Books

Wajah Sebuah Vagina – Naning Pranoto

VAGINA MENGGUGAT, VAGINA TERGUGAT

Esai Arie MP Tamba

Bila kita menilik kitab suci agama Kristen, Alkitab, adanya superioritas pria atas wanita sudah bisa dirunut sejak zaman penciptaan Adam dan Hawa. Adam diciptakan terlebih dulu dan Hawa diciptakan darinya. Adam adalah kreator dari Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan secara moral, Adam lebih superior. Dan secara khusus pula, Hawa patut “disalahkan” karena Hawa-lah penyebab mereka berdua dikeluarkan dari surga.

Selanjutnya, mengikuti berbagai pemikiran para filsuf Yunani, persoalan pria dan wanita sebagai makhluk berbeda (lain gender) semakin menjadi perhatian. Disimpulkan bahwa pertemuan pria dan wanita sebenarnya adalah “pertempuran seks” (the battle of the sexes). Karena pria dan wanita “tidak sama” dan bahkan saling “berlawanan”. Dalam bahasa Kate Millet (1993) berlangsung “politik seks” (sexual politics) pada hubungan pria dan wanita. Ini termasuk bias konsep Freud tentang wanita sebagai pria tanpa (dan menginginkan) penis (penis envy). Menurut Millet, Freud meratifikasi anjuran-anjuran tradisional dan memvalidasi adanya perbedaan temperamental antara pria dan wanita.

Simone de Beauvoir (1981) dalam The Second Sex menyoroti “politik seks” ini pada berbagai masa dan bermacam budaya di dunia. Dalam budaya Arab, pernah seorang anak wanita yang baru lahir sebisa mungkin disingkirkan karena dianggap tidak menguntungkan dibandingkan anak pria. Di negara-negara Asia, ketika seorang anak wanita masih berusia remaja, seorang ayah akan memegang kendali sampai usia menikah dan kontrol kemudian beralih ke tangan suaminya. Di Tunisia, para istri bekerja keras menyiapkan makanan di dapur atau sibuk mengurus anak-anak, sementara para suami bergerombol dengan sesama pria di warung-warung, mendiskusikan persoalan dunia.

Lalu dari tabel yang pernah dibuat oleh Phytagoras, perbedaan antara pria dan wanita tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan fisik tapi juga dalam persoalan lain. Pria diasosiasikan dengan segala sesuatu yang bermakna light, good, right, dan one. Semua metafora yang dikenakan pada pria berkenaan dengan makna Tuhan. Sementara wanita diidentifikasikan dengan sesuatu yang bad, left, dan darkness. Tidak jauh beda dengan Aristoteles yang mengatakan, bahwa secara natural pria itu superior dan wanita inferior. Yang superior mengatur yang inferior, yang inferior harus rela diatur. Pria menggunakan akal, wanita menggunakan nafsu. Pria makhluk bebas, wanita makhluk budak. Bahkan contoh yang paling baik untuk melihat segala kekurangan alam adalah dengan mengamati karakter wanita.

BACA :   Novel AZALEA JINGGA

Tapi bagi Helena Cixous (1986), novelis dan kritikus pejuang feminisme dari Prancis, seperti sengaja ingin membantah “takdir” yang telah dikonstruksikan masyarakat kepada wanita selama berabad-abad, menyodorkan teori tentang karakter dasar wanita. Menurutnya, ada dua sikap memberi pada manusia. Pertama, adalah sikap memberi bergaya maskulin, yang terjebak dalam mekanisme jual beli dan hanya memberi bila ada kepastian akan mendapatkan imbalan yang segera. Lalu yang kedua, sikap memberi gaya feminis yang tak mengharapkan balasan apa-apa, yang paling mudah dicontohkan dengan keberadaan matahari. Matahari hanya menerangi bumi dan seisinya, tanpa pernah mengharapkan apa pun sebagai imbalan.

Pemikiran ini tak terhindarkan mengajak saya melihat adanya hubungan intertekstual antara kesadaran feminisme Helena Cixous – dengan teks-teks novel Naning Pranoto, Wajah Sebuah Vagina (WSV, 2004), yang secara tendensius ingin memperjuangkan keadilan atau nilai kesejajaran gender bagi wanita. Perjuangan ini secara unik direpresentasikan Naning tidak sebagaimana lazimnya, di tingkat ketimpangan sosial atau ketidaksemena-menaan psikologis. Melainkan disoroti melalui tataran biologis filosofis, dengan mengedarkan (dan juga membenturkan) berbagai pemaknaan atas keberadaan organ wanita: vagina.

Vagina, menurut kisahan WSV, suatu ketika patut ditangisi. Dalam peradaban manusia, pada tahapan perkembangan tertentu, ia menjadi lambang kesucian para wanita, karena dari sana rahim akan menaikkan harkat wanita dengan peluang menjadi seorang kekasih yang disayangi, istri yang dihormati, atau ibu yang dimuliakan. Tapi vagina, suatu ketika juga menjadi sumber malapetaka bagi wanita, ketika keberadaannya dilecehkan ke tingkat pemuasan nafsu pria yang dapat pula dikomersialkan. Organ tubuh ini serta-merta mengkhianati nilai luhur, yang mungkin masih dapat diterakan untuk kehadiran sosial pemiliknya.

Meliputi masa kisahan, Oktober 1982 s/d Januari 1983, tersebutlah seorang wanita bernama Sumira, dari desa Mijil, Pulau Jawa, yang kemudian kita kenal sebagai Mira, tokoh utama novel WSV. Disebutkan ayah-ibu Mira telah dibunuh tahun 1965 oleh “petugas keamanan negara”, karena ayah Mira adalah seorang anggota Barisan Tani Indonesia yang masih dipayungi Partai Komunis Indonesia (PKI). Mira kemudian dipelihara oleh neneknya. Sebagai seorang anak keturunan PKI, Mira mendapat bermacam hinaan dalam masa sekolahnya. Dan yang paling parah adalah ketika ia lulus SD, dalam usia 14 tahun, kegadisannya direnggut oleh Lurah Prakosa, yang senang hidup berfoya-foya dan merusak gadis-gadis muda.

BACA :   Boys World, Boys Things

Tak tahan menanggung malu, Mira lari ke Surabaya. Di Surabaya, oleh tetangganya yang dikunjunginya, Mbak Dinah, Mira dijadikan pelacur selama lima tahun di rumah bordil yang dikelolanya. Mira melanjutkan hidup dengan mengkomersialkan vaginanya, dinikmati oleh siapa saja yang mampu membayar, dan terkadang menyiksanya. Hingga ia kemudian bertemu dengan Suhar, menikah dengannya, dan hidup serba kekurangan, terlebih karena uang tabungannya habis untuk mengobati neneknya yang ternyata tidak tertolong.

Rumah tangga Mira agak “lumayan” ketika ia ikut menambah penghasilan dengan berjualan bir kepada seorang penumpang langganan Suhar. Seorang “londo” bernama Mulder, yang mengaku kepada Mira sebagai pedagang berlian dan emas batangan. Mira kemudian tergoda oleh kemewahan yang dijanjikan Mulder. Untuk pertama kalinya bahkan, Mira merasa “diwongke” oleh Mulder yang menganggapnya rembulan. Kali ini vagina telah “mewongke” Mira, dan ia bersedia mengikuti ajakan Mulder ke Afrika, meninggalkan Suhar suaminya.

Melalui pelayaran berbulan-bulan, Mira mulai melihat “kebinatangan” di balik wajah ramah dan kemesraan Mulder. Di kapal laut, Mira dijual Mulder kepada seorang temannya. Dan sesampainya di Durban, Afrika Selatan, Mira dijadikan pelacur dan Mulder mucikarinya. Kali ini vagina kembali menghancurkan Mira.

Mimpi-mimpi indah tentang kehidupan mewah di bumi Afrika pupus sudah. Mira mulai sakit-sakitan dan sering mengalami penyiksaan dari Mulder. Puncaknya, karena Mira suatu kali tak sanggup memenuhi permintaan dari seorang pelanggan, karena ia sedang haid (ingat: ini masalah biologis wanita yang berhubungan langsung dengan keberadaan vagina) – Mira dipukuli dan kemudian dikubur hidup-hidup oleh Mulder bersama seorang pacar barunya, Wendy.

Tapi matahari sebagai metafor kesadaran feminisme ala Helena Cixous (dalam penceritaan dimulai dari halaman pertama) – ternyata menyaksikan penderitaan Mira dan membangunkan Mira dari kuburannya. Ada seorang penduduk asli, pemuda Mbeko, yang melihat penguburan itu. Ia bersama keluarganya (ibunya, Sofia, atau Bu Sepuh, dan juga adiknya, Totti) bersama penduduk desanya kemudian menolong Mira. Hingga selanjutnya, Mira pun menikmati keramahan dan hangatnya kehidupan yang dialirkan matahari ke dalam kesadarannya. Sikap memberi gaya feminisme Helena Cixous coba diuniversalkan oleh Naning dengan menerobos perbedaan kulit dan batas budaya. Mira si wanita Jawa kulit sawo matang, menikmati pemberian tanpa pamrih berupa pertolongan menghidupkan dari Bu Sepuh, wanita Afrika kulit hitam yang juga seorang dukun, dan selanjutnya diperjuangkan hak-hak kewanitaan dan kemanusiaannya oleh bangsa kulit putih, Julia Camarro dan anaknya, Nicho Camarro. Novel juga cukup informatif tentang budaya kuliner, sandang, maupun hubungan pria-wanita di benua Afrika.

BACA :   Dua buah Buku Pelipur Lara dan Sumber Inspirasi Berkarya

Tapi Naning tidak membiarkan hidup Mira berakhir “tenang”. Karena Ian Camarro, tidak mendukung berbagai pertolongan yang diupayakan istrinya, Julia, dan putranya, Nicho. Ian Camarro justru menghubungkan kembali Mulder dengan Mira, hingga situasi menjadi tegang: apakah Mulder akan dapat “menguasai” kembali Mira, atau Mira dapat dipulangkan ke Pulau Jawa oleh Julia yang sudah membelikan tiket kapal.

Namun vagina Mira yang sudah dirusak oleh Mulder tidak saja dengan penisnya tapi juga dengan benda tumpul itu – terus mengeluarkan darah. Hingga Mira kemudian secara metaforik menyambut maut yang menggerayangi kesadarannya, bersama terpaan sinar matahari penghabisan yang masih sempat menghangatkan kesadarannya yang kemudian redup, gelap, dan mati.

Sampai di sini, satu hal lagi yang kembali mencuat – jenis penyiksaan tidak saja dengan penis tapi juga dengan benda keras dan tumpul yang menimpa Mira – membuka pula hubungan intertekstual dengan kisah tragis yang menimpa Marsinah, si buruh perusahaan arloji yang disiksa para aparat dan menjadi catatan hitam perjalanan hukum Indonesia. Hingga kita tergoda bertanya: apakah Sumira atau Mira, adalah Marsinah? Jawabnya: bisa iya, bisa tidak. Sebab yang dipersoalkan Naning adalah ketidakadilan universal yang menimpa wanita – melalui vagina mereka – yang suatu saat dihormati dan saat lain mengalami pelecehan secara sosial bahkan dirusak secara biologis. Namun, selalu terbuka peluang melawan ketidakadilan tersebut, paling tidak dengan mengisahkannya. Tidak di sini, tapi di Afrika sana.

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Check Also

Close
Back to top button
Close