HeadlineKarya Fiksi Peserta

UJUNG LANGIT

Penulis : Hikari Noor/Nurun Isnaeni

Senyum di wajah peremppuan itu masih manis, berhias sepasang bola mata yang berbinar terang meski rambut merah khas anak pesisir pantai sudah mulai beruban. Saat hendak memasuki gerbang besi berkarat, berwarna hijau, ia merengkuh tangan lelaki yang berjalan di sisi kanannya. Tangan itu balas mengenggam, menguatkan. Lewati kerumunan anak muda, lalu mendekati deretan ruang berjendela hijau yang berukuran setengah badan orang dewasa, nyalinya menciut. Langkah kakinya diperlambat, nyaris berhenti. Tubuhnya pun bergetar, membawanya pada peristiwa puluhan tahun silam.

Ketika itu malam sedang bertabur cahaya rembulan. Deburan ombak bagai musik yang mencumbu bibir pantai, daun kelapa meliuk-liuk dibelai angin, namun di sebuah rumah panggung yang berjarak sekitar 400 meter dari bibir pantai, terdengar suara isak tangis.

“Izinkan Mini menikah, Amaq1.”

Seorang lelaki bersarung coklat lusuh duduk di atas tikar rotan, di tengah ruang yang dipenuhi cangkang ketupat. Ia terdiam. Matanya merah. Seharian penuh ia berdebat dengan anak sulungnya, namun tak sedikit pun ia mengubah pendapatnya. Setetes air mata Amaq jatuh, di samping cangkir kopi lurik hijau putih. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang sejak tadi mendengar percakapan di balik dinding anyaman bambu, tiba-tiba menyerobot masuk.

“Dasar pengkhianat! Kau sama saja dengan mereka, Menikah saja sana! Jual impianmu demi hidup mewah. Tak peduli kau jadi istri kedua, ketiga bahkan keempat sekalian!” ujarnya sambil berlari meninggalkan rumah.
Suara tangis gadis berusia 15 tahun itu pecah, kepalanya ia letakkan di atas pangkuan kiri laki-laki bersarung coklat. Laki-laki itu membisu. Anak laki-laki tadi berlari telanjang kaki menuju pantai.
*

Angin darat berhembus kencang, membawa perahu para nelayan berlayar jauh meninggalkan pantai. Udara dingin memeluk daratan dengan sangat mesra hingga terasa mencengkeram tulang-tulang yang dibungkus tubuh kurus dan kecilnya. Hati anak kecil yang merasa dikhianati, terlalu panas untuk sekadar mengeluh. Ia luapkan dengan berteriak sekencang-kencangnya, hingga segenap urat lehernya terlihat seperti akar pohon beringin. Lautan menelan mentah-mentah jeritannya. Ia kembali berteriak hingga tenggorokannya kering, kedua matanya membesar dan memerah. Lautan tetap membisu. Ilmu Fisika telah membuktikan, Tuhan telah menakdirkan lautan sebagai pendengar terbaik. Tak akan pernah dijawab setiap keluhan manusia.

Anak laki-laki itu merebahkan badannya di atas pasir kering. Direntangkan kedua tangan dan kakinya lebar-lebar. Panas dan perih air matanya terasa menyentuh pipi.Tiga bintang terang bercahaya biru berbentuk pemburu memegang panah, terlihat di langit Barat Daya. Menggiring ingatannya pada janji yang telah diikrarkan.
*

Matahari mulai menyibak biru, mengikat merah, oranye dan abu-abu di ujung Timur. Burung-burung dara merapikan barisan menuju sarang kembali. Seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun mengerang, saat pecehan gelas berukuran setengah centi meter berhasil keluar dari telapak kakinya. Seorang gadis mengelapnya dengan secari kain yang sudah direndam dalam air hangat.

BACA :   Republika:Tulisan Buruh Migran Mengundang Haru dan Getarkan Jiwa

“Tahan sedikit ya,” katanya sambil mengoleskan batang pohon jarak. Cengkraman keras tangannya, diikuti jeritan saat getah segar diteteskan pada luka yang menganga.

“Minggu depan setelah uang kak Mini cukup, kita beli sepatu plastik ya,” kata gadis yang sedang bertumbuh itu. Ia melihat semburat jingga yang akhirnya muncul di ujung pantai. Suaranya menenangkan di sela-sela rintihan tangis anak laki-laki itu.

“Gak usah, Kak,” anak laki-laki mencoba berdiri.

Ia berdiri, kaki kanannya diangkat. Kedua tangannya diletakkan di pundak gadis itu. Tercium aroma santan kelapa dan asam jawa dari rambut gadis yang menyentuh wajahnya.

“Tabungan kakak digunakan untuk daftar masuk SMA saja nanti. Kak Mini kan selalu bilang, kita harus mengubah nasib keluarga. Kakak tidak boleh jadi pedagang cangkang ketupat seperti almarhumah inaq2. Aku dan adik-adik tidak boleh jadi buruh petani garam lagi seperti amaq. Kita harus sekolah, Kak,” katanya sambil menahan perih lukanya.

Mini membisu. Setelah ibu mereka meninggal, ia dan ketiga adiknya yang masih kecil, harus berbagi tugas. Ada yang menjual cangkang ketupat, memasak, dan membantu amaq yang menjadi buruh petani garam. Setiap hari sampai larut malam, amaq membuat cangkang ketupat. Di pagi buta, Rukmini dan Terune menjual cangkang ketupat di pasar dekat sekolah mereka. Saat amaq bekerja di ladang garam, dua adik mereka yang berusia enam dan empat tahun, bergantian menjaga di rumah. Setelah sekolah, Rukmini dan Terune pun menyusul ayah mereka ke ladang garam.

“Apakah kamu pikir kita benar-benar bisa sekolah sampai SMA, Dek?” keraguan memenuhi pikirannya.

“Tidak hanya sampai SMA, kita akan sekolah di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Nahdatul Wathan ( STKIP NW) yang ada di kota,” Terune mengulang kembali kata-kata kakaknya.

“Law of attraction. Itu kata seorang kakak yang dari universitas apa tuh,yang di Yogyakarta, Kak? Itu lho, yang pernah KKN di sekolah kakak. Ia bilang, ketika menyebut kata itu dan berusaha mencapai mimpi kita dengan sangat kuat, maka alam akan bergetar membantu mewujudkannya.”

Gadis itu mengangguk tanpa menolehkan wajah. Ada rasa tak yakin terselip dalam hatinya. Semburat warna jingga tampak pekat di ujung Timur.

*

Hatinya berdegup semakin kencang, saat ia memasuki ruangan berjendela hijau. Keramaian menjadi hening, belasan pasang mata di dalam ruangan seolah menatapnya, kemudian terdengar suara tawa lagi. Perempuan itu duduk di bangku urutan ke tiga dari pintu, dan nomor dua dari depan. Tangan kirinya masih mengenggam erat tangan laki-laki yang berusia sekitar lima tahun lebih muda darinya itu. Laki-laki itu duduk di bangku sampingnya. Ia menatap wajah perempuan itu, mengenggam tangan kirinya dengan kedua tangannya. Persis seperti peristiwa dua puluh lima tahun silam.

Ia kembali membasuh kedua kakinya di sebuah sungai kecil yang mempertemukan air tawar dan asin di tepi pantai. Tempat ia dan Rukmini biasannya berlomba mencari sisok3 untuk dijual pada teman-teman sekolahnya. Kali ini ia tidak berminat sama sekali untuk menunduk mencari sisok di antara pecahan kerang laut dan pasir. Ia menatap lurus pada pertemuan cahaya merah, oranye dan putih yang terlihat samar di ujung langit. Sesekali diusapnya air mata yang tak kunjung terbendung, Napasnya terasa sesak.

BACA :   KOTAK PANDORA

“Kak Mini, apakah ujung bumi dan dan langit bertemu di lautan seperti yang sedang kita pandang?” tanya anak laki-laki itu beberapa tahun silam. Pertanyaan yang menjadi awal perjanjian mereka. Janji yang dikhianati.

“Tidak, menurut ahli geografi, bentuk bumilah yang membuat langit dan bumi seolah-olah bertemu di lautan. Di bangku SMP nanti, adik akan belajar.”

“Kalau kita terus berlayar, apakah kita akan melihat ujung bumi?” tanyanya penasaran.

Gadis itu bangkit dari tempat ia duduk, lalu mengusap-usap pasir hitam yang menempel di sekujur tubuhnya.

“Kamu akan belajar nanti, saat sekolah di STKIP NW,” jawabnya sambil tersenyum. Ia lalu duduk membelakangi lautan. Mengusap-usap kepala adiknya.

“Kakak berjanji, bagaimana pun caranya, kamu dan adik-adik akan sekolah.”

Mengingat percakapan dua tahun silam, anak laki-laki itu langsung berlari meninggalkan pantai. Kerikir-kerikil kecil yang menusuk telapak kakinya tak ia pedulikan. Ia hanya ingin segera sampai ke rumah.

Tenda-tenda putih telah memenuhi halaman rumah mereka yang sempit. Tumpukan perangkat gendang beleq 4telah siap di dekat tangga rumah pagung mereka. Bahkan tanpa sengaja ia sempat menyenggol gendang beleq mama 5saat menginjak tangga kayu pertma.

Saat memasuki rumah pangung, aroma ares6, dan sate kelapa yang sudah matang tercium memenuhi dinding bambu dan atap rumah yang terbuat dari alang-alang. Para tetangga sibuk mengelap piring, mangkok, dan gelas untuk menjamu tamu. Ternyata pernikahan kakak perempuannya dengan duda juragan cabai bukanlah mimpi.

Ia menuju kamar satu-satunya di rumah, di ujung ruang Meski usianya masih 15 tahun, ia melihat Mini mengenakan kebaya putih. Riasan di wajahnya menambah kecantikan kakak perempuannya itu.

Begitu melihat anak yang sudah tiga hari menghilang dari rumah, amaq yang sejak tadi menasehati anak sulungnya, langsung keluar dari kamar.

Sepasang bola mata yang berkaca-kaca itu bertemu. Terune mendekat. Ia berlutut di hadapan Mini. Kedua tangannya yang bergetar mencoba meraih tangan di pangkuan Mini. Digenggamnya erat-erat tangan itu. Sepi. Hanya terdengar isak yang saling bersahutan.

“Sekolahlah,” ungkap Mini lirih, bibirnya bergetar.

“Laki-laki itu berjanji akan membantu ayah menyekolahkan kalian,” katanya, sambil menahan derai air mata.

Tangan Terune itu semakin kuat menggenggam tangan Mini. Seperti halnya ia tak memahami langit yang berujung di lautan, ia pun masih terlalu kecil memahami yang terjadi. Mini mengusap-usap lagi rambut berminyak adiknya yang sudah tiga hari tidak dicuci.

BACA :   JALAN KEMBALI MENUJU CINTA

“Kakak akan jadi guru, tapi nanti jika kamu sudah menemukan rahasia di balik ujung langit. Kakak janji,” katanya sambil memandang sepasang mata adiknya.

“Berjanjilah juga untuk menjaga ayah dan adik-adik, serta belajar yang giat.”
Kedua mata mereka saling memandang. Terune menganguk, mengigit bibirnya. Jantung mereka berdegup kencang. Janji itu dibawa oleh lima ribu lebih neuron menuju saraf otak. Di sanalah bumi bergetar, menyampaikan peristiwa itu pada Tuhan.
*

Genggaman tangannya semakin kuat, saat belasan orang berseragam mulai memasuki ruangan. Mereka mengambil posisi di beberapa bangku kosong. Mereka masih terlihat muda, sekitar dua puluhan tahun. Hanya satu atau dua orang yang terlihat sudah berusia sepertinya

“Tunggu lah sebentar lagi,” kata urat-urat tangan itu meskipun pemiliknya hanya membisu. Laki-laki itu kembali mengelus-elus tangan itu, meyakinkannya, bahwa semua akan baik-baik saja. Perlahan pegangan tangan itu mengendor saat seseorang mengucapkan salam dari balik pintu. Seorang perempuan yang sudah cukup berusia senja, muncul dengan senyum yang sangat mekar. Tak lupa ia merapikan kacamata dengan frame hitam besar, seperti anak-anak muda gaul masa kini. Semua yang ada di ruangan pun berdiri dan memberi salam pada guru pertama mereka.

“Pergilah, Terune. Terima kasih,” ujarnya sambil melepaskan genggaman tangannya. Guru berkaca mata gaul tersenyum sangat ramah sambil mempersilahkan Terune keluar ruangan.

Dari balik pintu, Terune masih terus melihat ke arah bangku urutan kedua. Guru menyapa satu persatu muridnya dengan sangat ramah sehingga membuat suasanya kelas menjadi hangat. Terune pun memutuskan meninggalkan ruangan tersebut. Saat melewati plang bertuliskan UNIVERSITAS TERBUKA di halaman, dia berbisik. Berharap angin sore itu bersedia menyampaikan pesannya.

“Selamat melanjutkan sekolah lagi kak Rukmini, tidak ada kata terlambat untuk menggapai cita-citamu. Terima kasih banyak telah mengorbankan segalanya untuk kami.”

Yogyakarta, 28 Agustus 2021

Profil Nurun Isnaeni

Hikari Noor, begitu nama pena dari Nurun Isnaeri, perempuan yang lahir dan besar di desa kecil di Pulau Seribu Masjid, NTB. Semasa kecil, ia menghabiskan harinya dengan bermain di sungai, pantai, kebun dan sawah. Dari atap rumah, ia suka menikmati suasana malam dengan temaram bintang, karena di kampung halamannya listrik dimatikan tiga sampai empat kali dalam seminggu. Hal itu membuat ia bercita-cita ingin menyaksikan langit malam di belahan bumi lain.

Ia menempuh pendidikan strata satu (S1) di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Sempat mengenyam pendidikan di Shinjuku Japanese Language Institute (新宿日本語学校)yang berlokasi di jantung kota Tokyo, membuatnya jatuh hati pada bahasa, dan budaya Jepang. Nurun baru saja menyelesaikan kuliah pascasarjana jurusan Applied Linguistics di Northwestern Politechnical University (西北工业大学), Tiongkok. Selain menulis, ia suka menonton film, makan, dan travelling..

Catatan
Karya Fiksi Peserta secara lengkap dapat dilihat dalam Rubrik Khusus Karya Fiksi Peserta

Tags

Karya Fiksi Peserta

Naning Pranoto Creative Writing Corner | WA 085781113695 | Editor : Shinta Miranda

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Back to top button
Close