SUARA-SUARA RAKYAT KECIL: Ketika Tiada Detak Jantungmu
Antologi Puisi:
SUARA-SUARA RAKYAT KECIL
Diluncurkan: Minggu, 24 April 2011, pukul 16.00 – 17.00 di Museum Bank Mandiri Jalan Taman Stasiun No.1 Jakarta Kota.
Acara ini bisa terselenggara berkat kerjasama: FORUM INDONESIA MEMBACA-LINE PRODUCTION-RAYAKULTURA.
Bagi yang mau hadir silakan e-mail ke: rayakultura@gmail.com
TIDAK BAYAR! MAAF TEMPAT TERBATAS!
Puisi Naning Pranoto dalam Antologi SUARA-SUARA RAKYAT KECIL:
KETIKA TIADA DETAK JANTUNGMU
Naning Pranoto
Harapan indahmu tercapai sudah: tidur pulas tanpa iringan detak jantung
Keinginanmu bertahun-tahun pun terkabul: tubuh kaku tiada belaian paru-paru
Aku selalu ingat kau berkata sejak pertemuan hari pertama: Hidup ini sia-sia, maka Kematian adalah Kebahagiaan.
Apakah kau kini benar-benar bahagia?
Kuingat ketika kita muda.
Kutatap wajahmu kala itu, kala kau teruna: disangga leher beton, bermata bara, berahang baja, berbibir sepasang gunting dan berotak api
Kau katakan padaku: aku ingin ke Kahyangan berguru pada Ganesha – Dewa Maha Ilmu nirwana dan jagad raya
Kau pun mengayuh becak tua, ke Kahyangan singgah di Yunani, Romawi, Mesir, India, Cina, Perancis
Juga bertapa di Surakarta dan Ngayogyakarta, dua kota di Tanah Jawa yang dipuseri Argo Semeru
Kau juga menjelajah Tanah Bugis, Tanah Batak dan Tanah Minang di seberang Tanah Jawa yang dibingkai Samudera
Perjalananmu begitu jauh dan panjang, hingga membuat kulitmu terbakar, otot-ototmu membesi, rambutmu sirna, pakaianmu compang-camping – kau telanjang bersama becak tuamu yang telah jadi rumpon.
Aku bertanya: apa kabar?
Kau tak menjawab!
Tanganmu gemetar ketika menyiduk nasi aking yang kuhidangkan dalam bakul kaleng rombeng, yang kubeli dari hasil memulung
Matamu berkaca-kaca, ketika geligimu mulai mengunyah nasi aking berkuah keringatku yang pahit dan asam: Maaf, aku tak pernah bisa menafkahimu.
Kupenggal kalimatmu: kau justru selalu menafkahiku dengan semua ilmu milikmu yang membukakan tabir gelap kecublukanku: hidup ini tidak sia-sia!
Kau bertanya: benarkah begitu – hidup ini tidak sia-sia? Mengapa? Ada apa?
Jawabku: karena aku bertemu denganmu, yang selalu memacuku untuk terus dan terus mengayuh becak kehidupan, yang jalannya terjal dan penuh liku
Kini nyawamu meninggalkan ragamu.
Aku termangu, membenarkan kata-katamu: hidup ini sia-sia!