Kultura & Sastra

WASIAT DARI TEGALREJO: RATU AGENG DALAM SAMAR SEJARAH

Karya: NANING PRANOTO.

Pentas Musical Show WASIAT DARI TEGALREJO (WDT) menyajikan sekilas tentang kisah kehidupan heroik Ratu Ageng Tegalrejo (1735-1803), nama kecilnya Niken Ayu Yuwati. Ia Permaisyuri Sultan Hamengkubuwono I (HB I, 1717 – 1792). Selain dikenal agamis, ia juga tersohor sebagai penungggang kuda yang tangguh, sangat mahir menggunakan senjata perang gagrak tradisional maupun modern pada zamannya. Jiwanya yang nasionalis nan teguh, membuatnya gigih dalam melawan kaum penjajah. Berkat kecerdasan dan kelembutannya ia menekuni berbagai ilmu pengetahuan, kemudian menjadi ahli literasi, seni-budaya dan gemar bercocok tanam.

Kala meninggalkan Kraton Ngayogyakarta Hadingrat tahun 1792 selain suaminya wafat juga karena kecewa terhadap tingkah-polah putranya (Raden Sundoro yang kemudian diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono II) yang melangggar ajaran agama dan budi pekerti. Kemudian, Permaisyuri HB I tersebut membuka hutan yang terletak di sebelah barat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Niken Ayu Yuwati bercocok tanam, beternak ikan, unggas, sapi, kerbau dan membudidayakan berbagai pohon buah-buahan, pohon pelindung lingkungan maupun untuk bangunan rumah. Apa yang ia kerjakan bersama punggawanya sangat berhasil untuk menghidupi dirinya, pengawalnya dan rakyat sekitarnya. Lahan yang dikelolanya diberi nama Tegalrejo, artinya ladang yang subur makmur. Kemudian Niken Ayu Yuwati dikenal dengan nama sebutan Ratu Ageng Tegalrejo. Ia layak diakui sebagai tokoh ekofeminisme yaitu perempuan pejuang pelestari lingkungan.

Menjelang berusia 60 tahun, Ratu Ageng Tegalrejo mengasuh cicitnya, Raden Mas Ontowiryo (nama kecil Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwono III) ) yang pada waktu itu baru berusia enam tahun, untuk diasuh di Tegalrejo. Hal itu dilakukan karena ia khawatir cicitnya tersebut tumbuh dewasa dengan akhlak kurang baik akibat pengaruh pergaulan di kraton yang saat itu dianggapnya melanggar norma ajaran agama dan etika Jawa.

Ratu Ageng sedang menyaksikan bayi Raden Mas Ontowiryo digendong Sri Sultan Hamengku Buwono I. Lukisan Karya Dian Anggraeni tahun 2019 ini di dasarkan tafsir atas salah satu bagian Babad Dipanegara.

Raden Mas Ontowiryo sangat mengagumi dan menyayangi Eyang Buyut Ratu Ageng Tegalrejo yang mendidiknya dengan sangat baik. Selain diajarkan gaya hidup yang disiplin, pendidikan agama yang kuat, seni budaya (menari, nembang dan melantunkan puji-ujian kepada Tuhan), penimbaan berbagai ilmu pengetahuan (ia mendirikan semacam perpustakaan), bercocok tanam/cinta lingkungan,hidup, kesetaraan – merakyat bersama orang desa (wong cilik), akrab dengan petani dan anti terhadap kaum penjajah. Semuanya itu diungkapkan dalam riwayat hidupnya yang ia tulis dalam Babad Diponegoro.

Ratu Ageng Tegalrejo wafat tanggal 17 Oktober 1803, setelah sakit demam parah akibat i kecebur di kolam ikan. Pada waktu yang bersamaan Gunung Merapi meletus. Suasana sangat tegang dan penuh duka karena wafatnya perempuan perkasa. Ia dimakamkan di makam para raja trah Mataram di Pasarean Imogiri Bantul, dikenal dengan nama Pajimatan Girirejo Imogiri. Pada waktu itu usia Pangeran Diponegoro masih belasan tahun dan ia merupakan pewaris Puri Tegalrejo yang ia tempati hingga meletusnya Perang Diponegoro (1825-1830). Puri tersebut hingga sekarang masih ada, merupakan renovasi bangunan lama yang dibakar oleh Belanda. Tapi masih ada sisa bangunan lama, berupa benteng yang dijebol oleh Pangeran Diponegoro untuk melarikan diri ketika dikepung Belanda. Selain itu terdapat pohon kepel yang diperkirakan bibitnya peninggalan dari Ratu Ageng Tegalrejo.

Ratu Ageng Tegalrejo merupakan perempuan utama yang mengasuh, menginspirasi dan membentuk karakter Raden Mas Ontowiryo hingga tumbuh menjadi sosok Pangeran Diponegoro yang gagah berani dalam melawan Belanda melalui Perang Jawa (De Java Oorlog, 1825 – 1830) yang sangat ditakuti oleh musuh dan membuat Pemerintah Belanda bangkrut. Sungguh disayangkan, esksistensi dan peran Ratu Ageng Tegalrejo hanya tersurat ‘samar-samar dalam lembar sejarah Indonesia. Foto-fotonya juga sulit ditemukan.

Menurut Ki Sono Puspahadi, peneliti sejarah kerajaan-kerajaan dan raja-raja di Pulau Jawa-Bali khususnya, memberikan argument.

“Sangat mungkin Ratu Ageng Tegalrejo yang cerdas dan rendah hati itu tipe perempuan yang tidak suka diekspose. Ia konsentrasi pada misi-visi hidupnya: kerja, studi, beribadah dan membesarkan cicitnya menjadi sosok priyagung yang linuwih – Raden Ontowiryo yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. Selain itu, sangat mungkin ia memang menyembunyikan jatidirinya agar tidak dikenali dan diserang oleh musuh-musuhnya. Sehingga agak sulit ditelusuri jejak kehidupannya dan tampilan profilnya. Misalnya, sangat mungkin ia tidak mau dilukis, sehingga tidak ada peninggalkan lukisan profilnya Alat foto pada waktu itu juga masih langka dan itu tentunya milik Belanda. Sangat mungkin Ratu Ageng menolak difoto dengan alat milik Belanda, maka tidak ada foto tentang tampilan dirinya.” Demikian pendapatnya dan menurut penulis masuk akal. Tipe perempuan Ratu Ageng Tegalrejo bukanlah perempuan narsis.

Melalui riset hampir selama tiga tahun menelusuri jejak sejarah Ratu Ageng Tegalrejo dan Pangeran Diponegoro dengan cara napak tilas, membaca naskah-naskah kuno di Perpustakaan Nasional Jakarta, membaca teks-teks buku karya sejarawan Peter Carey disertai diskusi maupun wawancara dengan kerabat Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadinigrat, penulis menemukan patahan-patahan kisah yang menjadi sumber pementasan ini.
Pesan Moral:

Menebar keteladanan nilai-nilai hidup yang hakiki dari seorang perempuan utama berjiwa nasionalis, agamis, humanis, pemberani untuk kebenaran, belajar sepanjang hayat, budayawati, moralis, peduli lingkungan untuk pelestarian Bumi ciptakan kemakmuran bagi rakyat dan pendidik muda-mudi menjadi generasi unggul tanpa melupakan kodratnya yang ‘lemah’ sebagai ciptaan Tuhan. Sehingga tidak menyombongkan diri atas: adigang, adigung dan adiguna (kekuatan, kekuasaan dan kepandaian yang dimiliki)

Tags

Related Articles

Back to top button
Close