Creative WritingWawancara

SOKAT RACHMAN : KISAH GAIRAH SEBUAH PENA JAWARA

Blogger, Penulis Cerita dan Penulis Ribuan Skenario

Nil volentibus arduum

Bagi mereka yang sungguh berusaha tidak ada yang terlalu sulit

(Horat, Penulis Satire dari Roma, 65-8 SM)

SOKAT RACHMAN
SOKAT RACHMAN

Quote klasik tersebut di atas sangat pas untuk menggambarkan sosok Sokat Rachman dalam berusaha menjadikan dirinya sebagai penulis komplit yang mumpuni. Karena ia punya gairah yang terus menyala untuk belajar sepanjang hidup. Maka tak heran apabila ia menjadi ‘pemenang’ – karena mampu membuktikan bahwa stigma menjadi penulis di Indonesia itu miskin adalah tidak benar. Sebagai penulis lepas ia survive, bahkan punya waktu berbagi ilmu tanpa minta imbalan. Ribuan skenario telah ditulisnya untuk sinetron dan beberapa skenario untuk film hingga ia meraih beberapa penghargaan. Karirnya dimulai dari menulis cerita anak yang dimuat di sebuah majalah anak terkemuka tahun 2004. Pecah telur! Itu yang membuatnya mantap memilih profesi sebagai penulis.

Berikut ini wawancara kami dengan Sokat Rachman yang memaparkan perjuangannya dalam mendaki profesinya yang dilandasi gemar membaca sejak masa kanak-kanak.

Anda mantap memilih profesi sebagai penulis apa karena Anda berlatar belakang pendidikan formal Sastra Inggris?

Jawab:

Bukan, Sastra Inggris justru saya raih baru pada 2016.

Saya memutuskan untuk menulis itu sekitar tahun 2004, saat pertama kali cerpen anak saya dimuat pada Majalah Bobo.

Sejak itu saya menulis cerpen untuk Bobo, Kawanku, Girls, dan Annida.

Awalnya, sejak SD kelas 5, saya sudah baca banyak buku cerita yang ada di perpustakaan keliling yang selalu datang tiap hari Kamis di dekat rumah saya.

Membaca jadi kebiasaan, sehingga pada tahun 2003, saya merasa bikin cerpen anak yang sesuai dengan kebutuhan majalah, maka saya pun menuliskan beberapa cerpen anak, sampai akhirnya ada satu cerpen anak yang lolos dimuat majalah Bobo.

Itulah menjadi loncatan saya ke dunia kepenulisan, setelah sekian tahun hanya membaca saja.

Saat itu saya masih bekerja, sebagai staf logistik sebuah perusahaan distributor Farmasi.

Setelah menulis cerpen di beberapa majalah, ada ajakan untuk menulis skenario di tahun 2005. Saat itu juga saya memutuskan berhenti kerja dan menulis skenario.

Karena saat pertama menulis skenario hanya sebagai co-writer, dan saya merasa ada banyak ketidaktahuan yang tidak bisa terjawab, maka saya memutuskan berhenti jadi co-writer dan mengikuti kursus sinematografi plus di Pusat Perfilman Usmar Ismail, selama setahun dan saya mengambil jurusan Penulisan Skenario Film Cerita yang lulus pada 2006.

Selepas kursus, saya mencari peluang menulis skenario lagi dan mendapatkan kesempatan itu dengan bergabung pada Sutradara Aris Nugraha (kreator Sinetron Bajaj Bajuri dan Preman Pensiun).

Bersama beliau saya belajar menulis skenario untuk komedi situasi sambil mengerjakan program televisi yang ada sampai terakhir menulis serial Tukang Ojek Pengkolan (TOP), lalu bergabung dengan Pak Deddy Mizwar dan menulis sintron Para Pencari Tuhan jilid 8 (2018) serta FTV Sinema Wajah Indonesia, yang membuat saya masuk nominasi penulis sinetron terpuji Festival Film Bandung ke-32 pada 2019.

Jadi, bukan akademik yang membuat saya memutuskan untuk menulis, tapi kebiasaan baca sejak kecil yang membuat saya melakukan itu.

Apa pendapat Anda mengenai stigma di Indonesia bahwa jadi penulis itu miskin dalam arti tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi bagi dirinya sendiri maupun rumah-tangganya?

Jawab:

Melihat kenyataan yang ada, menulis memang belum mampu memberikan kemewahan pada pelakunya.

Apalagi media cetak banyak yang gulung tikar dan kebijakan Pemerintah belum mendukung perbukuan.

Tetapi itu kalau mengandalkan menulis untuk sekadar hobi, bukan pekerjaan.

Kalau menulis dilakukan untuk kerja, seniman bukan berarti tidak bekerja, insyaallah akan ada peluang untuk mendapat penghasilan walau tidak membuat produk untuk diterbitkan.

Misalnya, menulis cerpen atau novel, ketika banyak penerbit mengurangi produksinya, dia bisa melakukannya di flatform, walau harus hati-hati memilihnya, dan sudah banyak yang, katanya, menghasilkan uang.

Bisa juga mengembangkan tulisan untuk menulis di blog, banyak produk yang masih butuh para blogger untuk mempublikasikannya, dan biasanya ada imbalan.

Menulis juga tidak melulu untuk karya fiksi, kemampuan menulis fiksi bisa dimanfaat untuk menulis tulisan iklan atau copy writing.

Bisa juga menjadi penulis skenario, baik untuk program televisi atau layar lebar, ini memang butuh jaringan, dan itu harus dilakukan penulis, bukan hanya menunggu ketidakpastian.

Bahkan membuka kursus menulis pun bisa dilakukan dan bisa dilakukan secara profesional.

Menulis itu pekerjaan yang bisa dilakukan di berbagai bidang, jadi, para penulis memang musti rajin membaca peluang.

Tapi dalam kenyataannya Anda begitu survive secara sosial, ekonomi dan karir Anda dengan mendapat beberapa penghargaan sebagai penulis skenario. Perjuangan seperti apa yang Anda lakukan? Agar bisa dicontoh oleh generasi muda. Tonjolkan hal-hal yang ‘pahit’ dan akhirnya berbuah ‘manis’.

Jawab:

Saya cuma merasa kalau saya masih harus banyak belajar, makanya saya sering melihat hasil karya orang lain. Membaca buku atau menonton film, membuat saya bisa menemukan ide baru, bisa melihat gaya bertutur yang baru, dan bisa mempelajari teknik bercerita yang berbeda.

Makanya sejak awal saya memutuskan untuk menulis cerpen anak, saya temui para penulis cerita anak, minta masukannya, demikian juga ketikan harus menulis skenario saya temui orang-orang besar yang menurut saya sesuai dalam gaya bercerita yang saya inginkan, dan berusaha mendapat peluang menulis untuk mereka.

Sebagai orang yang bukan siapa-siapa, tentu sulit menemui orang yang yang kita maksud, tapi Alhamdulillah dengan usaha yang harus sering jalan, saya pun akhirnya bisa mengenal beberapa orang penting di perfilman.

Tetapi, kenal saja tidak cukup, kita harus punya tulisan agar bisa menjaga mendapatkan peluang menulis dan itulah yang saya lakukan, menulis.

Bacaan apa saja atau pergaulan seperti apa yang membuat Anda menjadi penulis kreatif, hingga bisa ‘bernafas panjang’ dalam berkarya?

Jawab:

Seperti saya bilang, kalau menulis dijadikan pekerjaan, maka yang ada itu adalah mempersiapkan bahan-bahan pendukung.

Ketika saya harus menulis, saya akan mempelajari tema, lalu membaca segala sesuatu tentang tema itu, dan banyak melihat dan mendengar dari sekitar di mana pun berada dan itu membuat saya merasa tidak pernah kehabisan bahan cerita.

Dalam pergaulan, saya ada bersama komunitas kepenulisan, baik itu Forum Lingkar Pena atau Penulis Bacaan Anak. Dengan teman semasa sekolah pun saya masih berhubungan, kadang cerita semasa sekolah banyak memberi inspirasi saya menulis tema tema remaja dan anak.

Saya pernah nonton Tukang Ojek Pengkolan (TOP) yang ‘menyuguhkan’ kehidupan kaum marginal tapi tontonan tersebut digemari berbagai kalangan. Ide awalnya Anda dapatkan dari mana? Kemudian perkembangannya bagaimana?

Jawab:

Saya menulis serial Tukang Ojeg Pengkolan dari episode 1 sampai 1200.

Pada episode di bawa 1000, serial itu menggunakan satu cerita untuk satu episode, nah itu selama tiga tahun, saya dan tiga penulis lainnya, harus menyetor 10 sinopsis cerita setelah selesai menulis.

Misalnya, dari 10 sinopsis itu keterima tiga cerita, maka setelah tiga cerita selesai ditulis skenarionya, maka penulis harus menyetor 10 sinopsis lagi.

Cerita yang saya buat untuk TOP ya, seperti yang sudah saya bilang, apa yang saya lihat, saya baca, saya dengar dan alami, akan menjadi cerita.

Misalnya, saya itu punya kebiasaan pelupa, dari telepon genggam, arloji, dan dompet, pernah tertinggal di rumah.

Dari kebiasaan itu saya pun membuat cerita…

Ojak ingin membelikan Pindang Bandeng untuk Emak, dia mengajak istrinya, mencari warung Pindang Bandeng. Satu warung tutup, warung kedua buka, tapi pindangnya habis, lalu mereka menuju warung ketiga. Di warung ketiga, ada pindang, Ojak menyuruh istrinya memilih, setelah dipilih, Ojak malah mengajak istrinya pulang. Istrinya heran, Ojak bilang dompetnya ketinggalan, dia tidak punya uang untuk bayar Pindang Bandeng itu.

Seperti itulah, cerita yang pernah saya buat untuk serial TOP, semua dibutuhkan dengan cepat, sehingga penulis dituntut berpikir dengan cepat, melihat, mendengar, dan membaca apa pun, untuk diubah menjadi sebuah cerita.

Saat ini, saya sudah tidak menulis di TOP, karena ada pergantian penulis, kru, dan sutradara yang biasa dilakukan secara berkala.

Namun, lepas dari TOP saya menemukan program lain yang sama bagusnya, yaitu sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) jilid 8 dan Sinema Wajah Indonesia, yang saya idamkan.

Sebab saya menulis memang bukan sekadar mengejar materi, tapi prestasi. Saya pikir dengan prestasi, materi pun akan mengikuti.

Menurut Anda, apakah setiap penulis (khususnya fiksi) bisa dilatih menulis skenario? Apa syaratnya?

Jawab:

Saya sering katakan pada setiap orang yang pernah ikut workshop skenario pada saya bahwa, modal utama menulis skenario adalah menulis cerita.

Penulis cerpen atau novel sangat mungkin bisa menulis skenario asal mempelajari teknik penulisannya.

Sebab skenario ada tulisan teknis dan itu dapat mudah dimengerti, apabila dipelajari.

Anda lebih senang menulis skenario (drama/cerita) atau skrip (untuk film dokumentasi)?

Jawab:

Karena latar belakang saya adalah pembaca cerita dan penulis cerita, maka saya lebih nyaman membuat film cerita.

Anda bisa sukses seperti sekarang, siapa yang Anda anggap sebagai guru pertama? Mengingat Anda tidak belajar secara formal

Jawab:

Saya belajar skenario di Pusat Perfilman Usmar Ismail selama satu tahun, selama enam bulan pertama, saya mempelajari materi perfilman dari mulai penyutradaraan, sound, kamera, manajemen produksi, artistik, psikologi film, dan pengetahuan skenario, sama seperti yang dipelajari di IKJ, dengan durasi yang dipersingkat, dan diajarkan oleh para dosen IKJ dan praktisi Film, baik sutradara, soundman, atau dari divisi lainnya.

Enam bulan berikutnya, saya baru khusus mempelajari penulisan Skenario Film Cerita sesuai dengan jurusan yang saya pilih.

Setelah ikut kursus Sinematografi plus itu, saya ikut Mas Aris Nugraha, belajar menulis skenario komedi situasi selama empat tahun, sambil kerja.

Saya baca dari sebuah artikel tentang Anda, bahwa Anda senang berbagi – dalam arti mau mengajar siapa saja tentang penulisan skenario/skrip secara gratis. Juga sharing melalui channel youtube Anda. Apa yang mendorong Anda bersosial di bidang edukasi tersebut?

Jawab:

Saya pikir pengetahuan tidak akan berkembang kalau tidak disebarkan.

Saya membuka tangan untuk memberikan jalan pada orang yang memang mau untuk bisa menulis, bukan sekadar mau tahu saja.

Kalau ada orang yang ajari mampu melakukan seperti yang saya lakukan, itu akan menjadi pemicu diri saya untuk lebih baik lagi dalam berkarya agar tidak tertinggal.

Apakah keluarga Anda ada yang berkarir di bidang yang seperti Anda terjuni sekarang ini?

Jawab:

Tidak.

Agak susah meyakinkan orang kalau menulis itu juga pekerjaan karena yang terlihat saya tidak seperti kerja.

Kesulitan apa saja yang Anda alami kala memulai karir Anda?

Jawab:

Menemukan jejaring dan itu yang membuat saya sering keluyuran mendatangi acara-acara yang memungkinkan bertemu dengan orang yang saya tuju untuk bersilaturahmi dan mencari peluang menulis.

Secara ekonomi tentunya saat ini Anda telah mapan di bidang profesi Anda. Faktor apa saja yang membuat Anda tidak menyerah pada saat menghadapi kesulitan pada saat awal meniti profesi tersebut?

Jawab:

Menulis sudah menjadi gairah saya dalam kehidupan, itu yang membuat saat tidak ada program atau film yang ditulis, saya membuat produk lain, untuk tetap bisa saya sebarkan dinikmati oleh orang lain.

Apakah Anda juga mempelajari skenario-skenario film pemenang Oscar atau pemenang piala citra misalnya. Karya siapa saja?

Jawab:

Saya banyak memiliki skenario dari internet atau dari orang-orang tertentu.

Saya mempelajari Skenario Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Asrul Sani), Naga Bonar (Asrul Sani), juga film luar seperti Patriot (Rolland Emmerich), Pretty Women, There’s Something About Mary, juga film-film J.J Abrams, George Lucas, juga film-film Luc Besson… untuk melihat teknik pengadeganannya.

Saya baca dari cara kerja Anda membentuk tim penulis. Apa plus-minusnya menulis skenario bersama? Faktor-faktor apa saja yang membuat tim bisa solid, mengingat masing-masing penulis mempunyai ego dan daya imajinasi yang berbeda?

Jawab:

Ketika saya menulis TOP, memang bersama tiga orang penulis lain, tapi cara kerjanya tetap sendiri-sendiri, masing-masing menulis cerita berdasarkan sinopsis yang dibuat. Itu tidak masalah.

Cara kerja itu bermasalah kalau penulis tidak sesuai dengan kerangka yang ada, karena akan merusak kerangka cerita penulis lain yang menulis di episode berikutnya. Untungnya saya belum menemukan hal itu selama ini.

Yang membuat solid tim penulis adalah kesepakatan untuk menjaga program tetap bagus, artinya, harus mengerahkan segenap tenaga untuk membuuat cerita yang bagus, kalau ada kekurangan, biasanya akan ada komunikasi, sehingga bisa saling bantu menemukan jalan keluar, karena walau ditulis sendiri, skenario tetap merupakan karya kolektif yang membutuhkan masukan dari orang lain.

Bagaimana untuk menghindari kejenuhan dan kelelahan dalam menulis sinetron stripping?

Jawab:

Saat menulis stripping, yang paling dibutuhkan adalah istirahat, maka kalau ada waktu rehat sebaiknya dipakai, agar tubuh dan pikiran menjadi bugar saat menulis lagi.

Saya selalu melakukan itu, disamping menonton film, untuk menyegarkan pikiran.

Sejauh mana penulis skenario sinetron ikut campur tangan dalam memilih pemain/talent?

Jawab:

Pemilihan pemain bisa diusulkan penulis, tapi jangan mengeluh kalau tidak bisa didapat sebab bisa jadi pemainnya yang terkendala jadwal.

Berapa lama (jam) Anda menulis skenario satu episode untuk sebuah sinetron?

Jawab:

Untuk bisa nyaman menulis dan berekspresi dalam cerita, saya butuh waktu 10 jam.

Sebanyak apa perubahan skenario kala sudah dieksekusi di lapangan (syuting)? Apakah Anda selalu kompromi dengan situasi?

Jawab:

Kalau sudah dieksekusi, sudah tidak bisa diubah, tapi kalau butuh perubahan cerita sebelum eksekusi lantaran pemainnya tidak ada ketika akan syuting, itu terpaksa harus dilakukan dengan konsekuensi, pemain itu mungkin tidak akan ada lagi di episode berikutnya.

Penulis, kru, dan pemain, harus komitmen pada pekerjaan dan jadwal, itu harus dipahami oleh semua yang kalau sering dilanggar ada konsekuensi kehilangan pekerjaan.

Apa perbedaan menulis skenario untuk film layar lebar, film serial dan sinetron?

Jadwab:

Secara garis besar sama, tapi sebenarnya secara teknis yang berbeda.

Pada skenario layar lebar dikenal struktur 3 babak, babak 1, 2, dan 3. Ini menjadi pembagian cara bercerita. Babak 1, dikenalkan tokoh utama, adanya keinginan dan awal konflik dengan pengenalan antagonis, baik orang atau alam.

Babak 2, tokoh mengejar keinginannya, mendapat berbagai halangan dari antagonis, sampai titik penonton melihat tokoh utama akan kalah.

Babak 3, klimaks, ketika tokoh bisa menghancurkan halangannya dan mendapat keinginannya.

Nah, konsep 3 Babak itu juga dipakai dalam penulis skenario TV, tetapi bukan secara struktur, melainkan landasan bercerita karena skenario TV menggunakan babak-babak yang lebih dari 3, ada yang 4 babak atau 7 babak.

Babak-babak pada skenario TV adalah merupakan jeda untuk iklan, sehingga penulis harus membagi cerita sesuai ke dalam segmen yang ada.

Sayangnya, di sini, penggunaan skenario dengan empat atau tujuh babak itu tidak banyak yang pakai. Ini bisa dimengerti karena banyak produser yang membawahi penulis, tidak spesial mempelajari naskah TV, tetapi kebanyakan berangkat dari perfilman layar lebar, sehingga naskah yang dipakai di TV sekarang ini, ya, sama dengan naskah yang dipakai untuk membuat film layar lebar.

Jam berapa waktu ‘golden time’ Anda untuk berkarya?

Jawab:

Karena saya tinggal di lingkungan yang padat, paling enak itu selepas jam 12 malam, tetapi saya pun berusaha memindahkan kebiasaan saya itu ke siang hari, walau agak berat.

Kapan Anda libur menulis?

Jawab:

Saat ini (ketika wawancara ini berlangsung, akhir Januari 2021- Red), belum ada program yang saya tulis, artinya saya libur kerja, tapi bukan libur menulis.

Saya tetap menyiapkan bahan-bahan untuk membuat produk nantinya dan juga menambah bacaan agar tidak tertinggal.

Tolong ditambahkan hal-hal yang menarik, yang belum saya tanyakan.

Jawab:

Untuk teman-teman yang suka nulis, jangan putus asa kalau sepi kerjaan, ada banyak hal yang bisa dilakukan agar tetap bisa mendapatkan penghasilan. Jangan malas mengikuti trend yang ada karena kita menulis, saat membuat produk tulisan, bukan sekadar untuk dibaca atau dinikmati sendiri, melainkan untuk dinikmati juga oleh orang lain.

Kalau tidak bisa menerbitkan buku, masih ada jalan lain, coba ikut menulis di flatform, asal tetap menjaga kualitas tulisan.

Buat saya menjaga kualitas tulisan itu penting karena kalau cuma membuat cerita, banyak orang yang bisa, tetapi kalau membuat cerita bagus, hanya hitungan jari.

Satu lagi, buatlah cerita yang tidak menjelekkan orang lain hanya demi dibaca orang, jangan buat juga cerita yang membodohi pembaca atau penonton.

Saya menghindari ejekan fisik dalam bercerita karena saya tidak mau penonton film saya yang memiliki kekurangan fisik akan menjadi sakit hati, saya juga tidak mau membohongi penonton dengan logika yang tidak sesuai dengan cerita, walau itu untuk program komedi situasi atau cerita anak.

Demikian dari saya, mohon maaf kalau ada kekurangan.

Terima kasih

Sokat Rachman

Pewawancara : Naning Pranoto

Koleksi Foto : Sokat Rachman

Profil Sokat Rachman

Nama Asli: Saokat
Nama pena: Sokat Rachman
Tempat tanggal lahir: Jakarta, 18 Agustus 1975
Agama: Islam
Warna favorit: Hitam karena tidak silau
E-mail: sokat.rachman75@gmail.com
Facebook : Sokat.Rachman
Blog: www.sokatwritesstories.blogspot.com
www.sokatandlife.com
Twitter : @sokat_rachman

Sokat memberikan workshop menulis skenario
Sokat memberikan workshop menulis skenario

 

Pendidikan Formal:
• STIBA Nusa Mandiri, Jakarta (2012 – 2016) program studi Sastra Inggris;
• ABA Bina Sarana Informatika, Jakarta (2012 – 2015) program studi Bahasa Inggris;
• SMAN 96 Jakarta (1991 – 1994).

Pendidikan Nonformal:
• Workshop Menggagas & Melejitkan Buku Anak – Ikapi (2012).
• Workshop Writer For Trainer Benny Rhamdani, Jakarta (2011);
• Workshop Editor – Mizan, Bandung (2011);
• Workshop Menulis Novel Anak Benny Rhamdany (2011);
• Workshop Menulis Cerpen Naning Pranoto (2010);
• Workshop Menulis Sitcoms ANP Films, Jakarta (2006-2010);
• Kursus Sinematografi dan Penulisan Skenario Film Cerita di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta (2006 -2007);
• Workshop Kepenulisan Fiksi FLP (2004);
• Kursus Komputer di LB LIA (2001);
• Kursus Jurnalistik (1998);

Keorganisasian:
• Aktif di organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP) DKI Jakarta sejak 2002;
• Aktif di Forum Penulis Bacaan Anak 2004.

Pengalaman kerja:
• 2007 Dwi Sapta Advertising – Penulis lepas untuk komik Domi & Friends, ikon produk susu dari Indomilk;
• 2010 – 2013 – Penulis skenario, cerpen, buku anak, dan trainer kepenulisan;
• 2013 – 2015 – PT Karya Sahabat Global – Head Creative;
• 2006 – sekarang ANP Films – penulis skenario;
• 2015 – sekarang – freelance writer, script writer, and blogger.

Tags

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close