SAYU::Emosi, Imajinasi Dalam FIKSI KORRIE
Oleh Naning Pranoto
Korrie Layun Rampan adalah sosok pribadi penulis fiksi yang sangat peka, penuh perasaan, lembut hati sekaligus suka mengalah. Sayangnya, ia pun seorang peragu dalam mengambil keputusan. Kesan-kesan seperti itu sulit dihindari, bila orang suka membaca karya-karyanya, termasuk “Sayu” – sebuah kumpulan cerpennya yang diterbitkan Grasindo akhir tahun lalu dan beredar tahun 2005 ini.
“Sayu” (Grasindo, 2004) mengandung 14 cerpen, mayoritas berisikan kisah cinta (orang muda). Ke 14 ini pernah dimuat di berbagai media (p.129) Ini bisa dipahami karena karya-karya itu ditulis pada saat Korrie memang masih muda (tahun 70-an). Kisah-kisah yang ia tulis setelah tahun 70-an, setelah ia lebih dewasa dalam usia maupun pengalaman, berbicara lain di dalam karya-karyanya . Khususnya dua cerpen yang dimuat di Majalah Horison tahun 1981, yaitu “Perjalanan Hitam” (p.94-102) dan “Mual” (p.103-108) dan cerpen-cerpen lainnya yang dipublikasi oleh berbagai media tahun 2003. ‘Berbicara lain’ di sini adalah: ada kematangan, pertimbangan, lebih rasional dan kritis terhadap masalah-masalah sosial.
Mengapa “Sayu” yang judul sebuah cerpen ia pilih menjadi judul buku ini? Tentunya ia punya alasan tersendiri. Mungkin “Sayu” adalah karya favoritnya, kalau bukan ‘master piecenya’. “Sayu” (p.46-55) berkisah tentang cinta-segitiga. Seorang lelaki – sebagai tokoh aku dalam cerita ini adalah seorang bapak muda dengan dua anak – hidup menduda. Istrinya, Indri, sudah almarhumah. Lelaki ini jatuh cinta kepada Sri Hartini. Namun ia mendorong kekasihnya ini untuk menghindarinya dan tidak menikah dengannya. Alasannya, mencegah agar kelak Sri tidak menyesal. Aneh. Sebab, Sri siap menikah dengan (lelaki itu) segala risiko termasuk siap jadi ibu tiri dan dimusuhi keluarganya (khususnya ayahnya yang militer).
Keputusan akhir? Di sinilah lelaki itu – Sang Aku fiksi tampak sangat ragu. Dan, keputusan jadi tidak perlu. Sebab kisah ini hanya terjadi dalam halusinasi yang menimpa Sang Aku yang sedang meringkuk di sanatorium. Inilah semacam fiksi dalam fiksi atau imajinasi di atas imajinasi.
Seiring dengan perkembangan pribadi penulis, terjadi juga perkembangan dalam karya-karyanya. Karya yang ia tulis di bawah judul “Jantur Mapan” yang pernah dimuat di Koran Tempo (p.1-12) tidak lagi bertutur sekadar tentang cinta tapi sudah bicara soal tema social (antara lain Tragedi Mei 1998, women-trafficking/penjualan perempuan untuk dijadikan budak nafsu seks, penebangan hutan dan penyelundupan kayu gelondong ke luar negeri, pelanggaran norma-norma adat-istiadat). Begitu pula cerpen “Mual” (p.103-108) mengandung nilai-nilai social.
Korrie yang kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, suka sekali menjadikan daerahnya sebagai wilayah setting karya-karyanya. Sayangnya, setting tersebut tidak terlalu digali/paparkan, sehingga bagi pembaca yang kurang memperhatikan wilayah Indonesia bagian timur, khususnya Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur akan mengerutkan kening (di mana ya tempat ini – setting cerita ini?) – misalnya dalam cerpen “Danau Jawiq” (p.109-118) dan “Melak” (p.119-128). Para pelakunya yang umumnya dari Kalimantan Timur (Dayak) – dalam dialognya juga tidak mencetuskan kosa-kosa kata dan dialek bahasa Dayak. Sehingga tokoh yang ada, baik orang Dayak, Bali, Jawa bahasanya seragam. Tidak ada ciri khasnya. Padahal bila segi ini digarap, maka akan memberi ‘ekstra ruh’ pada karya-karya Korrie. Pembaca akan tahu atau mengenal sosok orang Dayak, tidak hanya sekadar namanya, tetapi juga ciri khas dialognya, paling tidak aklamasinya – misalnya orang Batak dikenal dengan aklamasinya ‘bah’-nya, orang Sunda punya aklamasi ‘mah/saya mah…’ (atau tidak bisa melafalkan huruf ‘f’ – ‘f’ menjadi ‘p’ , orang Jawa punya ciri khas mengucapkan kata ‘tidak’ menjadi ‘ndak’, orang Jakarta akan berkata ‘nggak’ untuk kata ‘tidak’ dsb. Meskipun demikian, bila dikaji dari segi bahasa Indonesia standar bahasa yang dipergunakan Korrie bertutur adalah bahasa Indonesia yang baik, ekspresi sastranya terasa. Bahkan bila dikaji dari segi creative-writing, gaya bahasa Korrie cukup feminine, lembut. Ia tidak memilih kata-kata kasar sekalipun untuk menghardik atau mengungkapkan kekecewaannya. Contoh, ini dapat ditemukan dalam cerpennya yang berjudul “Sahabat Pena” (p.13-21) dan “Jakarta” (p.87-93).
Di sisi lain, dari cerpen-cerpen karya Korrie yang dihimpun dalam “Sayu” ini, menyiratkan bahwa Korrie adalah seorang lelaki feminis dalam arti menghargai harkat perempuan seperti yang terlukis dalam cerpennya yang berjudul “Danau Jawiq” (p.109-118), yang menceritakan tentang kisah hidup Raymana yang gigih sebagai pekebun rotan tetapi perkawinannya begitu kelam diwarnai dengan pembunuhan berantai yang mengerikan.
Dalam “Sayu” Korrie juga menyiratkan bahwa tokohnya (Sang Aku) memuja perempuan yang punya prinsip, cerdas (suka menuntut ilmu) dan suka bekerja dan setia. Hal ini juga tersirat dalam cerpennya yang berjudul “Pasar Lama” (p.22-29) . Walau pemujaan Korrie amat tersamar ataumemang ia ragu-ragu dalam mengungkapkannya. Bisa juga, karena ia ingin berhemat kalimat, mengingat cerpen untuk dimuat di media-cetak dibatasi halamannya (jumlah katanya).
Cerpen-cerpen Korrie yang ditulis tahun 70-an banyak menggunakan karya orang lain (puisi), untuk mengekspresikan keromantisan tokoh-tokohnya. Misalnya dalam cerpennya yang berjudul “Sayu” (p.54), Korrie mengutip karya Asri Rosdi. Dalam cerpennya yang berjudul “Buku Harian Kekasih” (p.56-71) Korrie mengutip puisi karya Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar dan Leon Agusta. Saya menduga, Korrie mengutip puisi-puisi itu bukan karena ia tidak mampu menulis puisi sendiri, melainkan kerendahan hati (solidaritas) terhadap karya orang lain, juga ekspresi persahabatannya (kedekatan hati) dengan para penyair itu. Hal itu juga terekspresi dalam cerpen Korrie yang berjudul “Perjalanan Hitam” yang juga menyebut-nyebut nama sederet penyair maupun sastrawan yang karya-karyanya sering dimuat di Majalah Horison (p. 100).
Demikian kesan yang saya serap dari “Sayu” – Kumpulan Cerita Pendek karya Korrie Layun Rampan, yang diterbitkan oleh Grasindo – Gramedia Grup