Creative Writing

SEKILAS: MERANCANG NOVEL

Oleh Naning Pranoto

Cukup banyak orang yang mengatakan kepada saya demikian,  “Saya ingin menulis novel, tapi tidak pernah selesai!” Alasannya?  Bermacam-macam,  yang paling banyak mengatakan: mentok, buntu, sehingga sulit untuk diselesaikan.

Kasus ‘mentok’ dan ‘buntu’  untuk menyelesaikan sebuah novel tidak hanya dialami oleh pengarang pemula, tapi juga pengarang senior. Penyebab utamanya sangat mungkin karena si Pengarang tidak melakukan persiapan matang sebelum menulis. Bahkan tidak sedikit pengarang yang mengaku menulis dengan proses ‘seadanya’.

“Kalau saya mengarang ya langsung ngarang saja, tidak usah pakai teori dan persiapan. Malah nggak bisa kalau diatur-atur!” demikian antara lain pernyataan yang pernah diungkapkan cerpenis Hamsad Rangkuti kepada penulis.

“Saya harus mempersiapkan segalanya sebaik mungkin, sebelum menulis novel. Termasuk mendaftar nama-nama pelaku, lengkap dengan karakternya. Bahkan dengan kostumnya dan sebagainya…! Semuanya itu saya tempel di kamar kerja.”  Kata Fira Basuki, yang sukses menulis novel trilogi: Atap, Pintu dan Jendela.

Lalu, siapakah yang benar: Hamsad Rangkuti atau Fira Basuki? Jawabannya,  keduanya benar. Sebab, masing-masing pengarang punya cara berbeda dalam berkarya. Tapi, jika mengikuti teori creative writing, seorang pengarang akan bisa menghasilkan karya fiksi yang optimal, khususnya novel, harus membuat rancangan lebih dahulu sebelum menulis.

Dari Tidak Ada Menjadi Ada

Menulis adalah pekerjaan mencipta – dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada.  Ada yang mengatakan menulis cerita pendek lebih mudah dibandingkan dengan menulis novel. Tapi, penulis beranggapan baik menulis cerita pendek maupun menulis novel adalah sama sulitnya. Tapi tingkat kesulitan itu bisa berkurang jika sebelum menulis melakukan persiapan lebih dahulu.

Menurut Marks Haris da;am bukunya yang berjudul The Design of Fiction, persiapan yang utama adalah pengadaan materi cerita. Materi ini untuk mewujudkan yang semula tidak ada, menjadi ada. Menurutnya, materi yang terbaik adalah bersumber dari hal-hal yang nyata (realis) dipadu dengan daya khayal  tidak lebih dari 30%. Hal-hal yang nyata itu terjadi di sekitar kita atau pengalaman sendiri, kemudian difiksikan melalui proses kreatif.  Setting tempat, sebaiknya diambil dari fakta yang ada sebagai daya tarik yang bersifat mengajak pembaca berwisata.

Masing-masing pengarang punya daya kreativitas yang berbeda. Itu, tergantung pada: (1) Daya Imajinasi; (2) Wawasan budaya, lingkungan dan akademis; (3) Kepekaan dalam menangkap keinginan pembaca; (4) Mengatur ego dan (5) Banyaknya bacaan/referensi. Sehingga si Pengarang akan mampu menciptakan sesuatu yang semula tidak ada, menjadi ada.

Bahasa dan Gaya Bercerita

Bahasa merupakan persiapan yang tidak bisa diabaikan bagi seorang pengarang yang benar-benar ingin menulis dengan sebaik-baiknya. Kemudian, bahasa tersebut diimbangi dengan gaya bercerita yang mengalir bening. Keduanya jika sejalan serasi, maka bak alunan musik yang merdu.

Bahasa yang ideal untuk menulis novel adalah bahasa yang bersifat literer sebagai narasi. Untuk dialog, tergantung latar belakang  suku/ras maupun budaya tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Untuk menyusun dialog yang pas, perlu dipersiapkan  kekayaan dialek bahasa yang digunakan oleh para tokoh cerita. Sehingga dialog yang ada menarik pembaca dengan adanya ‘alih kode’ yang luwes.

Sebagai contoh, novel saya yang berjudul Mumi Beraroma Minyak Wangi (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Scented Mummy) menggunakan ‘alih kode’ bahasa Indonesia campuran: Jawa, Sunda, Madura, Inggris dan Belanda. Untuk menulis novel itu penulis menggunakan kamus Inggris dan Belanda. Sedangkan bahasa Jawa, Sunda dan  Madura memang penulis kuasai. Sedangkan ke tiga novel penulis lainnya Miss LuNaga Hong Kong dan Ketika Musim Semi Lupa Singgah di Shizi menggunakan ‘alih kode’: bahasa Indonesia, Jawa, Inggris dan Cina.  Untuk menghindari kesalahan tulis, beberapa kamus disiapkan untuk ‘contekan’.

Aroma Keringat dan Monster

Persiapan lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah tokoh-tokoh yang akan ditampilkan dalam cerita. “Biasanya, saya menciptakan tokoh  untuk novel saya selain sosoknya juga faktor lainnya – misalnya aroma keringat tokoh tersebut.” Kata Ayu Utami, ketika menuturkan proses kreatifnya kepada penulis. Dengan demikian, tokoh ciptaan Ayu Utami terasa benar-benar ‘hidup’. Demikian juga tokoh-tokoh yang diciptakan Fira Basuki, seperti yang telah dipaparkan pada awal tulisan ini.

Sedangkan Stephen King, pengarang  AS  penulis novel bergrenre gotic  mempersiapkan tokoh-tokoh ciptaannya dengan apik. “Mula-mula si tokoh saya beri watak simpatik untuk menarik pembaca, kemudian berubah menjadi monster,” tuturnya. Perwatakan itu ia pelajari dari orang-orang sekitarnya, yang juga merupakan sumber cerita. “Cerita itu dihidupkan oleh para tokoh yang berkarakter kuat. Tanpa itu, cerita akan mati dan tidak diminati pembaca.” Tegas Stephen King.

Ketahanan Duduk dan Berkhayal

Untuk menulis novel diperlukan tubuh yang sehat, agar tahan duduk dalam waktu berjam-jam dengan tenang dalam arti tetap mampu berkhayal. Selain tempat duduk nyaman dan peralatan menulis yang layak, seorang pengarang tahan duduk dalam jangka lama karena ditopang spirit. Faktor ini yang kurang diperhatikan, maka tidak jarang seorang pengarang gagal menyelesaikan karyanya karena padamnya spirit.

“Untuk menghasilkan karya, seorang pengarang tidak cukup mahir berimajinasi, tetapi perlu memiliki semangat yang terus berkobar – yaitu api ambisi berkarya.” Tegas Susan Sontag, sastrawati AS.

Rasa pesimistis karena memikirkan sulitnya menerbitkan karya, akan mematikan kreativitas pengarang. Untuk menghindari ‘matinya’ kreativitas,  pada saat sedang mengarang tidak perlu memikirkan dulu siapa yang akan menerbitkan karyanya. Melainkan berpikir, “Karya yang kutulis harus selesai tuntas!”

Dalam   merancang novel, seorang pengarang sejak awal harus sudah memikirkan kira-kira berapa halaman tebalnya dan terdiri dari berapa bab? Ini direncanakan ketika membuat plot cerita. Juga tentukan, kapan selesainya antara menulis dan editing? Buat deadline atau batas waktu yang ketat, agar novel yang ditulisnya selesai.

Untuk menghindari kejenuhan menulis, hirup udara segar dan  dengarkan alunan musik yang lembut manis. Lakukan break dalam waktu tertentu untuk senam ringan dan menjerihkan mata dari silaunya layar komputer.

Selamat berkarya!

Tags

Related Articles

4 Comments

  1. Sepertinya hal yang paling dominan menjadi rintangan, terutama untuk para penulis pemula, adalah poin terakhir. Semangat sering mengendur di tengah perjalanan. Maka untuk para penulis yang terbiasa seperti itu harus kembali meluruskan niat. Sebenarnya apa niatnya dengan tulisan yang mulai dikerjakan? Apakah ‘greget’ yang muncul sesaat dan akan kembali hilang setelah menyelesaikan tulisan yang baru beberapa lembar ataui larik saja, atau memang niat untuk menyelesaikan sebuah novel. Seorang penulis yang pintar tentu mempunyai trik untuk menghadapi permasalahan ‘greget’ yang munculnya hanya sebentar-sebentar. Misalnya ‘greget’ untuk menulis novel itu muncul saat membaca tulisan seseorang, maka penulis harus menjaga gregetnya dengan terus ‘bersetubuh’ dengan tulisan sumber ‘greget’ itu, atau tulisan lain dengan aroma yang sama. Luruskan niat untuk membuat tulisan, bukan sekedar mengikuti ‘hawaq nafsu’.
    Terima kasih, salam sastra.

  2. Bagaimana caranya mendaftar? apa-apa saja yang harus disebutkan untuk daftar lewat emailnya? terima kasih..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku