMI
Oleh Dra. Naning Pranoto, MA
Makalah dipresentasikan pada
Seminar Nasional
Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme
Jumat, 28 November 2014 di Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Seminar hari ini merupakan kesempatan emas untuk mensosialisasikan Sastra Hijau di kalangan akademisi. Karena, di bandingkan dengan universitas-universitas di Barat, Indonesia telah ketinggalan hampir empat dekade. Padahal berdasarkan hasil penelitian Prof. Dr. Corey Bradshaw dari Universitas Adelaide Australia pada tahun 2010, Indonesia merupakan ranking 4 (tingkat dunia) sebagai penyumbang kerusakan lingkungan (baca: bumi). Data lengkap 10 negara penyumbang kerusakan bumi sebagainya berikut: (1) Brazil; (2) Amerika Serikat; (3) Cina); (4) Indonesia; (5) Jepang; (6) Mexico; (7) India; (8) Rusia; (9) Australia dan (10) Peru.
Sastra Hijau diharapkan berperan besar dalam penyelamatan eksistensi bumi – demikian harapan Prof. Dr. Cheryll Glotfety dari Fakultas Sastra Universitas Nevada Reno – Amerika Serikat (AS). Ia merupakan salah seorang pejuang lingkungan di AS dan bersama-sama rekan-rekannya mengimplementasikan Sastra Hijau sebagai disiplin ilmu baru dengan istilah Ecocriticism, pada awal tahun 90-an. Tapi telah dirintis sejak tahun 70-an, di mana Sastra Hijau mulai digaungkan di Amerika Latin, khusus di Brazil yang hutannya mengalami rusak berat akibat kerakusan para pebisnis kayu.
Disiplin ilmu baru ini, ecocriticism – studi tentang sastra dan ekologi (lingkungan) secara fisik. Mereka berhimpun dan mendirikan Association for the Study of Literature and Environment (ASLE). Asosiasi ini menerbitkan jurnal Interdisciplinary Studies in Literature and Environment (ISLE). Material yang diterbitkan selain karya sastra (eko-sastra dan eko-puisi) juga kritik sastra lingkungan serta melakukanberbagai penelitian obyek yang ada kaitannya dengan ecocriticism. Ternyata mereka menemukan bahwa Sastra Hijau telah ditulis oleh para sastrawan maupun penyair AS dan Australia sejak awal Abad 19. Karya-karya tersebut mengungkapkan kecintaannya pada lingkungan dan juga kecemasan mereka dalam menyaksikan perusakan lingkungan yang terus berlanjut.
Di Indonesia, suara Sastra Hijau memang belum nyaring. Tapi Sastrawan Ahmad Tohari telah memulainya dalam karya-karyanya, antara lain dalam cerpennya berjudul Paman Doblo Merobek Layang-Layang. Penyair Ahmadun Yosi Herfanda tahun 80-an menulis puluhan puisi ‘hijau’ yang ia bukukan dengan judul Ladang Hijau dan Sides Sudyarto DS menulis prosa (novel belum diterbitkan), puisi dan text-book (Seni Menulis Sastra Hijau terbit 2012) tema Sastra Hijau. Sides menulis Sastra Hiau sekembalinya bermukim di Brazil hidup bersama komunitas pejuang lingkungan-neo humanista (khususnya membenahi hutan Amazon yang rusak parah) tahun 1992-1993. Dengan adanya perintisan tersebut, juga seminar hari ini, semoga Sastra Hijau di Bumi Pertiwi ini dapat tumbuh subur untuk menyelamatkan bumi dari penghancuran oleh tangan-tangan serakah.
Paparan Sastra Hijau
Sastra Hijau – Green Literature, istilah ini masih jarang digunakan. Di kalangan akademisi menggunakan istilah ecocriticismn yang dicetuskan oleh William Rueckert tahun 1978 dalam tulisannya berjudul Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism, dimuat di Iowa Review Volume 9 Tahun I di halaman 71-86. Tulisannya ini menarik perhatian dan engundang diskusi bersifat pro dan kontra. Yang jelas, seiring bergulirnya waktu ecocriticism diakui dan memberi inspirasi banyak orang, khususnya di AS dan Inggris menulis bertopik dan bertema penyelamatan bumi. Bahkan Dr. Dana Phillips dari Towson University AS menerbitkan artikel tentang sastra dan lingkungan dengan melakukan penelitian atas karya Walt Whitman, Cormac McCarthy, Don DeLillo, Henry David Thoreau, dan Ralph Waldo Emerson. Kemudian artikel-artikel tersebut dibukukan berjudul The Truth of Ecology: Nature, Culture, and Literature in America diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 2003 dan mendapat penghargaan dari Modern Language Association’s Prize . Buku ini kemudian dijadikan acuan karya-karya Sastra Hijau.
Dari hasil penelitian Dana Phillips antara lain dapat ditemukan ‘kriteria’ apa saja yang layak disebut sebagai Sastra Hijau pada sebuah karya tulis baik prosa maupun puisi. Pertama-tama, bahasa yang digunakan banyak menggunakan diksi ekologi, isi karya dilandasi ‘rasa cinta pada bumi’, ‘rasa kepedihan bumi yang hancur’, ungkapan kegelisahan dalam menyikapi penghancuran bumi, melawan ketidakadilan atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi dan isinya (pohon, tambang, air dan udara serta penghuninya – manusia), ide pembebasan bumi dari kehancuran dan implementasinya. Jadi, tidak hanya sekadar satire. Melainkan harus ada actionnya melalui ide-ide yang dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terhadap penghancuran bumi. Sastra Hijau memiliki visi dan misi penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak menjadi pemelihara merawat bumi (go green).
Menurut Dr. Laurence Coupe dari Manchester Metropolitan University Inggris bahwa genre Sastra Hijau adalah sastra tematik yang mengacu pada lingkungan secara fisik akan membosankan pembacanya jika tidak dibumbui daya tarik. Maka tahun 2000 ia menerbitkan buku berjudul The Green Studies Reader: From Romanticism to Ecocriticism dan tahun 2013 terbit buku terbarunya berjudul Kenneth Burke From Myth to Ecology. Dari preview kedua bukunya ini dapat dibaca bahwa Coupe menyajikan ide-ide untuk penyempurnaan proses kreatif karya Sastra Hijau dengan memasukkan berbagai unsur menarik. Antara lain kisah-kisah (legenda) cinta yang ada kaitannya dengan lingkungan yang diceritakan, asal-usual suatu tempat yang jadi obyek cerita, mitos-mitos yang dipercayai masyarakat setempat, kepercayaan pada ruh-ruh halus hingga Tuhan Yang Maha Sejati, pergulatan bisnis dan sebagainya. Dengan demikian karya-karya yang dilahirkan akan menjadi cerita yang menarik. Ia terinspirasi oleh (antara lain) sejumlah epik klasik berbumbu mitos seperti Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien dan karya Shakespeare.
Ide-ide yang ditawarkan Coupe ini sebetulnya bukan hal baru menurut pengamatan saya. Sebab, para pengarang muda kita sudah menulis demikian versinya. Karya-karya mereka ini dapat dibaca dari hasil Lomba Menulis Cerita Pendek Hutan dan Lingkungan (LMCHL) oleh Perhutani Green Pen 2013. Para pemenang lomba ini beberapa di antaranya menulis cerita dikaitkan dengan mitos-mitos setempat. Berikut ini kutipannya:
Ode Pohon Desa
M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim
“Maafkan aku, keluargaku. Seharusnya aku tak meninggalkan kalian. Ya Tuhan, maafkan kami.”
Perempuan yang terpekur penuh penyesalan itu ialah ibu dari rumah yang telah rata dengan tanah. Kami menghitung harapan yang tersisa, di tengah kesunyian yang bergelora.
Retis hujan yang melebur dalam lumpur menerbitkan bunyi-bunyi kecil kepedihan. Aku menggigil bersama seorang ibu yang tengah berbagi hampa dengan kenyataan. Aku ingin sekali memeluk perempuan itu. Tapi energiku telah dikuras habis oleh masa lalu. Aku terdiam dengan keletihan yang jenuh.
Bu Sarto yang malang itu, menginjak tubuhku sambil mengulur air mata. Tangannya menyatu di dada. Memiuhkan doa pada alam agar tetap membiarkannya hidup. Di hadapannya, rumah yang dia tempati selama puluhan tahun, telah koyak dengan lumpur.
Aku terpekur. Napasku tersenggal. Pandanganku kelabu bersama pecahan-pecahan hujan yang kabur. Sedikit waktu tersisa untuk menceritakan semua ini. Aku ingin memberi tahu Bu Sarto, kelalaian yang telah terjadi hanya akan menjadi lumpur.
* * *
1. Pemuda Taat
Pohon Beringin itu telah menjadi sarang setan di desa ini. Para tetua mengkultuskan pohon tua itu seolah pohon telah melakukan tugas Tuhan, memberi kehidupan bagi desa ini. Bukan Tuhan semesta alam yang telah berfirman dalam Alqur’an. Aku benci mengakui ini, bahkan orang tuaku sendiri juga menganggap pohon itu keramat. Suci.
Melestarikan syirik di desa ini sama saja membiarkan Tuhan melaknat kami semua dengan dosa besar yang tak terampuni. Kepercayaan warga desa ini harus diperbaiki. Pohon itu hanyalah pohon, salah satu ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Sama seperti manusia, binatang, dan tumbuhan lainnya.
Dulu saat masih kecil, aku juga pernah percaya pohon beringin besar itu bertuah. Aku dan teman-temanku sangat menghormatinya. Orang tua kami telah mengajarkan bahwa pohon itu pelindung desa, wajib dilestarikan. Aku terus mempercayainya sampai lulus SMA.
Ketika aku kuliah di Yogyakarta, aku mendapatkan hidayah. Menurut Ustadz-ku, hal semacam itu syirik. Dosa besar.
“Neraka jahanam tempatnya. Tidak akan diampuni oleh Allah. Kita harus menyadarkan masyarakat desa agar berhenti percaya pada tradisi-tradisi nenek moyang seperti itu. Termasuk mempercayai mukjizat pohon besar.” Ustadz di kampusku menjelaskan dengan berapi-api.
Aku membawa pemahaman itu dengan segenap hati. Aku berdebat sengit dengan kedua orang tuaku saat aku pulang kampung ketika libur kuliah.
“Kami tidak menyembah pohon itu, Nak. Dari mana kamu dapat pikiran seperti itu?” Bapakku tidak terima. Sebagai salah satu tetua sekaligus aparat desa, bapak masih berpikiran tradisional dan kolot.
“Tapi penduduk kampung ini begitu memujanya. Itu musyrik. Dosa besar.” sahutku, ngotot.
“Jangan sok pintar. Baru kuliah sebentar saja, sudah nggatur-ngatur desa.”
“Ini masalah akidah, Pak.”
“Jangan ajari bapak soal akidah. Bapak dulu yang mengajarimu ngaji.”
Kami berdua saling melempar tatapan sengit.
“Sudah, Mahmud. Jangan bertengkar dengan bapakmu. Sudah malam, malu sama tetangga.” Ibu memegang pundakku dengan lembut.
Aku segera masuk ke kamar. Tak ada aral yang bisa mengahalangiku, akidah harus ditegakkan.
Keesokan harinya, sehabis sarapan, pertengkaran itu kembali pecah. Kebetulan ibu sedang ke warung untuk membeli rokok buat bapak. Mulut gatalku yang pertama kali memulai.
“Pohon itu harus ditebang, Pak. Itu sarang setan.” tuduhku dengan penuh keyakinan.
“Sembarang. Pohon itu juga berhak hidup. Selama puluhan tahun, pohon itu telah menjadi bagian dari desa ini.” Nada kekesalan bergaung dalam kata-kata Bapak.
“Tebang, Pak. Apa bapak nggak takut sama azab dari Allah?”
“Jangan main-main dengan azab, Nak? Jaga mulutmu.”
“Mahmud nggak mau bapak terjerumus dalam api neraka.”
Plak! Bapak menampar mukaku keras-keras.
“Kurang ajar.” pekik Bapak dengan marah.
Kutatap bapak dengan kekecewaan pekat. Bapak tertegun sejenak. Sorot matanya yang tajam berubah jadi penyelasan karena tega menampar putra semata wayangnya.
“Ada apa ini?” Ibu yang baru datang, terheran-heran melihat tingkah diam kami.
Aku segera keluar rumah. Berlari menuju bukit tempat pohon beringin itu berdiri. Aku ingin menyumpahinya karena seumur hidup belum pernah sekalipun bapak kasar padaku.
Pohon beringin yang telah terlalu lama menyimpan saripati musyirk itu kini menghancurkan hubunganku dengan bapak. Api seolah terpancar dari mataku ketika berdiri di hadapan pohon beringin yang terletak di bukit belakang desa. Pohon ini menjadi batas antara desa dengan hutan daerah Jombang. Ada yang bilang usianya lebih dari seabad.
Mataku bersibobrok dengan beberapa sesajen dan bekas kemenyan di bawah pohon ini. Pasti beberapa orang kejawen dan abangan yang setia melakukan ritual syirik itu di bawah pohon ini. Kemarahanku meletupkan lahar-lahar ganas dalam dada. Tunggu saja sampai aku akan membawa pasukan untuk memuntahkan lahar itu ke seluruh sendi pohon syirik ini.
Bersambung
Inti cerita karena pohon dimitoskan sakti maka ia selamat tidak ditebang.
Gerakan Sastra Hijau di Empat Negara
Saya, penulis makalah ini, mengenal Sastra Hijau ketika berkesempatan tinggal bersama komunitas neo-humanista (komunitas manusia baru) yang tinggal di Parque Ecologico Tatui Porangaba Sao Paulo Brazil, pada tahun 1992 – 1993. Sekarang nama Parque Ecologico Tatui berubah nama menjadi Parque Ecologico Visao Futuro. Pendirinya Dr. Susan Andrews seorang antropolog lulusan Harvard University yang menganut gaya hidup tokoh spiritual Mahatma Gandhi. Ia membentuk jaringan dari seluruh dunia didukung para aktivis lingkungan di Brazil membentuk ‘sanggar hijau’. Selain menulis Sastra Hijau juga pentas teater, drama, musical show hingga revitalisasi hutan Amazon.
Gerakan Sastra Hijau tidak hanya melibatkan anak-anak sekolah tapi juga anak-anak jalanan. Karya-karya mereka menyentuh kalangan masyarakat maupun penguasa. Mereka bacakan karya-karya mereka di taman, di kantor DPR, di jalan-jalan, di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi dll dengan damai dan indah – padahal mereka sedang demonstrasi. Mereka dibiayai oleh para konglomerat yang pro terhadap misi dan visi Sastra Hijau. Dampaknya, revitalisasi hutan tropis di Brazil lebih baik daripada di Indonesia.
Australia termasuk negara yang peduli akan lingkungannya. Maka posisinya ada di urutan 9 ranking dunia sebagai penyumbang merusak bumi. Seperti kita ketahui bersama Benua Australia penduduk aslinya adalah orang Aborigin yang tipe outdoor people – suka tinggal di luar rumah. Mereka selain suka mengembara memang menyukai hidup dalam dekapan alam langsung tanpa halangan. Karena itu mereka tahu persis bagaimana menjaga alam agar ‘rumahnya’ tidak rusak. Mereka pantang menebang kayu, kecuali kayu yang sudah renta ia potong untuk memberi kesempatan pada batang pohon yang lebih muda tumbuh subur menjulang. Mereka juga merindangkan bumi dengan semak-semak (bush) yang kemudian ditiru kaum pendatang (orang kulit putih) menjadikan dirinya sebagai bushman (manusia yang tinggal di hutan semak dan bergaya hidup sederhana pantang merusak lingkungan). Ini yang membuat alam Australia terjaga. Mereka belajar mencintai bumi seperti yang ditulis dalam lirik puisi-puisi ‘hijau’ karya Henry Lawson (1886-1922) dan puisi karya Banjo Paterson (1864 – 1941) serta karya Dorothea Mackellar (1885-1968). Ketiga penyair ini dianggap sebagai penyair Sastra Hijau yang tidak hanya melegenda di negerinya tapi hingga ke mancanegara. Karya-karya penyair legendaris tersebut menginspirasi generasi penyair berikutnya menulis puisi bertema bush poetry. Untuk membaca bush poetry bisa diakses di www.poetrylibrary.edu.com
Puisi genre bush poetry karya Henry Lawson yang legendaris dan menjadi favorit hingga sekarang berjudul Freedon on the Wallaby, The City Bushman dan Up the Country. Sedangkan karya Banjo Paterson berjudul The Man from Snowy River, Waltzing Matilda dan Clancy of the Overflow. Karya Dorthea Mackellar berjudul My Country. Puisi Walzting Matilda karya Banjo Paterson telah dijadikan lagu kebangsaan, berikut ini teksnya:
Once a jolly swagman camped by a billabong,
Under the shade of a Coolibah tree,
And he sang as he watched and waited till his billy boil,
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
Waltzing Matilda, Waltzing Matilda,
You’ll come a Waltzing Matilda with me,
And he sang as he watched and waited till his billy boil
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
………………..
Down came a jumbuck to drink at that billabong
Up jumped the swagman and grabbed him with glee,
And he sang as he shoved that jumbuck in his tucker bag
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
Waltzing Matilda, Waltzing Matilda,
You’ll come a Waltzing Matilda with me,
And he sang as he shoved that jumbuck in his tucker bag
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
………………..
Up rode the squatter mounted on his thorough-bred
Down came the troopers One Two Three
Whose that jolly jumbuck you’ve got in your tucker bag
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
Waltzing Matilda Waltzing Matilda
You’ll come a Waltzing Matilda with me
Whose that jolly jumbuck you’ve got in your tucker-bag
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
………………….
Up jumped the swagman sprang in to the billabong
You’ll never catch me alive said he,
And his ghost may be heard as you pass by that billabong
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
Waltzing Matilda Waltzing Matilda
You’ll come a Waltzing Matilda with me
And his ghost may be heard as you pass by that billabong
You’ll come a Waltzing Matilda with me.
…………………..
(Sumber: www.imageaustralia.com)
Puisi tersebut di atas yang telah diubah menjadi lagu merupakan kisah gaya hidup di lingkungan bush. Kata ‘bush’ jika diterjemahkan secara harafiah adalah ‘semak-semak’. Kenyataannya, bush Australia tidaklah sekadar semak-semak melainkan hutan ringan khas Australia – antara lain ditumbuhi aneka cemara, pohon gum, tanaman obat, aneka bunga serta aneka ilalang. Lazimnya, di antara bush terdapat sungai-sungai alam berair bening. Bush selain dihuni bushman juga sebagai arena jelajah alam dan berkemah musim panas bagi warga Australia yang umumnya pemuja alam. Pemerintah Australia menghabiskan anggaran besar untuk melestarikan bush yang banyak rusak akibat bushfire (kebakaran akibat naiknya suhu bumi). Bushfire tidak hanya merusak lingkungan tapi juga menimbulkan bencana kematian bagi bushman yang tinggal di rumah kayu atau rumah pohon seperti yang pernah dilakukan Henry Lawson semasa hidupnya. Bencana bushfire pada 17 Agustus 2009 di wilayah Dandenong merupakan bencana bush terbesar di Australia.
Gerakan Sastra Hijau di AS ditandai dengan terbitnya artikel dan novel-novel yang ‘menyuarakan’ alam. Antara lain dipelopori sastrawan dan filsuf Henry David Thoreau (1817 –1862) dan sastrawan William Faulkner (1897-1962). Ratusan artikel karya Thoreau dan novel-novel maupun puisi-puisinya merupakan butir-butir pemikirannya, sikapnya dan perasaannya pada alam. Ia melawan segala bentuk aktivitas yang merusak alam, sekalipun itu untuk pembangunan. Ia tinggal di Walden menempati rumah kayu sangat sederhana yang ia sebut sebagai cabin. Di cabin ini ia ‘melahirkan’ karya fenomenal berjudul Walden: or, Life in the Woods, yang ditulisnya selama sembilan tahun. Bentuknya paduan antara prosa dan puisi, bahkan artikel. Ia sebut karyanya sebagai ‘metafora’ – mengajak manusia hidup dalam keseimbangan: merawat alam dengan segala keindahannya dengan kecintaan yang disiplin untuk mencapai hidup harmonis dalam berbagai aspek. Buku tersebut terbit tahun 1854 sampai sekarang masih relevan dan dijadikan acuan untuk menulis Sastra Hijau.
William Faulkner menulis novel Big Wood, tahun 30-an. Isinya mengecam keserakahan manusia dalam ‘menggali’ alam. Dampaknya tidak hanya mengubah bentuk alam, tapi merusaknya. Ide-ide tentang pelestarian lingkungan yang pernah dicetuskan Thoreau dan Faulkner diadopsi Anne Dillard (April 1945- ) untuk melahirkan novelnya yang berjudul The Living. Novel ini mendapat penghargaan Pulitzer Prize karena dinilai sebagai karya dari pena hijau yang mampu menyelamatkan Planet Bumi. Dillard adalah seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Wesleyan AS selain menulis novel juga menulis puisi dan melukis. Semua karyanya bermisikan ‘hijau’ – seperti semboyan hidupnya: aku hidup bersama sungai dan pohon-pohon. Semboyannya ini mengobarkan spirit para pembaca karyanya untuk peduli pada kebersihan sungai-sungai alam dan melakukan gerakan penghijauan lingkungan.
Amerika Serikat juga punya penyair agung yang diakui sebagai pelopor puisi hijau yang menyuarakan alam. Dialah Emily Dickinson (1830-1886), perempuan lembut berpena ‘api’ dalam mengecam para perusak alam. Sejak ia menggoreskan penanya untuk menulis puisi dalam usia pra-remaja, Emily telah menunjukkan bahwa dirinya adalah sahabat alam, kembaran bumi yang bernafas aroma flora melagukan kidung burung-burung dan kupu-kupu.
Baginya, Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan sumber kekuatan dan telaga inspirasi untuk berkarya.
Hampir setengah abad lamanya ia menulis puisi, tanpa pernah meninggalkan rumah dan kebunnya, membuahkan karya hampir 2000 judul. Karya-karyanya dicatat sejarah sastra Amerika sebagai puisi klasik sepanjang masa.
Puisi-puisi Emily menyuarakan keindahan dan rintihan alam berikut isinya dan keagungan penciptaNya. Nafas-nafas puisi-puisi Emily mengilhami pembacanya untuk mencintai bumi dan isinya, agar bumi tetap eksis dan menjadi ‘rumah’ yang nyaman dan damai bagi semua makluk ciptaannya. Karya-karya Emily tidak hanya dianggap sebagai karya sastra, tapi juga jenius dan futuristik.
Di Inggris, gerakan Sastra Hijau digebrak oleh Brian Clarke (1938 – ), seorang wartawan yang suka ‘memancing perdebatan’ seputar isu pencemaran lingkungan. Selain itu, ia memang hobi memancing sejak kanak-kanak. Ia memancing di laut dan di sungai-sungai besar maupun kecil. Hobinya ini membuatnya akrab dengan sungai. Ini yang mengilhaminya menulis novel berjudul The Stream, yang mendapat penghargaan Natural World Book Prize Britain. Alur novel sangat lugas, menyajikan tentang kisah pilu dan ngenes dampak dari limbah-limbah industri yang mencemari sungai-sungai pengair lahan pertanian. Betapa kejamnya limbah industri. Ia tidak hanya merusak lahan pertanian dan tanamannya. Tapi, juga memunahkan aneka ikan, cacing penyubur tanah, burung-burung pemakan hama padi dan kawanan serangga indah penghias alam. Artinya, juga siap mempunahkan manusia. Novel The Stream benar-benar menantang kita untuk berupaya mengubah limbah industri yang kejam menjadi limbah yang ramah lingkungan.
Sastra Hijau dan Pendidikan Cinta Lingkungan
Sastra Hijau adalah sebuah narasi besar tentang kematian bumi, tidak sekadar karya fantasi – demikian pendapat Carolyn Merchant (1936 – ), seorang Profesor Sejarah Lingkungan, Filsafat dan Etika dari UC Berkeley. Ia juga aktivis ecofeminis. Baginya, bumi adalah perempuan – ibu bagi semua dan segala bentuk makluk yang ada di bumi. Secara metaforis, bumi menyusui semua dan segala bentuk makluk yang ada di bumi. Tapi, makluk-makluk yang ia susui berkhianat padanya, khususnya manusia yang hidupnya hanya berorientasi pada ‘pasar’ (bisnis). Dengan segala upaya manusia pebisnis dengan rakus mengeksploitasi bumi tanpa memikirkan dampak buruknya. Inilah yang perlu diekspose dalam karya-karya sastra hijau bertujuan untuk penyadaran dan pencerahan bahwa bumi itu harus dirawat. Carolyn Merchant mengingatkan para perusak lingkungan hendaknya berhenti ‘memperkosa’ bumi. Ia paparkan berbagai dampak negatif akibat pemerkosaan tersebut dalam bukunya l The Death of Nature terbit tahun 1980.
Kematian bumi sungguh menakutkan. Karya-karya pop yang menyajikan perusakan lingkungan sarat dengan horor dan meneror pembacanya. Tentu hal ini akan berdampak negatif bagi dunia pendidikan: menakutkan dan menimbulkan trauma. Maka perlu selektif dalam memilih bacaan tema Sastra Hijau yang dijadikan sarana pendidikan melalui membaca dan mereview bacaan serta menulis. Ia rekomendasikan Sastra Hijau yang dinafasi kearifan lokal sebagai solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang layak dimasukan dalam pendidikan. Merchant menyebut beberapa novel yang bisa dijadikan bahan ajar. Antara lain Garbage (1992) karya AR Ammons; The Flame Tree (1993) karya Judith Wright; The Farm (1995) karya Wendell Berry dan Dart (2002) karya Alice Oswald. Novel-novel ini ditulis dengan bahasa puitis menghadirkan metafora yang indah, membangkitkan kepekaan terhadap ekosistem.
Perubahan iklim memperparah lingkungan yang telah rusak makin hancur. Kepekaan terhadap ekosistem yang dituangkan dalam tulisan melalui pena, akan menggugah pembacanya untuk mencintai bumi dengan cara masing-masing. Karena yakin, tak seorang pun mau kehilangan bumi. Dalam pendidikan perlu ditanamkan pengertian bahwa ‘bumi adalah rumah kita satu-satunya’. Jika bumi rusak tak ada tempat lain untuk mengungsi atau berimigrasi. Penyadaran ini tak perlu dengan menggunakan diksi yang mengandung ‘kekerasan’. Menulis tentang kerusakan alam bisa menggunakan diksi romantis, puitis digabung dengan narasi ilmiah populer.
Berikut ini kiat-kiat yang bisa dijadikan inspirasi untuk pendidikan menulis prosa maupun menulis puisi dengan genre Sastra Hijau:
Bumi adalah ibu dari semua manusia.
Chief Joseph – Pejuang Suku Indian AS
Bumi tertawa di wajah-wajah bunga.
Ralph Waldo Emerson – Sastrawan Amerika Serikat
Seniman adalah ruang bagi emosi yang tiba dari semua tempat: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang lembut hingga seliat sarang laba-laba.
Pablo Picasso – Pelukis Agung Spanyol
Jiwaku dapat menemukan tangga ke surga, tak ada jalan lain kecuali melalui keindahan bumi.
Michelangelo – Pematung Agung Itali
Hujan adalah rahmat. Hujan lembut turun dari langit, melalui rimbun hijau hutan. Tanpa hujan tidak ada kehidupan.
John Uplike – Sastrawan Amerika Serikat
Tidak ada yang bisa mengalahkan harumnya embun dan bunga. Juga aroma yang diuapkan bumi saat matahari terbenam.
Ethel Waters – Penyanyi Jazz Amerika Serikat
Beethoven dapat mencipta musik, berterima kasih pada Tuhan, ia bisa melakukannya karena ada bumi.
Ludwig van Beethoven – Komponis Musik Klasik Jerman
Jika manusia tidak belajar memperlakukan lautan dan hutan tropis dengan hormat, manusia akan punah.
Peter Benchley – Novelis Amerika Serikat
Kematian hutan adalah akhir dari kehidupan kita.
Dorothy Storey – Aktivis Greenpeace
Air dan udara, di mana kehidupan semua bergantung, tapi keduanya telah menjadi sampah global
Jaques Yves Cousteau – Ahli Kelautan/Purnawirawan AL Perancis
Udara yang kita hirup, air yang kita minum dan tanah tempat tinggal kita tidak hanya merupakan elemen penting dalam kualitas hidup yang kita nikmati – tapi semua itu cerminan keagungan penciptaNya.
Rick Perry – Politisi Amerika Serikat
Ketika sumur kering, kita paham nilai air.
Benyamin Franklin – Negarawan Amerika Serikat
Tanah ini, air ini, udara ini, planet ini adalah warisan untuk anak kita.
Paul Tsongas – Politisi Amerika Serikat
Air, udara dan kebersihan adalah obat yang ada di apotik saya.
Napoleon Bonaparte – Negarawan Perancis
Aktivis penyelamat lingkungan bukanlah orang-orang yang mengatakan sungai itu kotor. Mereka orang-orang yang harus membersihkan sungai.
Ross Perot – Politisi Amerika Serikat
Alam semesta tidak perlu diseleraskan dengan ambisi manusia.
Carl Sagan – Ilmuwan dan Pengarang Fiksi Sains, Amerika Serikat
Selama ratusan tahun kita sudah ‘menaklukkan’ alam. Sekarang kita memukulnya hingga mati. Siapakah kita sebenarnya?
Tom McMillan – Politisi Kanada
Mengapa orang saling memberikan bunga untuk mengekspresikan perasaan cinta? Padahal mereka sedang membunuh makluk lain. Mengapa manusia juga suka membonsai tumbuhan untuk menciptakan keindahan – katanya? Padahal mereka sedang melakukan penyiksaan pada makluk lain.
Anonim
Manusia harus memahami bahwa mengenal bumi berarti mengenal dirinya sendiri. Juga mengenal nilai-nilai kehidupan. Tuhan membuat hidup kita mudah, tapi manusia yang mempersulitnya.
Charles A. Lindberg – Penerbang Amerika Serikat
Ingat, alam tak diam. Ia selalu menyerang kembali. Maka, jangan perlakukan dia dengan tindak kekerasan, untuk mendapatkan kemenangan palsu.
Rene Dubos – Penulis, Pejuang Penyalamat Bumi dan Humanis – Perancis
Planet yang indah, sama sekali tidak rapuh. Tapi manusia yang merapuhkan, tak ubahnya menghancurkan ibu kandungnya.
Michael L. Fisher – Pejuang Penyelamat Lingkungan, Amerika Serikat
Bumi adalah ibu kita, mengapa kita memperkosanya?
William Rickett – Pematung dan Penyair Australia
Air diambil dan diolah tidak marah pada siapa pun. Apa balasan yang kita berikan kepadanya? Ketidakadilan.
Mark Twain – Sastrawan Amerika Serikat
(Sumber Seni Menulis Sastra Hijau)
JURUS MENULIS CERPEN GENRE SASTRA HIJAU
1. Apakah Sastra Hijau? Disebut pula sebagai ekokritisisme (ecocriticism). Yaitu, Konsep kearifan ekologi dipadukan ke dalam karya sastra, demikian pendapat Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm. Sastrawan Indonesia, Ahmad Tohari, menyebut Sastra Hijau sebagai Sastra Imani, yaitu sastra yang mampu meningkatkan kesadaran hidup bergantung pada alam (bumi dan seluruh isinya). Kesimpulannya, Genre Sastra Hijau ditulis untuk melestarikan bumi serta isinya. Khususnya hutan tropis dan lingkungan hidup manusia. Gerakan Sastra Hijau mulai gencar ditulis pada tahun 70-an, di negara-negara yang masyarakatnya peduli lingkungan. Misalnya di Brazil, Australia dan Amerika. Walau sebetulnya, Sastra Hijau telah ditulis sejak puluhan tahun yang lalu di berbagai benua.
2. Mengapa melalui Sastra? Salah satu upaya penyelamatan bumi melalui proses penyadaran bisa dilancarkan melalui gerakan budaya (cultural) terutama dengan memanfaatkan kekuatan sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Kelebihan dan keunggulan sastra, ia memiliki potensi yang ampuh dalam menyadarkan hati nurani manusia sejagat, tanpa harus bernada menggurui atau propaganda yang terlalu bombastis.
3. Apa sumber utama inspirasi untuk menulis Sastra Hijau? Menjadikan Bumi dan isinya sebagai inspirasi, kekaguman dan keprihatinan. Intinya, pemulian, pemulihan, pelestarian (penyatuan antara manusia dan alam serta isinya, didukung kemahaan penciptaNya. Maka tepat bahwa Sastra Hijau mengandung unsur Sastra Profetik, Sastra Kenabian.
4. Bagaimana caranya Sastra Hijau untuk menulis cerita pendek (cerpen)? Tidak ada bedanya dengan menulis cerpen biasanya. Hanya, ruhnya yang warnanya lain, yaitu ruh Sastra Hijau, seperti yang telah dipaparkan pada Butir 1 – 3.
5. Apa standar sebuah cerpen Apa standar sebuah cerpen? Cerpen yang idel mengandung 7 (tujuh) elemen yaitu: Plot, Sudut Pandang (gaya bercerita menggunakan orang pertama, orang kedua atau orang ketiga) , Tokoh (Pelaku), Dialogis (isinya dapat ditangkap pembacanya), Konflik (internal dan external), Setting (tempat dan waktu) dan Mood (suasana hati/atmosfir) Mood (suasana hati/atmosfir)
6. Apa keunikan dari Sastra Hijau? Menulis Sastra Hijau sungguh menarik dan unik, karena pelakunya tidak harus manusia. Semua benda, unsur-unsur semesta atau makluk hidup yang ada di atas bumi bisa dijadikan tokoh. Misalnya, gergaji pemotong kayu, banjir, tsunami, angin, daun, sungai, burung, pohon, tanaman hias dan sebagainya. Setting juga bebas, menggunakan bumi dan lingkupnya. Dapat disimpulkan Sastra Hijau merupakan ‘potret’ lengkap yang melingkupi kehidupan manusia dan seluruh ciptaanNya. Sumber inspirasnya berada di mana-mana, bahkan dalan nafas manusia dan makluk hidup lainnya.
7. Bagaimana soal setting? Setting tempat, gunakan hutan atau lingkungan hidup sekitar kita. Setting waktu, bebas, yang penting logis dan runtut.
8. Apa saja modal yang diperlukan untuk menulis Sastra Hijau? Ide cerita nengacu pada konsep Sastra Hijau, dipadu imajinasi, gunakan diksi sesuaikan dengan konsep Sastra Hijau. Jangan lupa terapkan 7 (tujuh) elemen cerpen. Langkah selanjutnya, mantapkan dalam mengolah konflik hingga menciptakan dramatic art. Usahakan, lakukan inovasi gaya bercerita dan penyajiannya
9. Langkah apa yang perlu dilakukan agar menulis cerpen bisa lancar? Pertama, buat konsep dulu, mengacu pada 7 (tujuh) elemen cerpen. Himpun bahan yang akan ditulis dan renungkan. Jika mengalami kebuntuan, berhenti sejenak atau membaca referensi. Baru, kemudian melanjutkan menulis. Cari waktu yang paling menyenangkan untuk menulis atau menulis pada saat waktu yang Anda anggap produktif, yang disebut jam-jam emas (the golden time).
10. Bagaimana dengan penciptaan judul? Berdasarkan teori creative writing, rumus judul sebagai berikut:
• Harus catchy (menarik,mudah diingat)
• Terdiri 1 – 5 Kata
• Pilih kata-kata yang tepat dan kuat
• Kalau perlu kontroversial
• Bahasa liris dan diksi yang kuat
• Contoh:
• 1. Ode Pohon Desa (karya Fahrul Khakim)
• 2. Nyanyian Meranti Merah (karya Sulfiza Ariska)
• 3. Serpih Randu (karya Ghirah Madani)
• 4. Gemerlap Lubang Lubang Gelap (karya Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy)
11. Apa bedanya judul dengan kalimat? Kalimat adalah kumpulan kata yang mengandung 1 (satu) makna. Sedangkan judul, bisa terdiri dari satu kata atau lebih dari satu kata, mengandung multimakna.
12. Unsur apa saja yang harus dihindari agar cerpen yang kita tulis menarik?
• Cerita tidak bertele-tele
• Materi cerita bukan jiplakan atau mengekor yang sudah ada (sebaiknya original)
• Alur tidak acak-acakan (buat mengalir atau disebut flowing)
• Isi tidak menggurui
• Tidak banyak menggunakan jargon atau istilah-istilah asing
• Tidak ditulis dengan kalimat panjang (kalimat yang ideal 8 – 12 kata)
• Teliti dalam penggunaan tanda baca
13. Tips memenangi Lomba Menulis Cerpen antara lain:
• Baca teliti pengumumannya dan laksanakan persyaratan yang ditetapkan
• Persiapkan materi cerita yang akan ditulis
• Ciptakan cerita karya asli, menarik, memberi pencerahan dan inovatif
• Tidak menjiplak karya orang lain
• Kirimkan naskah cerita Anda jauh waktu sebelum deadline/penutupan lomba, dengan penuh percaya diri
• Hindari menghubungi panitia
• Tanamkan prinsip: Kalah dan menang bukan tujuan utama. Melainkan, berkarya untuk pencerahan dan pelestarian bumi sebagai karya sastra dan beribadah.
Selamat berkarya dan berprestasi. Salam Sastra Hijau.
Daftar Pusaka
Ahmad Tohari. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta, Gramedia, 2013
Buell, Lawrence. The Environmental Imagination: Thoreau, Nature Writing and the Formation of American Culture. Cambridge, MA and London, England: Harvard University Press, 1995.
Coupe, Laurence, ed. The Green Studies Reader: From Romanticism to Ecocriticism. London: Routledge, 2000.
Larson, C.R & Rubenstein, R. Worlds of Fiction. New York: Macmilan Publishing Company, 1993.
Phililips, Dana. The Truth of Ecology: Nature, Culture and Literature in America. Oxford: Oxford University Press, 2003
Pranoto, Naning, Sides Sudyarto DS dan Soesi Sastro. Seni Menulis Sastra Hijau. Bogor: Rayakultura Press, 2013
Pranoto, Naning. Creative Writing: Jurus Menulis Cerita Pendek. Bogor: Rayakultura Press, 2007
Rueckert, William. “Literature and Ecologi: An Experiment in Ecocriticism” Iowa Review 9.I (1978): 71 – 86