Transformasi Kultural Mondial
Oleh Sides Sudyarto DS

Sejarah umat manusia telah salah arah. Kini umat manusia telah menjelma menjadi Makhluk Ekonomi (Homo Economicus). Seharusnya, manusia berevolui menjadi Makhluk Budaya (Cultural Man). Maka berlangsunglah Zaman Ekonomi (Economic Age) yang seharusnya menuju Zaman Budaya (Cultural Age). Tidak ada pilihan lain, manusia harus menjalani transformasi kultural yang mondial, dari Makhluk Ekonomi menuju Makhluk Budaya. Jika tidak, manusia hanya akan menjadi “Binatang Ekonomi”.
Kebudayaan sering kali diucapkan tetapi sedikit sekali dipikirkan. Karena itu dari dulu hingga sekarang, selalu bertambah jumlah orang yang salah paham terhadap kebudayaan. Seorang bijak melukiskan, kebudayaan itu bagaikan sebatang pohon yang menakjubkan, yang terdiri dari akar, batang, cabang serta daun dan buahnya. Akarnya: Mitologi, agama, etika, filsafat dan kosmologi. Batang dan cabangnya: Sistem ekonomi, struktur sosial, teknologi, proses politik, proses pemerintahan, kebijakan lingkungan. Buah dan daunnya: Karya seni, arsitektur, pendidikan, tata moral dan kegiatan spiritual.
Dalam karyanya yang monumental di bawah judul A Scientific Theory of Culture, ilmuwan Bronislaw Malinowski mengingatkan kita:
Thus man has, first and foremost, to satisfy all the needs of his organism. He has to create arrangements and carry out activities for feeding, heating, housing, clothing, or protection from cold, wind and weather. He has to protect himself and organize for such protection against external enemies and dangers, physical, animal, or human.” (1969 : 37). (Manusia pertama-tama dan terutama harus memenuhi kebutuhan organosmenya. Ia harus mengatur dan melakukan untuk memen uhi kebutuhan pangan, sandang, menghangatkan tubuhnya, atau melindungi diri dari sengatan hawa dingin, gangguan angina dan cuaca buruk. Ia harus melindungi dirinya, untuk melawan musuh dari luar, ancaman binatang liar atau juga sesama manusia.)
Tentu anyak definisi tentang kebudayaan. Lain orang lain definisniya, sesuai sudut pandang dan alam pikirannya, sesuai disiplin ilmu mereka masing-masing.
A.L. Kroeber dalam bukunya Anthropology (1948; 252) mengutip ilmuwan Edward B. Taylor mengatakan, “Culture or civilization is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” (Kbudayaan atau peradaban adalah keseluruhan yang kompleks, mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan berbagai kemampuan lainnya yang diperlukan manusia sbagai anggota masyarakat).
Dari begitu banyak definisi kebudayaan, kita bisa menoleh kepada Edward W. Said, (Culture and Resistance, 2003: 159) menawarkan definisi yang tajami: Culture is a way of fighting against extincition and obliteration. (Kebudayaan adalah cara berjuang suatu bangsa untuk melawan kepunahan dan kemusnahannya).
Lalu apa yang salah dengan makhluk Ekonomi atau Homo Economicus? Masalahnya, Homo Economicus semakin dekat dengan Homo Homini Lupus. Manusia adalah serigala bagi yang lain. Makhluk Ekonomi memandang hanya dirinya yang subjek, dan memandang orang lain hanya sebagai objek.
Proses penggiringan umat manusia menjalani proses menjadi Makhluk Economi, menurut D. Paul Schafer (Revolution or Renaissance), bisa dilacak mundur hingga tahun 1776. Pada tahun itu terjadi tiga peristiwa penting. Pertama, ditandatanganinya Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Kejadian itu mengubah pandangan orang, negara dan dunia, terhadap apa itu pemerintah, proses pemerintahan, kemerdekaan, demokrasi, politik dan proses politik. Peristiwa itu sangat kuat sebagai pemicu fajar Abad Ekonomi.
Peristiwa kedua adalah mulai beroperasinya mesin uap temuan James Watt, yang membuka pintu kemungkinan invensi-invensi teknologi, serta inovasi dalam ilmu pengetahuan, industri, pertanian dan transportasi. Manusia pun beranjak, dari tergantung kepada hewan beralih tergantung kepada mesin.
Peristiwa ketiga adalah terbitnya karya mashur pemikir ekonomi tenar Adam Smith, di bawah judul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Buku ini, menurut Schafer, membuka pintu men uju cara berpikir baru tentang apa yang disebut sebagai kemakmuran. Setelah itu, di dunia ini terbit berjuta judul buku, yang langsung atau tidak langsung, mendorong manusia semakin menjadi Binatang Ekonomi.
Konflik-konflik besar, seperti Perang Dunia I dan II, Perang Dingin, dan konflik kecil yang tidak tercatat dalam sejarah kemanusiam, tidak lepas dari konflik kepentingan, yakni konflik antar manusia sebagai Homo Economicus. Setelah Perang Dingin berlalu, berkecamuk Perang Ekonomi.
Menghadapi keadaan seperti itu, ekonom yang bermatomorfose menjadi budayawan, D. Paul Schafer, menawarkan kepada dunia, untuk memilih revolusi atau Renaisans. Untuk bukunya, Revolution or Renaissance, ia pun mencantumkan subjudul Making the Transition from an Economic Age to a Cultural Age.(Revolusi atau Renaisans- Proses Transisi dari Zaman Ekonomi ke Zaman Budaya).,
Seperti apakah ciri-ciri manusia budaya itu? Menurut Schafer, manusia atau kerpibadian yang berbudaya (cultural personality) memiliki ciri-ciri: Holistic, centred, authentic, unique, creative, altruistic, humane (Holistik, memusat, otentik, unik, kreatif, altruistic dan ramah). Ia pun menandaskan: For cultural personality, people are not defined by their colour, age, profession, status, geographical location, or any other single characteristic. (Untuk kpribadian cultural, manusia tidak ditentukan oleh warna kulitnya, umurnya, profesinya, umurnya, profesinya, status atau geografi asal-usulnya).
Hanya manusia budaya yang memiliki keramahan. Ramah terhadap sesamanya. ramah terhadap seluruh lingkungan hidup manusia. Siapa pun manusia cultural, tidak akan menghancurkan lingkungan, sebab lingkungan adalah tempat manusia berada. Manusia budaya (cultural man) tidak akan mejadikan orang lain sebagai objek. Tidak ada objek, yang ada hanyalah sesama subjek.
Sifat altruistik manusia budaya menjadi satu keniscayaan sebab sesungguhnya manusia yang tidak berarti bagi manusia lain kehilangan ciri dasarnya sebagai manusia. Beberapa tahun belakang ini terdengar istilah “kematian manusia”. Artinya: kematian subjek. Mungkin itu berasal dari sikap yang teramat pesimistis. Golongan optimistis yakin, subjek masih ada. Manusia belum mati. Catatannya, memang diperlukan perbaikan kualitas subjek, kualitas umat manusia. Jika manusia telah berevolusi menjalani transformasi, dari Manusia Ekonomi menjadi Manusia Budaya, manusia belum akan mati. Masih ada waktu untuk berevolusi, menjalani transformasi mondial, mengubah Zaman Ekonomi menjadi Zaman Kebudayaan. ***