Hari ini menjadi hari yang sangat penting. Aku pulang ke rumah setelah dua tahun lalu kuputuskan meninggalkannya. Rumah bergaya Joglo yang kubangun, cukup besar dan nyaman. Atap rumah kubuat tinggi, disangga empat pilar utama. Masyarakat Jawa menyebutnya saka guru. Pilar-pilarnya merupakan perwujudan arah mata angin, Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Di muka bangunan utama, kubangun pendopo yang luas dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan yang membuat sejuk.
Tak ada ruangan yang tidak kusuka. Dindingnya berbata merah, setiap perabotannya merupakan pilihan istriku, ditambah dengan lukisan hasil karyanya. Ukiran di tiap pintu yang ada, memiliki filosofi masing-masing. Rumahku terasa hidup.
Aku membangunnya lima tahun yang lalu selama satu tahun. Dua tahun lamanya aku sempat tinggal di sini bersama istriku, sebelum aku pindah kerja ke luar daerah. Aku ingin punya banyak anak, hidup bahagia bersama istriku, dan bisa membanggakan membanggakan orangtua dengan hasil jerih payahku. Semua ini hampir tercapai.
Aku pernah berniat menjual rumah ini. Sekuat hati aku menyakinkan diri untuk melepasnya, sekuat tenaga aku coba meyakinkan pembeli untuk membelinya, namun usahaku selalu gagal, tidak terjual.
Selama dua tahun terakhir, tugas menjaga dan membersihkan rumah kuserahkan kepada Mbok Tres dan suaminya. Mereka mengatakan, banyak sekali orang berkunjung melihat-lihat dan kagum pada arsitekturnya, tapi tidak pernah kembali.
Entah apa yang salah. Aku percaya, setiap bangunan, barang, harta, dan semacamnya, akan berjodoh dengan pemilik yang tepat. Seperti manusia, benda mati pun punya energi. Energi akan menarik energi lain yang sesuai dengan frekuensinya. Inilah alasan mengapa sebuah rumah dapat membawa kenyamanan atau ketidak-nyamanan bagi seseorang.
*
Kamar menjadi ruangan favoritku. Sebidang ruangan yang menjadi penyekat diri dari bisingnya dunia. Ia menjadi saksi ketenangan dan keliaran pikiran. Kamar, salah satu bukti manusia membutuhkan ruang untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Sejatinya, manusia butuh waktu untuk menyendiri, butuh ruang untuk menyimpan rahasia yang tidak perlu diketahui banyak orang. Manusia butuh kesempatan untuk melakukan kontemplasi.
Tepat di sudut kamar dekat tempat tidur, ada cermin besar yang biasa dipakai istriku untuk merias diri. Aku berdiri di depannya. Lusuh, kurus, berantakan. Ada sosok yang tidak punya semangat di cermin itu. Lingkaran mata yang menghitam, cekung pipi yang semakin dalam, itulah aku. Cermin tak pernah berdusta, menunjukkan keadaan yang sebenarnya, termasuk bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Memang, aku letih sekali. Dua tahun terakhir menjadi waktu yang sangat berat untuk dilalui. Bisa dikatakan sebuah fase terberat sepanjang hidup. Jiwa dan ragaku berjuang hingga lelah, terkuras begitu dalam.
Aku duduk di sisi tempat tidur. Selama ini sudah kutinggalkan pesan kepada Mbok Tres untuk merapikan dan membersihkan kamarku setiap hari, tanpa mengubah letak apa pun. Perlahan kubelai seprei biru muda yang kududuki. Lembut dan halus. Seprei pilihan istriku. Warna biru, lambang ketenangan dan kedamaian. Istriku pernah berkata, ia ingin merasakan ketenangan dan kedamaian dalam pernikahan kami. Bagi orang yang sudah melalui perjalanan hidup berliku, ketenangan dan kedamaian tentu jadi keinginan yang sangat diimpikan.
Kuraih bantal, kubaringkan tubuhku. Kasur ini masih empuk seperti saat aku meninggalkannya. Desiran angin dari jendela yang kubuka, kicauan burung, dan gemericik air kolam di sebelah kamar, membuat sore terasa sangat nyaman. Mataku mulai melemah, terbuai kantuk.
*
“Sayang, jangan lupa berdoa,” samar-samar kudengar suara istriku, namun kantuk ini sungguh luar biasa. Aku berusaha membuka mata, tapi tak bisa. Aku hanya bisa mendengarnya.
“Sayang, Tuhan masih memberimu napas kehidupan. Kamu masih diberi raga yang sehat dan hati yang baik. Hari-hari yang kamu lalui, tentu tidak akan semuanya mulus. Apa pun yang terjadi, kesesakan, keputus-asaan, kesendirian, kemarahan, kebimbangan, ketakutan, dan kelelahan, ingatlah kamu masih hidup. Kamu akan kembali baik-baik saja Katakan hal apa saja yang mengganjal di hatimu ke dalam doa. Tuhan Maha Baik. Ia menghampiri kita sebelum kita menghampiri-Nya. Ia mengetahui jalan terbaik yang harus kita lalui sepanjang hidup kita, sedangkan kita hanya bisa mengetahui apa yang baik untuk kita pada saat ini. Aku sudah mengalaminya. Tuhan sudah membawaku ke jalan yang tepat, sesuai dengan rancangan terbaik. Ia melepaskanku dari belenggu sakit dan derita. Percayalah, Ia juga akan membimbingmu ke jalan terang yang menumbuhkan semangat dan harapan bagi hidupmu. Kamu kuat. Kamu hebat, Sayang! Aku bangga padamu. Banyak hal yang tidak kamu mengerti dan banyak kesempatan yang harus dijalani dengan air mata. Tuhan selalu pegang tanganmu, sama seperti Ia memegang tanganku, tak pernah lepas. Kekuatan-Nya selalu menopang. Ia bersemayam di dalam dirimu. Jaga dirimu baik-baik.”
Seketika aku terbangun. Terkejut. Kamu datang, tapi mengapa begitu cepat pergi? Di mana istriku? Kuambil foto istriku di meja. Tak kuasa menahan rindu, aku menangis, berlari-lari mencari ke sudut-sudut kamar. Aku tahu, kita tidak lagi berada di satu tempat, tapi kumohon jangan tinggalkan aku. Datanglah lagi! Kenapa hanya wangimu yang bisa kucium? Aku rindu wajahmu.
*
Butuh waktu tiga jam menata hati dan pikiranku setelah kejadian tadi. Aku mulai bisa bernafas dengan tenang setelah Mbok Tres hadir. Beliau membuatkanku teh manis panas dan menemaniku duduk di pendopo. Mbok Tres menceritakan kepercayaannya tentang jiwa dan kuasa Tuhan. Mbok Tres beerkata, dimensi jiwa tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Jiwa itu luas, terhubung langsung dengan Sang Pemilik Kehidupan. Jiwa jadi terbatas melaksanakan fungsinya karena jiwa melekat pada raga. Raga manusia memang ditakdirkan memiliki keterbatasan dan kekurangan. Namun ketika jiwa sudah terpisah dari raga, atas izin Sang Maha Kuasa, jiwa itu akan bebas.
“Bebas berarti tidak lagi merasakan sakit, seperti yang kita baca di Kitab Suci. Semua yang sakit disembuhkan. Kalau istrimu hadir, kamu bisa lihat dia segar bugar, kamu mesti bahagia. Selama hidupnya, istrimu hanya menginginkan kehidupan yang tenang dan damai. Bersyukurlah karena ia sudah mendapatkannya. Lebih dari cukup, lebih dari yang ia minta, lebih dari yang kita bayangkan. Ia mendapatkan tenang dan damai yang abadi,” ujar Mbok Tres.
Mendengar Mbok Tres mengungkapkan pemahaman itu, aku merasa lebih lega. Aku tetap ingin bersyukur, semesta begitu baik sudah mempertemukanku dengan istriku dalam ranah tak terlihat mata, tapi terasa ada. Berkali-kali aku jatuh, tapi selalu ada bagian di dalamnya untukku merasakan kebaikan Tuhan. Berkali-kali aku marah pada keadaan, tapi juga berkali-kali aku kembali jatuh cinta pada kehidupan.
Kehidupan ini tidak pernah berakhir, meski raga di dunia sudah menyelesaikan tugasnya. Jiwa akan selalu punya misi, tugas abadi. Ketika berduka, derita tetap saja menjadi derita. Apakah ini karma, pelajaran, atau takdir? Sudah tidak bisa lagi dibedakan. Apa pun namanya, rasanya sama-sama perih, namun demikian aku tahu agar aku bisa semakin kuat mengemban misi jiwa itu. Semesta sedang menuntunku. Kelak aku akan terlatih dan menjadi cahaya penerang bagi banyak jiwa lainnya.
“Nak, tadi ada yang menelepon sewaktu kamu tidur. Dia bilang mau melihat-lihat rumah besok. Kamu yakin mau jual rumah ini?,” tanya Mbok Tres.
Pertanyaan itu membuatku ragu, apakah aku akan melepas rumah ini atau tidak. Dilema. Perang hati kembali dimulai. Aku berniat menjual rumah ini karena ingin melepas masa lalu, dan membuka lembaran baru. Aku tidak ingin terus berduka. Melepaskannya kepada orang lain tentu akan memudahkan jalan itu. Di sisi lain, rumah ini hasil jerih payahku dan istriku. Ada terlalu banyak kenangan manis. Sentuhan tangannya, karya seninya, buah pemikirannya, kasih sayangnya, dan peninggalannya ada di sini. Jiwanya pernah hadir di sini, energinya pun sudah melekat dengan rumah ini. Apakah aku tega melepaskankan rumah kesayangannya ke tangan orang lain? Tentu aku berharap kapan pun dia mau datang ke sini, datanglah karena rumah ini adalah miliknya, bukan milik orang lain.
“Nak, kalau kamu bingung, coba kamu berdoa. Biar Tuhan yang menuntun keputusanmu. Rumah ini jadi dijual atau tidak, nanti semesta akan beri tanda. Kamu tidak perlu menjawabnya. Nanti juga terjawab sendiri. Mbok cuma mau bilang, kita bisa melepas keterikatan kepada seseorang tanpa mengurangi nilai penting dari orang itu. Di dunia ini banyak terjadi perpisahan. Kalau kita lihat lagi, manusia itu memang diajak untuk belajar ikhlas. Beberapa orang mengartikan ikhlas adalah melepas dan membuang semua yang berhubungan dengan masa lalu. Semuanya dilepas tanpa terkecuali. Berjalan ke masa depan tanpa menengok hari kemarin. Banyak orang ingin jadi amnesia supaya mudah jalannya, tapi apakah bisa begitu? Otak kita itu punya memori. Tuhan menciptakan bagian itu pasti ada tujuannya, bukan untuk dibuang atau dihapus,” ujar Mbok Tres.
“Aku bingung.”
“Mbok contohin ya yang itu tadi. Melepas tanpa mengurangi nilai penting dari orang itu. Contohnya begini, orang tua melepas anaknya sekolah ke luar kota, lalu ada si A yang melepas pacarnya, karena ternyata pacarnya mencintai yang lain, atau mbok yang harus rela memberikan anak mbok untuk dinikahi laki-laki pilihannya. Tetap menganggap orang itu berarti, meski tidak ada lagi dekat kita, maka kita bisa mengembalikan kesehatan batin kita sembari tetap memberi nilai kepada orang itu. Misalnya mbok setiap hari kangen anak, tapi ya ikhlas saja. Dia sudah mendapat jalan terbaik dari Tuhan, bertemu dengan jodoh yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Seperti itu kurang lebih maksud omongan mbok. Semoga kamu paham,” kata Mbok Tres.
Tidak lama setelah Mbok Tres menasihatiku, ia izin melanjutkan pekerjaannya di dapur. Aku duduk sendirian di pendopo. Kupikir-pikir benar juga penjelasan Mbok Tres. Dijual atau tidak dijual, biar semesta menjawabnya. Aku harus menata hatiku, itu yang penting. Sudah dua tahun istriku menghadap Tuhan. Ia sudah mengakhiri perjuangan melawan penyakit hepatitis yang dideritanya. Selama itu juga aku terus lari dari kenyataan, hingga aku memutuskan tinggal di daerah lain. Aku tak ingin mengakui dan menerima apa yang sudah terjadi. Semakin aku melewati hari-hari di sana, justru semakin aku merasa sakit. Aku tidak pernah pulih dari getir yang kupendam.
Sungguh, aku tidak ingin terbelenggu dalam duka terlalu lama. Aku harus bisa menjadi pribadi yang lebih berdaya, agar aku bisa menemukan kembali hidup untuk masa depan. Aku ingin hidup bahagia dan berdampak baik bagi orang-orang yang masih ada di sini. Keikhlasan merupakan kunci. Tidak akan pernah tertukar hal-hal yang memang ditakdirkan untukku, pasti akan menjadi milikku. Perubahan bersifat abadi. Kemampuan melepaskan hal-hal berat yang bukan untukku, menjadi sangat penting. Aku bisa melangkah lebih ringan. Akan selalu kuminta dalam doa, kekuatan untuk ikhlas, sabar, dan menerima apa pun yang Tuhan beri. Aku paham alasan istriku mengingatkanku untuk rajin berdoa. Aku pun paham mengapa Mbok Tres mengingatkan makna ikhlas yang sesungguhnya. Manusia memang terbatas. Kemampuan seperti itu hanya bisa terasah jika Tuhan turut membuka jalan.*
PROFIL AGUSTINA HARDIANTI
Agustina Hardianti, akrab dipanggil Nina, lahir di Jakarta, 21 Agustus. Ia pernah bersekolah di Kota Pelajar, Yogyakarta, yang kemudian membawanya pada pengalaman yang penuh makna. Ia juga mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi, membuatnya lebih peka menelaah berbagai peristiwa dan perilaku manusia. Baginya, kehidupan ini menarik, manusia adalah makhluk yang unik, setiap individu memiliki kisah personal yang bisa dipelajari oleh individu lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasinya membuat karya-karya tulis,
Saat ini, ia tinggal di Tangerang, dan dapat dihubungi melalui surat elektronik agustinahardianti2@gmail.com dan Instagram @nina.2108.