Cerpen Kita

WAJAH : Cerpen Sides Sudyarto DS

Wajah -Cerpen Sides Sudyarto DS

DURMA mempunyai kesadaran yang luar biasa atas kesadarannya sendiri. Ia tahu bagaimana menghadapi orang bodoh, pintar, orang culas, orang jujur, orang miskin, atau kaya. Ia bisa jadi orang gila dan gagu, ketika harus naik oplet karena tidak mampu membayar.

Ketika muda ia merantau ke Yogya. Di sana ia membeli buku loakan. Pada halaman awal buku stensilan itu terbaca kalimat: filsafat tidak menanak nasi. Dan kini, dalam hidupnya di perantauan ia mencatat sendiri: ijazah tidak menanak nasi. Ia jadi penarik becak saat baru masuk Jakarta. Posisinya meningkat, saat ia jadi penjual koran.

Lompatan jauh ke depan, yang paling spektakuler, terjadi ketika ia dari tukang koran menjadi wartawan surat kabar paling berpengaruh di Jakarta. Tidak banyak orang tahu proses metamorfosis dahsyat itu. Ia menutup ketat masa lalunya itu. Puncak kariernya, ia menjadi penasihat seorang politikus muda yang sedang naik daun. Ketika kemudian tokoh flamboyan itu menghalalkan semua cara, ia pilih mundur. Antiklimaks terjadi, ia jadi pengangguran, hidup lontang-lantung.

Berbeda dengan mereka semua, Durma memilih warna lain. Ia memberikan beban berat kepada mukanya sendiri. Kepada wajahnya. Ia selalu siap menjadikan wajahnya sebagai alat penyamaran, alat berpura-pura, atau sebagai topeng perasaan dan pikirannya. Doktrin hidup pribadinya sekarang ialah: selama aku mampu merendahkan diri, siap dihina orang, aku masih bisa mendapatkan sedikit uang untuk hidup!

Wajahnya selalu menengadah, siap dimaki, dihina, disiksa, dianiaya, ditampar, atau bahkan juga diludahi. Karena wajah baginya adalah satu penampang dan simbol kehormatan, maka Durma siap menelan risiko menjadi manusia yang tidak terhormat.

“Mengapa kau memilih bunglon sebagai mahagurumu?” tanya Paron.

“Karena saya tidak punya mahaguru dari universitas. Toh ada bedanya. Bunglon berubah warna kulit untuk menyelamatkan dirinya, tanpa sadar. Ketika saya mengubah taktik saya, itu saya lakukan dengan sadar,” jawab Durma.

“Apa kau tidak mampu mencari mahaguru yang lebih bermutu?” ejek Paron.

“Ada, bahkan jauh lebih bermutu.”

“Siapa?”

“Kemiskinanku. Penderitaan hidupku adalah guruku yang nomor satu.”

“Coba kasih contoh untukku salah satu bentuk penderitaanmu!”

“Saya pernah disuruh menagih utang oleh seseorang, kepada seseorang. Karena aku menagih di pinggir jalan, orang itu marah dan ia meludahi wajahku.”

“Lalu, selanjutnya?”

“Selanjutnya aku menarik garis lurus kesimpulanku. Ternyata dengan bersedia diludahi wajahku, aku dapat uang. Artinya aku bisa bertahan hidup!”

“Apa tidak ada bisnis lain? Pekerjaan apa yang kau lakukan itu?”

“Aku bisnis muka. Bisnis wajah! Bisnis lain juga banyak kulakukan. Aku mengurus SIM, STNK, BPKB, calo tanah, calo onderdil mobil.”

“Dan hasilnya membuat kau bahagia?”

“Walah! Walah! Mas Paron, untuk saya kebahagiaan itu tidak pernah ada!”

Sudah tiga tahun terakhir ini Durma bekerja sebagai sopir pribadi Bu Jonoamijoyo. Ia akrab dipanggil Bu Ami, dikenal sebagai perempuan yang paling galak, kasar, tetapi baik hati. Ia suka memberi uang kepada siapa saja. Tentang Bu Ami orang-orang mengatakan: ia menghidupi orang dengan uangnya, sekaligus membunuh orang dengan kata-katanya. Semula Durma tidak percaya semua omongan orang itu. Setelah ia bekerja cukup lama barulah ia tahu apa yang sebenarnya.

Sebenarnya, Bu Ami perempuan yang cantik paras mukanya, pikir Durma. Selalu. Rambutnya yang hanya sebahu panjangnya, bergelombang alami. Memang sudah mulai memutih, tetapi menambah indah parasnya. Wajahnya selalu bersih, tanpa mengenakan bedak. Bibir pun merah asli tanpa gincu. Di zaman anggaran kecantikan mengalahkan anggaran pertahanan, ia sama sekali tidak berdandan.

Sayangnya, badannya terlalu besar karena gemuknya. Hebatnya, meskipun gemuk dengan bokong yang terlalu besar, ia selalu bergerak cekatan dan tidak ada segannya naik turun tangga dalam rumahnya yang berlantai tiga. “Durma, sebulan ini kau bekerja baik sekali. Kau tidak mangkir sehari pun. Kau pantas menerima bonus satu juta rupiah! Ingat, jangan sampai dicuri binimu di rumah. Perempuan kebanyakan hanya bisa mencuri uang suaminya. Rata-rata mereka tidak lebih dari komodo-komodo penghisap darah daging suaminya. Perempuan, juga istrimu, pastilah komodo yang pura-pura setia sebagai modal utamanya,” ujar Bu Ami.

Sering kali, Bu Ami dimaki-maki orang di depan rumahnya, karena ia sendiri menghamburkan makian yang luar biasa kotornya. Dua musuh utama Bu Ami adalah pemulung dan peminta sumbangan yang terus tumbuh bagai cendawan di musim hujan.

“Hai maling jahat! Rapikan kembali sampah-sampah itu. Kamu makan dari sampah, tetapi tak tahu aturan. Sampah kau obrak-abrik, berantakan. Baunya ke mana-mana. Jika tidak kau rapikan lagi, makan semua sampah busuk itu biar kenyang perutmu!” maki Bu Ami menghardik pemulung.

Suatu hari, datang seorang pemuda gondrong membawa daftar sumbangan. Jumlah sumbangan sudah ditentukan.

“Sumbangan itu suka rela. Jangan maksa begini! Aku tak mau dipaksa. Kalau maksa, namanya rampok! Garong! Kau pikir cari uang mudah?” ujar Bu Ami bergetar.

Penarik sumbangan marah luar biasa. Ia menghunus goloknya, lalu mengejar perempuan gembrot yang menghinanya. Durma terpaksa tampil sebagai pahlawan.

Akhir-akhir ini Bu Amijoyo sakita-sakitan. Keluhannya, seringkali kakinya merasa pegal-pegal dan ngilu, terutama pada bagian-bagian persendiannya. Dia bilang itu penyakit asam urat. Maka secara periodik ia pun harus ke dokter dan apotek untuk beli obat. Langganannya: voltaren, silorit. Hingga bosan ia membayar dokter dan membeli obat, tidak juga sembuh. Rasa sakit, nyeri dan ngilu memang lenyap setelah makan obat. Tetapi begitu obat habis, kambuh lagi rasa sakitnya yang sangat menyiksa.

“Durma, sudah seminggu kau tidak bekerja, lantaran aku sakit. Kau makan gaji buta! Sekarang aku sakit, kau tidak peduli. Sekarang kau mau berbuat apa?”

“Apa yang bisa saya lakukan, Ibu?”

“Kau punya otak atau tidak? Mestinya kau berpikir, bagaimana aku cepat sehat. Molor saja kerjamu itu!”

“Saya sudah antar Ibu ke dokter. Saya sudah ke apotek beli obat,” jawab Durma.

“E, apa matamu buta? Sudah berapa juta uang dihamburkan untuk beli obat? Dokter mahal, obat mahal. Tidak menyembuhkan! Penipu! Coba cari obat lain, Durma!”

Durma pergi mencari obat tradisional.

Di jalan, ia jumpa Mas Paron lagi. “Kau masih bekerja pada Bu Gendut itu?” tanya Mas Paron.

“Masih, Mas. Orangnya baik sekali!”

“Baik sekali katamu? Sopir lain hanya tahan tiga hari! Kau sudah tiga tahun!”

“Dia itu orang yang sangat kaya harta, tetapi sangat miskin bahasa. Ia banyak memberi uang kepada orang. Bukan hanya kepada saya saja, Mas!”

“Kau mau ke mana sekarang?”

“Majikan saya sakit asam urat. Sudah lama. Dokter dan obat tidak menyembuhkan, Mas. Kalau kumat, ia nangis jejeritan.”

“Dia orang baik, katamu. Harus kita tolong. Nah cari obat tradisional, ini merknya. Adanya di warung jamu Pasar Lama. Harganya hanya seribu perak sebungkus,” ujar Mas Paron.

Durma pulang dengan sepuluh bungkus jamu.

“Luar biasa. Seperti orang main sulap saja. Sayang langsung sembuh!” ujar Bu Amijoyo kepada Durma. Ia sangat kagum, sebab minum jamu sore, pagi harinya ia langsung bisa jalan normal lagi. Hari itu juga Bu Amijoyo minta diantar ke supermarket, untuk membeli keperluan sehari-hari.

Beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa yang paling mengejutkan dalam hidup Durma. Bu Amijoyo menyerahkan surat rumah, surat mobil kepadanya. “Ini mesti saya apakan, Ibu?”

“Pegang saja, simpan. Barang-barang itu semua akan jadi milikmu.”

“Saya tidak berhak menerima warisan dari Ibu. Maafkan saya, Ibu!”

“Diam, Durma. Aku tak punya anak, tak ada sanak saudara. Aku akan ke notaris. Itu semua untukmu.” ujar Bu Ami. “Tidak lama lagi saya masuk panti jompo. Di sana orang-orang tua yang tidak mau terlantar seperti aku, bakal dirawat dengan baik.”

Beberapa bulan kemudian Bu Amijoyo menuju panti jompo, diantarkan Durma dengan mobil mewahnya. Di sana ia menunjukkan nomor kamarnya, tempat untuk menerima jengukan dan sebagainya.

“Saya yakin, Ibu masih punya kerabat dekat,” ujar Durma memberanikan diri.

“Jangan membuat aku berpikir mundur! Aku hanya ingin hidup bebas. Kebebasan adalah segalanya dalam hidupku!” ujar Bu Ami.

Durma terdiam saja.

“Baiklah kalau kau mau pulang. Tengok aku sehari sekali. Jika tidak, seminggu sekali atau sebulan sekali. Jangan lupa, kau akan mengatur pembayaran panti sebulan sekali. Terima kasih, Durma,” ujar Bu Ami sambil tegak berdiri.

Durma mohon diri, untuk dengan berat hati meninggalkan majikannya. Bu Amijoyo memeluknya beberapa lama. Setekah renggang rangkulannya, Bu Ami menyeka air matanya. Begitu juga dengan Durma. Ia tak tahan membendung tangisnya yang tanpa suara. Perempuan tambun berwajah cantik dan bersih itu terus menatap langkah-langkah Durma, hingga tak tampak lagi dari pandangannya.[]

Catatan: cerpen ini pernah dimuat di Republika, Minggu 1 Juli 2007.

Sides Sudyarto DS

Sides Sudyarto DS, lahir di Tegal, 14 Juli 1942 dan meninggal di Jakarta, 9 Oktober 2012. Nama aslinya adalah Sudiharto. “Sides” sendiri konon merupakan singkatan dari “Seniman Desa”. “DS”-nya adalah dua inisial dari nama orang tuanya.

Sebelum pindah ke Jakarta, dia sempat melakoni hidup sebagai guru SD, sembari melanjutkan sekolah di SMA PGRI Tegal. Setelah pindah ia sempat melakoni hidup sebagai tukang becak sembari kuliah di UI Jurusan Sastra Belanda. Kemudian, ia juga sempat kuliah di Akademi Bahasa Asing (ABA).

Selain dikenal sebagai sastrawan, beliau juga dikenal sebagai wartawan. Pernah menjadi anggota redaksi majalah Bobo, redaktur eksekutif majalah Jakarta-Jakarta, lalu redaktur eksekutif Media Indonesia, dan juga pemimpin redaksi mingguan Kultural Intelektual.

Banyak menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan sebagainya. Karya-karyanya banyak bertebaran di berbagai media massa, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Sinar Pagi, majalah Tempo, Surabaya Post, Mimbar Umum, Matra, Kartini, Gatra, majalah Horisan, majalah Budaya Jaya, majalah Sastra, majalah Ulumul Qur’an, dan lain-lain.

Beberapa karyanya yang telah dibukukan, di antaranya: Kebatinan (tanpa tahun), Pahlawan dalam Puisi (1979), Sajak-Sajak Tiang Gantungan (2002), Shalat Lebaran di Kamp Konsentrasi (2006), Rambut Emas Kakek Bijaksana (1975), Manusia dan Bahasa (2009), dan Kritik atas Puisi Indonesia (2012). Karya puisinya masuk dalam antologi penyair Indonesia Tonggak editor Linus Suryadi AG. Sebagian karya puisinya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit di Australia dengan judul Beyond the Horison (Monash Asia Institute, 1998)

Saat meninggal, beliau masih menjabat sebagai wakil ketua pengurus pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku