Oleh Naning Pranoto
Tanta pontentia formae est – Begitu besar kekuatan sebuah keindahan, demikian ungkap Ovid, Penyair Romawi Kuno (20 Maret 43 SM -17M). Keindahan yang dimaksud adalah keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual atau pemikiran. Berbicara mengenai puisi yang ideal, keindahan isinya mencakup dari keempat jenis keindahan tersebut. Atau dengan kata lain, puisi yang ideal isinya ‘harus’ berjiwa keempat jenis keindahan tersebut dan itulah kekuatannya.
Bicara mengenai kekuatan puisi, puisi yang satu dengan yang lainnya tidak sama kadarnya. Itu sangat tergantung pada struktur raga puisi maupun struktur jiwa puisi itu sendiri. Struktur raga puisi antara lain meliputi tipografi (perwajahan tampilan puisi), diksi (pemilihan kata untuk menulis puisi), imajinasi (pengungkapan rasa melalui pancaindera), gaya bahasa (majas) dan rima (persamaan bunyi pada puisi). Struktur jiwa puisi antara lain mencakup tema/makna (sense), perasaan (feelings), nada (tone – menyuarakan rasa) dan pesan (intention).
Dalam hal mencipta struktur puisi secara raga maupun jiwa, masing-masing penyair mempunyai proses kreatif yang berbeda demikian juga bobot dan kekuatan karya-karyanya. Itu sangat tergantung antara lain pada kepekaan terhadap lingkungan, kekayaan batin, luasnya wawasan/pengetahuan, kematangan dalam berpikir, kedalaman dalam kontemplasi menyelami kehidupan, aktualitas pada peristiwa, sosialisasi, pengalaman dalam menulis dan kritis dalam menghadapi kritik. Juga perlu menggarisbawahi: menulis puisi untuk siapa dan apa misinya?
Membaca 29 puisi karya Yeni Fatmawati yang dihimpun dalam antologi berjudul Aku Perempuan, Musafir-Mu ini, pertanyaan tersebut segera bisa terjawab. Perempuan kelahiran Bandung, 5 Januari 1971 yang berprofesi sebagai lawyer itu menulis puisi untuk pembaca tanpa segmentasi strata pendidikan karena puisi-puisinya terang-benderang maka mudah dipahami. Misinya menyajikan berbagai keindahan hidup dari sisi terang maupun sisi gelap. Itulah keistimewaan dari puisi-puisi karya Yeni mampu mengekspresikan suara jiwanya yang senantiasa optismistis, bahwa hidup ini indah walau penuh gelombang pembawa petaka. Karena ia yakin di balik petaka ada hikmah-Nya yang indah, seperti yang ia paparkan dalam puisinya berikut ini:
KIDUNG BUKIT KARANG DAN GELOMBANG
Kala aku memandang laut lepas
Barisan bukit karang di ujung mataku menjajar cadas
Tetiba gulungan ombak menghantamnya – menghempas
Ombak tiada henti membentur, bibir karang tersenyum lepas
Tak secuil pun bujur-bentang barisnya terkikis kandas
Aku terpana akan cadasnya karang yang tegar memegas
Pandangku terus terpatri pada wajah laut lepas
Pergulatan ombak dan bukit-bukit karang belum juga pungkas
Hingga debur-bentur nya menghentak-hentak jantungku yang pias
Perasaanku terombang-ambing dalam gelombang perang laut buas
Aku was-was: siapakah yang akan kalah dan meremuk tewas?
Oh, barisan bukit karang tetap menegak di kubah laut biru – merdeka bebas!
Mataku melacak tapak-tapak gelombang yang melipat di laut tenang
Mereka kibarkan bendera putih pada bukit karang, simbol kalah perang
Barisan bukit karang membalasnya dengan salam lima jari damai dan riang
Aku terpana pada gelombang, bukit karang dan laut-Nya pendadar benderang
Semua mengajarkan kearifan tentang kehidupan yang selaras dan seimbang
Ya, Allah jadikan aku setegar bukit karang yang tak luluh dihantam gelombang
*
Puisi merupakan ekspresi perasaan atau kata hati si penyair, demikian pendapat I.A. Richards (1893-1979), kritikus sastra terkemuka Inggris. Mencermati puisi-puisi karya Yeni dalam antologi ini pendapat Richards tak terbantahkan. Yeni yang juga pelukis dan pematung ini sejak kecil menggandrungi seni tari dan baca puisi serta hobi olahraga dan traveling membuatnya lekat dengan seni dan dekat dengan alam. Faktor tersebut membuat puisi-puisinya ‘bernyawa’ alam. Demikian pula karya lukisan-lukisannya yang menyertai puisi-puisi karyanya dalam antologi yang sedang Anda nikmati. Baginya, natura artis magistra – alam itu adalah guru kesenian yang mengejawantahkan Maha Cahaya-Nya. Dari kesadaran itu Yeni, ibu dari Reihan Abhipradana dan Naura Ambareswari menulis puisi alit berikut:
KALA HUJAN PAGI DI CIBODAS
Pada mulanya rintik tipis
Angin pagi tak mampu menepis
Untai rintik menjelma gadis manis
Menebar hujan lebat berirama liris
Jemarinya yang lentik goreskan puisi mistis
Bait-baitnya menghias jendela bergorden tipis
Judulnya menumbuh trembesi, minta kulukis:
Batangnya tuma’ninah mengarah kiblat
Daun-daunnya membungkuk rukuk
Akar-akarnya bersujud di harum tanah gembur
Aku terpaku, kuas lukisku melafalkan rona Maha Cahanya-Nya
Subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahuakbar
KIDUNG EMBUN
Kala fajar menebar kesumba
Kusibak dekapan hangat melenakan
Dalam rengkuh kelompak mimpi kefanaanku
Gema adzan memanggilku untuk menghadap-Mu
Sungguh indah subuh berjamaah
Menghadap-Mu dengan khidmat
Untaian doa melafal terasa nikmat
Bersamamu, kekasih – imamku
Melepas mukena, membuka jendela
Bulir-bulir embun berkidung membelai daun-daun
Kusentuh tetesnya yang sebening bola mata bidadari
Membiaskan berkah-Nya , menyulam bahasa cinta
*
Sebuah karya seni (termasuk puisi) adalah perwujudan artistik yang merupakan hasil katarsis disertai dengan estetika, demikian pendapat Aristoteles (384 SM – 322 SM) filsuf Yunani dalam bukunya yang berjudul Poetika (Poetics). Puisi karya Yeni yang berjudul Aku Perempuan, Musafir-Mu dan Terima Kasih, Perempuan Berkerudung jelas sekali merupakan pancaran katarsisnya. Ia curahkan gelora batinnya dalam meniti perjalanan hidupnya. Mari kita simak da resapi:
AKU PEREMPUAN, MUSAFIR-MU
Aku bukan perempuan lemah
Kaki ini kuat melangkah jauh sudah
Jauh, jauh…. jauh
Karir kuititi dari warsa ke warsa menjadi swasa
Bukan sekadar mencari eksistensi diri
Tapi, aku ingin menjadi musafir-Mu sejati
Ya, Allah jadikan peranku bukan peran figuran
Karena aku musafir-Mu, ini jalan kutuju
Acap manis pahit getir
Tempuhi peta yang telah Engkau gariskan
Lurus dan berliku
Terjal dan berbatu
Kadang aku tersandung
Sering pula aku tersanjung
Tuhanku,
Aku musafir-Mu
Telah Engkau lapangkan ikhtiarku
Engkau bimbing aku, membendung nafsuku
Meniti kemuliaan membasuh kehinaan
Hingga aku tahu memilih:
Tidak menjadi perempuan lemah dan remah
Tuhanku,
Karena Engkau aku menjadi tak sekadar berkubang duniawi
Air mataku menetes, Ya Allah kala Engkau jadikan aku pohon
Sosok Pohon Kasih Sayang, berdaun cinta dan berbuah kebahagian
Daun-daunku pun merindang, sesamaku berteduh dan bersandar di batangku yang hangat
Semesta merangkulku, rumput hijau menggelar menjadi pijakanku
Ya, Allah Engkau sungguh menimangku dalam kemuliaan-Mu
Aku musafir-Mu
Aku bersimpuh di kaki-Mu
TERIMA KASIH, PEREMPUAN KERUNDUNG
Perempuan itu berkerudung
Berbalut hias nan wangi
Bertutur manis kata
Duhai, tampak sempurna
Tapi aku tercekat tertegun
Kala ia semburkan tipu muslihat tampak nyata
Oh, perih – apa arti atributmu yang wangi itu?
Nanar aku tak percaya
Jiwaku berpeluh pedih mendoa:
Tuhan ajari aku memaknai hidup
Ajari aku tentang kitab rupa-rupa manusia
Ajari pula aku tersenyum membacanya
Aku bercermin pada hatiku
Sekerat hati cerminan diri
Aku berkaca pada jiwaku
Berbenah perilaku
Tubuh ini hanya pelayan hati
Aku terus mengembara
Temukan arti cahaya sekerat hati
Terima kasih, Perempuan Berkerundung
Aku ikhlas, kau buat hidupku lebih berwarna
*
Puisi itu lebih halus dan lebih filosofis daripada sejarah. Puisi mengungkapkan hal-hal universal, dan sejarah hanya topik khusus, Aristoteles mendifisnikan puisi. Maka seyogyanya menulis puisi itu untuk menciptakan keindahan, kedamaian dan cinta. Bicara mengenai puisi cinta pada umumnya orang berasosiasi pada puisi-puisi yang romantis atau melankolis seperti puisi-puisi karya penyair terkemuka Lebanon Kahlil Gibran (1883-1931) atau puisi-puisi karya penyair terkemuka Indonesia Sapardi Djoko Damono (1940- ) yang banyak digandrungi para penikmat puisi strata usia remaja hingga warior (warga senior).
Yeni Fatmawati juga menulis puisi-puisi cinta tapi diksinya tidak seromantis puisi-puisi karya Gibran maupun puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Walau sangat mengapresiasi karya-karya puisi kedua Begawan Penyair itu, tapi perempuan yang pernah menjabat pucuk pimpinan di beberapa perusahaan multinasional itu tak terpengaruh oleh diksi maupun gaya bahasa mereka. Yeni yang menghabiskan masa kanak-kanaknya hingga menjelang remajanya di Aceh itu dalam mencipta puisi boleh dikatakan menjunjung tinggi orisinalitas atas kreativitasnya sendiri. Sehingga, kala saya menikmati puisi-puisi yang ada dalam antologi ini saya tidak ‘terpolusi’ oleh asosiasi puisi karya penyair-penyair terkemuka di Tanah Air maupun penyair-penyair dari kondang dari berbagai mancanegara. Puisi-puisi Yeni adalah milik Yeni Fatmawati seadanya tapi utuh, walau memang masih dalam proses menuju summa.
Sebagai penutup, saya sajikan dua puisi cinta karya Yeni yang ia tujukan untuk suaminya yang tercinta Fahmi Idris, seorang aktivis, polisi senior, menteri Kabinet Presiden J.B. Habibie dan menteri Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta pebisnis terkemuka Indonesia.
LELAKI POHON
Kau tegak kokoh berdiri
Akarmu memaku erat bumi
Pucuk-pucuk daunmu melukis lazuardi
Daun-daun hijaumu memayung merindang
Ranting rantingmu lentur mendendang
Dahan-dahanmu menumbuh doa menjulang
Yang bengkok terseleksi alam, patah menghilang
Kau perkasa, tumpuan harapan
Tak lelah jaga hamparan wana hutan-hutan
Murnikan udara Kutub Utara- Kutub Selatan
Kau paru-paru makluk sedunia sepanjang zaman
Taktumbang walau angin dan badai menerjang
Kau pun takmengerang kala halilintar menyambar garang
Waktu demi waktu daun-daun kuning emasmu menanggal
Menjelma humus suburkan bumi tanpa batas jengkal
Kini, usia paruh bayamu telah jauh terlampaui
Kau tetap teguh melegenda laksanakan bakti
Aku bersyukur, Allah mengutusku mendampingi:
Kau lelakiku – pohon kehidupanku nan sejati
Di rindangmu aku berlabuh hingga nafas berhenti
Doaku untukmu selalu mengiringi
Suatu Hari di Piazza San Marco
Tiba-tiba Venesia menyapaku dengan wajah merona
Ia membawa catatan cinta yang dihela sebuah gondola
Lantunan merdu soprano Besame Mucho mengiringinya
Hadirkan kenanganku di Piazza San Marco warisan Italia Lama
Sungguh tintaku tak bermaksud menulis puisi romantis
Tapi lembar-lembar catatan cinta tak bisa begitu saja kutepis
Sepasang hati, dua cangkir kopi dan dua iris tiramusi terlukis
Meneguhkan dua raga melebur jadi satu jiwa sirnakan egois
Besame, besame mucho – alunkan kidung kemesraan
Dia – belahan hatiku, membelai jantungku lembut… nian
“Kau akan menjadi milikku selamanya,” – begitu dia bisikan
Jantungku pun membunga mawar berkelopak sayap-sayap berlian
Besame, besame mucho – belahan hatiku kidungkan langgam hati
Que tengo miedo a perderte, perderte despues – dia terus bernyanyi
Que tengo miedo a perderte Perderte después – suaranya meninggi
“Ciumlah aku! Cintailah aku selama!” dia untai kata bernyawa puisi
Suaranya menggema menyusup kubah Basilika Santo Markus pesaksi
Pintanya kujawab dalam diam,”Aku berjanji. Mencintaimu. Mencintai!”
Bessame, besame mucho: denting piano lupa menghenti…
Berikut ini puisi karya Yeni untuk kedua putra-putri: Reihan dan Naura.
PERMATA JIWA
Tak kan pernah kuasa aku
Melampaui waktu demi waktu
Tanpa kedua permata jiwaku
Ya Allah…
Di ufuk timur fajar merekah
Ramah menyapa bangunkan lelap mereka
Menata kesiapan hati, merajut benang cita
Semangat menatap hari-hari penuh harap
Ya Tuhan
Basahi wajah keduanya dengan air arasy-Mu
Agar selalu tunduk tawadhu
Ikhlas menerima segala takdirMu
Meniti kehidupan dalam tulus senyuman
Permata-permata jiwa: inspirasiku
Pendulang cita dan semangatku
Pengetuk irama jantungku
Suka duka kan kulewati bersamamu
Syukurku pada-Mu ya Allah
AmanahMu kepadaku begitu indah
Ya, anugerah terbaik dan terindah.
*
Selamat membaca puisi-puisi lainnya yang ada dalam antologi ini. Puisi-puisi renungan yang cerdas dibalut ketaqwaan dan keindahan. Sehingga sisi gelap kehidupan yang ada mengkiblat pada Maha Cahanya-Nya. Amin ya Rabbal’alamin.
Gubug Hijau Mbok Noto – Sentul City Bogor, awal Desember 2017