Politik & Filsafat

Politik Bencana Dan Bencana Politik

oleh Sides Sudyarto DS

Selalu saja di negeri yang sulit berkembang ini dilanda kemiskinan ganda: miskin harta dan miskin logika. Mereka yang miskin harta jumlahnya jelas paling banyak jumlahnya. Kaum subaltern (istilah Gramsci/ Gayatri Chakravorty Spivak), yakni kaum yang dimelaratkan dan dibodohkan, adalah mayoritas mutlak (meminjam istilah pemilihan umum) yang berlalu. Namun demikian, jumlah mereka yang miskin logika, masih lebih banyak lagi. Ilmu mantek (meminjam istilah almarhum K. H. Agus Salim), atau ilmu logika, memang satu disiplin yang kurang membudaya bagi masyarakat kita hingga hari ini. Setidaknya, tidak membudaya seperti kejahatan korupsi yang menghinggapi tubuh bangsa kita, mulai dari tukang parkir, penjaga WC umum, hingga para penyelenggara kekuasaan negara.

Tentu saja menyebalkan dan mengenaskan, menyaksikan terlalu banyaknya manusia yang menjelma tikus raksasa, walau masih lebih banyak manusia yang menjadi manusia biasa. Selama ini kita terbiasa dengan ujaran, kekuasaan cendeung untuk korup. Makin absolut kekuasaan, makin absolut korupsinya. Agaknya, sekarang ujaran itu harus segera dibalikkan: Mereka yang korup cenderung untuk mengejar kekuasaan. Makin besar korupnya, makin besar semangatnya untuk mengejar kekuasaan.

Kemiskinan harta dan kemiskinan logika itulah yang menggiring para pemikir sampai pada kesimpulan, bahwa bangsa ini menghadapi dua front besar: perang melawan kemiskinan dan melawan kebodohan. Tentu saja ini tergolong perang berat yang dahsyat. Sebab ini adalah jenis perang melawan lingkaran setan: Kita bodoh karena miskin, kita miskin karena bodoh. Berat bagi kita, karena melawan kebodohan dengan kebodohan dan melawan kemiskinan dengan kemiskinan. Hasilnya tentu bisa ditebak segera: kita bertambah miskin dan bertambah bodoh.

Satu di antara contoh kemiskinan logika yang telah kita pertontonkan, ialah, tatkala kita menghadapi dampak bencana alam badai maut massal. Kita lebih memilih tindakan-tindakan ritual ketimbang tindakan operasional. Bukankah kita memiliki banyak pengusaha yang dengan sendirinya akrab dengan manajemen? Ya. Tetapi jangan lupa kebanyakan pengusaha kita yang kelas kakap berhasil karena fasilitas, bukan karena piawai dalam bidang manajemen. Maka yang terjadi adalah penerapan manajemen tambal sulam, bukan manajemen krisis yang efektif dan efesien. Kita mengenal banyak center: Habibie Center, Blora Center, Mega Center. Tetapi kita tidak mendengar adanya Aceh Center, misalnya.

Bahwa kita berduka cita, pasti. Duka nasional selama tiga hari tiga malam. Tetapi jelas kita tidak boleh kalut. Kekalutan tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya menambahm masalah makin parah. Untuk itu kita harus punya semacam Crisis Center yang mampu begerak cepat, tepat karena terencana, terkoordinasi, yang cukup ampuh dalam mengerahkan fund and forces, karena berbentuk jaringan yang yaang kuat, terpadu, transparan, terukur, demi daya guna dan hasil guna yang maksimal. Maka, mestinya bukan tumbuh menjamurnya posko-posko (pos komando) yang tidak jelas siapa dan di mana komandonya. Apa yang harus dibentuk segera ialah satuan-satuan gerak cepat yang terkoordinasi dan terkontrol.

Apabila pikiran seperti itu yang mengemuka, maka terbuka kemungkinan kita bisa melaksanakan politik bencana, aau kebijakan-kebijakan penyelesaian dampak bencana dengan efektif. Untuk tujuan tersebut, lembaga atau organisasi yang paling bisa diharapkan adalah militer: Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara. Lalu di mana posisi sipil? Sipil tetap bisa berperan penting. Belajar kepada perang kemerdekaan, tentara bergerak sebagai kekuatan pembebas, sipil sebagai penyangga logistiknya. Gerilyawan terus maju ke front, petani menyiapkan nasi bungkusnya.

Tentara telah teruji dan terbukti kemampuan dan ketangguhannya dalam operasi kemanusiaan seperti itu. Tidak perlu curiga atau usil bahwa ini bebau militerisme. Operasi kemanusiaan jauh berbeda dengan operasi penindasan terhadap kaum sipil. Kesadaran kita yang dituntut dan ebndesak, pertama-tama adalah operasi darurat, yakni operasi penyelamatan. Menyelamatkan yang sudah twas, terlebih lagi penyelamatan mereka yang masih hidup. Mau tidak mau kita harus terfokus kepada operasi penyelamatan itu, baru kemudian kita beranjak ke pemikian rehabilitasi. Jika kita harus berbicara tentang skala pioritas, penyelamatan jiwa berjuta manusia tentu lebih mendesak ketimbang perbaikan sarana dan prasarana.

MOMENTUM

Menghadapi dampak bencana nasional ini hendaknya kita jangan sampai kehilangan momentum. Pemerintahan di Aceh telah lumpuh total. Itu berarti pelayanan kepentingan masyarakat juga mandeg total. Pusat mengambil alih kewenangan pemerintahan daerah. Ini awal langkah yang tepat. Apa yang harus kita pikirkan secara matang adalah, apa implikasinya, apa kosenkuensinya. Inilah momentum yang paling tepat untuk (sementara) tidak lagi bicara soal status darurat sipil dengan segala tetek bengeknya. In juga saat yang paling tepat untuk menyelesaikan soal gerakan separatis. Mereka harus kita ajak damai, atau dipaksa berdamai. Kini mereka berada dalam posisi lemah. Pertama karena kondisi mereka telah mengalami degradasi. Kekuatan sudah jauh menyusut. Logistik sudah semakin tipis, semntara hubungan dengan luar sudah semakin sulit. Kekuatan separatis jangan sampai diberi toleransi, sekarang ini, jangan sampai momentum lewat, keadaan berubah dan mereka menguat lagi. (Adalah aneh, selama ini, bagaimana mereka bisa bertumbuh jadi sekuat itu).

Bencana alam yang begitu tragis itu berdampak sangat luas. Akibatnya akan sangat jauh. Selain korban jiwa yang jumlahnya menggetarkan hati nurani kemanusiaan, kelumpuhan sosial dan ekonomi juga sangat jhauh dan dalam. Sudah tentu, operasi kemanusiaan yang paling mendesak adalah suplai bahan makanan, obat-obatan dan pakaian. Operasi kemanusiaan, penaggulangan dampak bencana ini mutlak harus berhasil. Tidak ada pilihan lain. Jika kita kehilangan momentum, bencana politik akan segera terjadi. Sebab, kalau gagal rakyat di daerah tersebut akan semakin apatis, dan akan semakin kehilangan kepercayaan sehingga sulit untuk mengharapkan kesetian mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih berbahaya lagi, jika ketidakpercayaan itu menular ke daerah-daerah lainnya.

Akibat sampingan seperti itu harus sudah kita prediksi sejak dini. Bencana Tsunami kadang menag tidak tbisa terdeteksi, tetapi bencana politik harus bisa kita deteksi sebelum terjadi. Selain operasi penyelamatan dan penyembuhan harus berhasil, operasi rehabilitasi juga harus berhasil. Keberhasilan ini juga tidak boleh ditawar-tawar. Kita dengar, ada dugaan biaya rehabilitasi Aceh memerlukan 10 triliun. Kurang atau lebih. Jumlah itu bisa kita anggap besar, juga bisa dianggap kecil. Dihitung dari kondisi keuangan kita, jumlah itu sangat besar. Tetapi ingat, seorang koruptor bisa menggaet satu triliun lebih. Jika hasil koupsi disita untuk negara, maka dari sepuluh koruptor saja kita bisa mendapatkan lebih dari yang kita perlukan untuk merehabilitasi Aceh.

Tetapi pengandaian seperti itu tampaknya tidak relevan. Tidaklah patut kita berilusi seolah semua koruptor korupsi rata-rata trilunan. Lebuh sulit lagi untuk berilusi, seolah semua koruptor bisa kita minta kembali uangnya untuk negara. Maka jujur saja, kita akui, beban rehabilitasi memang berat buat kita. Tetapi itu juga tidak berarti bahwa biaya sebesar itu tidak bisa diatasi. Lebih penting dari itu adalah kepercayaan dan kesetian penduduk daerah itu kepada NKRI. Timbal baliknya, sekarang, kita mesti menunjukkan kepercayaan dan kesetiaan kepada mereka. Harslah kita tunjukkan secara nyata, bahwa mereka adalah bagian dari kita. Mereka bukan di luar Indonesia, tetapi dalam Indonesia itu sendiri.

Untuk itu, mungkin pendekatan kultural, kelak, setelah rehabilitasi, perrlu dipertimbangkan. Pendekatan lain, yang membuat mereka berada di posisi sebagai lawan, atau sebagai terdakwa hendaknya ditinjau kembali. Kita tahu bahwa pertumpahan darah telah terjadi atau terpaksa terjadi, karena amanat mempertahanakan eksistensi NKRI. Tetapi pertumpahan darah, jika terus menerus terjadi apa pula akibatnya? Riwayat negara bangsa (nation state) memang selalu harus membayar biaya untuk kesatuan dan persatuan. Pertanyaannya, mengapa sampai timbul gerakan separatis? Hubungan daerah dengan negaranya bisa dianalogikan dengan hubungan anggota tubuh dengan batang tubuh kita. Daerah yang tidak dapat aliran darah, jadi menderita. Dalam keadaan kita tertidur pun, anggota tubuh yang tertindih hingga tidak menerima aliran darah, bisa berontak di luar kesadaran kita. Tetapi selain ada sebab internal, kita tahu, juga ada sebab eksternal. Tidak mustahil negara lain punya kepentingan, agar kita tidak selalu aman dan bersatu padu. Mungkin saja ada negara lain yang memandang Indonesia sebagai raksasa besar yang miskin. Karena besarnya, atau karena miskinnya, Indonesia bisa berguna bagi kepentingan luar.

Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku