Kultura & Sastra

SASTRA, POLITIK DAN KUASA

Oleh Sides Sudyarto DS

Satu di antara banyak karya Friedrich Nietzsche berjudul Der Wille zur Macht yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Walter Kaufmann dan R.J. Holingdale, menjadi The Will to Power. Sebelumnya, Nietzsche sudah mendapatkan inspirasi dari karya Arthur Schopenhauer, mengenai konsep tentang the will to life. Schopenhauer, yang menulis satu generasi sebelum Nietzsche, menjelskan bahwa alam semesta beserta seluruh isinya ini digerakkan oleh hasrat untuk hidup. Hasrat itulah yang terdapat pada semua makhluk hidup untuk menolak kematian. Dan:  menghasilkan ciptaan yang bermakna.

Selain itu Nietzsche juga membaca  buku karya Albert Lange yang berjudul Geschichte des Materialismus (History of Materialism) yang terbit tahun 1865. Nietzsche membaca buku itu pada tahun 1866.  Pada awal tahun 1872 Nietzsche mempelajari buku Boscovitch yang berjudul Theoria Philosophia Naturalis. Nietzsche mulai berbicara tentang desire for power (Machtgelust) dalam tulisannya hang berjudul  The Wanderer and his Shadow (1880) dan Daybreak (1881).

Dalam tulisan itu, Machtgelust dimaknakan sebagai “the pleasure of the feeling of power and the hunger to   to over power. Alkisah, terbitlah  karya Wilhelm Roux, The Struggle of Parts in the Organism (Der Kamf der Theile im Organismus), pada tahun 1881. Nietzsche membacanya pada tahun itu juga. Buku itu merupakan tanggapan terhadap teori Darwinian. Tujuannya menawarkan teori evolusi yang berbeda dari Charles Darwin. Roux adalah mahasiswa dari dan terpengaruh oleh pemikir terkenal Ernst Haeckel, yang meyakini bahwa perjuangan untuk hidup sudah dimulai pada taraf cellular.

Nietzsche mulai mengembangkan konsep Machtgelust dalam tulisanntya, The Gay of Science (1882). Dalam bagian tulisannya yang berjudul “On the Doctrine of the feeling of power” ia menghubungkan kehendak atau hasrat untuk kekejaman dengan feeling of power. Dalam The Gay of Science Nietzsche banyak menekankan bahwa hanya pada makhluk intelektual terdapat pleasure, displeasure, dan hasrat.

Tahun 1883 Nietzsche mengukuhkan konsep The Will to Power (Wille zur Macht) dalam karyanya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra. Kini konsep itu tidak lagi terbatas hanya berlaku terhadap segala makhluk intelektual, tetapi juga berlaku pada semua makhluk hidup. Selalu ada the will to power di mana ada kehidupan. Sehingga, Nietzsche pun  sampai kepada pernyataan bahwa “world is the will to power – and nothing beside”.

Setelah melewati proses bertahap, konsep Shopenhauer “will to live” menjadi jauh tertinggal dibanding konsep Nietzsche “The Will to Power”. Menurut Nietzsche Shopenhauer tidak mengerti sejatinya apa itu the will to power, sebab Schopenhauer hanya mendengar dari orang lain saja. Hasrat untuk Berkuasa, kata Nietzsche, jauh lebih kuat dibanding the will to life. Tanpa the will to power manusia bukan apa-apa lagi.

Gejala-gejala harus dicari, jika orang akan menerima atau membenarkan konsep Nietzsche itu. Misalnya kera  raja yang selama ini menguasai areal tertentu dan sebagai penguasa sekian banyak betina, harus menyingkir setelah ia tua dan jompo. Peran dan kedudukannya digantikan secara paksa oleh kera yang masih muda dan paling perkasa di antara komunitasnya. Kita juga bisa melihat bahwa seseorang yang bukan polisi bukan juga petugas pengatur lalu lintas, bertindak atas kemauannya sendiri dan dengan peluit mengatur lalu lintas. Seringkali ia tidak digubris, uang pun nyaris kosong. Tetapi ia terus melakukan “tugas” itu karena the will to power-nya belum terpenubi.

Ketika terbetik berita seekor buaya akan makan seekor cicak, tampaknya orang tidak perlu terkejut. Sebab siapa yang besar akan merasa harus makan yang kecil. Celakanya, hasrat atau the will itu tidak bisa dibantah dan selalu menuntut pemenuhan tanpa ada titik jenuhnya. Contohnya, ketika Orba melalap Orla, kekuasaan tidak pernah dilepaskan sejauh masih bisa dipertahankan. Orba menumpas Orla dengan power dan demi power. Bahwa kekuasaan Orba bisa mencapai 32 tahun itu mebuktikan secara gamblang bahwa setiap kali hasrat dipenuhi, ia tidak akan ada puasnya. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya: Semakin hasrat dipenuhi, semakin haus dan lapar kuasa.

POLITIK

Politik adalah bidang yang paling dekat dengan masalah kekuasaan. Berpolitik berarti berjuang untuk menuju atau mencapai atau menguasai kekuasaan. Ada ejekan dari kaum awam, bahwa politik itu jahat. Siapa bilang? Ibarat senapan, bisa digunakan untuk membela kebenaran di tangan pahlawan, bisa juga jadi alat kejahatan di tangan kawanan penjahat. Ilmu ekonomi juga bisa jahat. Jika digunakan untuk menguras triliyunan uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Anehnya ada satu masa di mana sastra dan sastrawan disarankan mejauhi politik. Kalau begitu siapakah, pihak manakah, yang boleh berpolitik? Apakah politik hanya monopoli para politisi? Sastra dan sastrawan memang boleh memilih: Melek politik atau jadi korban politik? Anehnya pula semakin lama semakin banyak pengarang (sastrawan) yang beringsut menjauhi politik. Memang ada yang diuntungkan jika sastra mandul politik: Ia tidak akan mengganggu orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan politiknya.

Seharusnya kita melemparkan pandangan keluar sebagai perbandingan. Misalnya ke Amerika Latin. Bangsa-bangsa Amerika Latin umumnya terjajah oleh bangsa Latin. Ada yang dijajah Prancis, Spanyol ada juga yang dijajah Portugis. Tetapi Amerika Latin tidak menjadi duplikat atau pengekor Eropa. Mereka memilih nasionalisme yang berakar pada budaya sendiri. Bangsa-bangsa itu lebih memilih realisme magis (magic realism) ketimbang menjadi budak peniru Barat. Itu semua karena intelektual Amerika Latin sangat paham politik.

Sastrawan, juga seniman lain di sana, tidak canggung dan malu berpolitik. Kebanyakan sastrawa Amerika Latin adalah politikus bahkan negarawan. Sebut saja beberapa nama. Pablo  Neruda adalah seorang penyair kuat dan mashur pada zamannya. Tetapi Neruda sekaligus juga seorang politisi, diplomat. Neruda yang bernama asli Ricardo Neftali Reyes Basoalto itu menulis banyak karya. Satu buku puisinya berjudul Nyanyian Revolusi. Neruda menerima hadiah Nobel untuk sastra pada tahun 1971. Mengenai perjalanannya menempuh rel sastra dan politik sekaligus, Neruda mengatakan, “Saya tidak pernah berpikir hidup saya akn terbelah antara puisi dan politik.”

Pablo Neruda sebagai politikus tidak kepalang tanggung, ia maju dalam pencalonan presiden. Namun kemudian ia mundur untuk memberikan dukungan kepada temannya, Salvador Allende. Tetapi sayang sebagai presiden Allende dibantai oleh senjata otomatis militer dalam satu kudeta berdarah. Allende tewas dengan kepala terbelah bagai buah semangka, tetapi di tangannya sepucuk sejata erat tergenggam. Itu pertanda, ia melawan hingga titik darah penghabisan.

Octavia Paz, pemenang Hadiah Nobel untuk sastra (1990) dari Mexico, juga seorang insan politik. Sebagai diplomat ia pernah memangku jabatan duta besar untuk India. Pada suatu hari terjadi demonstrasi mahasiswa yang dihadapi pemerintah dengan kekerasan senapan. Darah pun mengalir. Octavia Paz melancarkan protes keras. Ia pilih mundur, meletakkan jabatannya sebagai duta besar.

Pemenang Nobel Sastra tahun 1982, Gabriel Garcia Marquez, lain  lagi. Ia tidak terjun ke politik sebagai diplomat. Tetapi ia dipercaya menjadi penasihat tujuh presiden di Amerika Latin. Jika Marquez datang berkunjung ke Havana, ia hanya memakai celana pendek dan Catro pun menyambutnya dengan celana pendek juga. Marquez dan Castro sering mancing bersama.

Guillermo Cabrera Infante, seniman Cuba, adalah kawan seperjuangan Fidel Castro, pada mulanya. Ia sebagai seniman sekalis politikus radikal. Dengan kemenangan Castro, ia pun  dapat bagian jabatan. Tetapi ia kecewa dengan hasil revolusi Cuba. Setelah Castro naik panggung kekuasaan, ternyata demokrasi lenyap dari daratan Cuba. Ketika Castro kampanye pendidikan membaca untuk anak-anak, Infante pun berucap: Buat apa anak-anak diajari membaca, kalau kemudian orang dilarang menulis?

Pujangga dari Peru, Mario Vargas Llosa, adalah juga seorang politikus terkemuka. Tidak kepalang tanggung, ia pun menjadi calon presiden yang diajukan partainya. Tetapi ternyata ia dikalahkan oleh calon lain, Alberto Fujimori, warga negara berdarah Jepang. Tentunya kita juga tidak melupakan Jean Paul Sartre, seorang sastrawan sekaligus seorang teoritisi, kritikus, filsuf dan pada waktu yang sama ia adalah seorang intelektual Prancis yang paling tenar di seantero jagat raya.

SOAL ANGKATAN

Istilah angkatan sebaiknya untuk kalangan militer saja: Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara. Untuk seluruhnya, disebut Angkatan Bersenjata. Kita tidak menggunakan istilah Angkatan Perang, sebab bangsa kita ini konon tidak suka berperang. Jepang malah menggunakan istilah Angkatan Bela Diri. Mengapa H.B. Jassin menggunakan nama Angkatan ‘66? Mungkin karena di Negeri Belanda ada Angkatan ’80.

Sastrawan tidak memerlukan nama atau istilah angkatan. Sebab sastrawan memang tidak termasuk angkatan mana pun. Bagaimana dengan sebutan Angkatan ’45? Itu lebih tepat digunakan untuk kalangan pejuang yang berperang pada tahun ‘45, dengan semangat ’45, yang berkorban demi kemerdekaan 1945. Kita sebut beberapa nama dari yang disebut Angkatan ‘45: Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Sitor Situmorang. Dalam pikiran dan karya mereka tidak pernah sama atau seragam. Kalau tidak ada kesamaan satu sama lain, tidak ada keseragaman, mengapa diberi nama angkatan untuk kalangan sastrawan?

Bagi mereka yang setuju penggunaan kata angkatan, berdalih, bahwa satu era tertentu diwarnai oleh latar situasi dan kondisi tertentu. Misalnya, tumbangnya satu regim tertentu dan lahirnya regim baru tertentu. Lo! Lalu apa hubungannya antara sastrawan dengan perubahan situasi dan kondisi tertentu itu? Ternyata, para sastrawan bukanlah bagian dari kekuasaan. Ekstremnya: sastrawan bukan penguasa atau kekuasaan yang berubah atau  bergangti-ganti itu.

Untuk mengatakan sastrawan ikut punya andil dalam perubahan seperti yang dimaksud HB Jassin, kita tentunya terlalu rasional untuk mendukung klaim seperti itu. Sastrawan hendaknya seperti seorang intelektual yang tugas pokoknya adalah: Menyatakan kebenaran di hadapan penguasa. To tell the truth!

KESIMPULAN

Sastrawan boleh juga merangkap jadi politikus. Sastra bisa saja bersenyawa dengan politik untuk mencapai tujuannya. Bayangkanlah, seandainya Pramudya Ananta Toer tidak berpolitik. Seandainya karya-karya besar Pram minus politik, ia akan berubah jadi sampah yang hanya pantas dicemoohkan dan dilempar ke laut. Berpolitik merupakan jalan dan cara perjuangan hidup. Berpolitik juga merupakan bagian dari the will to power, yang tanpa itu manusia bukan apa-apa lagi. Mari kita lupakan soal angkatan dalam sastra, sebab itu hanya mwerupakan jejak langkah pihak-pihak yang suka meniru Belanda (Blandis), kalau bukan orang yang tersesat karena kedunguan yang tidak termaafkan. ***

Tags

Related Articles

One Comment

  1. The will of power menurut F.Nietzsche, barangkali hanya, dapat ditujukan pada makhluk, binatang dan tumbuh2an. Karena manusia tidak hanya, ada hasrat kuat untuk hidup, tapi lebih dari itu, manusia diberi akal pikiran dan emosi, oleh Tuhannya berfikir the will to change untuk berjuang menuntut perubahan dalam hidupnya. Cuma sayang di Indonesia, rupanya, makna perubahan hanya bisa dicapai dengan politik, sehingga segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan. akibatnya, etika, moral, nasonalisme tersungkur akibat ditelan oleh perubahan itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close