Tuhan & Batin Dua Wanita: Kisah Menemukan Cinta
Banyak kata-kata bijak nan suci yang menempatkan sosok ibu di tempat mulia. Bahkan hadist Nabi Muhammad SAW menyebutkan ibu merupakan sosok yang harus dihormati melampui level seorang bapak. Tak tanggung-tanggung, surga yang digambarkan begitu indah dengan segala kenikmatannya posisinya berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Sosok ibu sungguh luar biasa.
Konsep hikmah Jawa menganggap ibu sebagai “Gusti kang katon”. Artinya sosok ibu itu tidak lain bagian manifestasi Tuhan di alam raya ini. Sehingga kedudukan ibu begitu dihormati, perkataannya adalah do’a yang tiada penghalang untuk disegerakan ijabahnya. Bagaimanapun juga, seburuk apapun ibu selayaknya Qur’an bubrah yang harus setia dijaga keberadaannya. Inilah gambaran sosok ibu dalam masyarakat sehari-hari.
Namun tidak demikian dengan Naning Pranoto, melalui novelnya dia mencoba mengabarkan kepada dunianya bahwa sosok ibu itu tak selamanya menjadi surga bahkan terkadang neraka bagi anak-anaknya. Coba simak bagaimana Naning mempertanyakan sosok ibu lewat Ayu, lengkapnya Sri Rahayu:
“Ibuku sudah kehabisan kata-kata. Jika ia mau jujur, kini yang ia punya hanya air mata. Tetapi, ia congkak, korup, licik, dan dusta. Ibuku bukan penari topeng tetapi ia bertopeng, berlapis-lapis jumlahnya. Ya Allah, izinkan hamba bertanya, apakah masih ada surga-Mu ditelapak kaki seorang ibu yang menjual tubuhnya melalui internet untuk membeli kemewahan?
Sebuah pemberontakan yang Ayu lontarkan kepada Tuhan. Keraguan tentang cerita-cerita mulia yang Ayu terima selama ini. Sepertinya Naning sengaja memilih tokoh Ayu untuk mengkritik perilaku kebanyak ibu masa kini. Lewat tokoh ibunya Ayu, jika dicermati, sebenarnya Naning hanya mengambil satu sampel yang ditujukan untuk membongkar perilaku ibu yang kini cenderung materialis.
Ayu adalah sosok gadis yang masih berusia lima belas tahun sembilan puluh sembilan hari dan baru lulus SMP. Kaki kanannya terkena polio cukup berat. Sehingga sejak berusia lima tahun Ayu harus bersepatu besi, bertali kulit tebal. “Kau harus mampu menaklukkan kerasnya Jakarta, bahkan dunia dengan kaki besimu!” demikian ibunya selalu memotivasi Ayu agar dia tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. “Kau tidak boleh cengeng gara-gara kakimu. Mengapa? Sebab, kau sehat dan otakmu normal, bahkan cerdas. Kau harus jadi pemenang!”
Di tengah kondisi seperti itu, Ayu harus berhadapan dengan gaya hidup ibunya yang tergolong nekat, pemuja gebyarnya dunia. Hidup ibunya yang suka kebarat-baratan dan meninggalkan adat jawanya serta suka bergaul dengan bule-bule. Itulah salah satu penyebab percerain dengan ayah Ayu, yang konon pekerjaannya hanya sebagai penyair dan pelukis miskin, tak bisa mengimbangi keinginan istrinya.
Gaya hidup ibunya yang glamour menyeret Ayu harus hijrah ke Negeri Kanguru-Australia, hanya untuk menemui suami baru ibunya yang didapatkan dari internet. Sebuah perkenalan dan cara menikah yang selama ini masih kurang wajar. Begitu mudah ibunya percaya pada orang yang dikenal dari internet. Gerangan apa yang menyebabkan kuat kepercayaan ibunya menikahi bule hanya berlandaskan modal chatting? Apalagi kalau bukan uang.
Di tempat barunya, Dandenong, Australia, Ayu dan ibunya memulai hidup baru. Hidup di negeri orang yang dalam pandangan mata orang Indonesia, hidup seba enak, serba mewah. Tetapi kenyataan tidak bagi mereka berdua. Sangkaan yang selama ini mereka bangun ternyata salah besar. Malah sebaliknya, mereka harus mendiami rumah yang mirip dengan kontrakan di Indonesia. Ernie, suami ibunya, pun jarang sekali ditemui. Bahkan saat mereka tiba, si suami ibunya juga tak menjemput: suami aneh, tapi ibunya terpikat dengan embel-embel bule.
Hidup Ayu mirip anak yatim piatu, ibunya lebih sering mengurus dirinya sendiri. Ibunya sibuk menawarkan diri lewat internet. Sebuah kehidupan yang kontras dengan cara hidup oang Indonesia. Inilah yang dialami Ayu, sebuah kehidupan bersama ibunya tetapi terpisah sebab ego ibu yang begitu besar. Lebih tepatnya, Ayu dan ibunya kehilangan makna keluarga. Terjadi distorsi makna keluarga, yang seharusnya menjadi tempat naungan, mendapat ketentraman lahir batin ternyata bak mirip tempat kumpul dan makan saja.
Begitu keras beban fisik dan psikologis yang dialami Ayu di negeri yang jauh dari sanak famili. Lantas, apa yang membuatnya tegar menghadapi kerasnya hidup dan sikap ibunya itu? Dalam kondisi jiwa yang galau sehingga menghantarkan Ayu berharap hadirnya bias-bias agung Sang Nur hadir menerangi jiwa. Ayu mempunyai untain zikir Asmaul Husna yang di dalamnya menyuratkan nur yang mampu menerangi kegelapan jiwa manusia dan alam semesta. Ayu percaya dengan asma itu, dia barengi dengan laku sabar dan legowo atas semua takdir yang dia terima sembari berharap nur itu menjelma dalam kehidupannya.
Disaat kegersangan jiwa dan kesendiriannya akhirnya muncul seberkas cahaya yang menjadi lentara penerang di Negeri Kanguru. Hadirlah sosok Marco, seorang imigran dari Brazil yang profesinya sebagai chief. Usut punya usut jalan hidup Marco juga tak kalah tragisnya dengan hidup Ayu. Marco seorang anak budak, lahir sebab ibunya diperkosa oleh majikannya dan kemudian sang ibu dibunuh oleh suruhan majikannya. Marco pernah menjadi gelandangan hingga akhirnya ditolong seorang syekh dan memilih menjadi muaallaf.
Sosok Marco-lah yang diutus Allah untuk menunjukkan jalan terang Ayu dan ibunya. Meski tidak semudah membalikkan telapak tangan namun berkat kegigihan dan kesabaran Marco dan Ayu, jiwa keibuan ibunya tergugah dan sadar untuk kembali menjalani kehidupan yang normal. Ibunya mengizinkan ayu masuk pesantern. Cerita berakhir di sini, meski antara Marco dan ibunya Ayu sekilas terjadi adegan saling jatuh cinta, namun secepat itu Naning menghentikannya. Tidak ada kelanjutan cerita cinta dan ibunya ayu.
Kemungkinan karena amanat yang hendak disampaikan Naning adalah kembalinya kesadaran seorang ibu lewat pergulatan batin, proses menjadi jati diri seorang anak di tengah-tengah usianya yang penuh gejolak dan alam masyarakat yang asing.
Judul Buku : Dzikir Jantung Fatimah, Ada Tuhan di Negeri Kanguru
Penulis : Naning Pranoto
Penerbit : Diva-Press Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, April 2012
Tebal : 332 halaman
Resensi Oleh Khoirul Anwar
Sumber:http://media.kompasiana.com/buku/2012/08/02/tuhan-batin-dua-wanita-kisah-menemukan-cinta/